"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?"
Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan! Lepaskan! Biarkan dia pergi!" Perintah Ayah."Wulan nggak mau! Wulan mau mas Feri! Wulan mau mas Feri!" Teriakku.Ayah menarikku dengan keras. Mas Feri berlari keluar rumah dengan cepat. Aku memukul tangan ayah dan berlari sembari menangis menuju kamar. Pintu aku tutup dengan keras supaya mereka tahu aku benar-benar marah. Supaya mereka mengerti aku ingin menyendiri. Ponsel aku raih kemudian menekan nomor mas Feri, berulang-ulang tapi tidak ada jawaban. Banyak pesan aku kirim berharap nanti dia akan menjawab. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit tidak ada jawaban. "Nduk? Wulan? Buka pintunya. Ayah dan ibu ingin menjelaskan sesuatu?" Ucap ibu dibalik pintu."Wulan nggak mau! Ayah dan ibu jahat! Wulan nggak mau!" Teriakku sembari menutup telinga."Wulan? Dengarkan dulu?" Pinta ibu lembut."Nggak! Pergi! Pergi!"Dengan tergugu aku memandangi ponsel. Tiap ada pesan, aku membukanya cepat. Berharap mas Feri yang menjawab ternyata bukan. Seharian di dalam kamar cukup membuat tubuhku lemas. Apalagi dari pagi perut belum terisi apa-apa. Walaupun ibu merayuku untuk keluar kamar tapi aku tetap dengan pendirian. Sudah pukul empat sore ketika mau tidak mau aku haru ke kamar mandi, perut melilit tak karuan."Wulan? Kamu nggak apa-apa, Nduk?"Ibu mengekorku hingga ke kamar mandi. Beberapa menit di kamar mandi, sakit perut muncul dan hilang. Hingga aku keluar dan meminta ibu mengambilkan minyak kayu putih."Makan dulu? Ini mungkin karena kamu belum makan sama sekali," ucap ibu."Aku nggak pengen makan, Bu. Wulan pengen ketemu mas Feri.""Yang sabar ya, Nduk?""Bu! Bawa Wulan ke sini," titah ayah."Tapi Wulan masih sakit, Yah. Apa tidak nanti saja menjelaskannya?" Pinta ibu.Aku memandang ragu pada mereka berdua."Bawa sini! Ayah akan jelaskan pelan-pelan."Ibu membopongku ke ruang tamu. Laki-laki itu, masih di sana. Melirikku kemudian menunduk kembali."Wulan, perkenalkan ini Wahyu Pramudya. Besok akan ada acara sukuran atas pernikahan kalian di sini. Ayah mohon, jangan buat ayah kecewa."Pikiran yang mulai tenang kembali terusik karena penjelasan ayah. Bisa-bisanya ayah berbicara layaknya aku sudah menerima pernikahan ini."Bagaimana Wulan menikah? Apa Wulan dijodohkan?" Tanyaku."Kalian dipertemukan bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Apa kamu tidak ingat sepulang sekolah waktu kamu sakit? Kalian ditemukan dalam sebuah warung yang tutup sementara. Dan apesnya, pemilik warung memergoki."Aku ingat sekarang. Waktu itu badanku sudah terasa tidak enak. Di tengah jalan, hujan turun dengan lebat. Jas hujan tidak ada di bagasi motor, karena jarak yang kukira sudah dekat. Aku nekad menerobos hujan yang sangat lebat. Tubuhku menggigil. Melihat sebuah warung aku berniat berhenti sejenak karena sudah sangat kedinginan. Setelah itu, aku tidak ingat. Sepertinya aku tidak sadar dengan apa yang terjadi waktu itu."Kamu! Jelaskan pada ayah dan ibu. Kalau kita tidak melakukan apa-apa. Tolong kamu jelaskan pada mereka. Supaya aku bisa terbebas dari situasi ini? Tolong?" Pintaku memelas pada pemuda itu.Laki-laki itu tidak mau mendengarkan permintaanku. Dia terus saja menunduk tanpa mau berbicara. Mungkin dalam hati dia bersorak kegirangan karena bisa menikahiku. Atau bisa saja ini akal-akalannya supaya bisa menjeratku. Dasar p*cik."Besok pagi, kalau sudah merasa enakan Wahyu akan mengantarmu berangkat kerja.""Wulan bisa sendiri, Yah! Wulan berangkat sendiri.""Jangan membantah! Ayah lebih lega kalau suamimu yang mengantar demikian juga dengan pulangnya. Kamu akan dijemput olehnya!"Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l
Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya
"Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk
Brak!"Kalian mesum!" Ayo keluar! Keluar dari warungku!" Teriaknya.Kepala Wulan yang berdenyut parah tidak begitu menghiraukan. "Tolong! Tolong! Ada orang mesum!""Pak! Jangan Pak! Saya hanya ingin menolong cewek ini, Pak! Tolong dengarkan!" Ujar sang pemuda.***Waktu itu mendung masih menunjukkan kesombongannya, hujan turun dengan lebat mengakibatkan jarak pandang tidak begitu jauh, udara sangat dingin sehingga membuat Wulan menggigil berat disusul sakit kepala yang lumayan. Motor ia tepikan di sebuah warung yang belum tertutup sempurna. Seorang pemuda terlihat juga sedang berteduh menunggu hujan reda.Wulan parkir tepat di samping motor pemuda itu kemudian berencana duduk di kursi kayu di belakangnya tapi ia urungkan karena melihat pintu warung yang sedikit terbuka. "Bu? Pesan teh hangat satu!" Ucapnya dengan menggigil. Wajahnya pucat, bibirnya putih.
"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.
"Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya
"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l
Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan
Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b
"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.