Brak!
"Kalian mesum!" Ayo keluar! Keluar dari warungku!" Teriaknya.Kepala Wulan yang berdenyut parah tidak begitu menghiraukan. "Tolong! Tolong! Ada orang mesum!""Pak! Jangan Pak! Saya hanya ingin menolong cewek ini, Pak! Tolong dengarkan!" Ujar sang pemuda.***Waktu itu mendung masih menunjukkan kesombongannya, hujan turun dengan lebat mengakibatkan jarak pandang tidak begitu jauh, udara sangat dingin sehingga membuat Wulan menggigil berat disusul sakit kepala yang lumayan. Motor ia tepikan di sebuah warung yang belum tertutup sempurna. Seorang pemuda terlihat juga sedang berteduh menunggu hujan reda.Wulan parkir tepat di samping motor pemuda itu kemudian berencana duduk di kursi kayu di belakangnya tapi ia urungkan karena melihat pintu warung yang sedikit terbuka. "Bu? Pesan teh hangat satu!" Ucapnya dengan menggigil. Wajahnya pucat, bibirnya putih.Merasa panggilannya tidak ada sahutan, ia masuk ke dalam dengan badan agak sempoyongan. Tangannya mendekap erat di dada.Tak berapa lama berjalan ia terjatuh dengan memegangi kepala dan menggigil hebat.Pemuda yang mendengar sesuatu lari tergopoh ke dalam warung dan mendapati Wulan terbaring tak berdaya di tanah."Mbak! Mbak tidak apa-apa?"Wulan hanya bisa menggumam tidak jelas dengan bibir bergetar"Badan Mbak panas!" Ucap pemuda itu khawatir."Dingin! Dingin!" Racau Wulan.Karena pemuda itu merasa belum bisa membawanya ke tempat kesehatan, maka dia berinisiatif menghangatkan tubuh Wulan dengan pakaiannya. Satu persatu dia membukanya. Mulai dari jaket dan kaos. Belum sempat dipasangkan ke tubuh Wulan, terdengar pintu dibuka dengan kasar.Brak!"Kalian mesum!" Ayo keluar! Keluar dari warungku!" Teriaknya.Kepala Wulan yang berdenyut parah tidak begitu menghiraukan. "Tolong! Tolong! Ada orang mesum!""Pak! Jangan Pak! Saya hanya ingin menolong cewek ini, Pak! Tolong dengarkan!" Ujar sang pemuda.Beberapa orang ikut masuk dan menyeret pemuda itu keluar dengan bertelanjang dada."Bawa ke kantor kelurahan! Bawa saja!" Teriak mereka.Masih dengan guyuran hujan hebat, mereka diarak menuju kantor kelurahan yang berjarak tidak begitu jauh."Lepaskan saya! Cewek itu sakit! Biar saya menggendongnya!" Ucap pemuda itu yang melihat Wulan tidak kuat berjalan dengan bergetar.Di kantor kelurahan, pak lurah keluar ruangan ketika mendengar banyak orang yang mendatangi kantornya."Ada apa? Ada apa?""Pak lurah, ada yang berbuat mesum di warung saya. Nikahkan mereka sekarang juga! Sebelum mereka berbuat zinah lebih jauh! Untung saya pergoki!"Pemuda yang mendengar pernyataan pemilik warung menjadi gusar dengan hukuman yang akan dia terima."Tenang dulu! Tenang dulu! Kita tanya mereka baik-baik!" Ucap pak lurah bijak."Nggak usah pak! Langsung saja, panggil penghulu! Seperti kejadian yang sudah-sudah! Biar wilayah kita terbebas dari zinah, biar mereka kapok!"Pak lurah memang terkenal dengan ketegasannya dalam memberantas perzinahan, bukan hanya itu dia juga tegas dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Tak heran banyak orang yang menghormati dan mengagumi."Ok! Baik! Tenang! Tenang! Mana mereka?"Pemuda itu didorong dengan paksa oleh dua orang. Wulan masih menggigil di gendongannya."Pak? Tolong dengarkan saya! Saya hanya berniat menolong cewek ini karena sakit!""Hallah! Bohong pak! Mana ada menolong pakai lepas baju segala! Mana yang perempuan pasrah di bawah!""Maju sini!" Perintah pak lurah geram.Pemuda itu dipandangi dari bawah hingga atas, sampai tatapan matanya berhenti di perempuan yang digendongnya. Pak lurah merasa mengenal postur tubuhnya, dia hapal dengan sepatu dan motif pakaian dan jilbabnya walau dalam keadaan basah. Dia mendekat dan melihat wajah perempuan itu. Pak lurah menjadi pias ternyata perempuan yang digendong pemuda itu adalah putrinya, Wulan. Dengan sangat berat hati, pak lurah mengambil keputusan yang dirasa sangat adil bagi mereka."Baik! Nikahkan mereka sekarang!""Pak! Pak! Dengarkan saya! Ini tidak benar!" Teriak pemuda itu membela diri."Persiapkan dirimu! Jangan melawan! Pertanggung jawabkan perbuatanmu! Nikahi anak saya sekarang juga!"Deg!Pemuda itu tidak bisa berkata-kata. Perempuan yang sedang ada di gendongannya adalah putri pak lurah yang ada di depannya. Dia luruh ke bawah dengan masih menggendong Wulan. Apa yang bisa diperbuatnya untuk menyangkal perbuatan yang tidak pernah dilakukannya."Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.
Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b
"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan
Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l
Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya
"Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Nak Wahyu, ke kamar saja dulu bersih-bersih, supaya badannya segar," perintah ayah.Dia mengangguk kemudian secepatnya pamit ke dalam kamar.Sudah setengah jam laki-laki itu tidak juga keluar. Ibu menyuruhku untuk memanggilnya, karena tamu akan makan bersama."Wulan nggak mau, Bu!" Bisikku pada beliau."Nduk! Cepet! Jangan tunjukkan kebencianmu pada mereka, kejadian ini sudah takdir, coba kalau dia tidak masuk ke warung entah apa yang akan terjadi. Ayo cepet, panggil!" Hardik ibu.Dengan malas aku berjalan ke kamar. Akan membuka pintu, tapi aku ragu. Takut dia masih ganti baju."Kenapa, Lan?" Tanya Bibi heran."Nggak apa-apa, Bi," jawabku.Pelan-pelan aku putar knop. Laki-laki itu duduk diam dan menunduk dalam."Hey! Hey!" Panggilku.Dia masih tetap dalam posisinya."Hey! Kamu dipanggil mereka. Cepet!" Perintahku padanya.Dia mendongakkan kepala. Matanya merah. Aku takut, sepertinya dia marah."Apa? Kamu marah!" Dia berdiri kemudian berjalan cepat melewatiku."Lain kali kalau masuk
"Lan? Kok tidur? Ini ada Mbak perias datang, cuci muka sana!" Cerocos ibu ketika memasuki kamar. Di belakangnya seorang wanita membawa sebuah koper kecil untuk make up."Rias apa, Bu?" Tanyaku heran."Ya, kamu? Kan hari ini orang tua Wahyu mau ke sini. Jadi, kamu harus tampil cantik," ucapnya antusias."Males!""Jangan gitu dong, Nduk? Hormati mereka, ya?" Wajah ibu memelas. Aku mengangguk, kemudian meminta ibu keluar kamar. Mbak perias aku ajak kerjasama. Aku meminta supaya aku merias wajah sendiri, tapi dengan bayaran tetap aku berikan. Awalnya dia tidak menyetujui, tapi begitu aku ceritakan sekilas tentang masalah ini akhirnya dia mau mengerti dan membantu.Mbak perias segera aku suruh pergi sebelum ibu ke kamar. Benar saja, lima menit setelah dia pergi, ibu masuk dan kaget mendapatiku seperti dandanan sehari-hari. Tanpa kebaya yang sudah di sediakan dan make up untuk pengantin-pengantin kebanyakan.Ibu mengambil napas dalam-dalam. Sedang aku hanya cengar cengir dengan reaksi beli
"Halo, Mas?" Ucapku pelan."Sudah sampai rumah?""Sudah.""Ayahmu tidak curiga?""Tidak."Selama beberapa saat kami terdiam, entah apa yang ada di pikiran. Semuanya terasa di awang-awang. Sebentar-sebentar terdengar helaan napasnya."Mas?" Panggilku karena beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya."Maafkan aku, Lan. Seharusnya dulu aku langsung melamarmu. Tidak memikirkan masalah biaya adik-adik dan keluargaku. Seharusnya aku cepat menikahimu dulu. Aku bodoh! Sangat bodoh!"Aku tergugu mendengar rasa kesalnya pada diri sendiri. Aku tidak tahu kata-kata menghibur yang bisa aku ucapkan padanya, karena akupun sama. Menyalahkan keadaan yang tidak mau mendukung hubungan kami."Tidak bisakah waktu diputar kembali?" Ucapnya lagi.Aku menangis lagi. Tak ada kata yang tepat untuk diucap, tak ada tindakan yang benar untuk dilakukan, aku tergugu mendengar suara yang selalu kurindu, menyal
Terdengar beberapa kali informasi kalau bis menuju ke Bali akan segera berangkat. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Akankah berhenti atau melanjutkan rencana gila ini."Lan?""Kita pulang. Anggap hubungan kita selama ini hanya mimpi indah yang usai saat kita terbangun," ucapku menghiburnya."Aku akan selalu merindukanmu, Lan?" Jari jemariku diciumnya. Beberapa orang melihat kami dengan aneh, beberapa orang mengacuhkan. Aku teringat kata-kata laki-laki itu. Aku sudah sah menjadi istrinya secara agama dan negara, haram bagiku kalau bersentuhan dengan laki-laki lain selain suami. Aku menarik pelan jariku, kemudian menggenggamnya. Di depanku, laki-laki yang aku harapkan menjadi imam sekarang bukan siapa-siapaku. Wajahnya sayu, matanya merah dan mengucurkan air mata. Kami seperti sepasang sepatu yang dipaksakan berpisah. Kami limbung tapi tidak bisa apa-apa.Aku meminta mas Feri menurunkanku di tempat pertemuan tadi. Aku meyakinkannya
"Aku tunggu kamu di depan sana!" Ucapnya."Nggak usah, jangan ditunggu! Kamu bisa pergi!" Usirku dengan nada ketus."Oh! Kira-kira jam berapa aku bisa jemput?""Aku akan langsung pulang!""Ok! Terserah! Tapi aku tidak mau tanggung jawab dengan ayahmu!"Dia benar, ayah pasti marah kalau aku pulang tidak dengannya. Apalagi kondisi tubuhku yang masih agak lemah. Tapi, bukannya aku menginginkan mas Feri membawaku pergi. "Hey!" Panggilku pada laki-laki itu yang masih menunggu di sepeda."Apa?""Apa, kita benar-benar sudah menikah? Itu bohong kan?""Buku nikah ada di kamarmu. Aku sebenarnya berharap ini juga mimpi, aku terbangun dengan kesibukan yang biasa. Sayangnya tidak. Kamu mau pergi dengan pacarmu?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaannya."Kalau aku benar-benar pergi?""Aku tidak melarang. Tapi pikirkan lagi. Secara agama dan negara kamu sudah istriku. Kalau kamu nikah l
Ayah meninggalkan kami di ruangan ini. Ibu masih saja mengusap-usap tanganku.Pandanganku tak fokus. Pikiranku tak menentu. Aku bangun dan berjalan limbung. "Wulan! Biar ibu bantu!""Nggak usah, Bu! Wulan bisa."Tapi dua langkah saja, tubuhku sudah hampir ambruk. Laki-laki itu dengan sigap menggendongku ke kamar. Aku meronta, tapi aku kalah tenaga. Dia meletakkankanku di tempat tidur, kemudian aku menghindar sejauh mungkin darinya."Maaf, Ibu. Bisa saya bicara berdua dengan istri saya?"Mendengar kata istri sungguh aku jijik. Cih!"Tolong jangan memaksakan apapun nak Wahyu, kalau ada apa-apa segera kasih tahu ibu?"Laki-laki itu mengangguk. Pintu kamar kemudian ditutupnya."Jangan ditutup! Jangan!"Dia mendekat. Aku takut. Barang-barang yang ada di dekat, aku lempar ke arahnya. Bantal, guling, sisir bahkan selimut tebal aku lemparkan begitu saja, berharap dia menghentikan gerakannya.
"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. "Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?""Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal."Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya."Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?""Lepaskan Lan
Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. "Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi."Iya, Pak. Silahkan."Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut."Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah."Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya."Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak b
"Ibu, siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang duduk di kursi tunggu dalam ruangan kamar."Dia ... " jawab ibu ragu."Aku tidak merasa punya teman seperti laki-laki itu. Teman ayah?" Tanyaku lagi penasaran.Laki-laki itu menunduk, seperti tidak berani menatap salah satu dari kami."Ah, nanti saja pembahasannya Nduk. Apa yang kamu rasakan sekarang?""Tubuh Wulan berasa digebukin orang sekampung, Bu."Mimik wajah ibu agak kaget mendengar ucapanku."Sakit semua?""Iya. Lemes banget.""Ya sudah, dipakai istirahat saja. Nduk?""Iya, Bu?""Kamu nggak ingat apa-apa?""Apa?""Ah, nggak apa-apa."Ibu meninggalkanku di dalam ruangan dengan laki-laki itu. Siapa dia? Tapi semakin aku pakai berpikir, sepertinya aku semakin pusing. Jadi, aku gunakan istirahat tanpa berpikir lebih jauh.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, AC kamar semakin terasa dingin.