Home / Romansa / Dipaksa Menikah / Rencana Lamaran (1)

Share

Rencana Lamaran (1)

Author: Reinsha4
last update Last Updated: 2022-04-25 19:49:14

"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar.

"Dia ... " jawab ibu ragu.

"Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.

Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami.

"Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?"

"Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."

Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku.

"Sakit semua?"

"Iya. Lemes banget."

"Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?"

"Iya, Bu?"

"Kamu nggak ingat apa-apa?"

"Apa?"

"Ah, nggak apa-apa."

Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin. Aku mengeratkan selimut pada tubuh. Menoleh kanan kiri tapi tidak melihat ibu juga laki-laki itu. Tak berapa lama ayah masuk ke dalam ruangan. 

"Sudah bangun?"

"Iya, ibu mana Yah?"

"Pulang sebentar."

Aku merasakan aura ayah yang tidak biasa. Sepertinya beliau ada sesuatu yang disembunyikan. Lebih tepatnya ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

"Ayah kenapa?"

"Tidak. Ayah tidak apa-apa. Kamu istirahat saja."

Aku semakin bingung dengan sikap ibu dan ayah. Ada apa sebenarnya dengan mereka. Sesuatu yang rahasia, aku merasa ada hubungannya denganku.

***

Senang bisa pulang ke rumah, setelah tiga hari di rawat di rumah sakit. Pekerjaan juga menjadi terbengkalai. Menjadi salah satu pegawai pemerintah membuat aku mempunyai tanggung jawab yang besar, mendidik anak-anak bangsa menjadi bakal manusia yang berguna nantinya.

Untuk mendapat pekerjaan inipun tidak mudah, karena saingan yang banyak mengharuskan kita belajar lebih ekstra untuk tesnya. Syukur aku diterima dan tempatnya  tidak begitu jauh dari rumah.

Aku menghubungi mas Feri, salah satu teman seangkatan guru di wilayahku. Kami memang bertemu dalam tes. Dan selama perjalanan menuju pegawai tumbuh benih-benih cinta antara kami. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan, daan sebentar lagi memutuskan untuk lebih serius ke jenjang berikutnya. 

[Mas? Dimana?]

[Masih di sekolah. Kenapa tidak aktif ponselnya? Aku ke rumah kamu tapi kosong. Tidak terjadi apa-apa kan?]

[Iya, maaf. Aku di rumah sakit.]

[Di rumah sakit? Sakit apa? Kenapa baru menghubungi?]

[Aku nggak sempat pegang ponsel. Aku kena typus Mas.]

[Sekarang kondisi kamu gimana? Masih sakit? Masih di rumah sakit? Rumah sakit mana?]

[Mas, aku sudah perjalanan pulang sekarang. Pulang sekolah nanti ke rumah, ya?]

[Iya, iya. Kamu mau aku bawakan apa?]

[Cukup Mas datang saja aku sudah senang.]

[Kamu itu, ya? Suka sekali buat mas khawatir. Tiga hari loh nggak ada kabar.]

[Iya, maaf. Aku tunggu ya?]

Aku senyum-senyum sendiri mendengar ucapan mas Feri. Sungguh beruntung bisa memiliki seseorang sepertinya. Aku sudah nggak sabar ingin segera menjadi istri.

"Nduk? Itu, Feri?"

"Iya, Bu."

"Tanyakan padanya, kapan bisa ke rumah. Ayah pingin ngomong," ucap ibu di sebelah sembari mengusap-usap punggungku.

"Nanti ini sepulang sekolah mau ke rumah, Bu."

"Yah, nanti siang Feri mau ke rumah," info ibu pada ayah.

"Baguslah."

***

Lega, akhirnya bisa merebahkan diri di kamar kesayangan. Lebih senang lagi karena mendengar ayah dan ibu menanti kedatangan mas Feri ke sini. Aku harap ada kabar baik nanti.

Aku dan mas Feri memang merencanakan untuk lebih serius setelah diangkat menjadi pegawai. Sudah satu tahun kami menekuni profesi ini, memang sudah waktunya bagi kami untuk lebih memikirkan ke jenjang berikutnya.

Banyak sekali bahan masakan terutama bahan kue di dapur. Hal ini semakin menguatkan bahwa pasti ayah dan ibu segera meminta mas Feri untuk segera melamarku.

[Halo, Mas?]

[Sepuluh menit lagi aku sampai ke sana. Ini masih di lampu merah. Kenapa? Ingin sesuatu?]

[Ah, tidak. Nanti mas Feri jangan kaget ya?]

[Kenapa?]

[Sepertinya ayah dan ibu sudah menginginkan sesuatu yang lebih serius dari kamu.]

[Jangan khawatir, aku sudah siap.]

Ayah dan ibu sudah menunggu kedatangan mas Feri di ruang tamu. Hatiku menjadi deg deg an. Semoga semua berjalan lancar. 

"Assalamualaikum?" Ucap mas Feri dari luar rumah.

"Waalaikum salam," jawab kami bertiga hampir bersamaan.

"Masuk, Nak Feri?" Ajak ibu.

Aku tersenyum melihat kedatangannya. Bingkisan buah dia serahkan padaku. Kemudian aku menyuruhnya segera duduk.

"Buatkan minuman, Nduk!" Perintah Ayah.

"Iya, Yah."

Di dapur, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Mas Feri bertanya pada Ayah tentang pekerjaannya begitupun sebaliknya. Tapi tetap saja aku merasakan hawa ketegangan. Entah apa.

 

Related chapters

  • Dipaksa Menikah   Rancana Lamaran (2)

    Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Situasi Kaku (1)

    "Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Situasi Kaku (2)

    Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Rencana Pelarian (1)

    "Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Rencana Pelarian (2)

    Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Surat Undangan

    "Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal

    Last Updated : 2022-04-25
  • Dipaksa Menikah   Pertemuan Dua Keluarga

    "Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli

    Last Updated : 2022-05-27
  • Dipaksa Menikah   Pertemuan Dua Keluarga

    "Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk

    Last Updated : 2022-05-27

Latest chapter

  • Dipaksa Menikah   Pertemuan Dua Keluarga

    "Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk

  • Dipaksa Menikah   Pertemuan Dua Keluarga

    "Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli

  • Dipaksa Menikah   Surat Undangan

    "Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal

  • Dipaksa Menikah   Rencana Pelarian (2)

    Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya

  • Dipaksa Menikah   Rencana Pelarian (1)

    "Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l

  • Dipaksa Menikah   Situasi Kaku (2)

    Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.

  • Dipaksa Menikah   Situasi Kaku (1)

    "Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan

  • Dipaksa Menikah   Rancana Lamaran (2)

    Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b

  • Dipaksa Menikah    Rencana Lamaran (1)

    "Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.

DMCA.com Protection Status