"Jika nanti istri saya sehat, boleh Juragan kalau mau mampir. Ini istri saya masih penyesuaian makanan kampung, jadi perutnya sakit. Udah minum obat, tapi masih rewel. Namanya juga pengantin baru, Juragan," jawabku tidak enak hati, tetapi hal ini tetap harus aku utarakan dari pada nanti Luisa menjadi marah padaku karena membawa orang asing di rumah."Wah, istri kamu sakit? Mau diperiksa dokter pribadi saya?" tawarnya membuat jantung ini berdetak cepat. Ini tidak biasa, ini terlalu luar biasa. Pasti ada maksud bosnya terlalu baik hari ini."Mana berani saya, Juragan. Istri saya insyaAllah gak papa. Mungkin ini karena manja saja," jawabku menolak halus. Juragan Andri tertawa lebar."Sayang sekali saya gagal punya menantu kamu, Abdi. Padahal, saya berharap orang seperti kamu nanti yang menggantikan saya. Meneruskan bisnis saya, tapi gak papa, belum berjodoh dengan putri cantik saya." Aku hanya bisa tersenyum sumbang. Rasanya bosku terlalu membingungkan hari ini. Tidak seperti sebelum-se
POV LuisaLekas semua kembali baju yang seminggu lalu, baru rapi aku susun dalam lemari, kini semua aku masukkan ke dalam tas besar dan juga satu buah koper. Kang Abdi juga bergerak cepat untuk membantuku. Perkataanku padanya tentang pria bermuka dua seperti Levi, cukup membuatnya takut sehingga mendukung rencanaku. Kami berdua dalam keadaan panik, tetapi tetap harus sambil berpikir bahwa keputusan kami berdua ini sudah tepat. Nisa baru saja aku beritahu dan ia syok, sekarang ibu sambungku itu pulang ke rumahnya untuk memberitahu papa."Kalian serius?" suara papaku dari arah pintu. Kami berdua menoleh serentak. Baru saja aku bergumam tentang papa, orangnya sudah muncul."Pa, iya. Saya gak bisa tinggal di sini. Bos Kang Abdi setipe dengan Levi. Bedanya bos suami saya ini udah tua." Papa masuk ke dalam kamar. Wajahnya begitu terkejut dan sepertinya tidak ikhlas dengan kepergian kami. "Sayang sekali, Papa berharap kamu bisa hidup tenang di kampung bersama suami, tetapi malah ujian lain
Mobil yang menjemput kami sudah tiba di halaman rumah. Aku dan Kang Abdi sudah siap. Papa dan Nisa berada di rumah mereka, berpura-pura tidak tahu bahwa aku sakit dan akan dibawa ke rumah sakit. Nanti mereka muncul, dengan ekspresi begitu mengkhawatirkan aku, saat Kang Andi membawaku masuk ke dalam mobil. Di tengah keriuhan itulah, Kang Abdi nanti memasukkan koper dan tas kami."Bismillah, kita bisa!" Ucap Kang Abdi yakin. Suamiku membuka pintu rumah, lalu segera menggendongku untuk masuk ke dalam mobil."Luisa kenapa, Abdi?" tanya papaku berpura-pura terkejut. Aku diletakkan di kursi penumpang belakang. Papa berlari menghampiri kami, diikuti Nisa dengan perut buncitnya yang semakin kelihatan."Luisa lemas, Pa, sakit perutnya. Ini mau dibawa ke dokter dulu." Di tengah keriuhan papa dan Nisa, Kang Abdi berhasil membawa masuk tas besar. Matanya memberikan kode berkedip beberapa kali. Aku pun mau tidak mau mengangguk. "Pa, kami jalan dulu! Saya mau bawa Luisa ke dokter di kota!" Seru Ab
POV Penulis Flash backMalam hari sebelum Jelita bertemu dengan Abdi. Ia dan papanya tengah menikmati makan malam di ruang makan; rumah besar mereka. Sesekali pria bernama Andri atau yang biasa dipanggil Juragan Andri itu tersenyum melihat putrinya. Bukan senyuman bahagia, lebih pada senyuman iba."Apa kamu udah tahu kabar baru?" tanya Juragan Andri membuka percakapan. Nasi sudah mau habis, barulah pria tua itu bersuara. "Kabar apa? Apa ada anak teman Papa yang mau melamar lagi? Lita sudah bilang gak mau dijodohkan dengan siapapun saat ini!" Ujar Jelita tegas. Wanita yang biasa dipanggil papanya dengan panggilan Lita ini, segera menghabiskan air putih dalam gelas besarnya."Masih mengharapkan Abdi?" tanya Juragan Andri lagi sehingga Jelita kembali duduk. "Tentu saja. Papa sudah tahu jawabannya. Saya masih menunggu Kang Abdi.""Abdi belum lama pulang. Papa juga baru tahu sih, ternyata dia pulang untuk menikah. Kita terlambat. Saat Abdi menikah beberapa hari lalu, kita masih di Surab
"Gimana, Pa? Papa udah tugaskan Kang Abdi agar jauh dari istrinya?" tanya Jelita setelah Abdi pulang dari rumah orang tuanya. "Udah. Di sana nanti biar dia, Papa bikin ribet. Jadinya banyak urusan sehingga gak bisa pulang. Papa juga penasaran sih sama istrinya Abdi. Siapatahu Papa bisa jadiin ibu sambung kamu ha ha ha .... gak ibu sambung juga gak papa. Asalkan bisa tidur bareng." Ayah dan anak itu tertawa lebar. "Lita tahu bahwa Papa itu paling the best. Paling tahu taktik untuk menaklukan lawan. Papa dapat istrinya, saya dapat suaminya. Semoga aja kali ini berhasil." Jelita mengecup pipi papanya, lalu ia keluar dari ruangan kerja itu. Jelita kembali ke kamar. Ia mengirimkan pesan pada tetangga Abdi yang rumahnya hanya berjarak tiga rumah saja dari rumah Abdi.Apa beneran istri Kang Abdi cakep?SendPesannya yang tidak langsung dibalas, membuat Jelita yang amat penasaran pun akhirnya menelepon temannya itu."Halo, Nani, kamu lagi ngapain? Pesan aku gak dibalas?" "Eh, Non Cantik, s
POV Penulis"Mang, kami turun di depan sana saja. Biar naik bus ke Jakarta, gak usah diantar sampai Jakarta. Katanya di tol Cikampek kebanjiran. Mobil Mamang kan gak bisa kebanjiran, jadi biar kita aman dan selamat semua, kamu naik bus aja," ujar Abdi saat mereka hampir melewati terminal."Oh, gitu, beneran gak papa? Nanti Mamang ditanyain Nisa gimana?""Ini saya lagi bilangin Nisa. Kami biar naik bus saja." Mobil yang dikendarai mamang dari Abdi pun berhenti di depan halte."Bukannya naik bus itu lama? Istri kamu sakit loh," kata Mang Karim masih berusaha membujuk, tetapi Abdi tentu saja tidak goyah. Ia harus menjalankan misi sesuai rencana, jika tidak, bisa berabe semuanya."Udah minum obat, Paman. Saya bisa kok," jawab Luisa sambil tersenyum. Wanita itu mengeluarkan uang merah dua lembar dari saku celana kulot besar yang ia kenakan, lalu ia berikan pada Mang Karim."Buat ganti bensin, Mang. Hati-hati di jalan ya." "Alhamdulillah, makasih Non Luisa." Abdi masih berpura-pura memapah
Pak Darmono dan istrinya tentu saja tidak bisa menolak kedatangan tamu yang sangat tidak mereka harapkan. Nisa tetap menguatkan dirinya untuk membukakan pintu rumah, sedangkan Pak Darmono lebih santai. Ia pria dewasa yang tentunya untuk menghadapi masalah harus dengan bijak."Biar saya saja yang buka, kamu buatkan minum di dapur. Setelah selesai, kamu masuk kamar ya. Nanti biar saya yang ambil ke dapur," kata Pak Darmono pada istrinya. Nisa pun mengangguk paham. Keduanya keluar dari kamar, Pak Darmono ke arah pintu rumah, sedangkan Nisa ke dapur. Cklek"Selamat malam." Pak Darmono membuka pintu rumahnya untuk menyambut tamu. "Wah, apa Anda yang bernama Pak Darmono?" tanya Juragan Andri sambil tersenyum."Betul, mari silakan masuk, Pak," ujar Pak Darmono yang enggan memanggil sebutan juragan. Tamu pria dewasa itu pun langsung masuk tanpa basa-basi dan duduk di kursi kayu antik di ruang tamu. Matanya nyalang menatap ke seluruh isi rumah, lalu berhenti pada tirai penyekat antara ruang
"Orang yang sombong begitu, pasti gak akan lama atau dia akan hancur oleh orang kepercayaannya. Kita harus peringatkan Abdi dan Luisa untuk hati-hati. Saya juga udah kontak teman yang ada di Jogyakarta untuk tempat tinggal mereka sementara," ujar Pak Darmono yang menyiratkan kekhawatiran begitu dalam terhadap anak dan menantunya."Iya, Pa, saya juga deg-degan. Juragan Andri terkenal terlalu obsesi." Ucapan Nisa membuat suaminya menghela napas kasar."Seperti Levi. Kadang saya berpikir, apa salah dan dosa saya di masa lalu, hingga anak saya harus bertemu dengan orang-orang yang terlalu posesif. Gimana bisa menjaga Luisa, jika di mana saja bertemu pria berkarakter antagonis seperti itu." Nisa mendekatkan tubuhnya pada suaminya."Papa sibuk sama Luisa dan Kang Abdi, sampai Papa lupa ini ada bayinya. Pengen juga diperhatikan papanya. Masa kakak Luisa aja," rengek Nisa manja. Pak Darmono pun sadar akan hal itu. Ia mengecup kening istrinya dengan lembut, lalu turun ke bibirnya. "Sayang, ja