Aku melambaikan tangan saat Kang Abdi menoleh ke arahku. Siang ini suamiku pergi untuk mencari rejeki. Untuk saat ini memang hanya inilah yang bisa membuat kami semua bisa bertahan hidup.Tabungan papa menipis. Uang tabungan hasil pesangon saat diberhentikan dari perusahaan. Memang uang pesangon itu sangat banyak menurutku. Menyentuh angka tiga milyar untuk sekelas presiden direktur, tetapi karena papa masih harus bolak-balik ke dokter dan juga biaya hidup sehari-hari, maka perlahan uang itu pun menipis. Papa bahkan membeli dua petak sawah di kampung Nisa ini dan juga membeli sebuah rumah sederhana seharga seratus delapan puluh juta saja. Sangat murah karena pemilik rumah memang sedang butuh."Assalamualaikum." Aku tersentak dari lamunan, saat suara yang saat ini tengah aku pikirkan, terdengar di balik pintu. Lekas aku memakai jilbab besarku, lalu membuka pintu untuk papa."Wa'alaykumussalam, Papa. Ayo, masuk, Pa!" Aku menarik tangan papa dengan perlahan untuk membawanya duduk di ku
POV AbdiBiasanya saat aku berangkat kerja, mengawal siapapun orangnya, tidak ada rasa cemas sama sekali, tapi pagi menjelang siang ini, aku setengah hati berangkat, meskipun istri cantikku mengijinkan, bahkan mengantarku sambil melambaikan tangan dan juga senyuman manisnya. Aku sampai di rumah Juragan Andri yang tengah dijaga oleh Paman Husni, jawara senior di kampungku. Juragan Husni ditemani muridnya Syabil. Aku memarkirkan motor di bawah pohon Nangka, lalu menyimpan terlebih dahulu kunci motor di dalam saku celana. Tidak lupa aku silent dahulu ponsel ini. Juragan paling tidak suka jika sedang bicara pekerjaan, ada suara dari ponsel. Mau siapapun itu anak buahnya, semua harus patuh aturan."Assalamualaikum, Paman." Kuulurkan tangan untuk berjabat. "Wa'alaykumussalam, Abdi. Kamu sudah ditunggu juragan. Sudah sana langsung masuk!" Aku mengangguk. Tersenyum juga pada Syabil yang ikut menoleh ke arahku. Juragan Andri ini adalah pemilik sawah hampir tiga puluh persen di kampungku. Ba
"Jika nanti istri saya sehat, boleh Juragan kalau mau mampir. Ini istri saya masih penyesuaian makanan kampung, jadi perutnya sakit. Udah minum obat, tapi masih rewel. Namanya juga pengantin baru, Juragan," jawabku tidak enak hati, tetapi hal ini tetap harus aku utarakan dari pada nanti Luisa menjadi marah padaku karena membawa orang asing di rumah."Wah, istri kamu sakit? Mau diperiksa dokter pribadi saya?" tawarnya membuat jantung ini berdetak cepat. Ini tidak biasa, ini terlalu luar biasa. Pasti ada maksud bosnya terlalu baik hari ini."Mana berani saya, Juragan. Istri saya insyaAllah gak papa. Mungkin ini karena manja saja," jawabku menolak halus. Juragan Andri tertawa lebar."Sayang sekali saya gagal punya menantu kamu, Abdi. Padahal, saya berharap orang seperti kamu nanti yang menggantikan saya. Meneruskan bisnis saya, tapi gak papa, belum berjodoh dengan putri cantik saya." Aku hanya bisa tersenyum sumbang. Rasanya bosku terlalu membingungkan hari ini. Tidak seperti sebelum-se
POV LuisaLekas semua kembali baju yang seminggu lalu, baru rapi aku susun dalam lemari, kini semua aku masukkan ke dalam tas besar dan juga satu buah koper. Kang Abdi juga bergerak cepat untuk membantuku. Perkataanku padanya tentang pria bermuka dua seperti Levi, cukup membuatnya takut sehingga mendukung rencanaku. Kami berdua dalam keadaan panik, tetapi tetap harus sambil berpikir bahwa keputusan kami berdua ini sudah tepat. Nisa baru saja aku beritahu dan ia syok, sekarang ibu sambungku itu pulang ke rumahnya untuk memberitahu papa."Kalian serius?" suara papaku dari arah pintu. Kami berdua menoleh serentak. Baru saja aku bergumam tentang papa, orangnya sudah muncul."Pa, iya. Saya gak bisa tinggal di sini. Bos Kang Abdi setipe dengan Levi. Bedanya bos suami saya ini udah tua." Papa masuk ke dalam kamar. Wajahnya begitu terkejut dan sepertinya tidak ikhlas dengan kepergian kami. "Sayang sekali, Papa berharap kamu bisa hidup tenang di kampung bersama suami, tetapi malah ujian lain
Mobil yang menjemput kami sudah tiba di halaman rumah. Aku dan Kang Abdi sudah siap. Papa dan Nisa berada di rumah mereka, berpura-pura tidak tahu bahwa aku sakit dan akan dibawa ke rumah sakit. Nanti mereka muncul, dengan ekspresi begitu mengkhawatirkan aku, saat Kang Andi membawaku masuk ke dalam mobil. Di tengah keriuhan itulah, Kang Abdi nanti memasukkan koper dan tas kami."Bismillah, kita bisa!" Ucap Kang Abdi yakin. Suamiku membuka pintu rumah, lalu segera menggendongku untuk masuk ke dalam mobil."Luisa kenapa, Abdi?" tanya papaku berpura-pura terkejut. Aku diletakkan di kursi penumpang belakang. Papa berlari menghampiri kami, diikuti Nisa dengan perut buncitnya yang semakin kelihatan."Luisa lemas, Pa, sakit perutnya. Ini mau dibawa ke dokter dulu." Di tengah keriuhan papa dan Nisa, Kang Abdi berhasil membawa masuk tas besar. Matanya memberikan kode berkedip beberapa kali. Aku pun mau tidak mau mengangguk. "Pa, kami jalan dulu! Saya mau bawa Luisa ke dokter di kota!" Seru Ab
POV Penulis Flash backMalam hari sebelum Jelita bertemu dengan Abdi. Ia dan papanya tengah menikmati makan malam di ruang makan; rumah besar mereka. Sesekali pria bernama Andri atau yang biasa dipanggil Juragan Andri itu tersenyum melihat putrinya. Bukan senyuman bahagia, lebih pada senyuman iba."Apa kamu udah tahu kabar baru?" tanya Juragan Andri membuka percakapan. Nasi sudah mau habis, barulah pria tua itu bersuara. "Kabar apa? Apa ada anak teman Papa yang mau melamar lagi? Lita sudah bilang gak mau dijodohkan dengan siapapun saat ini!" Ujar Jelita tegas. Wanita yang biasa dipanggil papanya dengan panggilan Lita ini, segera menghabiskan air putih dalam gelas besarnya."Masih mengharapkan Abdi?" tanya Juragan Andri lagi sehingga Jelita kembali duduk. "Tentu saja. Papa sudah tahu jawabannya. Saya masih menunggu Kang Abdi.""Abdi belum lama pulang. Papa juga baru tahu sih, ternyata dia pulang untuk menikah. Kita terlambat. Saat Abdi menikah beberapa hari lalu, kita masih di Surab
"Gimana, Pa? Papa udah tugaskan Kang Abdi agar jauh dari istrinya?" tanya Jelita setelah Abdi pulang dari rumah orang tuanya. "Udah. Di sana nanti biar dia, Papa bikin ribet. Jadinya banyak urusan sehingga gak bisa pulang. Papa juga penasaran sih sama istrinya Abdi. Siapatahu Papa bisa jadiin ibu sambung kamu ha ha ha .... gak ibu sambung juga gak papa. Asalkan bisa tidur bareng." Ayah dan anak itu tertawa lebar. "Lita tahu bahwa Papa itu paling the best. Paling tahu taktik untuk menaklukan lawan. Papa dapat istrinya, saya dapat suaminya. Semoga aja kali ini berhasil." Jelita mengecup pipi papanya, lalu ia keluar dari ruangan kerja itu. Jelita kembali ke kamar. Ia mengirimkan pesan pada tetangga Abdi yang rumahnya hanya berjarak tiga rumah saja dari rumah Abdi.Apa beneran istri Kang Abdi cakep?SendPesannya yang tidak langsung dibalas, membuat Jelita yang amat penasaran pun akhirnya menelepon temannya itu."Halo, Nani, kamu lagi ngapain? Pesan aku gak dibalas?" "Eh, Non Cantik, s
POV Penulis"Mang, kami turun di depan sana saja. Biar naik bus ke Jakarta, gak usah diantar sampai Jakarta. Katanya di tol Cikampek kebanjiran. Mobil Mamang kan gak bisa kebanjiran, jadi biar kita aman dan selamat semua, kamu naik bus aja," ujar Abdi saat mereka hampir melewati terminal."Oh, gitu, beneran gak papa? Nanti Mamang ditanyain Nisa gimana?""Ini saya lagi bilangin Nisa. Kami biar naik bus saja." Mobil yang dikendarai mamang dari Abdi pun berhenti di depan halte."Bukannya naik bus itu lama? Istri kamu sakit loh," kata Mang Karim masih berusaha membujuk, tetapi Abdi tentu saja tidak goyah. Ia harus menjalankan misi sesuai rencana, jika tidak, bisa berabe semuanya."Udah minum obat, Paman. Saya bisa kok," jawab Luisa sambil tersenyum. Wanita itu mengeluarkan uang merah dua lembar dari saku celana kulot besar yang ia kenakan, lalu ia berikan pada Mang Karim."Buat ganti bensin, Mang. Hati-hati di jalan ya." "Alhamdulillah, makasih Non Luisa." Abdi masih berpura-pura memapah