PERTIWI“Assalamualaikum….” Aku dan Mas Kevin saling pandang untuk sekilas sebelum akhirnya aku menjawab. “Wa’alaikum salam….” Lalu aku meninggalkan Mas Kevin untuk membuka pintu. Senyuman kakek dan Wilson yang aku dapati pertama kali.Aku pun langsung menyalami kakek dan menempelkan tangannya yang keriput ke kening. Sebelum aku mempersilahkan kakek masuk, aku melihat tangan Wilson mengarah padaku minta disalami, tapi aku tepis. “Silahkan masuk, kek, Wil. Kita langsung ke meja makan ya karena makan malamnya sudah aku siapkan.”“Iya. Aduh kakek sudah tidak sabar ingin makan masakan kamu. Sudah lama sekali tidak makan masakan kamu yang enak itu,” ucap kakek sewaktu kami melangkah ke meja makan.Begitu sampai di meja makan, Mas Kevin langsung menyalami kakek dengan wajah yang terlihat agak gugup. Bahkan dia sempat melirik ke tangga memastikan kekasihnya tidak ada di sana.Aku tersenyum samar melihat tingkah Mas Kevin. Pastilah saat ini dia merasa hatinya berdebar-debar karena khawatir.
PERTIWI"Tiwi mau tidur di kamar ini," jawab Mas Kevin dengan wajah menyesal. Di keadaan ini aku jadi merasa seperti pelakor sementara Mbak Julia adalah istri sah. "Lho, kok?" Mbak Julia seperti tidak percaya. "Maksudnya kita tidur bertiga?"Mas Kevin baru akan menjawab ketika aku langsung menyela. "Enak saja bertiga. Aku akan tidur di kasur. Kalian tidur di bawah."Mata Mbak Julia melotot seperti mau keluar. Pasti dia akan marah. "Apa?! Aku tidur di bawah?! Yang benar saja?! Memangnya tidak terbalik?!""Ya tidak dong. Aku kan nyonya rumah ini.""Tapi kamu tidak dicintai oleh Kevin. Sedangkan rumah ini miliki Kevin.""Untuk apa dicintai kalau tidak dinikahi? Adakah yang mengakui hubungan kalian sebagai kebanggaan? Tidak ada kan?"Rahang Mbak Julia mengencang dengan jemari terangkat ke atas seolah ingin mencakar. Tapi sedikit pun aku tidak takut. Karena aku sekarang berkuasa. Mas Kevin tidak akan berani untuk melukai aku."Mau apa?" tantang aku. "Memukul atau mencakar? Lakukan saja. B
KEVINAku tidak bisa tidur setelah tahu bahwa Wilson telah mengetahui hubunganku dengan Julia. Ini adalah kabar yang sangat buruk. Masa depanku sebagai pimpinan perusahaan menggantikan kakek bisa gagal. "Apa yang harus aku lakukan?" Selalu ini yang aku tanyakan sejak tadi. Tapi aku cenderung ingin mengajak bicara Wilson secara langsung agar jelas.Aku bangun dari tidurku setelah mendengar suara peralatan dapur yang menandakan Pertiwi sudah melakukan kegiatan hariannya, yaitu memasak. Dan benar saja, begitu sampai di dapur, aku melihat dirinya. Tapi sebelumnya aku juga melihat Wilson yang tidur di sofa ruang tengah."Apa benar Wilson sudah tahu hubunganku dengan Julia seperti yang kamu katakan semalam?" tanyaku pada Pertiwi.Pertiwi hanya menoleh padaku sekilas sebelum akhirnya sibuk dengan ayam yang sedang dicucinya. "Menurut mas aku berbohong?""Tidak. Berarti Wilson memang sudah tau kalau aku dan Julia ada hubungan?""Ya.""Siapa yang memberitahunya? Apakah dirimu?" tanyaku lebih d
KEVIN"Kacau! Kacau! Kacau!" Entah untuk yang keberapa kali aku memaki. Kemudi yang sedang aku kendalikan terus-menerus menjadi sasaran pukulanku. Bagaimana tidak, aku berada di posisi yang serba salah sekarang ini. Keputusan apapun yang aku ambil akan membunuhku."Kalau hanya mengeluh dan diam, tidak akan menyelesaikan masalah, Kev. Kita tuh harus melakukan sesuatu."Aku menoleh sekilas Julia yang barusan berbicara. "Apa yang bisa dilakukan dalam waktu tiga hari? Nyaris tak ada." "Tak ada itu adalah ucapan orang-orang yang berputar asa.""Maksud kamu apa sih?" Aku benci menebak-nebak saat ini.""Maksudku begini. Sebelum waktu tiga hari yang diberikan Wilson habis, kita membalikkan fakta agar kesalahan kita menjadi kesalahan mereka."Keningku mengerut. "Caranya?""Bagaimana kalau kita buat Pertiwi berselingkuh dengan Wilson. Dan diketahui oleh kakek?""Ide yang bagus. Tapi yang aku maksudkan di sini caranya. Bagaimana kita membuat Pertiwi berselingkuh dengan Wilson sementara mereka t
PERTIWISebuah cahaya yang menusuk mataku, membuat mataku membuka. Aku memperhatikan sekeliling. Ini adalah kamarku. Aku bisa mengetahui dari plafonnya.Kedua bola mataku lalu bergulir ke bawah. Melihat ke arah tubuhku yang terasa begitu enteng dan lega. Mataku melebar begitu mendapati diriku tanpa pakaian dan hanya tertutup selimut tebal dari mulai bagian dada. "AAAAA!" Aku spontan menjerit seketika bersamaan dengan tubuhku yang bergerak bangun. "A-aku tidak berpakaian?"Belum dapat mengurai pertanyaan barusan, sebuah suara yang aku kenal menyambar indera pendengaranku."Kamu sudah bangun?" Membuat aku menoleh seketika ke sumber suara dan mendapati Wilson sedang duduk di kursi meja rias menatap nanar ke cermin. "AAAAA!" Aku pun menjerit sekali lagi. Bagaimana tidak, dengan keadaanku yang seperti ini, ada pria yang bukan mahramku berada di kamar yang sama denganku. Tapi sedetik kemudian aku membekap mulutku sendiri menggunakan satu tanganku begitu mengingat sesuatu. Sesuatu itu adala
PERTIWIDari tangga tempatku berdiri sekarang aku melihat Wilson sedang menyiapkan sarapan. Pria itu menyiapkannya dengan begitu santai. Seperti tanpa beban dan sudah terbiasa. Seketika hatiku merasa kagum. Seorang cucu pemilik perusahaan yang begitu mandiri, tidak pernah terlihat mengeluh, dan selalu ceria. Sangat berbeda dengan karakter Mas Kevin yang justru sebaliknya."Sudah mandi ya?" Ternyata dia melihat kehadiranku. Aku tersenyum dan mendekat kepadanya. "Iya. Sepertinya kamu sangat ahli dalam menyiapkan sarapan. Kamu sudah terbiasa?""Wilson membalas senyum. "Aku ini kan lama di rantauan. Jadi ya... perkara menyiapkan sarapan untuk diri sendiri bukan hal yang sulit. Bahkan aku terbiasa dengan melayani orang lain."Aku menarik kursi. "Apa bos kamu tau kalau kamu cucu seorang pemilik perusahaan?""Tidak dong. Nanti bosku jadi sungkan menyuruhku kalau dia mengetahui itu. Lagian untuk apa mengatakan itu padanya? Tidak penting juga.""Untuk sebagian orang, memberitahu keistimewaan
PERTIWIKakek hanya diam menanggapi Mas Kevin yang memeluk kakinya. Wajahnya tidak lagi tampak marah melainkan bingung. Malah cenderung sedih. Entah apa yang membuatnya begitu. "Dengar Kev, Kakek menikahkan kamu dengan Pertiwi karena kamu itu cucu kesayangan Kakek. Sayang Kakek padamu jauh melebihi sayang Kakek pada Wilson. Tapi hari ini kakek sangat kecewa kepadamu. Kamu mencampakkan kasih sayang kakek begitu saja seolah kakek ini tidak memiliki jasa apa pun padamu."Aku melirik Wilson, pria itu sudah duduk tenang di sofa. Saat kakek bilang kalau kasih sayang kakek lebih besar pada Mas Kevin dibandingkan dirinya, dia tidak tampak marah. Sepertinya Wilson sudah tahu itu. Sudah tahu kalau kakek lebih sayang pada Mas Kevin.Sementara Mas Kevin pelukannya di kaki kakek tidak kencang lagi. Tapi wajahnya menunduk dalam. Dia terlihat sangat merasa bersalah. Namun aku tidak tahu apakah dia benar-benar menyesal atau tidak."Kamu tau, Kev?" Kakek melanjutkan perkataannya. "Jika tidak ada kake
PERTIWI"Darimana mbak tau kalau kami habis dimarahin sama kakek?" tanyaku sembari memperhatikan Mas Kevin yang tampak salah tingkah."Lha, kedatangan kalian berdua ke sini atas permintaan kakek kan?" Mbak Julia ini sepertinya sangat yakin kalau skenarionya dengan Mas Kevin berhasil. Itu sebabnya dia ngotot kalau kami barusan dimarahin kakek. Kasihan sekali memang Mbak Julia ini. Apalagi setelah dia tahu kalau yang dimarahin oleh kakek ternyata bukan kami melainkan Mas Kevin.Aku mengangguk. "Ya, karena kakek yang minta.""Dan kakek bilang apa pada kalian? Pasti kakek memarahi kalian kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Kakek tidak memarahi kami. Coba deh kamu tanya pada Mas Kevin apakah kakek memarahi kami atau tidak."Mbak Julia mengikuti ucapanku. Dia menoleh pada Mas Kevin yang berdiri di sampingnya. "Kev, tadi kakek memarahi mereka berdua kan?"Rahang Mas Kevin mengencang mendengar pertanyaan Mbak Julia. "Kamu itu terlalu banyak bicara. Sekarang ikut aku ke ruanganku."***KEVIN'Kakek
KevinHari ini adalah hari ulang tahun kakek. Aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah jam tangan untuk kakek. Mudah-mudahan kakek menyukainya. Aku berangkat menuju rumah kakek seorang diri. Ya seorang diri tanpa Julia. Sebab sejak lebih satu tahun yang lalu hubungan kami sudah mendingin. Julia sendiri sudah memilih kembali tinggal di apartemennya dulu. Alasan kami pisah rumah adalah karena jika kami tinggal di rumah yang sama, selalu terjadi pertengkaran. Sehari bisa sampai beberapa kali. Kami sudah sama-sama capek dan ingin mendinginkan hati dengan tinggal berjauhan. Tapi aku tidak pernah mengusirnya dari rumah. Kepergiannya adalah keputusannya sendiri.Ketika kakiku menginjak lantai rumah kakek, Si Cantik Amira yang pertama kali menyambutku. Balita ini sudah berumur satu tahun lebih dan sudah bisa berjalan. Bahkan sudah bisa main kejar-kejaran dengan baby sitternya. Dia cantik dan lucu sekali. Membuat siapa pun yang melihat gemes dan ingin menciumnya. Tak terkecuali aku yang kem
KEVIN"Apa? Melihat bayi Pertiwi? Tidak ah. Lagian aku juga belum pulang jam segitu," jawab Julia ketika aku menelponnya untuk mengajaknya melihat bayi Pertiwi dan Wilson di rumah sakit bersalin. Kalau menuruti kata hati, aku pun tak sudi karena jika aku ke sana kemungkinan akan melukai diri sendiri. Tapi jika tidak pergi maka kakek semakin tidak menyukai aku. Karena itu, apapun yang terjadi di sana nanti, aku harus datang."Kita akan datang setelah kamu pulang kerja." Aku setengah memaksa."Ya ampun. Apa tidak bisa pergi sendiri, Kev? Jangan ajak-ajak aku kenapa sih?""Apa yang ada dalam pikiranmu sampai memintaku pergi sendiri hah? Memangnya kamu tidak malu sama kakek?"Terdengar helaan nafas. "Tapi aku tuh malas mau ke sana.""Hanya sebentar saja. Tidak akan lama kok.""Ya sudah. Iya." Tapi dengan nada tidak ikhlas. Maka, setelah makan malam, kami berangkat menuju rumah sakit bersalin tempat Pertiwi melahirkan. Kedatangan kami disambut dengan baik oleh Wilson dan Pertiwi. Terlihat
PERTIWISetelah hari pernikahan itu, aku menjalani kehidupan yang bahagia dan penuh cinta. Tak kurang kasih sayang dari Wilson dan kakek.Kegiatanku setiap hari juga selalu seru dan menyenangkan. Bangun pagi membantu Bibi masak di dapur, menyiapkan pakaian kerja suami, dan terakhir baru pergi ke De Tiwil. Lalu aku akan pulang sebelum Wilson pulang karena aku selalu memastikan diri menyambut kepulangan suami dengan mencium tangannya.Yang pasti sebagai istri aku sadar kalau melayani suami adalah kewajiban utama. De Tiwil adalah tempat hiburan saja. Yaitu tempatku untuk mengembangkan kemampuan diri dan bersosial. Pendapatan De Tiwil juga seluruhnya masuk ke rekeningku dan jarang aku pakai. Karena semua kebutuhanku sudah dipenuhi oleh suamiku, Wilson.Wilson sebagai suami bersikap sangat baik dan berusaha membahagiakan aku dengan caranya. Pria itu selalu menciumku sebelum berangkat kerja, menanyakan apakah aku sudah makan apa belum, memberikan kejutan berupa hadiah atau sejenisnya, dan l
PertiwiAku yang baru keluar dari kamar mandi memperhatikan Wilson yang meminum sebuah minuman botol hingga tandas. Karena motif botol minuman tersebut sangat asing bagiku, aku pun penasaran sehingga mendekati Wilson. "Yang kamu minum tadi barusan apa?" tanyaku sembari mengambil duduk di depan Wilson. Mataku lekat menatapnya dengan hati bertanya-tanya. "Oh, ini." Wilson menunjukkan botol yang ada di tangannya. "Ini suplemen laki-laki. Kandungannya bisa membuat stamina selama melakukan hubungan suami istri menjadi bagus. Jadi kita bisa melakukan hubungan suami istri itu sebanyak beberapa kali malam ini.""O... begitu," balasku dengan perasaan menyesal. Harusnya aku tidak bertanya dan cuek saja. Kalau begini kan dikira mau tahu banyak tentang laki-laki sebelum melakukan malam pertamanya."Kamu suka kan kalau aku kuat malam ini?"Kurasakan wajahku menghangat setelah mendengar pertanyaan Wilson. Blak-blakan sekali dia mengatakan itu seolah aku ini adalah wanita berpengalaman dalam melak
PertiwiHari-hariku dengan Wilson disibukkan dengan mengurus pernikahan kami. Hati kamu diliputi kebahagiaan yang tak terperi. Kami berniat menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang berkesan tak hanya bagi kami tapi bagi siapa pun meskipun tidak digelar begitu mewah. Pernah kakek bertanya kenapa tidak digelar sangat mewah karena banyak pihak yang akan membantu. Wilson menjawab dengan: "Yang penting ijab sah, kek. Dan halal halal."Kakek hanya tertawa mendengar itu dengan tatapan kagum. Ya, kakek sepertinya mulai mengagumi Wilson sebagai mana aku mengagumi calon suamiku itu. Jika di awal-awal ada rasa ragu dan khawatir, sekarang tidak ada lagi. Aku sangat yakin pernikahanku kali ini diliputi kebahagiaan dan rasa cinta yang banyak."Apa ada dari luar kota yang mau kamu undang, Wi?" tanya Wilson suatu ketika.Aku mengangguk tegas. "Ya. Tentu saja paman, bibi, dan keponakanku.""Kalau begitu kita akan siapkan kamar di hotel tempat acara kita digelar untuk mereka."Aku tersenyum
KEVIN"BANGSAT!" Kupukul kemudiku dengan kemarahan yang rasanya ingin aku ledakan. Bagaimana tidak, Pertiwi malah membalikkan omonganku. Sombong sekali dia! Aku doakan pernikahannya nanti tidak akan berjalan bahagia!Dengan kemarahan ini, aku tidak ada tenaga untuk berangkat ke kantor. Moodku sudah jelek. Aku pun memilih pulang. Begitu kakiku menginjak lantai ruang tengah, kudapati Julia duduk memegang ponsel sembari makan cemilan. Kakinya naik ke atas meja. Rambutnya dikuncir tidak sempurna. Dan dia masih mengenakan pakaian tidur yang pertanda belum mandi. Oh God! Inilah yang aku benci dari dirinya sekarang. Di rumah kerjanya hanya main hp, nonton televisi, dan tidur. Kalau keluar langsung menghabiskan uang. Tak ada sedikit pun sikap yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai seorang suami. Minimal menyiapkan aku baju sebelum kerja atau membuatkanmu minuman. Bahkan untuk mengambil air putih saja dia harus menyuruh pembantu. Kelewatan kan?"Lho, kok kamu pulang lagi, Kev?" tanya J
PERTIWI"Mbak, ada tamu."Pagi-pagi aku sudah terkejut."Tamu? Siapa?" "Dia mengaku bernama Kevin mbak."Bagai tersambar petir aku mendengar itu. Hati bertanya-tanya. Kenapa Mas Kevin datang ke sini? Apa dia tidak ke kantor?Aku menatap karyawanku itu. "Aku akan segera menemui dia. Tolong kamu buatkan minuman ya."Karyawanku itu mengangguk. "Baik mbak." Dia berbalik dan kemudian pergi dari ruangan ini. Aku tak takut manusia. Sungguh aku tidak takut. Tapi untuk berhadapan dengan Mas Kevin, aku butuh kesiapan mental. Setelah menarik nafas beberapa kali, aku pun meninggalkan ruanganku. Dan benar, ada Mas Kevin di salah satu meja. Di depannya terhidang segelas minuman yang dibuatnya oleh karyawanku."Ada apa Mas datang ke sini?" Sapaku sembari mengambil duduk di salah satu kursi yang mengisi meja tersebut. Kevin tersenyum samar. "Aku mau meminta maaf kepadamu, Wi."Kurasakan kedua alisku bergerak ke atas. "Minta maaf? Minta maaf untuk apa, mas?""Untuk kesalahanku di masa lalu.""Aku
PERTIWITok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuatku yang sedang menatap diri di cermin, terperanjat. Apalagi setelah mendengar panggilan yang mengikuti ketukan tersebut. "Wiiii! Sudah siap belum?!"Aku menoleh ke pintu. "Sudaaah! Tunggu sebentar!" Aku langsung menyambar tas bahuku dan kemudian aku berlari untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, kudapati Wilson yang berdiri di depanku tersenyum."Kamu semangat sekali sampai berlari begitu? Suaranya terdengar sampai sini. Mentang-mentang mau pacaran," ucapnya mencandaiku. Biasalah Wilson. Tiada hari tanpa bercanda. Mungkin dunianya sepi tanpa bercanda. Dan sejak tinggal di rumah kakek, aku adalah satu-satunya orang yang jadi sasarannya. Entah kalau sudah menikah nanti."Tau aja." Dan aku sepertinya sudah mulai terbiasa menghadapi candaannya.Kami pun berjalan beriringan turun ke lantai satu. Kami dapati kakek duduk menghadap meja makan. Pandangannya terlihat aneh pada kami. "Lho, kalian mau kemana?" tanya kakek dengan kening yang men
‘Sudah aku bilang aku sudah pasrah dengan keputusan kakek. Aku akan menerima siapa pun pria yang kakek berikan kepadaku,’ jawabku kemudian.‘Tapi menurutku ada baiknya kamu mengetahuinya sekarang. Jadi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa protes pada kakek. Aku yakin kakek tidak akan memaksa. Jika kamu tidak mau dengan pria itu, kakek tidak akan menikahkan kamu dengannya.‘Aku mau, Wil. Aku mau dengan pria itu bagaimana pun dia.’‘Ah, ya sudah.’Obrolan via pesan kemudian berakhir. Aku kembali mengarahkan pandang pada layar komputerku untuk melihat pemasukan hari ini. Tapi memang pernikahan ini membuat fokusku agak terganggu.Sore hari, Wilson menjemputku. Dia masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu dan salam. Begitulah kami. Masuk ke ruangan satu sama lain tanpa ada yang mengetuk dan permisi. Langsung ‘slonong’ aja.“Sudah siap pulang atau masih mau di sini?” tanyanya sembari menatap layar computer yang masih menyala. Posisinya sekarang berada di sampingku.“Pulang dong. Ini aku