"Se-selamat malam, eh, Mbak Sari, silahkan masuk, Tuan ada di dalam." Keduanya kompak mengangguk saat seorang pelayan wanita membuka pintu lebih lebar."Siapa yang datang, Tya?""Mbak Sari dan—"Mendadak, langkah Sari terhenti kala mendengar suara bas dari arah dalam. Suara itu milik orang yang sampai saat ini masih ia ragukan kebenarannya.Hutoyo, benarkah pria itu ayah kandungnya? Tangan kanan Sari menyentuh dada, tiba-tiba seperti ada benda keras menghantam bagian itu. Bahkan, rasa sakitnya sampai menimbulkan sesak yang menyulitkannya bernafas. Tidak hanya itu, Sari juga merasa tulang di kakinya berubah melunak, seakan tidak sanggup lagi menopang badannya yang ramping. Kenapa semua rasa itu muncul, jika hatinya saja ingin mengingkari apa yang pernah ia dengar dari Ziyan. Hutoyo bukan ayahnya, melainkan kakak dari ayah sambungnya. Yah, itu keyakinan yang seharusnya ia pegang teguh, bukan?Tapi ternyata sekarang?Tubuhnya justru menunjukkan reaksi berbeda pada pertemuan pertama merek
Tidak hanya saat masih berada dirumah Hutoyo, Sari banyak diam. Tapi ketika mereka di perjalanan dan sampai di apartemen pun, gadis itu seolah mengunci rapat mulutnya. Tak ada satu katapun yang terucap begitu mereka pamit dari kediaman Hutoyo—-membuat Thomas semakin yakin, pasti ada sesuatu yang menambah beban di hati istrinya itu---selain merasa diabaikan oleh keluarganya."Tunggu!" Begitu menutup pintu, Thomas menahan tangan Sari, membuat langkah gadis itu pun terhenti. "Sudah cukup aku memberimu waktu untuk sendiri. Sekarang, aku tidak mau lagi kau acuhkan Sari, dan tanpa penolakan. Karena mulai sekarang lakukan tugasmu sebagai istri yang baik." Thomas menarik pelan tangan Sari hingga kedua berdiri berhadapan. "Apa yang sebenarnya Mas harapan dariku? Dari hubungan ini? ketulusan 'kah, atau kesetiaanku sebagai istri pengganti?" Thomas cukup terkejut mendengarnya, tetapi memilih diam karena tahu Sari masih mau kembali berbicara. "Yah! Aku akan lakukan itu mulai sekarang. Walaupun ak
"Aku baik-baik saja," ucap Tiara merasakan usapan di lengannya.Sejak awal prosesi pemakaman Wisnu, Bram tak sedikit pun beranjak dari samping Tiara---khawatir jika istrinya itu bisa saja tiba-tiba tidak sadarkan diri dengan perut yang semakin buncit. Walaupun Tiara mengatakan sudah rela melepaskan kepergian sang ayah, tapi Bram tahu, seberapa dalam istrinya itu terpukul setelah kehilangan kedua orang tua dalam waktu berdekatan.Terbukti, sejak tim medis melepas semua alat yang menopang kehidupan Wisnu, bulir bening tak juga mengering dari sudut mata Tiara. Terlebih sekarang, semakin deras mengalir kala menatap makam sang ayah bersisian dengan Suti yang pergi lebih dulu. Dua insan yang dulu hidup penuh gunjingan kini telah pergi dengan tenang. Meninggalkan orang-orang tersayang untuk melanjutkan hidup, memperdalam arti kesabaran, dengan mempergunakan sisa nafas sebaik mungkin."Kita pergi sekarang?" Anggukan lemah sebagai jawaban Tiara yang tak mampu lagi bersuara.Suasana pemakaman Wi
"Sar .. ""Iya Mas?"Lewat pantulan cermin di depannya, Sari mengernyitkan dahi mengetahui Thomas seperti orang kebingungan. 'Dia mau ngomong apa? mungkinkah aku sudah melakukan kesalahan?' Sepersekian menit menunggu, Sari masih memperhatikan tingkah sang suami, masih seperti orang linglung.Malu, yang mendasari Thomas tak langsung mengatakan apa yang ada di benaknya. Apalagi Bram juga sempat menggeleng kepala menanggapi kelalaiannya. Ia sudah melupakan tanggung jawabnya pada Sari sebagai seorang suami, benar-benar payah."Apa kita tidak jadi menginap disini, Mas?" terang Sari menduga lebih dulu. Mendapati Thomas masih enggan lanjut bicara.Thomas terkesiap, ikut menatap pantulan wajah istrinya dengan air muka yang sulit diartikan."Kenapa kamu tidak pernah meminta hakmu padaku? lantas, darimana selama ini kau mendapatkan uang untuk mencukupi semua kebutuhan kita?"Sari meletakkan sisir di tangannya, kemudian memutar posisi duduk hingga berhadapan dengan Thomas yang duduk di tepi ra
"Apakah kalian sudah selesai?"Kedua pria paruh baya itu pun menoleh, dan ekspresi terkejut seketika menghiasi wajah keduanya, begitu mendapati kemunculan Ziyan."Jika Papa tidak lagi menginginkan mama, lepaskan. Aku bahkan tidak keberatan jika harus membawanya pulang ke London."Sontak, Subrata tersenyum remeh. "Kau pikir bisa semudah itu?""Sudah Pa, cukup. Hentikan semuanya. Apa Papa belum puas sudah mempermainkan hidup semua orang? sekarang lihatlah, Metha terancam hukuman mati imbas dari keserakahan Papa. Apa itu belum cukup?"Nafas Ziyan berubah menderu, mengetahui tidak ada sedikitpun penyesalan di wajah Subrata."Apa yang sebenarnya Papa cari? kedudukan, harta, atau kemewahan? semua itu tidaklah abadi. Lihatlah mami Lasmini, apa yang dia bawa saat pergi? semuanya masih tertinggal." Suara Ziyan melemah di ujung kalimatnya. "Kebahagiaan hidup bukan karena banyaknya harta, bukan juga karena kedudukan tinggi. Tapi disini." Menunjuk dadanya sendiri. "Akan merasakan ketenangan jika
Meninggalkan kediaman Hutoyo, Ziyan langsung meluncur ke alamat yang Sari kirimkan. Awalnya, adiknya itu tidak mau menyebutkan dimana sekarang dirinya menginap bersama Thomas. Lantas, Ziyan bisa menebak jika tempat itu tak lain kediaman Bram. Untuk itu, hanya butuh sedikit memaksa sampai akhirnya Sari menyebutkan dimana alamat rumah Bram yang sekarang.Tiga puluh menit berlalu, kini Ziyan sudah berdiri didepan pintu putih menjulang tinggi. Untung saja saat di pintu depan, dua Satpam tak banyak bertanya begitu dirinya mengatakan Kakak Ipar dari Thomas, dan ingin bertemu adiknya, Sari."Mas, sungguh datang kemari?" Sari gelapan begitu membuka pintu.Setelah mengirim alamat rumah Bram pada kakaknya itu, ia menjadi gelisah di ruang tengah. Sehingga pada saat suara bel berbunyi, ia bergegas berlari dan melarang pelayan yang hendak membukanya."Iya Dek, mas harus menemui Bram. Tidak peduli bagaimana reaksinya nanti, Mas harus memaksanya agar mau meringankan hukuman Metha.""Mas ..""Mas pun
"Papa!"Melihat kehadiran Bram, Nana seketika merentangkan tangan siap menyambut gendongan sang ayah."Dia mimpi buruk tadi, aku sudah berusaha menenangkan. Tapi dia tetap ingin mencarimu." Sembari duduk, Tiara menjelaskan.Bram hanya memperhatikan pergerakan istrinya sambil mengusap punggung Nana. Dalam gendongannya, tangis Nana seketika berhenti. Gadis itu berada di posisi nyamannya, merangkul serta menyembunyikan wajah di ceruk leher BramDan Bram, begitu telaten mengusap serta mengayunkan tubuhnya pelan, agar Nana bisa lebih tenang—sampai kembali menjemput mimpi. "Tidurlah lagi, biar dia bersamaku," ucapnya pelan pada Tiara."Aku sudah kehilangan kantukku. Apa Sari jadi menginap?" Dikehamilan yang semakin membesar, terkadang membuat Tiara kehilangan rasa kantuk saat tidurnya terganggu. Sama halnya yang terjadi padanya beberapa menit yang lalu. Ia yang baru tertidur terkejut dan bergegas bangun ketika mendengar tangis Nana. Lantas sekarang, ia tidak bisa tidur lagi. "Mereka mengin
"Apa itu? siapa yang ada di balik pintu?"Keduanya menegang. Namun, Bram yang tersadar lebih dulu segera bangkit, diikuti Thomas di belakangnya.Begitu pintu ruang kerja Bram terbuka, ketegangan semakin terjadi. Tiara menatap dua pria di hadapannya dengan mata memerah penuh amarah. Bahkan ia tidak peduli, jika disekitarnya berdiri terdapat pecahan gelas yang berserakan."Kakak Ipar?" Seketika Thomas menelan kasar salivanya. Ia yakin, Tiara sudah pasti mendengar semua pembicaraannya dengan Bram tadi. "Menyingkirlah Ara, kakimu bisa terluka. Pak Mun!"Peringatan Bram tidak Tiara indahnya, tatapannya masih belum bergeser dari ambang pintu. Tepatnya lurus pada Bram yang tengah memanggil kepala pelayan di rumahnya."Iya, Tuan." Pak Mun datang. Tetapi ketika mengetahui ada begitu banyak pecahan gelas, pria paruh baya itu sontak terkejut. "Nyonya!""Tetap di tempat Anda, Pak Mun," lirih Tiara. Bram yang hendak melangkah pun mengurungkan niatnya. Ia sadar tatapan sang istri menyiratkan kekece