“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.
“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di hadapannya.Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia berdiri dari duduknya. “Aku pergi sekarang.”Aku ikut berdiri. “Apa perlu aku mengantarkan makanan ke kantor? Kalau iya, aku akan masak sekarang dan segera aku antarkan ke kantor. Aku tak yakin mas cukup tenaga untuk bekerja sebelum makan nasi.”“Terserah kamu saja,” katanya sembari mengambil tas dan kemudian melangkah pergi.Mendengar jawabannya, aku bergegas memasak. Kubuatkan dia menu spesial, yaitu ayam rica-rica pedas manis. Aku sering memasakkannya menu ini dan dia menyukainya.Andai Mas Kevin tahu bahwa memasakkannya adalah hal yang menyenangkan bagiku. Begitu pun ketika aku mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Sayang semua pengorbananku tak membuatnya berpaling dari Mbak Julia.Sedih sekali jika aku menyadari hal ini. Namun, selama mereka belum menikah dan Mas Kevin belum menceraikan aku, maka aku boleh saja berharap dia akan menjadi mencintaiku layaknya seorang suami pada istrinya.Apakah aku sangat mencintainya hingga mau berkorban sedalam ini?Jawabannya aku tidak tahu. Sebab aku dan dia menikah karena perjodohan yang dibuat oleh kakeknya dan almarhum kakekku dua tahun lalu. Sebelum meninggal kakek berpesan agar aku memiliki sikap sabar dan ikhlas dalam menjalani pernikahan. Sekuat mungkin mempertahankan keutuhan rumah tangga agar perceraian tidak terjadi.Terkecuali terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.Dan Mas Kevin tidak pernah melakukan kekerasan secara fisik padaku. Tapi aku akui kalau hati, iya.Tapi kembali aku mengingat pesan kakek untuk sabar dan ikhlas. Karena kata kakek cobaan itu akan ada akhirnya.Inilah yang membuat aku tetap bertahan menjadi istri Mas Kevin meskipun tanpa sentuhan darinya. Namun aku akui setelah selama dua tahun tinggal satu atap, rasa cinta itu mulai tumbuh walaupun rasa cinta itu belum begitu kuat terasa.Lebih dari dua jam kemudian, aku berangkat menuju kantor Mas Kevin yang merupakan perusahaan milik kakeknya. Sekitar 20 menitan, aku sudah sampai. Security dan resepsionis sudah mengenal aku sebagai istri Mas Kevin sehingga aku bisa masuk dengan mudah tanpa harus ditanyai oleh mereka.Saat sedang menunggu lift, tiba-tiba aku bertemu Wilson. Adik iparku itu langsung memberikan senyum. Yang jadi perhatiannya pertama kali adalah wadah bekal susun yang aku tenteng.“Makanan untuk Kevin ya?” Meskipun usia Kevin lebih tua satu tahun dari Wilson, tapi pria ini langsung memanggil nama tanpa embel-embel ‘kakak’ di depannya. Entah kenapa. Mungkin agar terkesan akrab walaupun aku perhatikan mereka tidak pernah akrab. Seolah ada dinding pemisah antara keduanya yang entah apa.Soal wajah, mereka juga tidak mirip sama sekali. Wajah Mas Kevin lebih mirip mamanya karena foto wanita itu terpajang di ruang tamu rumah kami. Sedangkan Wilson seperti cerminan kakek. Wajah dan sikap mereka pun nyaris sama. Oya, yang anak kakek Mas Kevin dan Wilson adalah papanya Mas Kevin.Aku membalas senyum Wilson yang kharismatik. “Iya.”“Wah, beruntung sekali ya Kevin dapat istri seperti kamu. Sudah baik, perhatian, lembut, dan cantik lagi. Mudah-mudahan suatu hati nanti aku bisa punya istri seperti kamu.”Bukannya mengembang mendapat pujian itu, senyumku justru meredup begitu mendengar ucapan Wilson. Kenapa di mata Wilson aku adalah istri yang baik, perhatian, lembut, dan cantik, sementara di mata suamiku sendiri aku adalah istri yang bodoh?Hatiku menjadi sedih seketika. Aku inginnya pujian barusan berasal dari Mas Kevin, bukan dari pria lain.“Ah, kamu berlebihan,” balasku dengan wajah datar. Sedikit pun aku tidak tersanjung dengan pujian pria lain meskipun itu adik iparku sendiri.“Berlebihan? Tentu saja tidak. Kakek juga mengatakan hal yang sama padaku. Alasan kenapa kakek menjadikan kamu menantu keluarga kami ya… karena memiliki poin-poin seperti yang aku sebutkan di atas.Kalau tidak percaya, coba deh kamu Tanya kakek. Ah, jangan jauh-jauh. Tanya saja pada Kevin. Dia pasti setuju dengan ucapanku.”Aku tersenyum getir. Wilson salah. Aku tahu Mas Kevin tidak setuju dengan ucapannya. Di mata Mas Kevin aku adalah istri yang bodoh dan tidak layak untuk disentuh.Pintu lift tiba-tiba terbuka. Kami berdua pun masuk ke dalamnya. Hanya kami berdua.“Kamu tidak kembali lagi ke ibukota? Sudah mulai kerja di kantor ini ya?” tanyaku penasaran. Soalnya selama dua tahun menjadi istri Kevin, ini kali ketiga aku bertemu dengannya. Yang pertama saat menikah, yang kedua tadi malam, dan yang ketiga sekarang. Wilson sepertinya sangat betah bekerja di ibukota. Hal yang aku herankan sih. Kenapa dia harus bekerja pada orang sementara kakeknya sendiri memiliki perusahaan.Wilson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Belum sih kalau kerja di kantor ini. Masih mau free dulu. Soal kembali ke ibukota, aku tidak bisa memastikan. Tapi untuk saat ini sih belum. Aku masih ingin menikmati hari-hari bersama kakek.”“O….” Aku angguk-angguk.“Oya, ada yang mau aku tanyakan secara pribadi sama kamu. Ini soal ucapan kalian berdua tadi malam. Itu lho soal man_” Wilson menghentikan ucapannya karena tiba-tiba pintu lift terbuka. Kami sudah tiba di lantai tujuan.“Tidak jadi deh. Lain kali saja aku bertanyanya,” ralatnya. Dia lalu menggerakkan tangan ke arah luar lift. Tanda mempersilahkan aku keluar dari lift terlebih dahulu. Sungguh sopan sekali pria satu ini.Aku pun melangkah keluar dari lift yang kemudian diikuti oleh dirinya.“Aku langsung menuju ruangan Mas Kevin ya, Wil?” ucapku pada Wilson.Wilson mengangguk dan tersenyum. “Oke.”Lalu kami berpisah karena kami melangkah ke arah yang berbeda.Beberapa menit kemudian, posisiku sudah berada di depan pintu ruangan Mas Kevin yang merupakan direktur di perusahaan ini. Aku rapikan dulu rambut dan dress yang membalut tubuhku sebelum akhirnya membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Apa yang aku lihat saat ini hampir membuatku menangis. Mas Kevin sedang beradu bibir dengan Mbak Julia yang merupakan sekretarisnya sendiri.Dari awal menikah, aku sudah mengetahui hubungan mereka yang tidak direstui oleh kakek. Tapi baru kali ini aku melihat dengan mata kepala sendiri Mas Kevin dan Mbak Julia berciuman. Sakit sekali rasanya hatiku ini.Menyadari kehadiranku, mereka langsung bergerak menjauh.“Ti-Tiwi? Kenapa kamu masuk tanpa mengetuk pintu dulu?” tanya Mas Kevin agak panik.“Aku pikir ini adalah ruangan suamiku sehingga tidak perlulah aku mengetuknya,” jawabku sembari menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa aku bending.“Siapa pun aku atau siapa pun kamu, biasakan mengetuk pintu dulu ketika mau masuk ruangan orang. Bisa jadi di dalam ruangan itu sedang ada e maksudku sedang kedatangan tamu bisnis yang penting.”“Aku minta maaf. Lain kali aku akan mengetuk dulu.”“Oh, ya sudah. Masuklah.” Mas Kevin menoleh pada Julia. “Kamu boleh pergi.”Julia mengangguk. Dia lalu melangkah keluar ruangan bersamaan dengan aku yang masuk ke dalam ruangan. Julia sempat melirikku tapi aku tidak meliriknya ketika kami berpapasan.“Kamu datang untuk mengantarkan makanan?” tebak Mas Kevin melihat dari wadah bekal yang aku bawa.Aku mengangguk tanpa kata. Kutaruh wadah bekal susun itu di atas meja. “Makanlah selagi belum terlalu dingin. Aku akan langsung pulang sekarang.”Aku berbalik hendak pergi saat Kevin berkata. “Apa yang kamu lihat tadi itu… ya, aku dan Julia sudah sering melakukannya. Satu hal lagi yang harus kamu tahu bahwa, hubungan kami sudah sangat jauh. Kebutuhan biologisku telah dipenuhi olehnya."Seluruh tubuhku gemetar mendengar itu. Ini adalah pengakuan yang membuat hatiku yang sakit kini hancur berkeping-keping. Ternyata selama ini aku begitu polos karena mengira hubungan mereka hanya sebatas pacaran biasa. Nyatanya, mereka sudah campur. Entah kapan dan dimana mereka melakukan itu, aku tidak sanggup membayangkan.“Karena itu, Julia sudah sangat ngebet ingin dinikahi olehku. Agar statusnya jelas. Selain itu kami memang saling mencintai satu sama lain. Cinta kami sangat kuat.”“O….” Hanya itu balasanku. Sungguh saat ini yang aku butuhkan adalah pelukan yang menenangkan hati yang sedang sangat terluka ini.“Oleh sebab itu, aku meminta tolong kepadamu untuk membukakan jalan agar cinta kami bisa bersatu,” lanjut Mas Kevin.“Dengan mengorbankan harga diriku?” sahutku tanpa direncana. “Kalian ingin menyatukan cinta kalian dengan menjadikan aku tumbal. Kalian bahagia tapi aku dicap wanita mandul sehingga semua orang akan memaklumi pernikahan kalian?”Mas Kevin terdiam. Sepertinya dia syok dengan jawabanku barusan.Bersambung.Aku keluar dari ruangan Mas Kevin dengan hati yang hancur lebur. Tapi sebisa mungkin menahan airmata yang memaksa ingin keluar dari muaranya. Kenyataan yang baru aku terima tak mampu membuatku mengindahkan pesan kakek tentang ‘ikhlas’ dalam pernikahan.Namun airmata itu tidak mampu aku bendung lagi ketika berdiri di depan lift. Untung saja aku tidak harus menunggu lama karena bertepatan dengan airmata yang jatuh, pintu liftnya terbuka. Aku bersegera masuk ke dalam lift –yang untungnya- kosong. Tapi ketika pintu lift hendak menutup kembali, seseorang kukenal masuk dan melihat airmataku.“Tiwi? Kenapa kamu menangis?”Momen Wilson melihatku menangis tidak bisa aku hindari. Meskipun dengan segera basah di wajahku aku seka dengan kedua tanganku, dia terlanjur melihatnya.“Katakan padaku kenapa kamu menangis?” Kali ini dia bertanya dengan tatapan –yang baru saja kulirik- penuh menyelidik.Sekarang aku harus menjawab apa pertanyaan adik iparku ini yang kenyataannya usianya lebih tua beberapa
"Hah? Maksudnya?" Aku pura-pura bingung saja menghadapi pertanyaan Wilson. "Kamu dan Kevin tidak tidur satu kamar?" Wilson mengulangi pertanyaannya setelah langkahnya sudah berhenti di dekatku."Bagaimana kamu bisa bertanya ini?" jawabku. "Tentu saja aku dan Mas Kevin tidur di kamar yang sama." Aku berbohong entah untuk kebaikan siapa. Yang pasti saat ini aku belum siap rahasia pernikahanku dengan Mas Kevin ketahuan."Kalau kamu dan Kevin tidur di kamar yang sama, bagaimana bisa kalian menaruh barang-barang kalian di kamar yang berbeda? Tadi ketika aku di atas, aku mendapati barang-barangmu ada di kamar yang sebelah kanan dan barang-barang Kevin ada di kamar sebelah kiri."Ada yang menyentak hatiku. Ternyata Wilson berani masuk kamar kami. Mungkin karena merasa itu kamar saudara sendiri. Kebiasaanku, kalau kamar-kamar itu belum selesai dibersihkan dan dirapikan, maka pintunya akan kubiarkan terbuka. Dan akan menutupnya jika sudah bersih dan rapi. Tidak menyangka kalau bakal terjadi s
KEVIN"Licik bagaimana? Pertiwi tidak seperti itu juga kali, Jul." Aku protes. Bukan karena ingin membela Pertiwi tapi merasa tuduhan Julia berlebihan. Meskipun aku dan Pertiwi tidak pernah tidur bersama, bukankah kami satu rumah? Walaupun tidak begitu mendalam, aku mengenali sifatnya. Pertiwi tidak licik seperti yang dituduhkan Julia. Mata Julia melebar seolah tak percaya dengan perkataanku barusan. "Oh, kamu mulai membelanya?""Aku tidak membelanya. Hanya mengatakan apa adanya. Lagian kemarahan kamu sama Tiwi berlebihan. Bagaimana bisa kamu bilang seperti ingin mencekiknya. Ucapan itu kadang berasal dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Kamu pasti tahu apa itu mencekik? Berarti kamu punya niat untuk membunuhnya.""Salah kalau aku sampai punya niat seperti itu?""Ya, salah. Membunuh itu perbuatan keji. Merusak masa depan dan hidupmu sendiri. Jangan sampai kamu punya niat seperti itu. Aku tidak mau dan tidak suka.""Ya terus aku harus bagaimana? Aku sudah capek dengan hubungan ini
TIWI"Ternyata susah ya buat kamu untuk mengatakan iya pada keinginanku?" tanya Mas Kevin setelah aku kemukakan alasanku untuk mengunjungi makam kakekku.Aku tak perlu berbohong. Kuanggukkan kepala dengan cepat. "Ya.""Jadi besar kemungkinan kamu akan menolak?""Bisa jadi.""Berarti kamu tidak takut dengan perceraian?""Kalau memang akhirnya harus seperti itu, mau bagaimana lagi? Jodoh ada di tangan Tuhan. Meskipun kakek menginginkan aku jadi jodoh mas, kalau Tuhan tidak berkehendak, aku bisa apa?"Rahang Mas Kevin tampak mengencang. Dia lalu berdiri dari duduknya. "Aku tidak selera untuk sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja." Mas Kevin baru akan berbalik badan ketika dia menoleh padaku kembali. "Oya, aku tidak bisa mengantarmu ke desa. Kamu pakai travel saja.""Iya. Mas Kevin jangan khawatir. Aku bisa pergi sendiri."Dengan wajah marah, Mas Kevin pun meninggalkan meja makan. Aku menghela nafas panjang melihat reaksinya. Merenungi sebentar kejadian barusan sebelum akhirnya menik
KEVINSeketika jemariku menggenggam erat kemudi. 'Sial! Pengadu juga dia! Padahal kalau mau pergi ya pergi saja! Tidak perlu melapor pada kakek apalagi bilang aku tidak ingin mengantar! Dasar mulut ember!'"Aku sibuk, kek," jawabku kemudian."Sibuk apa kamu? Kalau hanya meninggalkan kantor dua hari, tidak akan jadi masalah. Toh kamu punya sekretaris. Lagian kamu bekerja di perusahaan kakek. Kakek tidak akan memecat kamu hanya karena mengantar Pertiwi. Malah kakek senang kamu bisa menjadi suami yang baik.""Tapi kek, ada beberapa laporan yang belum aku selesaikan. Lagian, sepertinya tidak masalah kalau Pertiwi pulang sendiri ke kampungnya. Punya suami bukan berarti harus manja kan?""Gampang sekali ya kamu melepaskan istri kamu. Baiklah, jika kamu tidak mau mengantar. Maka Wilson yang akan mengantarnya!" Panggilan diputus dari seberang. Apakah aku keberatan Pertiwi diantar Wilson ke kampungnya? Tentu saja tidak. Aku justru senang bebas tugas dan merasa aman karena dengan adanya Wilson
TIWIMendapati pertanyaanku barusan mata Wilson yang mengarah ke depan, mengedip beberapa kali. "Jadi kamu tidak bahagia?""Aku kan bertanya, Wil. Kok kamu malah balik bertanya sih?""Aku beneran tanya lho ini. Kamu beneran tidak bahagia?""Kalau iya kenapa kalau tidak kenapa?" Ya Tuhan, kenapa aku bisa jadi secerewet ini sih sama dia? Padahal kalau dengan Mas Kevin aku sangat pendiam. Habisnya sikap Wilson memancingku jadi ingin banyak bicara."Kalau iya memang kamu memang tidak bahagia, berarti selama ini kamu menggantungkan kebahagiaan kamu itu pada orang lain. Makanya kamu tidak bahagia. Karena seperti yang aku katakan tadi, kebahagiaan itu kita sendiri yang ciptakan. Tapi kalau kamu sudah bahagia, selamat. Kamu sudah menjadi manusia yang sesungguhnya."Jawaban yang membuat aku tersenyum simpul. "Berarti kalau tidak bahagia aku manusia jadi-jadian?""Bisa jadi begitu.""Ngacok!" hardikku. Tapi berbicara dengan Wilson membuat pikiran yang sumpek menjadi lega. Aku mulai menyadari ba
TIWI"AW! Kenapa kamu menampar aku, Wi?" Wilson mengusap pipinya yang barusan kena tampar aku."Salah kamu sendiri nyosor-nyosor begitu!" Balasku tidak ada lembut-lembutnya. Padahal kalau dengan Mas Kevin aku tidak berani bicara sekeras ini. Heran memang."Aku kan hanya bercandya. Kenapa juga kamu anggap serius?""Tidak ada bercanda-bercandaan di situasi seperti ini. Nanti kesambet dedemit baru tau kamu!"Kulihat bibir Wilson menipis. "Iya-iya."Lalu mobil jalan kembali.Tak lama sampailah di rumah kecilku. Rumah tempat aku lahir dan dibesarkan oleh kakekku. Pas aku datang, Bibi Farida menyambutku di pintu masuk. Bibi Farida ini adalah istri dari pamanku. Jadi yang keluarga kandungku adalah pamanku ya. Dan rumah bibi berada di samping rumahku. Tetanggaan memang. Tapi berjarak karena masing-masing rumah punya halaman yang luas.Dan keberadaan Bibi di rumah ini karena aku yang telpon minta tolong dibersihkan rumah dan dimasakkan makanan karena aku bilang aku datang bersama adik Mas Kevi
TIWIPercakapan antara Mas Kevin dan Mbak Julia membuat aku yang semula sudah yakin untuk menggugat cerai Mas Kevin menjadi berubah. Aku tidak mau memuluskan jalan mereka setelah apa yang mereka lakukan kepadaku. Karena jika aku yang menggugat cerai maka Mas Kevin dengan mudahnya memegang tonggak kepemimpinan perusahaan menggantikan kakek. Jadi setidaknya aku akan bermain-main dulu dengan mereka.Setelah mendapatkan video yang bagus tadi, aku menyimpan ponselku ke dalam hand bagku. Lalu aku turun, memegang peganggan koperku, menarik koperku, dan berjalan seperti biasa tanpa takut menimbulkan bunyi. Malah bagus kalau Mas Kevin dan Mbak Julia di atas sana mendengar.Saat aku melewati tangga, suara langkahku sengaja kuhentak-hentakkan, berharap mereka cepat mendengar. Usahaku membuahkan hasil. Di atas anak tangga, Mas Kevin dan Mbak Julia muncul.Dan lihatlah si kuntilanak itu memeluk tangan Mas Kevin seolah sengaja memamerkan keromantisan mereka. Pasti agar aku merasa cemburu, tak kuat,
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J
PERTIWI"Mbak, ada tamu."Pagi-pagi aku sudah terkejut."Tamu? Siapa?" "Dia mengaku bernama Kevin mbak."Bagai tersambar petir aku mendengar itu. Hati bertanya-tanya. Kenapa Mas Kevin datang ke sini? Apa dia tidak ke kantor?Aku menatap karyawanku itu. "Aku akan segera menemui dia. Tolong kamu buatkan minuman ya."Karyawanku itu mengangguk. "Baik mbak." Dia berbalik dan kemudian pergi dari ruangan ini. Aku tak takut manusia. Sungguh aku tidak takut. Tapi untuk berhadapan dengan Mas Kevin, aku butuh kesiapan mental. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku pun meninggalkan ruanganku. Dan benar, ada Mas Kevin di salah satu meja. Di depannya terhidang segelas minuman yang dibuatnya oleh karyawanku."Ada apa Mas datang ke sini?" Sapaku sembari mengambil duduk di salah satu kursi yang mengisi meja tersebut. Kevin tersenyum samar. "Aku mau meminta maaf kepadamu, Wi."Kurasakan kedua alisku bergerak ke atas. "Minta maaf? Minta maaf untuk apa, mas?""Untuk kesalahanku di masa lalu.""Aku
PERTIWITok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuatku yang sedang menatap diri di cermin, terperanjat. Apalagi setelah mendengar panggilan yang mengikuti ketukan tersebut. "Wiiii! Sudah siap belum?!"Aku menoleh ke pintu. "Sudaaah! Tunggu sebentar!" Aku langsung menyambar tas bahuku dan kemudian aku berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kudapati Wilson yang berdiri di depanku tersenyum."Kamu semangat sekali sampai berlari begitu? Suaranya terdengar sampai sini. Mentang-mentang mau pacaran," ucapnya mencandaiku. Biasalah Wilson. Tiada hari tanpa bercanda. Mungkin dunianya sepi tanpa bercanda. Dan sejak tinggal di rumah kakek, aku adalah satu-satunya orang yang jadi sasarannya. Entah kalau sudah menikah nanti."Tau aja." Dan aku sepertinya sudah mulai terbiasa menghadapi candaannya.Kami pun berjalan beriringan turun ke lantai satu. Kami dapati kakek duduk menghadap meja makan. Pandangannya terlihat aneh pada kami. "Lho, kalian mau kemana?" tanya kakek dengan kening yang men
‘Sudah aku bilang aku sudah pasrah dengan keputusan kakek. Aku akan menerima siapa pun pria yang kakek berikan kepadaku,’ jawabku kemudian.‘Tapi menurutku ada baiknya kamu mengetahuinya sekarang. Jadi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa protes pada kakek. Aku yakin kakek tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau dengan pria itu, kakek tidak akan menikahkan kamu dengannya.‘Aku mau, Wil. Aku mau dengan pria itu bagaimana pun dia.’‘Ah, ya sudah.’Obrolan via pesan kemudian berakhir. Aku kembali mengarahkan pandang pada layar komputerku untuk melihat pemasukan hari ini. Tapi memang pernikahan ini membuat fokusku agak terganggu.Sore hari, Wilson menjemputku. Dia masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu dan salam. Begitulah kami. Masuk ke ruangan satu sama lain tanpa ada yang mengetuk dan permisi. Langsung ‘slonong’ aja.“Sudah siap pulang atau masih mau di sini?” tanyanya sembari menatap layar computer yang masih menyala. Posisinya sekarang berada di sampingku.“Pulang dong. Ini aku