"Jadi kapan kamu mau bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan bersedia dimadu oleh Kevin?"
Aku menatap wanita cantik di depanku. Julia Mariska, yang merupakan kekasih suamiku. Ingin sekali menjawab jujur kalau aku tidak ingin mengaku mandul pada kakek karena... karena aku yakin tidak mandul. Tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk terang-terangan menolak sebab akibatnya Mas Kevin akan menceraikan aku."Aku belum dapat momen yang tepat untuk mengatakannya, mbak. Harap mbak bersabar," jawabku. Berharap kekasih suamiku itu bisa mengerti."Sabar! Sabar! Mau berapa lama lagi aku harus bersabar? Waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat untuk menguji kesabaran. Aku sudah sangat sabar, Wi. Sekarang aku sudah di ujung batas kesabaran. Pokoknya malam ini kamu harus bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan merestui Kevin untuk menikahi aku!"Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh. "Baik, mbak. Akan aku usahakan." Atau... mungkin aku memang bodoh.Julia menatapku lekat untuk beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum miring. "Jawaban yang selalu sama. Jangan-jangan kamu hanya mencari alasan saja agar Kevin tidak juga bisa menikahi aku."Aku membisu, sebab yang dikatakanya benar. Aku hanya sedang terus menerus membuat alasan, karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mempertahankan rumah tanggaku dan tidak dipoligami oleh suamiku."Kenapa kamu diam? Apa mungkin aku berkata benar?" Julia mendecih. "Kalau begitu kamu adalah wanita licik yang memiliki wajah lugu. Kamu ingin memiliki Kevin seutuhnya dengan tidak mau dipoligami dan... tetap menyandang status sebagai istrinya."Aku menundukkan pandang, tak berani menatap wajah Julia lagi. Andai aku memiliki kekuatan seperti istri-istri yang lain saat berhadapan dengan seorang pelakor, yaitu membentak, memaki, memukul, bahkan sampai menjambak.Sayangnya aku tidak memiliki kekuatan itu karena aku tidak mempunyai penyokong yang akan membelaku.Di dunia ini aku sebatang kara. Satu-satunya orang yang harusnya bisa menjadi tempat bersandar adalah suamiku, Mas Kevin. Tapi nyatanya dialah yang selalu menyerangku dengan ancaman-ancaman agar bisa menikah dengan kekasihnya."Kenapa tidak Mas Kevin saja yang bilang pada kakek bahwa aku mandul dan dia ingin berpoligami."Hei, kalimat apa yang baru saja keluar dari mulutku? Oh, aku sadar tidak mempunyai jawaban lagi selain ini.Refleks Julia menarik tubuhnya yang semula duduk santai dengan menyandarkan punggung hingga menjadi agak lebih condong ke depan. Gerakannya itu, membuat aku seketika mengangkat wajah lagi dan menatapnya."Kalau Kevin yang bilang ke kakek, kemungkinan kecil akan dikabulkan. Kakek akan menganggap dua tahun pernikahan tanpa anak adalah hal yang wajar. Lalu kami kapan menikahnya?""Kan belum dicoba, mbak.""Aaaargh...."Julia menggeram tertahan dengan mata melotot seperti mau keluar. Membuat aku bergidik melihatnya. Apakah Mas Kevin tahu kekasihnya ini kalau sudah sangat emosi sangat mengerikan?"Pantas saja Kevin itu sangat tidak menyukai kamu," lanjut Julia masih dengan sorot mata yang menakutkan. "Ternyata selain licik, kamu juga keras kepala. Kalau bukan karena Kevin berpesan untuk tidak menyakitimu, sudah aku bunuh kamu dan aku cincang-cincang."Aku menyentuh dada sembari terus menyebut nama Tuhan. Berharap Julia tetap mengingat pesan Mas Kevin untuk tidak menyakitiku. Karena siapa yang tahu kalau di dalam tasnya yang mahal itu tersimpan sebilah pisau tajam yang bisa saja dia hujamkan ke dadaku lantaran emosi yang tak terkendali."Siapa yang akan kamu cincang, Julia?" tanya Mas Kevin yang tiba-tiba hadir di antara kami. Ketegangan membuat aku tak menyadari kedatangannya.Julia menoleh sekilas sebelum akhirnya berdiri. "Istrimu itu yang rasanya ingin aku cincang. Sulit sekali diajak kompromi. Sepertinya dia tidak punya niat untuk mengatakan pada kakek kalau dirinya mandul dan bersedia untuk dipoligami olehmu. Kalau bukan kamu berpesan padaku untuk tidak menyakiti dia, pasti aku sudah benar-benar mencincangnya. Dia membuatku hilang kesabaran."Mas Kevin menghela nafas berat sembari menatapku dengan penuh arti. Aku tahu dia kesal, hanya saja dia mencoba menahannya mengingat kami sedang berada di tempat umum. Tidak. Mas Kevin tidak pernah main tangan kepadaku, yang artinya dia tidak pernah menyakitiku secara fisik. Tapi kalau secara mental, dia selalu melakukannya. Buktinya saat ini dia mempertemukan aku dengan kekasihnya seolah aku ini tidak memiliki hati dan perasaan sama sekali.Mas Kevin mendekatiku, masih dengan tatapannya yang tajam. "Jadi kamu maunya bagaimana, Wi?"Keningku mengerut tanpa kubuat-kubuat. Bukan tanpa sebab, pertanyaannya barusan memang tidak kumengerti. "Mauku bagaimana? Maksud Mas apa? Apa aku punya mau sama mas? Bukankah yang punya mau adalah Mas dan Mbak Julia?""Ya itu yang kumaksud. Kamu selalu punya alasan untuk tidak mengatakan pada kakek kalau kamu mandul dan bersedia untuk dipoligami. Jadi kamu maunya apa? Aku ceraikan begitu?"Aku membisu. Kata cerai adalah kata paling menakutkan dalam hidupku. Aku tidak pernah berharap rumah tanggaku berakhir dengan perceraian.Aku mendongakkan wajah untuk mencapai wajah Mas Kevin. "Aku tidak terbiasa berbohong, Mas. Itu yang membuat aku sulit untuk mengatakannya kepada kakek. Aku yakin aku tidak mandul seandainya... Mas mau membuahiku. Tapi nyatakannya kan mas tidak pernah melakukannya. Anak SMP pun tau mas kalau tidak terjadi pembuahan maka tidak akan pernah terjadi kehamilan."Julia langsung menarik Mas Kevin dan berdiri di depan suamiku itu. Tangannya menunjuk kepadaku. "Berani kamu bicara seperti itu pada Mas Kevin? Sungguh tidak tau diri kamu!"Aku tertegun. Memangnya kalau istri meminta pada suaminya sendiri itu tidak tahu diri ya?"Kalau ingin cepat, mas. Lebih baik mas saja yang bilang ke kakek. Karena aku tidak yakin bisa melakukannya. Aku tidak yakin sanggup berbohong," ulangku tanpa mengindahkan kemarahan Julia."Kakek tidak akan mendengarkan permintaanku untuk poligami, Wi. Itulah masalahnya. Berbeda jika kamu yang meminta. Mungkin kakek akan mengabulkan karena dia sangat menyayangimu.""Ya kalau begitu mas harus bersedia untuk menunggu sampai aku sanggup untuk mengatakannya.""Kamu ini...." Julia hampir menamparku ketika tangan Mas Kevin memegangnya."Aku kan sudah bilang jangan menyakitinya! Kakek bisa marah besar kalau melihat lebam di wajahnya!" Marah Mas Kevin pada Julia."Habisnya dia itu sangat menjengkelkan, Kev! Dia membuatku gemas ingin menamparnya!"Mas Kevin menghela nafas panjang. Lalu dia mengalihkan pandang dari Julia padaku dengan tatapan yang kali ini tidak dapat aku artikan. "Lebih baik kamu pulang dulu sekarang. Nanti aku akan menyusul pulang setelah mengantar Julia pulang."Aku hanya diam tak menanggapi ucapannya. Lihat saja, Mas Kevin, suamiku sendiri lebih memilih mengantar pulang wanita yang bukan istrinya daripada mengantarku pulang. Jangan ditanya bagaimana perasaanku. Sakit sekali tentunya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa apalagi marah saat Mas Kevin menggandeng tangan Julia meninggalkanku.'Tuhan, berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus aku lakukan saat ini untuk mempertahankan rumah tangga ini? Apakah aku harus mengikuti maunya untuk berbohong pada kakek dengan mengaku mandul dan membiarkan Mas Kevin berpoligami?'Kuseka segera airmata yang nyaris jatuh ke pipi. Bukan karena malu seandainya airmata itu dilihat orang tapi lebih pada merasa mubazir karena airmata itu tidak akan menyudahi polemik yang sedang aku alami. Seandainya pun airmata itu terlihat oleh indera penglihatan Mas Kevin, tak akan mengubah keputusan pria itu ingin menikahi Julia.***"Pokoknya nanti kamu harus bisa mengatakan pada kakek kalau kamu mandul dan ingin aku menikah lagi. Kamu mengerti?" Pesan Mas Kevin yang lebih cocok dikatakan pemaksaan."Tapi apa momennya tepat, Mas? Ada Wilson di makan malam ini. Harusnya momen ini digunakan untuk kangen-kangenan karena sudah bertahun-tahun Wilson bekerja, baru kali ini dia pulang.""Apa peduliku akan Wilson? Aku tidak pernah merindukannya. Jadi, tidak akan ada momen kangen-kangennya. Kamu bilang saja pada kakek seperti apa yang aku perintahkan. Menurutku malah bagus kalau ada Wilson di sana. Sekalian dia tau sehingga tidak ada lagi pertanyaan yang ditujukan padaku nanti."Aku terdiam tak menanggapi ucapan Mas Kevin lagi. Percuma. Meskipun mulutku menolak sampai berbusa atau menangis darah, itu tidak akan mengurungkan niatnya ingin menikahi Julia.Tak lama kemudian, kami berangkat menuju rumah kakek yang megah. Di rumah semegah ini, kakeknya Mas Kevin hanya tinggal bersama para pembantu dan satpam. Tapi sejak kemarin, kakek punya teman ngobrol lain, yaitu Wilson. Entah untuk berapa lama cucu kedua kakek tersebut cuti dari pekerjaannya.Kedatanganku disambut hangat oleh kakek langsung. Mau percaya apa tidak, kakek tampak lebih menyayangiku daripada Mas Kevin. Inilah salah satu alasan kenapa aku sulit melaksanakan keinginan Mas Kevin untuk membohongi kakek perihal 'kemandulanku'.Tak hanya kakek, Wilson juga turut menyambut. Adik Mas Kevin ini memiliki sifat yang berbeda dengan Mas Kevin. Lebih ramah dan tidak dingin.Kami pun menikmati makan malam di meja makan yang panjang. Harusnya meja ini bisa untuk 12 orang, tapi hanya kami bertiga yang memakainya.Kami menikmati makan malam dalam diam. Yang terdengar hanya denting peralatan makan yang tidak seberapa.Baru saja selesai makan, kaki Mas Kevin sudah menyepak kakiku saja. Tandanya aku harus segera bicara perihal yang diperintahkannya."E... Kek," ucapku dengan jantung yang mulai berdebar. Sungguh, kalau disuruh berbohong aku seperti orang yang akan audisi. Takut, gugup, dan lainnya."Ya, Wi. Ada yang mau kamu sampaikan?" balas kakek.Aku mengangguk. "Iya, kek. Begini, aku dan Mas Kevin kan sudah dua tahun menikah. Tapi sampai detik ini aku belum juga hamil. Aku minta maaf karena aku telah mengecewakan kakek."Kakek tersenyum. "Tidak apa-apa. Tidak usah kamu pikirkan. Anak itu kan rezeki dari Tuhan. Jadi hanya Tuhan yang berhak menentukan kamu hamil. Mamanya Kevin juga tidak langsung bisa hamil Kevin kok. Butuh waktu empat tahun untuk bisa mengandung Kevin."Aku menelan saliva. Kebaikan kakek membuat hatiku selalu luluh. Sungguh aku tidak ingin membohongi kakek. Aku pun ingin hamil dan memberi kakek cucu agar kakek bahagia. Akan tetapi bagaimana aku bisa hamil jika Mas Kevin tidak membuahiku?Bersambung.Apa yang harus aku lakukan sekarang sementara kakek sendiri tidak mempermasalahkan aku yang belum hamil. Rasanya kurang pas jika aku malah ribut sendiri."Terima kasih atas kemurahan hati kakek." Malah itu yang kemudian terucap dari bibirku. Bisa kupastikan sebentar lagi Mas Kevin bereaksi. Benar saja, dia yang duduk di sebelahku itu langsung menyepak kakiku. Aku menoleh sekilas pada suamiku itu yang tampak sangat kesal sebelum akhirnya menundukkan wajah.Sekarang aku serahkan saja urusan ini sama Mas Kevin. Terserah dia mau ngomong apa sama kakek. Untung-untung tidak sama sekali. "Kek."Aku melirik Mas Kevin. Sepertinya dia akan berbuat nekad. "Penyebab Pertiwi belum juga hamil sepertinya karena mandul deh, kek," lanjut Mas Kevin tanpa memikirkan perasaanku sama sekali yang telah dia fitnah mandul. Ucapannya itu sontak membuat kakek dan Wilson mengarahkan pandang pada Mas Kevin. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padahal usia pernikahan kalian baru dua tahun," balas kakek dengan
“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di hadapannya.Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia b
Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa
"Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson. "Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku."Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan."Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi s
KEVIN"Licik bagaimana? Pertiwi tidak seperti itu juga kali, Jul." Aku protes. Bukan karena ingin membela Pertiwi tapi merasa tuduhan Julia berlebihan. Meskipun aku dan Pertiwi tidak pernah tidur bersama, bukankah kami satu rumah? Walaupun tidak begitu mendalam, aku mengenali sifatnya. Pertiwi tidak licik seperti yang dituduhkan Julia. Mata Julia melebar seolah tak percaya dengan perkataanku barusan. "Oh, kamu mulai membelanya?""Aku tidak membelanya. Hanya mengatakan apa adanya. Lagian kemarahan kamu sama Tiwi berlebihan. Bagaimana bisa kamu bilang seperti ingin mencekiknya. Ucapan itu kadang berasal dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Kamu pasti tahu apa itu mencekik? Berarti kamu punya niat untuk membunuhnya.""Salah kalau aku sampai punya niat seperti itu?""Ya, salah. Membunuh itu perbuatan keji. Merusak masa depan dan hidupmu sendiri. Jangan sampai kamu punya niat seperti itu. Aku tidak mau dan tidak suka.""Ya terus aku harus bagaimana? Aku sudah capek dengan hubungan ini
TIWI"Ternyata susah ya buat kamu untuk mengatakan iya pada keinginanku?" tanya Mas Kevin setelah aku kemukakan alasanku untuk mengunjungi makam kakekku.Aku tak perlu berbohong. Kuanggukkan kepala dengan cepat. "Ya.""Jadi besar kemungkinan kamu akan menolak?""Bisa jadi.""Berarti kamu tidak takut dengan perceraian?""Kalau memang akhirnya harus seperti itu, mau bagaimana lagi? Jodoh ada di tangan Tuhan. Meskipun kakek menginginkan aku jadi jodoh mas, kalau Tuhan tidak berkehendak, aku bisa apa?"Rahang Mas Kevin tampak mengencang. Dia lalu berdiri dari duduknya. "Aku tidak selera untuk sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja." Mas Kevin baru akan berbalik badan ketika dia menoleh padaku kembali. "Oya, aku tidak bisa mengantarmu ke desa. Kamu pakai travel saja.""Iya. Mas Kevin jangan khawatir. Aku bisa pergi sendiri."Dengan wajah marah, Mas Kevin pun meninggalkan meja makan. Aku menghela nafas panjang melihat reaksinya. Merenungi sebentar kejadian barusan sebelum akhirnya menik
KEVINSeketika jemariku menggenggam erat kemudi. 'Sial! Pengadu juga dia! Padahal kalau mau pergi ya pergi saja! Tidak perlu melapor pada kakek apalagi bilang aku tidak ingin mengantar! Dasar mulut ember!'"Aku sibuk, kek," jawabku kemudian."Sibuk apa kamu? Kalau hanya meninggalkan kantor dua hari, tidak akan jadi masalah. Toh kamu punya sekretaris. Lagian kamu bekerja di perusahaan kakek. Kakek tidak akan memecat kamu hanya karena mengantar Pertiwi. Malah kakek senang kamu bisa menjadi suami yang baik.""Tapi kek, ada beberapa laporan yang belum aku selesaikan. Lagian, sepertinya tidak masalah kalau Pertiwi pulang sendiri ke kampungnya. Punya suami bukan berarti harus manja kan?""Gampang sekali ya kamu melepaskan istri kamu. Baiklah, jika kamu tidak mau mengantar. Maka Wilson yang akan mengantarnya!" Panggilan diputus dari seberang. Apakah aku keberatan Pertiwi diantar Wilson ke kampungnya? Tentu saja tidak. Aku justru senang bebas tugas dan merasa aman karena dengan adanya Wilson
TIWIMendapati pertanyaanku barusan mata Wilson yang mengarah ke depan, mengedip beberapa kali. "Jadi kamu tidak bahagia?""Aku kan bertanya, Wil. Kok kamu malah balik bertanya sih?""Aku beneran tanya lho ini. Kamu beneran tidak bahagia?""Kalau iya kenapa kalau tidak kenapa?" Ya Tuhan, kenapa aku bisa jadi secerewet ini sih sama dia? Padahal kalau dengan Mas Kevin aku sangat pendiam. Habisnya sikap Wilson memancingku jadi ingin banyak bicara."Kalau iya memang kamu memang tidak bahagia, berarti selama ini kamu menggantungkan kebahagiaan kamu itu pada orang lain. Makanya kamu tidak bahagia. Karena seperti yang aku katakan tadi, kebahagiaan itu kita sendiri yang ciptakan. Tapi kalau kamu sudah bahagia, selamat. Kamu sudah menjadi manusia yang sesungguhnya."Jawaban yang membuat aku tersenyum simpul. "Berarti kalau tidak bahagia aku manusia jadi-jadian?""Bisa jadi begitu.""Ngacok!" hardikku. Tapi berbicara dengan Wilson membuat pikiran yang sumpek menjadi lega. Aku mulai menyadari ba
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J
PERTIWI"Mbak, ada tamu."Pagi-pagi aku sudah terkejut."Tamu? Siapa?" "Dia mengaku bernama Kevin mbak."Bagai tersambar petir aku mendengar itu. Hati bertanya-tanya. Kenapa Mas Kevin datang ke sini? Apa dia tidak ke kantor?Aku menatap karyawanku itu. "Aku akan segera menemui dia. Tolong kamu buatkan minuman ya."Karyawanku itu mengangguk. "Baik mbak." Dia berbalik dan kemudian pergi dari ruangan ini. Aku tak takut manusia. Sungguh aku tidak takut. Tapi untuk berhadapan dengan Mas Kevin, aku butuh kesiapan mental. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku pun meninggalkan ruanganku. Dan benar, ada Mas Kevin di salah satu meja. Di depannya terhidang segelas minuman yang dibuatnya oleh karyawanku."Ada apa Mas datang ke sini?" Sapaku sembari mengambil duduk di salah satu kursi yang mengisi meja tersebut. Kevin tersenyum samar. "Aku mau meminta maaf kepadamu, Wi."Kurasakan kedua alisku bergerak ke atas. "Minta maaf? Minta maaf untuk apa, mas?""Untuk kesalahanku di masa lalu.""Aku
PERTIWITok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuatku yang sedang menatap diri di cermin, terperanjat. Apalagi setelah mendengar panggilan yang mengikuti ketukan tersebut. "Wiiii! Sudah siap belum?!"Aku menoleh ke pintu. "Sudaaah! Tunggu sebentar!" Aku langsung menyambar tas bahuku dan kemudian aku berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kudapati Wilson yang berdiri di depanku tersenyum."Kamu semangat sekali sampai berlari begitu? Suaranya terdengar sampai sini. Mentang-mentang mau pacaran," ucapnya mencandaiku. Biasalah Wilson. Tiada hari tanpa bercanda. Mungkin dunianya sepi tanpa bercanda. Dan sejak tinggal di rumah kakek, aku adalah satu-satunya orang yang jadi sasarannya. Entah kalau sudah menikah nanti."Tau aja." Dan aku sepertinya sudah mulai terbiasa menghadapi candaannya.Kami pun berjalan beriringan turun ke lantai satu. Kami dapati kakek duduk menghadap meja makan. Pandangannya terlihat aneh pada kami. "Lho, kalian mau kemana?" tanya kakek dengan kening yang men
‘Sudah aku bilang aku sudah pasrah dengan keputusan kakek. Aku akan menerima siapa pun pria yang kakek berikan kepadaku,’ jawabku kemudian.‘Tapi menurutku ada baiknya kamu mengetahuinya sekarang. Jadi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa protes pada kakek. Aku yakin kakek tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau dengan pria itu, kakek tidak akan menikahkan kamu dengannya.‘Aku mau, Wil. Aku mau dengan pria itu bagaimana pun dia.’‘Ah, ya sudah.’Obrolan via pesan kemudian berakhir. Aku kembali mengarahkan pandang pada layar komputerku untuk melihat pemasukan hari ini. Tapi memang pernikahan ini membuat fokusku agak terganggu.Sore hari, Wilson menjemputku. Dia masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu dan salam. Begitulah kami. Masuk ke ruangan satu sama lain tanpa ada yang mengetuk dan permisi. Langsung ‘slonong’ aja.“Sudah siap pulang atau masih mau di sini?” tanyanya sembari menatap layar computer yang masih menyala. Posisinya sekarang berada di sampingku.“Pulang dong. Ini aku