Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini.
"Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan sebentar lagi ayah akan menjemput di sini. Satu alasan agar dia cepat pergi. Aku tak sanggup melihatnya dalam kondisi rapuh, begitupun mas Feri yang tidak sanggup melihatku dalam kondisi hancur.Aku memilih duduk di trotoar. Entah menunggu apa. Tidak juga memesan go*ek, hanya memandang kosong ke jalan yang penuh lalu lalang kendaraan."Ayo, naik!"Sebuah motor menghampiri yang kemudian aku tahu ternyata laki-laki itu yang datang."Tidak bisakah kamu membiarkanku tenang sebentar saja?" Ucapku malas."Aku sudah membiarkanmu melepaskan segala rindu dengan pacarmu tadi. Sekarang waktunya kita pulang. Ayahmu menghubungi terus."Aku membelalakkan mata. Jadi dia tahu tentang rencanaku dan mas Feri tadi."Kamu tahu?""Naiklah! Sudah malam. Kita pulang. Besok jadwalmu padat dengan acara. Akupun harus bekerja."Aku baru sadar kalau jaket mas Feri masih aku pakai. Aku melepasnya cepat. Tapi dengan sigap laki-laki itu mencegahnya. Dia menyuruhku tetap memakainya karena udara sangat dingin. Kemudian mengatakan kalau tidak perlu khawatir dicurigai karena akan diakui sebagai jaketnya. Ragu aku naik di boncengan."Kamu tadi ke terminal?" Tanyaku di perjalanan."Iya. Kalian memilih Bali? Kalau aku akan memilih Jakarta.""Kamu juga tahu itu?"Dia mengangguk. Setelahnya tidak ada percakapan antara kami. Ibu dan ayah menunggu di depan rumah. Wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. "Darimana saja? Ini sudah malam! Minimarketnya di luar kota?" Bentak ayah."Maaf, Pak. Saya yang salah. Wulan saya ajak jalan-jalan sebentar muter-muter kota," laki-laki itu menyuruhku masuk ke kamar dan beristirahat, tapi aku memilih duduk di ruang tamu. Apapun yang terjadi, aku harus berani menghadapi."Kamu tahu Wulan masih lemah? Kenapa nggak bisa berpikir pakai logika! Dia baru saja sakit! Masih butuh banyak istirahat! Kalau kenapa-napa bagaimana?" Hardik ibu."Maaf, Pak Bu? Tidak akan saya ulangi.""Ya sudah! Lain kali jangan lakukan lagi!"Laki-laki itu masuk dan kaget melihatku masih di sini."Kenapa tidak ke kamar?" Tanyanya sembari berjalan melewatiku."Aku sudah siap mempertanggung jawabkan perbuatanku," ucapku mengekornya."Sudah aman, tidak perlu.""Kamu mau kemana?""Ke kamar!""Kamar siapa?""Kamarmu!""Nggak! Nggak!" Aku menghalangi dengan merentangkan kedua tangan."Dengar! Tidak akan terjadi apa-apa. Aku sudah sangat lelah. Kalau sampai aku tidak tidur di sana, aku capek mendengar omelan ayah dan ibumu.""Itu masalahmu! Bukan aku!""Oh, ya?" Ucapnya dengan menyingkirkan tanganku kemudian masuk ke dalam kamar.Melihat gerak geriknya memang tidak ada yang aneh. Tapi tetap saja, mengerikan tiba-tiba satu kamar dengan orang yang tidak dikenal. Dia keluar, kemudian masuk dan mengganti pakaian dengan sarung dan takwa. Laki-laki itu salat dengan khusyuk. Ponselku berdering berulang kali, tapi aku ragu untuk mengangkatnya karena mas Feri yang menghubungi.Setelah salam dia melihat padaku dan mengambil selimut kemudian ditatanya di bawah."Kenapa tidak diangkat?"Aku hanya menatapnya."Angkat saja, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Aku tidur dulu. Nanti tolong matikan lampu," ucapnya dengan merebahkan badan di atas selimut yang sudah di tata. Tangannya digunakan tumpuan untuk kepala."Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk
Brak!"Kalian mesum!" Ayo keluar! Keluar dari warungku!" Teriaknya.Kepala Wulan yang berdenyut parah tidak begitu menghiraukan. "Tolong! Tolong! Ada orang mesum!""Pak! Jangan Pak! Saya hanya ingin menolong cewek ini, Pak! Tolong dengarkan!" Ujar sang pemuda.***Waktu itu mendung masih menunjukkan kesombongannya, hujan turun dengan lebat mengakibatkan jarak pandang tidak begitu jauh, udara sangat dingin sehingga membuat Wulan menggigil berat disusul sakit kepala yang lumayan. Motor ia tepikan di sebuah warung yang belum tertutup sempurna. Seorang pemuda terlihat juga sedang berteduh menunggu hujan reda.Wulan parkir tepat di samping motor pemuda itu kemudian berencana duduk di kursi kayu di belakangnya tapi ia urungkan karena melihat pintu warung yang sedikit terbuka. "Bu? Pesan teh hangat satu!" Ucapnya dengan menggigil. Wajahnya pucat, bibirnya putih.
"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.
Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b
"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan
Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya
"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l
Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan
Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b
"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.