"Gimana, Non?" tanya Abdi pada Luisa. Wanita itu meletakkan ponselnya di atas nakas. Mereka berdua tengah berada di kamar. Abdi mendapatkan telepon dari Syabil yang mengatakan perihal Pak Darmono. Tentu saja hal itu melegaka pasangan suami istri itu. "Sudah, Kang. Semoga aja Nisa gak terlalu kepikiran, tapi tetap saja cemas karena kita hanya dengar katanya. Apa Syabil bisa dipercaya?" tanya Luisa pada Abdi. Jaman sekarang, tidak ada orang yang benar-benar bisa dipercaya. "Suaranya masih bergetar. Pasti Nisa masih sering nangis. Semoga aja sekarang lebih tenang dan semoga pemuda bernama Syabil itu, tulus menolong papa. Saya belum yakin seratus persen," kata Luisa lagi mengungkap apa yang ada di hatinya. "Syabil itu anak baik, Non. Dia yang jagain rumah Juragan Andri sejak lulus SMA. Sekarang umurnya paling dua puluh satu. Itu tandanya tiga tahun udah kerja di sana. Gak pernah macam-macam juga. Anak baik dan semoga aja karena ada ikatan kekeluargaan ini, Syabil diam-diam memihak kita
"Gimana, masih belum ada kabar?""Belum, Bos. Saya udah keliling hampir semua rumah sakit di Jakarta dan Bogor . Satu per satu saya datangi, tetapi tidak ada pasien bernama Luisa dengan nama wali Abdi. Saya yakin seratus persen kalau Non Luisa tidak ada di Jakarta ataupun Bogor." Levi terdiam sesaat. Jika Luisa tidak ada di Jakarta, lalu ke mana perginya wanita yang sangat ia cintai itu?"Kamu balik lagi ke kampung dan cari tahu di sana saja. Kasih saya kabar kalau kamu mengetahui sesuatu.""Baik, Bos, tapi jangan lupa ini tanggal satu, Bos. Kalau bisa ditransfer ya, Bos? Anak saya mau beli susu.""Bayaran aja lu inget, tugas lu lupa-lupain. Oke, nanti gue kirim bayaran Lo." Levi menarik napas dalam. Punya anak buah tidak bisa begitu diandalkan. Kerja semua lambat karena terlalu banyak urusan. Hal itulah yang membuatnya lelah. Ia pun tidak tahu harus ke mana lagi mencari Luisa. Ingin pergi mencari sendiri tidak bisa, karena ia sedang banyak sekali pekerjaan dari mommy-nya.Tok! Tok!
"Kang, kamu gak papa? Aku takut kamu kenapa-napa. Nolongin orang yang lagi terlibat masalah dengan Juragan Andri," ujar seorang gadis muda berusia sembilan belas tahun yang tidak lain adalah pacar dari Syabil. Pemuda itu memang sudah memiliki pacar yang akan ia nikahi. Untuk itu ia tidak pernah mengambil libur kerja agar uangnya cepat terkumpul untuk menikahi sang Pujaan hati.Syabil meraih cangkir tehnya. Menyesap air hanya masih hangat itu dengan tenang."Kang Abdi itu bukan orang lain. Ia sepupu saya walau tidak langsung. Kang Abdi orang baik. Jika tidak ada Kang Abdi, mungkin saya sudah mati dikeroyok di jalan. Kamu gak akan bertemu saya saat ini. Mungkin ini saatnya saya balas budi. Doakan saya ya, Rinai. Doakan semua lancar." Gadis muda itu akhirnya mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain untuk menyetujui apa yang akan dilakukan oleh calon suaminya nanti. Ia juga harus bersikap pura-pura tidak tahu tentang ini. Kring! KringSyabil mengecek ponselnya yang berdering. Ada nama Ju
Kapan Syabil ke mari, Pa? Aku gak ada teman di rumah sakit ini. Jangan lama-lama. Aku repot kalau sendirian.SendPesan itu dikirimkan Jelita pada papanya. Tidak ada tanda dibaca. Jika saja ia sudah bisa buka mulut lebar untuk bicara, pastilah udah keluar semua kekesalannya menunggu asisten papanya yang akan menemaninya di Thailand. Jelita terus menggerutu dari balik perban wajahnya. Jangan ditanya bagaimana rasanya? Tidak bisa dilukiskan, apalagi saat bius dan nyeri bekas operasi itu terasa sesekali. Kulit wajahnya seperti ditarik.Ia mencari kontak Syabil di dalam grup anak buah papanya. Langsung ia simpan kontak tersebut.Syabil, ini aku, Jelita. Kamu kapan ke Thailand? Papa udah bilang belum?SendSyabil Anak BuahOh, iya, Non, juragan udah bilang. Lusa pagi-pagi saya berangkat. Nenek saya masih sakit, Non. Kasihan kalau saya tinggal.Aku juga sakit. Aku anak atasan kamuSendSyabil Anak BuahSaya lebih baik gak kerja dari pada harus tinggalin nenek saya dalam keadaan sakit. Semog
Pak Darmono berlari sekuat tenaga melewati jalan setapak. Ia tidak tahu kakinya ke mana akan melangkah karena ia tidak sempat bertanya pada pemuda yang menolongnya. Namun, ini sudah jauh lebih baik dari pada ia harus di dalam rumah pria posesif yang sudah tua bangka. Sesekali ia menoleh ke belakang, keadaan aman terkendali dan dalam suasana magrib memang kampung sepi. Tidak ada warga kampung yang keluar. Pak Darmono tidak mempunyai HP untuk menghubungi istrinya. Namun, pria itu tiba-tiba meraba saku celananya dan mendapati dompetnya masih ada di belakang. Uang pun masih utuh seperti saat ia pergi. "Kang, numpang ke depan!" Teriak Pak Darmono pada pemuda yang kebetulan lewat di depannya. Pak Darmono mengangkat uang seratus ribu di depan pemuda itu, saat kendaraan roda duanya berhenti. "Itu buat saya?" tanya pemuda itu tidak percaya. Wajahnya asing dan pria paruh baya itu yakin, pemuda di depannya ini tidak mengenalnya. "Iya, ini buat Kakang, tapi antar saya sampai ke depan jalan ra
"Kamu gak mungkin gak kenal Abdi," kata Jelita saat wanita itu baru saja selesai dibuka perban wajahnya. Syabil ada di sana, tengah berdiri berjaga, layaknya bodyguard."Syabil, aku ngomong sama kamu!" "Iya, Non, saya dengar. Pasti ada lanjutan lagi dari kalimat Non Jelita'kan? Ini lagi saya dengerin," jawab Syabil santai. "Bagus. Kamu harus menjadi anak buah yang patuh kalau masih ingin kerja sama papaku!" Ucapan itu entah sudah berapa kali didengar oleh Syabil, sehingga ia tetap merasa biasa saja. Ancaman Jelita sama sekali tidak menakutkan."Siap, Non." "Apa kamu pernah lihat istri Abdi?" "Oh, Mbak Luisa namanya. Saya pernah lihat pas nikah. Pakai cadar aja cantik, apalagi buka cadar. Kayak artis Korea yang main sama Le min Ho yang jadi duyungnya. Tahu kan, Non? Cantik, tinggi, putih." Jelita memutar bola mata jengah mendengar pujian tulus Syabil terhadap Luisa. "Ck, tidak ada orang yang sempurna kali," balas Jelita sengit. "Sama, Non, baik wanita yang jahat, tidak selamanya
POV Levi"Apa kamu yakin?" aku hampir tidak percaya dengan ucapan orang suruhanku. Pemuda itu mengangguk yakin."Saya dapat informasi dari tetangga di sana. Pak Darmono hilang sudah lebih seminggu dan istrinya juga pergi. Ada gosip yang beredar di kampung, bahwa Abdi, suami Non Luisa itu disukai oleh anak orang terkaya di kampung. Lalu Non Luisa disukai oleh lelaki tua kaya di kampung sana. Oleh karena itu Non Luisa pergi bersama suaminya. Saya yakin Non Luisa gak ada di Jakarta, Bos.""Saya gak akan percaya ucapan kamu sepenuhnya sampai kamu bisa membawa saya bertemu dengan Pak Darmono. Kembali lagi ke sini jika sudah dapat kabar baru. Ah, iya, satu lagi. Siapa nama laki-laki kaya yang terobsesi dengan Luisa?" "Juragan Andri. Sudah usia lima puluh tahun. Tua Bangka yang gak inget umur, Bos. Kaki belum tentu kuat goyang, udah naksir bini orang." Levi mendelik. "Kamu nyindir saya?!" pemuda itu langsung kabur keluar ruanganku. Jadi sekarang sainganku bukan hanya Abdi, tetapi orang tua
Ucapan Rana sedikit mengangguku. Baru kali ini dan aku tidak tahu kenapa bisa aku memikirkannya? Apa karena Rama selama ini selalu patuh dan tidak pernah melakukan yang bikin aku tidak suka. Rana juga sedang mengandung anakku, jadi bisa saja ini karena naluri seorang ayah. "Sarapan, Mas, eh ... Tuan, maksudnya," kata Rana menawarkan. Aku memejamkan mata sejenak."Bukan berati kamu bisa panggil aku semau kamu ya, Rana. Semalam itu karena memang sudah tugas kamu melayani aku. Sampai kapan pun kamu hanya karyawan yang dibayar untuk hamil anakku. Ingat itu dan jangan pernah lupakan! Siapkan semua sarapanku, setelah itu, segera pergi dari hadapanku!" Rana mengangguk paham tanpa suara. Aku menyesap teh yang sudah dia atas meja. Tidak lama, Rama kembali dari dapur sambil membawakan spaghetti. "Ini, Tuan." Piring itu mendarat mulus di depanku tanpa suara. Rana langsung pergi sesuai dengan apa yang aku perintahkan. "Pagi, Levi.""Pagi, Mom." Aku tersenyum pada mamaku. Ia pun ikut tersenyum.