POV Levi"Apa kamu yakin?" aku hampir tidak percaya dengan ucapan orang suruhanku. Pemuda itu mengangguk yakin."Saya dapat informasi dari tetangga di sana. Pak Darmono hilang sudah lebih seminggu dan istrinya juga pergi. Ada gosip yang beredar di kampung, bahwa Abdi, suami Non Luisa itu disukai oleh anak orang terkaya di kampung. Lalu Non Luisa disukai oleh lelaki tua kaya di kampung sana. Oleh karena itu Non Luisa pergi bersama suaminya. Saya yakin Non Luisa gak ada di Jakarta, Bos.""Saya gak akan percaya ucapan kamu sepenuhnya sampai kamu bisa membawa saya bertemu dengan Pak Darmono. Kembali lagi ke sini jika sudah dapat kabar baru. Ah, iya, satu lagi. Siapa nama laki-laki kaya yang terobsesi dengan Luisa?" "Juragan Andri. Sudah usia lima puluh tahun. Tua Bangka yang gak inget umur, Bos. Kaki belum tentu kuat goyang, udah naksir bini orang." Levi mendelik. "Kamu nyindir saya?!" pemuda itu langsung kabur keluar ruanganku. Jadi sekarang sainganku bukan hanya Abdi, tetapi orang tua
Ucapan Rana sedikit mengangguku. Baru kali ini dan aku tidak tahu kenapa bisa aku memikirkannya? Apa karena Rama selama ini selalu patuh dan tidak pernah melakukan yang bikin aku tidak suka. Rana juga sedang mengandung anakku, jadi bisa saja ini karena naluri seorang ayah. "Sarapan, Mas, eh ... Tuan, maksudnya," kata Rana menawarkan. Aku memejamkan mata sejenak."Bukan berati kamu bisa panggil aku semau kamu ya, Rana. Semalam itu karena memang sudah tugas kamu melayani aku. Sampai kapan pun kamu hanya karyawan yang dibayar untuk hamil anakku. Ingat itu dan jangan pernah lupakan! Siapkan semua sarapanku, setelah itu, segera pergi dari hadapanku!" Rana mengangguk paham tanpa suara. Aku menyesap teh yang sudah dia atas meja. Tidak lama, Rama kembali dari dapur sambil membawakan spaghetti. "Ini, Tuan." Piring itu mendarat mulus di depanku tanpa suara. Rana langsung pergi sesuai dengan apa yang aku perintahkan. "Pagi, Levi.""Pagi, Mom." Aku tersenyum pada mamaku. Ia pun ikut tersenyum.
POV Luisa"Bagaimana pekerjaan hari ini, Kang, apakah lancar?" aku menaruh cangkir teh di atas meja. Kang Abdi baru saja keluar dari kamar dengan wajah dan tubuh segar. Ia baru saja pulang dari pabrik pengolahan limbah milik Om Mustopo."Lancar, Non. Masih belajar. Namanya baru dua hari kerja. Kamu gak papa di rumah'kan? Udah ada kabar dari Nisa? Semua aman?" aku tersenyum. Sengaja aku letakkan kepala ini di kedua pahanya. Kang Abdi duduk di bawah sambil meluruskan kakinya. "Satu-satu nanyanya, Kang. Alhamdulillah di rumah aman. Gak ada yang aneh-aneh. Tadi belanja ke warung sayur gak jadi, karena ada tukang sayur keliling di sini. Saya beli di Abang tukang sayur. Terus tadi cek status Nisa lagi makan nasi pecel Lela sama papa. Berarti semua aman. Semoga aja aman terus." Hati ini sedikit meragu. Di rumah sebelah ada Ratih, kakak dari Edmun. Ada juga mantan mertuaku yang sepertinya tinggal bersama Ratih. Ini yang bikin aku sedikit meragu, akan ketenangan hidup bersama Kang Abdi. Kami
"Maaf, Ibu siapa ya?" tanya suamiku sambil tersenyum. Ia berdiri dengan santai menghampiri mantan mama mertuaku."Saya mertuanya Luisa. Eh, maksud saya mantan mertua. Bukan begitu Luisa?" aku hanya diam tanpa bisa berkata-kata. Kejadian seperti ini sudah bisa kutebak bisa terjadi kapanpun. Apalagi hanya lima langkah dari depan rumah. Tidak mungkin aku dan keluarga Edmun tidak berpapasan."Oh, iya, Bu. Mohon maaf sekali lagi. Bukan maksud saya untuk tidak sopan pada orang tua, tetapi saya sebagai suami sudah membuat aturan, bahwa istri saya tidak akan berhubungan dengan masa lalunya. Apalagi jejak cerita saat menjadi menantu Ibu, kurang baik. Suaminya mengambil foto istri saya diam-diam, lalu ia berikan pada Levi. Jadi, baik Edmun dan keluarganya, juga Levi dan keluarganya,saya tidak ijinkan untuk bicara dengan istri saya. Mohon dimaklumi ya, Bu." Aku menghela napas lega begitu mendengar kalimat penolakan santun yang diucapkan suamiku pada ibunya Edmun. Aku mengira, suamiku akan membuk
POV PenulisRana membuka ponsel suaminya menggunakan sidik jari, saat Levi tengah terlelap. Perasaan wanita itu mengatakan ada hal yang tidak beres. Satu per satu pesan ia buka dan yang paling mencolok adalah kontak 'Cintaku' sudah sangat jelas itu bukan dirinya. Karena nama kontaknya di ponsel suaminya 'Mbak Pembantu'Ia membaca riwayat chat yang dikirimkan suaminya pada Luisa. Ia segera mencatat nomor itu, lalu meletakkan kembali ponsel suaminya di atas nakas. Rasa penasaran tidak hanya sampai di situ saja rupanya, karena saat ini ia kembali menggunakan jari telunjuk suaminya untuk membuka ponsel berlogo apel digigit itu. Kali ini ia membuka galeri dan menelusuri galeri sejak enam bulan sampai satu tahun yang lalu. Matanya membulat sempurna saat ada foto Luisa tanpa busana di sana. Ada juga videonya. Rana menghapusnya cepat dengan tangan gemetar. Keringat sudah membanjiri kening dan lehernya. Berkali-kali ia menelan ludah karena gerakan tangannya yang gugup, membuatnya sedikit kes
Jelita menghadiri pesta yang digelar oleh salah satu relasi papanya di Thailand. Dengan menggunakan dres bahan mengkilap, belahan dada rendah, serta dress yang panjangnya hanya sepaha. Janda itu tampil sangat menarik menurutnya. Beda dengan Syabil yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari wanita itu. Syabil hanya bisa tertawa saat membayangkan wanita seperti ini tidak akan mungkin membuat Abdi berpaling dari istrinya.Baju kekurangan bahan. Belom lagi operasi sedot lemak yang ternyata tidak terlalu kelihatan. Serta operasi wajah yang ia pikir belum berhasil karena wajah anak majikannya malah ada sedikit mirip dengan Mpok Atik.Syabil menoleh saat Jelita melambaikan tangan padanya. Pemuda itu pun bergegas menghampiri."Ada apa, Non?" tanya Syabil sembari sedikit menunduk. Pakaian yang dikenakan Jelita sangat silau di depan matanya. "Kamu pulang aja duluan. Aku mau kencan satu malam sama Prana." Wanita itu menunjuk lelaki bule berwajah sedikit Asia, yang berdiri di dekat meja bilyard."N
"Rana, Rana!" Mendengar suara yang sangat ia kenal membuat Bu Hera bergegas keluar dari ruangan olah raga. "Levi, kamu kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Bu Hera dari lantai atas. Levi melangkah dengan sangat lebar langkah melewati dua anak tangga. "Levi, kenapa, Nak?" tanya Bu Hera yang kebingungan. "Mana Rana, Mom?" tanya Levi begitu ia membuka pintu kamar dan tidak menemukan istrinya di dalam sana. "Rana pulang ke kampung. Kakaknya menikah besok. Tadinya Mommy gak kasih, tapi karena kamu mau pergi, jadinya Mommy ijinkan. Rana diantara Pak Samsul. Kenapa? Mau diajak ke Malang?""Bukan, Mom. Siapa yang mau ke Malang sih. Saya mau ke Yogya." Brak!Levi membanting pintu kamar dengan keras. "Heh, tadi pagi kamu bilang mau ke Malang nemuin vendor. Kenapa jadi ke Yogya? Kamu bohongin Mommy? Terus sekarang kenapa kamu gak jadi pergi, malah nyariin Rana? Ada apa?" cecar Bu Hera tak paham."Bukan! Ish, saya mau ke Malang, lalu ke Yogyakarta, Mom." Bu Hera tertawa miring. Ia tahu putr
Rana sudah di rumah orang tuanya. Ayahnya sudah lumayan cukup membaik setelah dioperasi prostat. Biaya operasi pun dibantu oleh mertuanya. Awalnya ia tidak yakin bisa pergi, tetapi karena suaminya pergi dan akhirnya ia pun dibolehkan pulang kampung oleh mertuanya. Paling tidak, ia bisa sedikit menghindar dari suaminya. Ia tahu kemarahan akan ia dapatkan. Bisa jadi, pukulan pun akan ia rasakan, tetapi syukurlah suaminya pergi, sehingga ia bisa mengukur waktu sedikit."Kenapa suami kamu gak diajak, Rana?" tanya wanita yang biasa ia panggil Bude Harti."Suami Rana ada kerjaan di Yogyakarta, Bude. Makanya Rana bisa ke sini. Kalau tidak, Rana repot ijinnya," jawab gadis itu sambil tersenyum ramah. Ada banyak makanan yang ia beli untuk acara pengajian sebelum pernikahan kakaknya besok. Tetangga pada kumpul karena memang mereka ingin melihat Rana yang sudah lama tidak pernah pulang kampung."Kamu tuh nikahnya kontrak kan?" tanya salah satu ibu yang merupakan tetangga bapaknya."Kalau cuma n