"Kamu Luisa?" tanya Emdun terheran karena melihat tamu berkerudung. Ia mengucek matanya dengan cukup kuat untuk memastikan pandangannya tidak salah. Wajah teduh m, tapi tetap cantik itu adalah Luisa. Istri yang sebentar lagi akan menjadi mantannya."Mau apa ke sini? Puas kamu melihat aku yang tersiksa seperti ini?" Edmun menatap wajah Luisa dengan penuh kemarahan."Tentu saja aku puas. Sekarang kamu gak bisa merekayasa kematian lagi dan jangan mencoba merekayasanya kembali, karena bisa saja kamu benar-benar mati." "Kamu sudah berkerudung, tetapi mulit kamu begitu tajam. Apa kamu tidak malu dengan kerudung yang kamu pakai?" balas Edmun sengit. Luisa tertawa."Tidak perlu aku terlalu ramah pada pria yang sudah menghancurkan hidupku dan juga keluarga besarku. Aku kehilangan segalanya karena kamu, Ed. Kamu penyebabnya." Suara Luisa bergetar menahan tangis sekaligus amarah."Aku begini karena papa kamu yang terlalu pelit pada menantu sendiri. Akhirnya semuanya hilang juga kan? Udah, sekar
Tiga bulan berlalu. Aku ada di sini, di kampung halaman lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Kami akan menikah demi untuk menyelamatkan aku dari teror lelaki dewasa super agresif, siapa lagi kalau bukan Levi. Sebenarnya ada cara lainnya aku terlepas dari Levi, salah satunya dengan sekolah ke luar negeri, tetapi Levi itu banyak uang dan bisa melakukan apapun, termasuk menyusulnya ke luar negeri. "Non, sudah siap?" tanya Nisa; ibu sambung yang sekaligus akan menjadi adik iparku. Bukan karena aku kurang gaul, sehingga harus menikah dengan kakak dari ibu sambungku, tetapi untuk saat ini, hanya Kang Abdi yang paling pas untk kondisiku yang rumit ini. "Non, melamun apa? Ayo, keluar! Ijab sahnya sudah selesai. Non Luisa udah sah menjadi istri kakang saya. " "Alhamdulillah." Aku menghela napas lega. Nisa menghampiriku, menggandeng lengan ini untuk membawaku berjalan keluar dari kamar. Gamis putih dengan eksen brokat, dan juga jilbab putih dengan selendang putih panjang berada
Aku dan Kang Abdi sudah berada di kamar pengantin. Kamar yang awalnya ditiduri oleh suamiku itu sebelum kami menikah. Suamiku tengah membuka baju Koko, lalu ia gantung di balik pintu. Aku masih tidak tahu mau melakukan apa. Memang ini sudah malam. Aku pun sudah memakai piyama model gamis dengan motif bunga-bunga. Kalau malam waktunya tidur kan? Tapi kayaknya gak mungkin malam ini aku lalui dengan tidur saja. "Non, kenapa? Mau langsung tidur atau kita mau ngobrol dulu?" tanya suamiku dengan senyuman lebar. "Ngobrol, Kang. Saya memang udah capek, tapi belum mengantuk." Aku naik ke atas ranjang baru yang dihadiahkan papa untuk kami. Untunglah kamar Kang abdi luas, sehingga kasur ukuran seratus delapan puluh itu muat di kamar. Ditambah lemari baju, sebuah rak, dan juga meja rias. Lantainya masih dari semen, sehingga ruangan di dalam rumah luas. Baik kamar, ruang tamu, ruang kumpul keluarga, dan juga dapur. Ditambah rumah Kang Abdi tanpa sekat. Aku rasa, saat nanti kami punya anak, anak-
POV Levi"Apa maksud kamu, Luisa sudah menikah? Kapan?""Maaf, Bos, saya terlambat mendapatkan informasinya. Non Luisa menikah kemarin di Kampung Sukajadi bersama pria bernama Abdi yang merupakan salah satu jawara di kampung itu.""Mau jawara, mau dukun, mau mafia sekalipun, aku gak peduli, kamu harus bisa membawa Luisa kembali ke Jakarta, secepatnya!" Aku memutus panggilan itu. Semua ini karena mommy yang membuat Luisa terlepas dari genggamanku. Jika saja mommy tidak emosi dan bersabar sedikit lagi, pasti aku akan bisa mendapatkan Luisa. Aku akan berhenti melakukan kekonyolan dan juga kejahatan, tetapi karena mommy, semuanya jadi berantakan. Jika Luisa bisa berpisah dari Edmun, maka Luisa pun bisa berpisah dari suami kontraknya itu."Tuan, ini makan malam ...."Prak!"Aku gak butuh perhatian dari kamu, Bangsat! Gara-gara kamu, wanita yang paling aku cintai kini menikah dengan orang lain. Kamu sialan! Wanita kampung yang gak tahu diri!" Aku mencengkeram kuat rahang kedua pipinya."De
"Kamu, antar wanita ini kembali ke habitatnya!" Mommy memberikan beberapa lembar pada wanita malam yang harusnya malam ini bisa menghangatkan ranjangku, tetapi apalah daya, mommy sudah pulang dan semuanya gagal."Kenapa masih bengong? Kurang?!" Mommy melotot ke arah wanita itu."Baik, Nyonya, kami permisi!" Aku melihat Julius menarik kencang tangan wanita malamku, tetapi aku tidak bisa melakukan apapun selain pasrah akan kemarahan mommy. "Masuk!" Mommy menarik tanganku dengan keras. Karena tubuh ini dikuasai oleh alkohol, maka aku pun berjalan sempoyongan. Mommy mendorongku untuk duduk di sofa. Bokong ini pun terhempas kuat."Rana, buatkan air jahe untuk suami kamu. Setelah itu siapkan air hangat," kata Mommy pada Rana. Aku membiarkan mereka berdua berbuat apapun terhadap tubuh ini. Kuputuskan memejamkan mata agar rasa sakit pada organ vitalku bisa berkurang. Entah bagaimana dan kapan terjadi. Aku terbangun di dalam kamar. Matahari mulai menampakkan sinar teriknya dari balik jendela
POV Luisa"Kakak ipar rambutnya basah terus," ledek Nisa saat aku membuka pintu rumah sederhana milik Kang Abdi. Rumah yang kini aku tinggali dan bisa tidur dengan nyaman di dalamnya."Ya basah dong, namanya juga mandi," jawabku sambil tersipu malu. Rambut ini pun masih terbungkus handuk kecil, sedangkan badanku tertutup handuk kimono panjang. Nisa ikut masuk, sebelumnya ia menutup pintu kembali. "Kakang mana?" tanya Nisa. Aku kembali merona. Di saat bersamaan, Kang Abdi baru saja keluar dari kamar mandi. Ia pun mengenakan handuk yamg dililit di pinggang."Oh, jadi gini, Mabar ya?" Nisa terbahak. Aku mengerutkan kening. Apa itu Mabar?"Mabar apaan sih?" tanyaku."Mandi bareng, ha ha ha ... bebas kalau pengantin baru mah. Ya kan, Kang?!" "Kamu ganggu aja, orang saya mau lanjut di kamar sama istri cantik saya ini. Sudah sana balik, suami kamu nanti digondol Yu Darsih loh," balas Kang Abdi sambil tertawa. Nisa pun bangun dari duduknya, lalu berjalan keluar ke arah pintu rumah."Oh, iya
Aku melambaikan tangan saat Kang Abdi menoleh ke arahku. Siang ini suamiku pergi untuk mencari rejeki. Untuk saat ini memang hanya inilah yang bisa membuat kami semua bisa bertahan hidup.Tabungan papa menipis. Uang tabungan hasil pesangon saat diberhentikan dari perusahaan. Memang uang pesangon itu sangat banyak menurutku. Menyentuh angka tiga milyar untuk sekelas presiden direktur, tetapi karena papa masih harus bolak-balik ke dokter dan juga biaya hidup sehari-hari, maka perlahan uang itu pun menipis. Papa bahkan membeli dua petak sawah di kampung Nisa ini dan juga membeli sebuah rumah sederhana seharga seratus delapan puluh juta saja. Sangat murah karena pemilik rumah memang sedang butuh."Assalamualaikum." Aku tersentak dari lamunan, saat suara yang saat ini tengah aku pikirkan, terdengar di balik pintu. Lekas aku memakai jilbab besarku, lalu membuka pintu untuk papa."Wa'alaykumussalam, Papa. Ayo, masuk, Pa!" Aku menarik tangan papa dengan perlahan untuk membawanya duduk di ku
POV AbdiBiasanya saat aku berangkat kerja, mengawal siapapun orangnya, tidak ada rasa cemas sama sekali, tapi pagi menjelang siang ini, aku setengah hati berangkat, meskipun istri cantikku mengijinkan, bahkan mengantarku sambil melambaikan tangan dan juga senyuman manisnya. Aku sampai di rumah Juragan Andri yang tengah dijaga oleh Paman Husni, jawara senior di kampungku. Juragan Husni ditemani muridnya Syabil. Aku memarkirkan motor di bawah pohon Nangka, lalu menyimpan terlebih dahulu kunci motor di dalam saku celana. Tidak lupa aku silent dahulu ponsel ini. Juragan paling tidak suka jika sedang bicara pekerjaan, ada suara dari ponsel. Mau siapapun itu anak buahnya, semua harus patuh aturan."Assalamualaikum, Paman." Kuulurkan tangan untuk berjabat. "Wa'alaykumussalam, Abdi. Kamu sudah ditunggu juragan. Sudah sana langsung masuk!" Aku mengangguk. Tersenyum juga pada Syabil yang ikut menoleh ke arahku. Juragan Andri ini adalah pemilik sawah hampir tiga puluh persen di kampungku. Ba