Kapan Syabil ke mari, Pa? Aku gak ada teman di rumah sakit ini. Jangan lama-lama. Aku repot kalau sendirian.SendPesan itu dikirimkan Jelita pada papanya. Tidak ada tanda dibaca. Jika saja ia sudah bisa buka mulut lebar untuk bicara, pastilah udah keluar semua kekesalannya menunggu asisten papanya yang akan menemaninya di Thailand. Jelita terus menggerutu dari balik perban wajahnya. Jangan ditanya bagaimana rasanya? Tidak bisa dilukiskan, apalagi saat bius dan nyeri bekas operasi itu terasa sesekali. Kulit wajahnya seperti ditarik.Ia mencari kontak Syabil di dalam grup anak buah papanya. Langsung ia simpan kontak tersebut.Syabil, ini aku, Jelita. Kamu kapan ke Thailand? Papa udah bilang belum?SendSyabil Anak BuahOh, iya, Non, juragan udah bilang. Lusa pagi-pagi saya berangkat. Nenek saya masih sakit, Non. Kasihan kalau saya tinggal.Aku juga sakit. Aku anak atasan kamuSendSyabil Anak BuahSaya lebih baik gak kerja dari pada harus tinggalin nenek saya dalam keadaan sakit. Semog
Pak Darmono berlari sekuat tenaga melewati jalan setapak. Ia tidak tahu kakinya ke mana akan melangkah karena ia tidak sempat bertanya pada pemuda yang menolongnya. Namun, ini sudah jauh lebih baik dari pada ia harus di dalam rumah pria posesif yang sudah tua bangka. Sesekali ia menoleh ke belakang, keadaan aman terkendali dan dalam suasana magrib memang kampung sepi. Tidak ada warga kampung yang keluar. Pak Darmono tidak mempunyai HP untuk menghubungi istrinya. Namun, pria itu tiba-tiba meraba saku celananya dan mendapati dompetnya masih ada di belakang. Uang pun masih utuh seperti saat ia pergi. "Kang, numpang ke depan!" Teriak Pak Darmono pada pemuda yang kebetulan lewat di depannya. Pak Darmono mengangkat uang seratus ribu di depan pemuda itu, saat kendaraan roda duanya berhenti. "Itu buat saya?" tanya pemuda itu tidak percaya. Wajahnya asing dan pria paruh baya itu yakin, pemuda di depannya ini tidak mengenalnya. "Iya, ini buat Kakang, tapi antar saya sampai ke depan jalan ra
"Kamu gak mungkin gak kenal Abdi," kata Jelita saat wanita itu baru saja selesai dibuka perban wajahnya. Syabil ada di sana, tengah berdiri berjaga, layaknya bodyguard."Syabil, aku ngomong sama kamu!" "Iya, Non, saya dengar. Pasti ada lanjutan lagi dari kalimat Non Jelita'kan? Ini lagi saya dengerin," jawab Syabil santai. "Bagus. Kamu harus menjadi anak buah yang patuh kalau masih ingin kerja sama papaku!" Ucapan itu entah sudah berapa kali didengar oleh Syabil, sehingga ia tetap merasa biasa saja. Ancaman Jelita sama sekali tidak menakutkan."Siap, Non." "Apa kamu pernah lihat istri Abdi?" "Oh, Mbak Luisa namanya. Saya pernah lihat pas nikah. Pakai cadar aja cantik, apalagi buka cadar. Kayak artis Korea yang main sama Le min Ho yang jadi duyungnya. Tahu kan, Non? Cantik, tinggi, putih." Jelita memutar bola mata jengah mendengar pujian tulus Syabil terhadap Luisa. "Ck, tidak ada orang yang sempurna kali," balas Jelita sengit. "Sama, Non, baik wanita yang jahat, tidak selamanya
POV Levi"Apa kamu yakin?" aku hampir tidak percaya dengan ucapan orang suruhanku. Pemuda itu mengangguk yakin."Saya dapat informasi dari tetangga di sana. Pak Darmono hilang sudah lebih seminggu dan istrinya juga pergi. Ada gosip yang beredar di kampung, bahwa Abdi, suami Non Luisa itu disukai oleh anak orang terkaya di kampung. Lalu Non Luisa disukai oleh lelaki tua kaya di kampung sana. Oleh karena itu Non Luisa pergi bersama suaminya. Saya yakin Non Luisa gak ada di Jakarta, Bos.""Saya gak akan percaya ucapan kamu sepenuhnya sampai kamu bisa membawa saya bertemu dengan Pak Darmono. Kembali lagi ke sini jika sudah dapat kabar baru. Ah, iya, satu lagi. Siapa nama laki-laki kaya yang terobsesi dengan Luisa?" "Juragan Andri. Sudah usia lima puluh tahun. Tua Bangka yang gak inget umur, Bos. Kaki belum tentu kuat goyang, udah naksir bini orang." Levi mendelik. "Kamu nyindir saya?!" pemuda itu langsung kabur keluar ruanganku. Jadi sekarang sainganku bukan hanya Abdi, tetapi orang tua
Ucapan Rana sedikit mengangguku. Baru kali ini dan aku tidak tahu kenapa bisa aku memikirkannya? Apa karena Rama selama ini selalu patuh dan tidak pernah melakukan yang bikin aku tidak suka. Rana juga sedang mengandung anakku, jadi bisa saja ini karena naluri seorang ayah. "Sarapan, Mas, eh ... Tuan, maksudnya," kata Rana menawarkan. Aku memejamkan mata sejenak."Bukan berati kamu bisa panggil aku semau kamu ya, Rana. Semalam itu karena memang sudah tugas kamu melayani aku. Sampai kapan pun kamu hanya karyawan yang dibayar untuk hamil anakku. Ingat itu dan jangan pernah lupakan! Siapkan semua sarapanku, setelah itu, segera pergi dari hadapanku!" Rana mengangguk paham tanpa suara. Aku menyesap teh yang sudah dia atas meja. Tidak lama, Rama kembali dari dapur sambil membawakan spaghetti. "Ini, Tuan." Piring itu mendarat mulus di depanku tanpa suara. Rana langsung pergi sesuai dengan apa yang aku perintahkan. "Pagi, Levi.""Pagi, Mom." Aku tersenyum pada mamaku. Ia pun ikut tersenyum.
POV Luisa"Bagaimana pekerjaan hari ini, Kang, apakah lancar?" aku menaruh cangkir teh di atas meja. Kang Abdi baru saja keluar dari kamar dengan wajah dan tubuh segar. Ia baru saja pulang dari pabrik pengolahan limbah milik Om Mustopo."Lancar, Non. Masih belajar. Namanya baru dua hari kerja. Kamu gak papa di rumah'kan? Udah ada kabar dari Nisa? Semua aman?" aku tersenyum. Sengaja aku letakkan kepala ini di kedua pahanya. Kang Abdi duduk di bawah sambil meluruskan kakinya. "Satu-satu nanyanya, Kang. Alhamdulillah di rumah aman. Gak ada yang aneh-aneh. Tadi belanja ke warung sayur gak jadi, karena ada tukang sayur keliling di sini. Saya beli di Abang tukang sayur. Terus tadi cek status Nisa lagi makan nasi pecel Lela sama papa. Berarti semua aman. Semoga aja aman terus." Hati ini sedikit meragu. Di rumah sebelah ada Ratih, kakak dari Edmun. Ada juga mantan mertuaku yang sepertinya tinggal bersama Ratih. Ini yang bikin aku sedikit meragu, akan ketenangan hidup bersama Kang Abdi. Kami
"Maaf, Ibu siapa ya?" tanya suamiku sambil tersenyum. Ia berdiri dengan santai menghampiri mantan mama mertuaku."Saya mertuanya Luisa. Eh, maksud saya mantan mertua. Bukan begitu Luisa?" aku hanya diam tanpa bisa berkata-kata. Kejadian seperti ini sudah bisa kutebak bisa terjadi kapanpun. Apalagi hanya lima langkah dari depan rumah. Tidak mungkin aku dan keluarga Edmun tidak berpapasan."Oh, iya, Bu. Mohon maaf sekali lagi. Bukan maksud saya untuk tidak sopan pada orang tua, tetapi saya sebagai suami sudah membuat aturan, bahwa istri saya tidak akan berhubungan dengan masa lalunya. Apalagi jejak cerita saat menjadi menantu Ibu, kurang baik. Suaminya mengambil foto istri saya diam-diam, lalu ia berikan pada Levi. Jadi, baik Edmun dan keluarganya, juga Levi dan keluarganya,saya tidak ijinkan untuk bicara dengan istri saya. Mohon dimaklumi ya, Bu." Aku menghela napas lega begitu mendengar kalimat penolakan santun yang diucapkan suamiku pada ibunya Edmun. Aku mengira, suamiku akan membuk
POV PenulisRana membuka ponsel suaminya menggunakan sidik jari, saat Levi tengah terlelap. Perasaan wanita itu mengatakan ada hal yang tidak beres. Satu per satu pesan ia buka dan yang paling mencolok adalah kontak 'Cintaku' sudah sangat jelas itu bukan dirinya. Karena nama kontaknya di ponsel suaminya 'Mbak Pembantu'Ia membaca riwayat chat yang dikirimkan suaminya pada Luisa. Ia segera mencatat nomor itu, lalu meletakkan kembali ponsel suaminya di atas nakas. Rasa penasaran tidak hanya sampai di situ saja rupanya, karena saat ini ia kembali menggunakan jari telunjuk suaminya untuk membuka ponsel berlogo apel digigit itu. Kali ini ia membuka galeri dan menelusuri galeri sejak enam bulan sampai satu tahun yang lalu. Matanya membulat sempurna saat ada foto Luisa tanpa busana di sana. Ada juga videonya. Rana menghapusnya cepat dengan tangan gemetar. Keringat sudah membanjiri kening dan lehernya. Berkali-kali ia menelan ludah karena gerakan tangannya yang gugup, membuatnya sedikit kes
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su