Maaf kakak ada kesalahan menyebutan nama tokok di bab 99, sekarang masih dalam masa tinjauan setelah di revisi ya🙏 terima kasih
Sari melangkah gontai memasuki apartemen Thomas, lebih dari dua belas jam berada di rumah sakit, ditambah kenyataan yang didengar langsung dari mulut Ziyan, ia bersyukur keadaannya tidak semakin memburuk. Setidaknya ia tidak gila, atau lebih ringannya berubah linglung. Tapi sialnya, ia tidak punya tujuan pulang selain kembali ke apartemen Thomas, pria yang jelas-jelas sangat ingin ia hindari. "Mungkin aku pantas disebut tidak tahu malu dengan kembali ke tempat ini, setelah apa yang papa lakukan pada keluarganya, terutama Tuan Bram," gumam Sari yang tertunduk saat membuka pintu."Dari mana kamu!" Sontak, Sari tersentak sekaligus menegang, belum sempat pintu kembali ditutup, suara dingin dari arah sofa membekukan aliran darahnya. "Aku tanya, darimana kau sampai semalam tidak pulang, hah!" Sari tertunduk semakin dalam, ia tidak berani mengangkat kepala barang sedikit saja. Apalagi memastikan Thomas duduk di sofa sebelah mana, mendengar suara Thomas yang menggelegar—nyalinya benar- ben
"Bagaimana?"Tiara mendongak lalu menggelengkan kepala. Melihat itu Bram sigap mendekap, serta memberi usapan di punggung istrinya agar lebih kuat menghadapi ujian yang sedang dihadapi. Setelah kehilangan Suti satu bulan lalu, ujian hidup Tiara seolah belum berakhir. Tepat sehari setelah kematian sang istri, Wisnu tidak pernah lagi membuka mata, bahkan respon-respon yang sebelumnya pria paruh bayah itu tunjukan seolah sebagai tanda perpisahan.Dan, hal itu tentu saja membuat Tiara kian terpuruk, selain pengaruh kehamilan, kondisi ayahnya yang tidak menunjukkan peningkatan sedikitpun—membuat selera makannya sirna begitu saja. Sehingga, dalam kurun satu bulan, berat badannya turun drastis"Kamu yang sabar ya." Entah sudah berapa puluh kali kalimat itu keluar dari mulut Bram untuk menguatkan sang istri. Walaupun sebenarnya ia sendiri sangat prihatin dengan kondisi Tiara yang mengalami morning sickness parah setiap paginya. Bahkan di usia kehamilannya yang menginjak dua belas minggu, hanya
"Dia alergi susu sapi Dok, dan karena keteledoran saya, dia baru saja menghabiskan satu gelas susu hamil saya. "Sementara Tiara terus menjelaskan kronologi yang terjadi pada putrinya, Daniel dengan santainya memasukkan teleskop beserta alat yang lain kedalam tas, setelah memeriksa kondisi Nana."Apa ada yang serius, Dok?""Katakan sesuatu, Dan, jangan buat kami khawatir," sela Bram tidak sabaran.Setelah memastikan semua alatnya sudah tersimpan ke dalam tas, Daniel bangkit, mempersilahkan Tiara mengambil alih tempat duduknya."Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, di usia Nana yang sekarang, imun tubuhnya sudah mampu menerima protein yang di hasilnya oleh susu sapi. Apa yang dia rasakan hanya gejala ringan, tidak ada peradangan, sesak nafas ataupun eksim yang perlu diwaspadai." Daniel menoleh pada Nana yang dibantu Tiara duduk bersandar. "Apa dia masih minum susu soya?""Masih, saat pagi dan sebelum tidur, Dok, " jelas Tiara."Dengar itu Cantik, mulai sekarang jangan lagi minum susu yan
Di sebuah Bandara Internasional rombongan pria berseragam hitam, berjalan beriringan dengan mendorong brankar berisi peti mati menuju pintu keluar bandara. Di belakangnya terlihat seorang pria paruh baya yang juga mengenakan kemeja hitam lengkap dengan kacamata—berjalan dengan kepala sedikit menunduk. Pria itu tidak peduli sekalipun kehadirannya beserta rombongan telah menarik perhatian pengunjung lain. Ia hanya ingin segera meninggalkan bandara, untuk segera melakukan proses selanjutnya.Namun, saat hampir mencapai pintu, tiba-tiba Hutoyo menghentikan langkahnya kala mendengar panggilan yang tidak asing di telinga."Papi.."Dan, begitu menoleh ke samping Hutoyo seketika mematung, mendapati sosok gagah berdiri seperti sengaja menunggu di samping pintu."Papi.."Suara Ziyan seperti tercekat di tenggorokan setiap kali ingin berkata lebih dari itu, sehingga hanya bisa mengulang-ulang kata yang sama. Ziyan sangat ingin berlutut di kaki Hutoyo, tapi ia tidak tahu apakah ayahnya itu masih me
"Maafkan aku baru bisa datang sekarang, Pi."Metha yang terisak segera berlari mendekati Hutoyo---mengabaikan Ziyan yang mematung, diikuti dua penjaga lapas di belakangnya.Pemandangan yang cukup menyesakkan dada bagi Ziyan. Adik yang dulu selalu membangkang dan tidak pernah berperilaku baik padanya, kini tengah mengenakan baju tahanan dengan kedua tangan yang menyatu karena ada benda yang melingkar di pergelangan tangannya.Tapi lebih dari itu ada yang membuat Ziyan hampir tak percaya, kedaan Metha yang sekarang terlihat sangat mengenaskan. Bukan hanya tidak ada lagi dandann menor ataupun pakain glamor yang dulu selalu wanita itu kenakan. Melainkan tubuh Metha juga terlihat kurus hingga ia hampir tidak mengenalinya tadi."Metha!"Hutoyo bergegas menyambut kedatangan putrinya, dan segera menahan tubuh itu saat tahu hendak menjatuhkan diri di samping pusara Lasmini."Kenapa Mami pergi disaat Metha seperti ini, Pi. Kenapa tidak memberi kesempatan Metha untuk meminta maaf lebih dulu, Meth
Sari duduk termenung menghadap kaca yang ada di kamarnya, meski hanya ada kasur tipis, satu bantal juga selimut, Sari memilih bertahan di kamar itu. Sejak dua minggu yang lalu, Thomas mengosongkan kamar yang ia tempati sejak awal, dan memindahkan semua barang-barangnya ke kamar utama, kecuali ranjang yang entah dibuang kemana. Dengan dalih, hal tersebut dilakukan agar dirinya mau berbagi kamar dengan pria itu. Namun, yang terjadi Sari justru tetap bertahan dengan benda seadanya.Jika ditanya, kenapa ia begitu keras kepala tidak mau satu kamar dengan Thomas, yang notabenenya adalah suaminya?Maka, jawaban Sari tetap sama, ia merasa tidak pantas tidur di ranjang pria itu. Selain, apa yang sudah dilakukan Subrata, Metha juga Ziyan pada keluarga suaminya, Sari menganggap dirinya hanya sebagai istri ganti rugi yang tidak pantas merangkak naik ke ranjang Thomas.Lantas, bagaimana respon pria itu, apakah terima begitu saja dengan sikap Sari?Entah apa persepsi Thomas tentang dirinya, Sari han
"Se-selamat malam, eh, Mbak Sari, silahkan masuk, Tuan ada di dalam." Keduanya kompak mengangguk saat seorang pelayan wanita membuka pintu lebih lebar."Siapa yang datang, Tya?""Mbak Sari dan—"Mendadak, langkah Sari terhenti kala mendengar suara bas dari arah dalam. Suara itu milik orang yang sampai saat ini masih ia ragukan kebenarannya.Hutoyo, benarkah pria itu ayah kandungnya? Tangan kanan Sari menyentuh dada, tiba-tiba seperti ada benda keras menghantam bagian itu. Bahkan, rasa sakitnya sampai menimbulkan sesak yang menyulitkannya bernafas. Tidak hanya itu, Sari juga merasa tulang di kakinya berubah melunak, seakan tidak sanggup lagi menopang badannya yang ramping. Kenapa semua rasa itu muncul, jika hatinya saja ingin mengingkari apa yang pernah ia dengar dari Ziyan. Hutoyo bukan ayahnya, melainkan kakak dari ayah sambungnya. Yah, itu keyakinan yang seharusnya ia pegang teguh, bukan?Tapi ternyata sekarang?Tubuhnya justru menunjukkan reaksi berbeda pada pertemuan pertama merek
Tidak hanya saat masih berada dirumah Hutoyo, Sari banyak diam. Tapi ketika mereka di perjalanan dan sampai di apartemen pun, gadis itu seolah mengunci rapat mulutnya. Tak ada satu katapun yang terucap begitu mereka pamit dari kediaman Hutoyo—-membuat Thomas semakin yakin, pasti ada sesuatu yang menambah beban di hati istrinya itu---selain merasa diabaikan oleh keluarganya."Tunggu!" Begitu menutup pintu, Thomas menahan tangan Sari, membuat langkah gadis itu pun terhenti. "Sudah cukup aku memberimu waktu untuk sendiri. Sekarang, aku tidak mau lagi kau acuhkan Sari, dan tanpa penolakan. Karena mulai sekarang lakukan tugasmu sebagai istri yang baik." Thomas menarik pelan tangan Sari hingga kedua berdiri berhadapan. "Apa yang sebenarnya Mas harapan dariku? Dari hubungan ini? ketulusan 'kah, atau kesetiaanku sebagai istri pengganti?" Thomas cukup terkejut mendengarnya, tetapi memilih diam karena tahu Sari masih mau kembali berbicara. "Yah! Aku akan lakukan itu mulai sekarang. Walaupun ak