"Halo, ada apa, Non?" suara Syabil terdengar khawatir. Ini masih jam lima pagi, tetapi Jelita sudah meneleponnya."Mau nanya doa qunut apaan?""Hah, doa qunut? Non mau ngapain?""Mau bakar rumah orang, Syabil. Ya jelas mau solat. Biar gak gampang digoda oleh setan yang bentukannya kadang berubah mirip kamu.""Ha ha ha ... kayaknya kesambet banci negara tetangga ini ya.""Biarin, udah cepet apaan doanya. Ngobrol sama kamu lama-lama di telepon bisa bikin aku pengen cepet daftar ke KUA." Lagi-lagi Syabil terbahak karena ucapan Jelita yang sangat aneh di subuh hari."Udah sehat kalau udah bisa becanda gini. Saya tulisan dulu doa qunut dalam tulisan bahasa Indonesia ya, nanti sekalian saya bawa pas ke rumah Non.""Iya, bawakan juga ayat qursi kalau ada yang hiasan dinding ya. Aku pengen gantung di rumah. Biar gak ada jin yang masuk ke rumahku.""Bukannya udah ada satu orang jin yang masuk? Namanya Adis, belum kenalan emang? ha ha ha ....""Ish, orang serius, dia malah bercanda. Ya sudah,
Jelita mengirimkan pesan pada Syabil tentang papanya yang dirawat di rumah sakit di Thailand, dengan diagnosa HIV. Namun, Syabil tidak membuka pesan itu karena Syabil tengah berlatih bela diri di belakang rumah. Baik dari kakek moyangnya memang senang dan jago beladiri. Hanya dirinya saja yang baru dua tahun, setelah hampir mati dikeroyok sekelompok pemuda yang mabuk-mabukan. Jika tidak ditolong Abdi, mungkin ia sudah meninggal. Sejak saat itu, Syabil berlatih bela diri secara otodidak dan sesekali diarahkan gerakannya oleh bapaknya. Di rumah Juragan Andri, Adis yang berada di kamar belum juga membereskan pakaian yang sudah sempat ia susun ke dalam lemari. Ia tidak begitu yakin ucapan Jelita benar karena bisa saja anak sambungnya itu hanya ingin ia pergi dari rumah yang sebentar lagi juga akan jadi miliknya. Kring! Kring!Tangannya dengan lincah menggeser layar ponsel yang bertuliskan terima. "Halo, Pak.""Halo, ada apa tadi kamu telepon Bapak? Bapak baru dari Kampung Jati, cari a
Bu Gina berkoordinasi dengan dokter yang merawat Juragan Andri. Pagi itu Bu Gina terbang ke Thailand untuk mengurus pemindahan kakaknya dari Thailand ke Indonesia. Semua itu ia lakukan agar kakaknya bisa diurus oleh banyak orang dan juga keluarga. Meskipun tidak secara langsung. Secara dekat, tetapi paling tidak ada yang di dekatnya untuk menghibur.Kondisi Juragan Andri belum langsung di ACC untuk pindah rumah sakit dalam waktu cepat. Dokter harus mengobservasi terlebih dahulu sambil melihat perkembangan kesehatan pasien mereka. Tentu saja jika sudah tidak terlalu lemas, mau makan, demamnya reda, dan tenggorokan sudah tidak sakit, maka baru bisa Juragan Andri dipindahkan perawatannya. Bu Gina menulis di kerta HVS dengan tulisan besar-besar. 'Jelita sudah di rumah utama. Anak Mas sehat. Jadi Mas harus cepat sehat juga. Biar bisa saya bawa ke Indonesia'Bu Gina mengetuk dinding kaca, agar kakaknya yang tengah melamun, menoleh ke arahnya dan membaca tulisan di kertas tersebut. Juragan
"Kamu mantan Syabil?" tanya Jelita setelah batuknya reda. Rinai mengangguk. "Hanya kisah lama, Nyonya. Yang jelas saat ini saya butuh uang." Jelita merasa serba salah. Ia butuh asisten, tetapi ia tidak menyangka malah pacarnya Syabil. Apakah nanti mereka tidak akan CLBK? Jelita tidak langsung menerima Rinai. "Tunggu di sini sebentar ya." Jelita naik ke kamarnya untuk menelepon Syabil. Namun, dua kali mencoba, Syabil tak juga mengangkat ponselnya. Ia ingin profesional dan pastinya ia harus percaya Syabil bawah pemuda itu tidak akan berani lari tanggung jawab. "Oke, besok kamu sudah bisa kerja di sini dengan gaji dua juta satu bulan. Jika kinerja kamu bagus dan tidak pernah ada masalah, maka gaji kamu saya naikkan. Kamu besok datang ke sini jam sembilan pagi saja tidak apa. Karena kamar tamu di bawah mau saya kosongkan terlebih dahulu.""Baik, Nyonya, saya sangat berterima kasih sudah diberi kesempatan ini. Saya permisi, Nyonya." Rinai pun pamit undur diri ditemani oleh Udin. Jelit
"Hei, apa yang kalian lakukan? Saya nyonya rumah ini. Hei, lepaskan! Turunkan saya, saya gak perlu dibawa begini, emangnya saya maling?!" Teriak Adis tidak terima. Katakan ia malu luar biasa karena teriakannya mengundang para tetangga kanan dan kiri menjadiknanya pusat perhatian."Kamu calon maling! Enak saja tidak mau keluar dari rumah saya. Jelas-jelas kamu hanya nikah siri dan gak tahu juga sampai sekarang masih mau dipake apa nggak sama papa saya. Bawa wanita ini pergi, Pak! Saya gak mau ada ular di rumah ini!" Adis tentu saja tidak bisa melawan tenaga dua orang lelaki bertubuh besar yang saat ini menariknya untuk masuk ke dalam mobil pemadam kebakaran."Dasar gila! Pantesan laki kamu mati karena punya istri gila seperti kamu! Kamu gila Jelita!" Teriakan Adis membuat Jelita mengepalkan tangan. Ia harus bisa mengontrol emosi karena ia sedang hamil. Jangan sampai ia malah memukuli Adis karena perkataan wanita itu yang sangat kasar."Jangan kembali lagi ke sini sebelum kamu bawa buku
Adis benar-benar diturunkan di kuburan oleh pemadam, padahal Jelita bermaksud bercanda, tetapi karena ia tidak konfirmasi lagi, sehingga Adis benar-benar diturunkan di depan pemakaman oleh dua petugas pemadam kebakaran. "Hey, bangsat kalian! Saya akan ingat wajah kalian biar kalian saya santet nanti!" Teriakan Adis begitu memilukan. Sudah jam sembilan malam dan ujung kampung Gang Kancil sudah pasti sepi dari warga yang berlalu-lalang. Area pemakaman pun jauh dari pemukiman warga, sehingga Aris benar-benar sendirian di daerah menyeramkan itu. Sayangnya, Adis tidak begitu mengenal Kampung Kancil yang berada di dekat hutan lindung yang amat lebat, sehingga ia malah salah jalan. Wanita itu malah masuk ke dalam hutan, semakin dalam dan semakin dalam.Tok! Tok!"Pak, Pak Ramdan!" Suara seorang anak kecil mengetuk pintu rumah bapak dari Adis itu dengan tak sabar. "Pak Ramdan,Mbak Adis dibawa mobil pemadam! Pak, cepat!" Seperti mendengar nama putrinya disebut, Pak Ramdan yang sedang buang
Pencarian pun dimulai. Kali ini dibantu oleh aparat lingkungan, serta satu orang petugas kepolisian yang kebetulan sedang pulang kampung ke Kampung Kancil. Pria bertubuh tinggi kekar itu yang memimpin pencarian Adis. Ada sekitar sepuluh orang, sudah termasuk Pak Ramdan yang terus masuk ke dalam hutan mencari keberadaan putrinya. Sepuluh orang itu mencari hingga waktu malam berganti hampir subuh, karena tidak ada tanda-tanda, maka mereka pun memutuskan pulang, lalu meminta bantuan aparat polisi di kota untuk mencari Adis. Tentu saja Pak Ramdan harus merelakan tabungan yang ia hemat-hemat untuk membayar petugas yang akan mencari anaknya setelah langit terang.Kabar hilangnya Adis pun menyebar. Semua orang Kampung Kancil membuat status tentang hilangnya Adis.Ngeri, keluar dari rumah suami, langsung hilang bak ditelan bumi.Jaman sekarang banyak anak muda ingin cepat kaya dengan cara menikah dengan duda kaya. Tahunya malah dapat petaka. Semoga anak Pak Ramdan ditemukan selamat walau ji
"Udah berapa lama kamu pacaran sama Syabil kalau saya boleh tahu?" tanya Jelita saat Rinai yang hari ini mulai bekerja dan sedang memijat kaki Jelita."Udah lama, Nyonya. Sejak SD mungkin. SD kelas satu." Jelita terkejut."SD? Emangnya SD udah pacaran?" tanya Jelita bingung. Saat SD ia sibuk kursus ini itu. Les pelajaran ini dan itu, tidak mengerti yang namanya pacaran."Udah kalau saya dan Syabil, Nyonya." Rinai merah merona wajahnya. "Aduh, masih kecil kenapa pacaran? Emangnya gak dimarahin orang tua?" "Pacarannya di gubuk, Nyonya." "Hah, di gubuk?" Jelita menelan ludahnya. Syabil benar-benar buaya darat sejak ingusan. Awas kamu, Syabil!"Ngapain?" tanya Jelita penasaran. Ia membetulkan duduknya di sofa agar lebih tegak."Main monopoli. Kadang juga kupas kacang tanah dari kulitnya. Pernah juga bikin kerupuk.""Ooh, kirain!" Jelita menghela napas lega. Baru saja ia ingin memukuli Syabil, ternyata di gubuk hanya mainan anak-anak saja."Tapi kadang-kadang sambil pegang-pegang saya j
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su