Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.
Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa tahun dariku.“Aku… aku….” Sialnya aku adalah orang yang sulit untuk berbohong. “Aku… aku….”“Aku…?” Wilson mengulang ucapanku dengan ekspresi menunggu jawaban. “Aku apa? Ada masalah dengan Kevin? Kamu bertengkar dengannya?”Aku mengangguk saja. Toh, pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal yang biasa. Yang penting Wilson tidak tahu penyebab sebenarnya aku menangis.Wilson menghela nafas berat. “Bertengkar…,” ucapnya lirih. “Apa pertengkaran kalian barusan ada hubungannya dengan mandul dan anak seperti yang kalian ceritakan tadi malam?”Lagi-lagi aku mengangguk saja. Biarlah Wilson menduga apa yang dia sebutkan tadi sebagai penyebabnya daripada dia tahu penyebab sebenarnya tangisan ini.“Kalau menurutku ya, kamu berdua harus segera tes kesuburan. Ya biar segera tahu siapa yang tidak subur daripada saling salahkan. Aku yakin Kevin menuduh kamu yang mandul sampai kamu menangis begini. Dia itu… aduh, agak egois memang.”Aku diam saja mendengar penyampaiannya. Untungnya airmataku sudah tidak memaksa untuk keluar lagi.“Begini saja, kalau memang Kevin tidak mau tes kesuburan bareng kamu, kamu sendiri saja yang melakukan tes itu ke rumah sakit. Aku bersedia mengantar karena aku kan sedang jadi pengangguran sekarang. Mau diminta mengantar ke ujung dunia pun pasti bisa.”Aku menggeleng. “TIdak perlu repot-repot. Nanti saja tes-nya kalau Mas Kevin sudah bersedia,” jawabku.Bukannya menyelesaikan masalah, tes kesuburan malah akan menyebabkan terjadinya perang dunia ketiga antara Mas Kevin dan kakeknya. Karena mungkin akan membongkar sebuah rahasia kalau aku masih perawan.“Kalau Kevin tidak pernah mau melakukan tes itu tapi dia terus menuduhmu mandul, bagaimana?”Aku menggigit bibir bawahku. “E… aku tidak tau. Tapi untuk saat ini biarlah begini saja.”Wilson menggendikkan bahu tanda menyerah. “Oke. Tapi kalau Kevin masih menyalahkan kamu, beri tahu aku. Oya, tolong save nomerku ya.”Aku mengangguk. Langsung kukeluarkan ponsel dari tas selempang untuk mencatat nomor ponsel Wilson. Pria yang perhatian sekali. Beruntung wanita yang bisa memiliki pria seperti dirinya.“Aku antar kamu pulang saja ya? Kebetulan aku sedang mau keluar,” katanya ketika lift membuka tanda kami sudah sampai di lantai satu.“Kalau tidak merepotkan, boleh.”“Tentu saja tidak merepotkan. Kan sudah aku bilang kalau aku ini pengangguran.”“Aku tersenyum.”***Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, tapi Mas Kevin belum pulang ke rumah juga. Tanpa aku tanya dan memang tidak berani tanya, aku sudah tahu dimana keberadaannya saat ini. Tentu saja berada di kediaman Mbak Julia. Sejak pengakuannya tadi pagi, aku jadi tahu alasan dia sering pulang terlambat atau terlambat sekali. Bahkan tak jarang tidak pulang sama sekali.Dulu aku kira lembur karena banyak pekerjaan di kantor tanpa aku cari tahu kebenarannya. Tapi kini aku sudah tahu penyebabnya dari mulut dia sendiri.Aku bergegas menuju jendela saat mendengar suara khas mobil Mas Kevin yang sudah sangat aku kenal dan kusibak tirainya. Benarlah itu memang mobil Mas Kevin. Tergesa aku turun ke lantai satu untuk membukakan pintu walau pun Mas Kevin sebenarnya memegang kunci rumah sendiri.“Kamu belum tidur?” Reaksi Mas Kevin begitu melihat aku membukakan pintu. “Aku kan sudah bilang jauhkan kunci dari pintu sehingga aku bisa masuk tanpa harus membangunkan kamu. Apa kamu lupa kalau aku punya kunci rumah sendiri?”“Aku tidak lupa, mas. Tapi memang belum bisa tidur.”“Kenapa harus belum bisa tidur?” tanya Mas Kevin sembari menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar kami, maksud aku kamar aku dan dia berada.“Tidak tau,” jawabku sembarang. Tak mungkin kan aku bilang kalau aku tidak bisa tidur karena hatiku hancur? Perasaanku sangat tidak berharga untuknya.Aku hendak masuk ke dalam kamar ketika Mas Kevin berkata. “Apa kamu sudah memutuskan kapan akan menemui kakek dan bilang kalau kamu ingin aku menikah lagi untuk memiliki anak?”Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. “Sepertinya cara itu tidak ampuh lagi, mas. Bukankah mereka menghendaki kita tes kesuburan untuk mengetahui siapa yang tidak subur? Jadi mas harus memastikan aku memang mandul sebelum meminta aku bicara pada kakek seperti mau mas.”Tak ada tanggapan. Kulirik Mas Kevin. Rahangnya tampak mengencang. Pasti dia sedang sangat bingung sekarang atau sedang marah pada seseorang. Bisa jadi aku adalah orang yang membuatnya kesal.“Ini gara-gara Wilson. Seandainya dia tidak bicara tentang tes kesuburan, pasti kakek tidak akan ikut-ikutan minta kita melakukan tes semacam itu. Dia pulang ke sini hanya untuk menggagalkan rencana kita.”Aku terdiam. Pendapatku sama. Wilson pulang adalah untuk menggagalkan rencana Mas Kevin tapi bukan rencanaku karena aku tidak pernah mau dimadu. Mungkin aku harus bersyukur pada Tuhan karena telah menghadirkan Wilson. Adanya dia, Mas Kevin jadi kesulitan dalam merealisasikan maunya.“Kamu coba saja dengan cara yang lain. Kamu pikirkan baiknya.”Ini lelucon. Mas Kevin malah menyuruhkan memikirkan maunya yang jelas menyakitiku. “Maaf mas, aku tidak mau memikirkannya. Aku sudah cukup sakit hati dengan perbuatan mas dan Mbak Julia, masak aku masih harus memikirkan maunya kalian. Kalian saja yang memikirkannya, tidak aku.”Aku segera masuk ke dalam kamar. Lalu kututup pintunya tanpa mau melihat wajah Mas Kevin. Aku kembali menangis tanpa suara saat membayangkan Mas Kevin sedang bercinta dengan Mbak Julia. Oh, sungguh menyakitkan sekaligus menjijikan.‘Kakek, aku tidak yakin sanggup mempertahankan rumah tangga ini. Bukan hanya karena Mas Kevin tidak mencintaiku tapi juga karena aku sudah merasa jijik akan tubuhnya. Apa aku lepaskan saja Mas Kevin untuk Mbak Julia?’ gumamku dalam hati.***Aku sedang beres-beres rumah ketika tiba-tiba muncul sebuah mobil yang sangat aku kenal. Segera aku mencuci tangan dan menyambutnya. Rupanya dia datang bersama Wilson.“Kakek kok datang tidak bilang-bilang sih?” tanyaku setelah menyalaminya.Kakeknya Mas Kevin ini menepuk pundakku. “Hanya mampir sebentar sekalian mau berangkat ke kantor. Sudah lama juga kakek tidak berkunjung ke sini. Kevin sudah berangkat ke kantor?”“Sudah, kek. Belum lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Ayo kek, masuk.”“Ah, iya.”Aku, kakek, dan Wilson masuk ke dalam rumah kami yang mungil bergaya modern. Ketika kakek duduk di sofa ruang tamu, Wilson justru memilih berkeliling rumah. Kubiarkan saja karena mungkin pria itu sedang mencari inspirasi untuk rumah masa depan bersama istrinya kelak.“Kakek mau minum apa? Akan aku buatkan,” tawarku.“Kakek menggeleng. “Tidak perlu. Kakek sudah minum di rumah. Kebanyakan minum bikin perut kembung saja. Kakek datang ke sini hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja.”Aku tahu sekarang. Alasan kakek datang pasti karena aduan Wilson yang melihatku menangis kemarin. Aku jadi bingung, Wilson itu orangnya pengadu atau karena perhatian kepadaku?“Seperti yang kakek lihat, aku baik-baik saja kok kek,” jawabku dengan memaksakan senyum menggaris di bibirku. Andai kakek tahu bahwa aku adalah menantu tak tersentuh, kira-kira reaksinya seperti apa ya?“Kapan kamu akan tes kesuburan? Kakek juga ingin tau hasilnya apa.”Tuh, benar kan? Aku rasa kakek datang memang karena Wilson menceritakan perihal kemarin.“Belum ada rencana, kek.”“Harusnya sudah sih. Tapi ya… oke. Kakek juga tidak bisa memaksa. Tapi pesan kakek kalau ada masalah jangan memendamnya sendiri. Jika dirasa berat, berbagilah beban dengan kakek. InsyaAllah kakek akan bantu semampu kakek.”Hati ini terasa dingin begitu mendengar ucapan kakek barusan. Salah satu hal yang aku syukuri selama menjadi istri adalah memiliki mertua sebaik Kakek. Yang aku tau, mertua yang bersikap baik sama menantu itu langka.Aku menoleh ke arah tangga. Wilson kembali setelah… entah darimana karena di lantai atas tidak terdapat banyak ruangan. Hanya kamar tidur aku dan Mas Kevin.“Wi, kalian tidak tidur satu kamar ya?”Pertanyaan yang membuat aku dan kakek terhenyak.'Bagaimana Wilson bisa tahu ini? Apa yang dilihatnya di atas tadi?'Bersambung."Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson. "Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku."Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan."Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi s
KEVIN"Licik bagaimana? Pertiwi tidak seperti itu juga kali, Jul." Aku protes. Bukan karena ingin membela Pertiwi tapi merasa tuduhan Julia berlebihan. Meskipun aku dan Pertiwi tidak pernah tidur bersama, bukankah kami satu rumah? Walaupun tidak begitu mendalam, aku mengenali sifatnya. Pertiwi tidak licik seperti yang dituduhkan Julia. Mata Julia melebar seolah tak percaya dengan perkataanku barusan. "Oh, kamu mulai membelanya?""Aku tidak membelanya. Hanya mengatakan apa adanya. Lagian kemarahan kamu sama Tiwi berlebihan. Bagaimana bisa kamu bilang seperti ingin mencekiknya. Ucapan itu kadang berasal dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Kamu pasti tahu apa itu mencekik? Berarti kamu punya niat untuk membunuhnya.""Salah kalau aku sampai punya niat seperti itu?""Ya, salah. Membunuh itu perbuatan keji. Merusak masa depan dan hidupmu sendiri. Jangan sampai kamu punya niat seperti itu. Aku tidak mau dan tidak suka.""Ya terus aku harus bagaimana? Aku sudah capek dengan hubungan ini
TIWI"Ternyata susah ya buat kamu untuk mengatakan iya pada keinginanku?" tanya Mas Kevin setelah aku kemukakan alasanku untuk mengunjungi makam kakekku.Aku tak perlu berbohong. Kuanggukkan kepala dengan cepat. "Ya.""Jadi besar kemungkinan kamu akan menolak?""Bisa jadi.""Berarti kamu tidak takut dengan perceraian?""Kalau memang akhirnya harus seperti itu, mau bagaimana lagi? Jodoh ada di tangan Tuhan. Meskipun kakek menginginkan aku jadi jodoh mas, kalau Tuhan tidak berkehendak, aku bisa apa?"Rahang Mas Kevin tampak mengencang. Dia lalu berdiri dari duduknya. "Aku tidak selera untuk sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja." Mas Kevin baru akan berbalik badan ketika dia menoleh padaku kembali. "Oya, aku tidak bisa mengantarmu ke desa. Kamu pakai travel saja.""Iya. Mas Kevin jangan khawatir. Aku bisa pergi sendiri."Dengan wajah marah, Mas Kevin pun meninggalkan meja makan. Aku menghela nafas panjang melihat reaksinya. Merenungi sebentar kejadian barusan sebelum akhirnya menik
KEVINSeketika jemariku menggenggam erat kemudi. 'Sial! Pengadu juga dia! Padahal kalau mau pergi ya pergi saja! Tidak perlu melapor pada kakek apalagi bilang aku tidak ingin mengantar! Dasar mulut ember!'"Aku sibuk, kek," jawabku kemudian."Sibuk apa kamu? Kalau hanya meninggalkan kantor dua hari, tidak akan jadi masalah. Toh kamu punya sekretaris. Lagian kamu bekerja di perusahaan kakek. Kakek tidak akan memecat kamu hanya karena mengantar Pertiwi. Malah kakek senang kamu bisa menjadi suami yang baik.""Tapi kek, ada beberapa laporan yang belum aku selesaikan. Lagian, sepertinya tidak masalah kalau Pertiwi pulang sendiri ke kampungnya. Punya suami bukan berarti harus manja kan?""Gampang sekali ya kamu melepaskan istri kamu. Baiklah, jika kamu tidak mau mengantar. Maka Wilson yang akan mengantarnya!" Panggilan diputus dari seberang. Apakah aku keberatan Pertiwi diantar Wilson ke kampungnya? Tentu saja tidak. Aku justru senang bebas tugas dan merasa aman karena dengan adanya Wilson
TIWIMendapati pertanyaanku barusan mata Wilson yang mengarah ke depan, mengedip beberapa kali. "Jadi kamu tidak bahagia?""Aku kan bertanya, Wil. Kok kamu malah balik bertanya sih?""Aku beneran tanya lho ini. Kamu beneran tidak bahagia?""Kalau iya kenapa kalau tidak kenapa?" Ya Tuhan, kenapa aku bisa jadi secerewet ini sih sama dia? Padahal kalau dengan Mas Kevin aku sangat pendiam. Habisnya sikap Wilson memancingku jadi ingin banyak bicara."Kalau iya memang kamu memang tidak bahagia, berarti selama ini kamu menggantungkan kebahagiaan kamu itu pada orang lain. Makanya kamu tidak bahagia. Karena seperti yang aku katakan tadi, kebahagiaan itu kita sendiri yang ciptakan. Tapi kalau kamu sudah bahagia, selamat. Kamu sudah menjadi manusia yang sesungguhnya."Jawaban yang membuat aku tersenyum simpul. "Berarti kalau tidak bahagia aku manusia jadi-jadian?""Bisa jadi begitu.""Ngacok!" hardikku. Tapi berbicara dengan Wilson membuat pikiran yang sumpek menjadi lega. Aku mulai menyadari ba
TIWI"AW! Kenapa kamu menampar aku, Wi?" Wilson mengusap pipinya yang barusan kena tampar aku."Salah kamu sendiri nyosor-nyosor begitu!" Balasku tidak ada lembut-lembutnya. Padahal kalau dengan Mas Kevin aku tidak berani bicara sekeras ini. Heran memang."Aku kan hanya bercandya. Kenapa juga kamu anggap serius?""Tidak ada bercanda-bercandaan di situasi seperti ini. Nanti kesambet dedemit baru tau kamu!"Kulihat bibir Wilson menipis. "Iya-iya."Lalu mobil jalan kembali.Tak lama sampailah di rumah kecilku. Rumah tempat aku lahir dan dibesarkan oleh kakekku. Pas aku datang, Bibi Farida menyambutku di pintu masuk. Bibi Farida ini adalah istri dari pamanku. Jadi yang keluarga kandungku adalah pamanku ya. Dan rumah bibi berada di samping rumahku. Tetanggaan memang. Tapi berjarak karena masing-masing rumah punya halaman yang luas.Dan keberadaan Bibi di rumah ini karena aku yang telpon minta tolong dibersihkan rumah dan dimasakkan makanan karena aku bilang aku datang bersama adik Mas Kevi
TIWIPercakapan antara Mas Kevin dan Mbak Julia membuat aku yang semula sudah yakin untuk menggugat cerai Mas Kevin menjadi berubah. Aku tidak mau memuluskan jalan mereka setelah apa yang mereka lakukan kepadaku. Karena jika aku yang menggugat cerai maka Mas Kevin dengan mudahnya memegang tonggak kepemimpinan perusahaan menggantikan kakek. Jadi setidaknya aku akan bermain-main dulu dengan mereka.Setelah mendapatkan video yang bagus tadi, aku menyimpan ponselku ke dalam hand bagku. Lalu aku turun, memegang peganggan koperku, menarik koperku, dan berjalan seperti biasa tanpa takut menimbulkan bunyi. Malah bagus kalau Mas Kevin dan Mbak Julia di atas sana mendengar.Saat aku melewati tangga, suara langkahku sengaja kuhentak-hentakkan, berharap mereka cepat mendengar. Usahaku membuahkan hasil. Di atas anak tangga, Mas Kevin dan Mbak Julia muncul.Dan lihatlah si kuntilanak itu memeluk tangan Mas Kevin seolah sengaja memamerkan keromantisan mereka. Pasti agar aku merasa cemburu, tak kuat,
WILSONKakek Mukti tidak langsung menjawab tanyaku. Dia justru termenung. Mungkin sedang mengingat-ingat nostalgia di masa lalu dengan kakeknya Tiwi. Sedetik kemudian kedua matanya berkaca-kaca."Kakek dan kakeknya Tiwi dulu adalah sahabat. Kakeknya Tiwi adalah orang yang sangat baik dan berbudi luhur. Pada suatu hari, kakeknya Tiwi menyelamatkan kakek yang nyaris tertabrak mobil. Nyawa kakek memang selamat dan kakek baik-baik saja. Tapi tidak begitu dengan kakeknya Tiwi. Karena menolong kakek, kakinya cidera. Dan kakeknya Tiwi menderita pincang seumur hidup. Yang pasti, jika kakeknya Tiwi tidak menyelamatkan kakek, mungkin kakek sudah tidak ada di dunia ini. Dan pastinya kamu dan Kevin juga tidak ada."Dadaku terasa sesak mendengar cerita ini. Pengorbanan seorang sahabat kepada sahabatnya hingga mengorbankan diri sendiri. Wajar jika kakek begitu sayang pada Pertiwi."Sebelum kakek dan kedua orangtua kakek pindah ke kota, kakek berkata pada kakeknya Tiwi. Jika kami berdua mempunyai a
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J
PERTIWI"Mbak, ada tamu."Pagi-pagi aku sudah terkejut."Tamu? Siapa?" "Dia mengaku bernama Kevin mbak."Bagai tersambar petir aku mendengar itu. Hati bertanya-tanya. Kenapa Mas Kevin datang ke sini? Apa dia tidak ke kantor?Aku menatap karyawanku itu. "Aku akan segera menemui dia. Tolong kamu buatkan minuman ya."Karyawanku itu mengangguk. "Baik mbak." Dia berbalik dan kemudian pergi dari ruangan ini. Aku tak takut manusia. Sungguh aku tidak takut. Tapi untuk berhadapan dengan Mas Kevin, aku butuh kesiapan mental. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku pun meninggalkan ruanganku. Dan benar, ada Mas Kevin di salah satu meja. Di depannya terhidang segelas minuman yang dibuatnya oleh karyawanku."Ada apa Mas datang ke sini?" Sapaku sembari mengambil duduk di salah satu kursi yang mengisi meja tersebut. Kevin tersenyum samar. "Aku mau meminta maaf kepadamu, Wi."Kurasakan kedua alisku bergerak ke atas. "Minta maaf? Minta maaf untuk apa, mas?""Untuk kesalahanku di masa lalu.""Aku
PERTIWITok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuatku yang sedang menatap diri di cermin, terperanjat. Apalagi setelah mendengar panggilan yang mengikuti ketukan tersebut. "Wiiii! Sudah siap belum?!"Aku menoleh ke pintu. "Sudaaah! Tunggu sebentar!" Aku langsung menyambar tas bahuku dan kemudian aku berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kudapati Wilson yang berdiri di depanku tersenyum."Kamu semangat sekali sampai berlari begitu? Suaranya terdengar sampai sini. Mentang-mentang mau pacaran," ucapnya mencandaiku. Biasalah Wilson. Tiada hari tanpa bercanda. Mungkin dunianya sepi tanpa bercanda. Dan sejak tinggal di rumah kakek, aku adalah satu-satunya orang yang jadi sasarannya. Entah kalau sudah menikah nanti."Tau aja." Dan aku sepertinya sudah mulai terbiasa menghadapi candaannya.Kami pun berjalan beriringan turun ke lantai satu. Kami dapati kakek duduk menghadap meja makan. Pandangannya terlihat aneh pada kami. "Lho, kalian mau kemana?" tanya kakek dengan kening yang men
‘Sudah aku bilang aku sudah pasrah dengan keputusan kakek. Aku akan menerima siapa pun pria yang kakek berikan kepadaku,’ jawabku kemudian.‘Tapi menurutku ada baiknya kamu mengetahuinya sekarang. Jadi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa protes pada kakek. Aku yakin kakek tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau dengan pria itu, kakek tidak akan menikahkan kamu dengannya.‘Aku mau, Wil. Aku mau dengan pria itu bagaimana pun dia.’‘Ah, ya sudah.’Obrolan via pesan kemudian berakhir. Aku kembali mengarahkan pandang pada layar komputerku untuk melihat pemasukan hari ini. Tapi memang pernikahan ini membuat fokusku agak terganggu.Sore hari, Wilson menjemputku. Dia masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu dan salam. Begitulah kami. Masuk ke ruangan satu sama lain tanpa ada yang mengetuk dan permisi. Langsung ‘slonong’ aja.“Sudah siap pulang atau masih mau di sini?” tanyanya sembari menatap layar computer yang masih menyala. Posisinya sekarang berada di sampingku.“Pulang dong. Ini aku