TIWI"AW! Kenapa kamu menampar aku, Wi?" Wilson mengusap pipinya yang barusan kena tampar aku."Salah kamu sendiri nyosor-nyosor begitu!" Balasku tidak ada lembut-lembutnya. Padahal kalau dengan Mas Kevin aku tidak berani bicara sekeras ini. Heran memang."Aku kan hanya bercandya. Kenapa juga kamu anggap serius?""Tidak ada bercanda-bercandaan di situasi seperti ini. Nanti kesambet dedemit baru tau kamu!"Kulihat bibir Wilson menipis. "Iya-iya."Lalu mobil jalan kembali.Tak lama sampailah di rumah kecilku. Rumah tempat aku lahir dan dibesarkan oleh kakekku. Pas aku datang, Bibi Farida menyambutku di pintu masuk. Bibi Farida ini adalah istri dari pamanku. Jadi yang keluarga kandungku adalah pamanku ya. Dan rumah bibi berada di samping rumahku. Tetanggaan memang. Tapi berjarak karena masing-masing rumah punya halaman yang luas.Dan keberadaan Bibi di rumah ini karena aku yang telpon minta tolong dibersihkan rumah dan dimasakkan makanan karena aku bilang aku datang bersama adik Mas Kevi
TIWIPercakapan antara Mas Kevin dan Mbak Julia membuat aku yang semula sudah yakin untuk menggugat cerai Mas Kevin menjadi berubah. Aku tidak mau memuluskan jalan mereka setelah apa yang mereka lakukan kepadaku. Karena jika aku yang menggugat cerai maka Mas Kevin dengan mudahnya memegang tonggak kepemimpinan perusahaan menggantikan kakek. Jadi setidaknya aku akan bermain-main dulu dengan mereka.Setelah mendapatkan video yang bagus tadi, aku menyimpan ponselku ke dalam hand bagku. Lalu aku turun, memegang peganggan koperku, menarik koperku, dan berjalan seperti biasa tanpa takut menimbulkan bunyi. Malah bagus kalau Mas Kevin dan Mbak Julia di atas sana mendengar.Saat aku melewati tangga, suara langkahku sengaja kuhentak-hentakkan, berharap mereka cepat mendengar. Usahaku membuahkan hasil. Di atas anak tangga, Mas Kevin dan Mbak Julia muncul.Dan lihatlah si kuntilanak itu memeluk tangan Mas Kevin seolah sengaja memamerkan keromantisan mereka. Pasti agar aku merasa cemburu, tak kuat,
WILSONKakek Mukti tidak langsung menjawab tanyaku. Dia justru termenung. Mungkin sedang mengingat-ingat nostalgia di masa lalu dengan kakeknya Tiwi. Sedetik kemudian kedua matanya berkaca-kaca."Kakek dan kakeknya Tiwi dulu adalah sahabat. Kakeknya Tiwi adalah orang yang sangat baik dan berbudi luhur. Pada suatu hari, kakeknya Tiwi menyelamatkan kakek yang nyaris tertabrak mobil. Nyawa kakek memang selamat dan kakek baik-baik saja. Tapi tidak begitu dengan kakeknya Tiwi. Karena menolong kakek, kakinya cidera. Dan kakeknya Tiwi menderita pincang seumur hidup. Yang pasti, jika kakeknya Tiwi tidak menyelamatkan kakek, mungkin kakek sudah tidak ada di dunia ini. Dan pastinya kamu dan Kevin juga tidak ada."Dadaku terasa sesak mendengar cerita ini. Pengorbanan seorang sahabat kepada sahabatnya hingga mengorbankan diri sendiri. Wajar jika kakek begitu sayang pada Pertiwi."Sebelum kakek dan kedua orangtua kakek pindah ke kota, kakek berkata pada kakeknya Tiwi. Jika kami berdua mempunyai a
PERTIWI“Assalamualaikum….” Aku dan Mas Kevin saling pandang untuk sekilas sebelum akhirnya aku menjawab. “Wa’alaikum salam….” Lalu aku meninggalkan Mas Kevin untuk membuka pintu. Senyuman kakek dan Wilson yang aku dapati pertama kali.Aku pun langsung menyalami kakek dan menempelkan tangannya yang keriput ke kening. Sebelum aku mempersilahkan kakek masuk, aku melihat tangan Wilson mengarah padaku minta disalami, tapi aku tepis. “Silahkan masuk, kek, Wil. Kita langsung ke meja makan ya karena makan malamnya sudah aku siapkan.”“Iya. Aduh kakek sudah tidak sabar ingin makan masakan kamu. Sudah lama sekali tidak makan masakan kamu yang enak itu,” ucap kakek sewaktu kami melangkah ke meja makan.Begitu sampai di meja makan, Mas Kevin langsung menyalami kakek dengan wajah yang terlihat agak gugup. Bahkan dia sempat melirik ke tangga memastikan kekasihnya tidak ada di sana.Aku tersenyum samar melihat tingkah Mas Kevin. Pastilah saat ini dia merasa hatinya berdebar-debar karena khawatir.
PERTIWI"Tiwi mau tidur di kamar ini," jawab Mas Kevin dengan wajah menyesal. Di keadaan ini aku jadi merasa seperti pelakor sementara Mbak Julia adalah istri sah. "Lho, kok?" Mbak Julia seperti tidak percaya. "Maksudnya kita tidur bertiga?"Mas Kevin baru akan menjawab ketika aku langsung menyela. "Enak saja bertiga. Aku akan tidur di kasur. Kalian tidur di bawah."Mata Mbak Julia melotot seperti mau keluar. Pasti dia akan marah. "Apa?! Aku tidur di bawah?! Yang benar saja?! Memangnya tidak terbalik?!""Ya tidak dong. Aku kan nyonya rumah ini.""Tapi kamu tidak dicintai oleh Kevin. Sedangkan rumah ini miliki Kevin.""Untuk apa dicintai kalau tidak dinikahi? Adakah yang mengakui hubungan kalian sebagai kebanggaan? Tidak ada kan?"Rahang Mbak Julia mengencang dengan jemari terangkat ke atas seolah ingin mencakar. Tapi sedikit pun aku tidak takut. Karena aku sekarang berkuasa. Mas Kevin tidak akan berani untuk melukai aku."Mau apa?" tantang aku. "Memukul atau mencakar? Lakukan saja. B
KEVINAku tidak bisa tidur setelah tahu bahwa Wilson telah mengetahui hubunganku dengan Julia. Ini adalah kabar yang sangat buruk. Masa depanku sebagai pimpinan perusahaan menggantikan kakek bisa gagal. "Apa yang harus aku lakukan?" Selalu ini yang aku tanyakan sejak tadi. Tapi aku cenderung ingin mengajak bicara Wilson secara langsung agar jelas.Aku bangun dari tidurku setelah mendengar suara peralatan dapur yang menandakan Pertiwi sudah melakukan kegiatan hariannya, yaitu memasak. Dan benar saja, begitu sampai di dapur, aku melihat dirinya. Tapi sebelumnya aku juga melihat Wilson yang tidur di sofa ruang tengah."Apa benar Wilson sudah tahu hubunganku dengan Julia seperti yang kamu katakan semalam?" tanyaku pada Pertiwi.Pertiwi hanya menoleh padaku sekilas sebelum akhirnya sibuk dengan ayam yang sedang dicucinya. "Menurut mas aku berbohong?""Tidak. Berarti Wilson memang sudah tau kalau aku dan Julia ada hubungan?""Ya.""Siapa yang memberitahunya? Apakah dirimu?" tanyaku lebih d
KEVIN"Kacau! Kacau! Kacau!" Entah untuk yang keberapa kali aku memaki. Kemudi yang sedang aku kendalikan terus-menerus menjadi sasaran pukulanku. Bagaimana tidak, aku berada di posisi yang serba salah sekarang ini. Keputusan apapun yang aku ambil akan membunuhku."Kalau hanya mengeluh dan diam, tidak akan menyelesaikan masalah, Kev. Kita tuh harus melakukan sesuatu."Aku menoleh sekilas Julia yang barusan berbicara. "Apa yang bisa dilakukan dalam waktu tiga hari? Nyaris tak ada." "Tak ada itu adalah ucapan orang-orang yang berputar asa.""Maksud kamu apa sih?" Aku benci menebak-nebak saat ini.""Maksudku begini. Sebelum waktu tiga hari yang diberikan Wilson habis, kita membalikkan fakta agar kesalahan kita menjadi kesalahan mereka."Keningku mengerut. "Caranya?""Bagaimana kalau kita buat Pertiwi berselingkuh dengan Wilson. Dan diketahui oleh kakek?""Ide yang bagus. Tapi yang aku maksudkan di sini caranya. Bagaimana kita membuat Pertiwi berselingkuh dengan Wilson sementara mereka t
PERTIWISebuah cahaya yang menusuk mataku, membuat mataku membuka. Aku memperhatikan sekeliling. Ini adalah kamarku. Aku bisa mengetahui dari plafonnya.Kedua bola mataku lalu bergulir ke bawah. Melihat ke arah tubuhku yang terasa begitu enteng dan lega. Mataku melebar begitu mendapati diriku tanpa pakaian dan hanya tertutup selimut tebal dari mulai bagian dada. "AAAAA!" Aku spontan menjerit seketika bersamaan dengan tubuhku yang bergerak bangun. "A-aku tidak berpakaian?"Belum dapat mengurai pertanyaan barusan, sebuah suara yang aku kenal menyambar indera pendengaranku."Kamu sudah bangun?" Membuat aku menoleh seketika ke sumber suara dan mendapati Wilson sedang duduk di kursi meja rias menatap nanar ke cermin. "AAAAA!" Aku pun menjerit sekali lagi. Bagaimana tidak, dengan keadaanku yang seperti ini, ada pria yang bukan mahramku berada di kamar yang sama denganku. Tapi sedetik kemudian aku membekap mulutku sendiri menggunakan satu tanganku begitu mengingat sesuatu. Sesuatu itu adala
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J
PERTIWI"Mbak, ada tamu."Pagi-pagi aku sudah terkejut."Tamu? Siapa?" "Dia mengaku bernama Kevin mbak."Bagai tersambar petir aku mendengar itu. Hati bertanya-tanya. Kenapa Mas Kevin datang ke sini? Apa dia tidak ke kantor?Aku menatap karyawanku itu. "Aku akan segera menemui dia. Tolong kamu buatkan minuman ya."Karyawanku itu mengangguk. "Baik mbak." Dia berbalik dan kemudian pergi dari ruangan ini. Aku tak takut manusia. Sungguh aku tidak takut. Tapi untuk berhadapan dengan Mas Kevin, aku butuh kesiapan mental. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku pun meninggalkan ruanganku. Dan benar, ada Mas Kevin di salah satu meja. Di depannya terhidang segelas minuman yang dibuatnya oleh karyawanku."Ada apa Mas datang ke sini?" Sapaku sembari mengambil duduk di salah satu kursi yang mengisi meja tersebut. Kevin tersenyum samar. "Aku mau meminta maaf kepadamu, Wi."Kurasakan kedua alisku bergerak ke atas. "Minta maaf? Minta maaf untuk apa, mas?""Untuk kesalahanku di masa lalu.""Aku
PERTIWITok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuatku yang sedang menatap diri di cermin, terperanjat. Apalagi setelah mendengar panggilan yang mengikuti ketukan tersebut. "Wiiii! Sudah siap belum?!"Aku menoleh ke pintu. "Sudaaah! Tunggu sebentar!" Aku langsung menyambar tas bahuku dan kemudian aku berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kudapati Wilson yang berdiri di depanku tersenyum."Kamu semangat sekali sampai berlari begitu? Suaranya terdengar sampai sini. Mentang-mentang mau pacaran," ucapnya mencandaiku. Biasalah Wilson. Tiada hari tanpa bercanda. Mungkin dunianya sepi tanpa bercanda. Dan sejak tinggal di rumah kakek, aku adalah satu-satunya orang yang jadi sasarannya. Entah kalau sudah menikah nanti."Tau aja." Dan aku sepertinya sudah mulai terbiasa menghadapi candaannya.Kami pun berjalan beriringan turun ke lantai satu. Kami dapati kakek duduk menghadap meja makan. Pandangannya terlihat aneh pada kami. "Lho, kalian mau kemana?" tanya kakek dengan kening yang men
‘Sudah aku bilang aku sudah pasrah dengan keputusan kakek. Aku akan menerima siapa pun pria yang kakek berikan kepadaku,’ jawabku kemudian.‘Tapi menurutku ada baiknya kamu mengetahuinya sekarang. Jadi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa protes pada kakek. Aku yakin kakek tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau dengan pria itu, kakek tidak akan menikahkan kamu dengannya.‘Aku mau, Wil. Aku mau dengan pria itu bagaimana pun dia.’‘Ah, ya sudah.’Obrolan via pesan kemudian berakhir. Aku kembali mengarahkan pandang pada layar komputerku untuk melihat pemasukan hari ini. Tapi memang pernikahan ini membuat fokusku agak terganggu.Sore hari, Wilson menjemputku. Dia masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu dan salam. Begitulah kami. Masuk ke ruangan satu sama lain tanpa ada yang mengetuk dan permisi. Langsung ‘slonong’ aja.“Sudah siap pulang atau masih mau di sini?” tanyanya sembari menatap layar computer yang masih menyala. Posisinya sekarang berada di sampingku.“Pulang dong. Ini aku