Suasana malam itu begitu mencekam. Seharusnya semua orang larut dalam kebahagiaan sepasang kekasih yang baru saja disatukan oleh Tuhan melalui ikatan pernikahan.Di luar dugaan, sebuah bencana, peristiwa menakutkan terjadi malam itu. Telah terjadi aksi teror penembakan yang berhasil menakut-nakuti semua orang yang hadir dalam acara pesta. Terutama sepasang pengantin yang terlihat begitu terpukul. Padahal sistem keamanan sudah dibuat berdasarkan SOP. Namun tetap saja kecolongan! Sniper berhasil menembus sistem keamanan acara. Tentu saja, ia seorang terlatih menembak dari jarak jauh. Sudah barang tentu, mudah baginya untuk melancarkan aksinya. Padahal, kenyataannya aksinya meleset, entah sengaja dibuat meleset.Pencarian pelaku teror gencar dilakukan. Polisi sudah mengantongi ciri-ciri pelaku ketika tertangkap rekaman CCTV berasal dari resort lain. Namun rekaman itu tak cukup kuat menjadi bukti.Barang bukti lainnya ialah selongsong peluru yang menancap di pohon palem. Peluru berjenis
“Acep bertahanlah!” seru Salwa pada sosok pria yang terluka-sniper.Salwa berhasil melepaskan ikatan tangan dan kakinya dengan menggeseknya pada besi yang teronggok di gudang berdebu tersebut.Ia terkejut setengah mati setelah mengamati lamat-lamat, siapa sniper yang terbaring tak jauh dari sisinya.Dia ternyata Acep, sahabatnya ketika duduk di MA AlFatma. Sosok pemuda kalem, cerdas dan lugu yang menaksir mati-matian pada sahabatnya, Neng Mas.Rupanya, setiap orang menjemput takdirnya masing-masing. Pemuda lugu itu tumbuh menjad sosok yang tak dikenal, asing!Tubuhnya tinggi besar dengan otot-otot yang liat. Namun wajah lugunya masih terlihat meskipun disembunyikan dengan cara apapun.Salwa langsung mengecek denyut nadinya. Sebuah keajaiban terjadi. Ia masih bernafas meskipun sangat lemah. Acep masih hidup.Ia harus segera mendapatkan pertolongan medis karena mengalami pendarahan hebat. Beruntung luka tembak yang didapat luka tembak keluar. Proyektil sudah keluar dari area perutnya.S
Selama berada di dalam kabin pesawat, Daniel merasa gelisah. Bukan tanpa alasan, matanya yang tajam terus memperhatikan kekasihnya yang sedang menatap jendela pesawat dengan tatapan kosong.Andai. Oh, berandai-andai, tidak ada pawang gadis itu, Nuha dan Darren, sudah dipastikan Daniel akan berpindah tempat duduk di samping kekasihnya. Ia bersedia menjadi tempat keluh kesah kekasihnya itu. Tempat berbagi kisah dengannya.“Sudah, jangan dilihatin terus! Tuan putri tidak akan terjun payung,” ucap Riko yang berada tak jauh dari sisinya.Mereka saat ini berada di dalam capung besi, menikmati perjalanan pulang ke kota Bogor setelah tiga hari menghabiskan waktu di Nusa Dua. Mereka duduk di bangku First Class yang private dan nyaman.“Diam! Kau takkan merasakan apa yang aku rasakan! Kekasihku sedang bersedih hati! Seharusnya yang pesan tiket pesawat aku! Biar aku yang mengatur tempat duduk! Aku pengen berdekatan dengan kekasihku yang cantik dan baik hati. Hem, ternyata hatinya begitu lembut!”
Di dalam kamar pengantin, sepasang suami istri tengah berbincang empat mata, dari hati ke hati dengan perasaan yang campur aduk. Tak seperti pasangan pengantin pada umumnya yang tengah menikmati honeymoon yang indah, mereka masih terlihat syok atas apa yang terjadi pada pesta pernikahan mereka.“Honey!” sapa Richard menghampiri Michelle yang tengah duduk termangu di sofa dekat ranjang. Dalam pikiran Richard seharusnya Michelle sekarang bahagia, karena dalam waktu yang singkat, komplotan yang melakukan teror di pesta pernikahannya sudah ditangkap.Sebagian ada yang meninggal karena ledakan mobil. Pun, pelaku penembakan jarak jauh atau sniper meninggal di tangan orang yang menugaskan.Tersisa mantan kekasihnya-dalang pelaku teror yang menjadi DPO karena berhasil melarikan diri ke luar negeri. Untuk saat ini Michelle aman bersama Richard. Sebab Richard juga tak tinggal diam. Michelle sudah menjadi tanggung jawabnya. Ia menyewa pengawal selama tinggal di Indonesia. Karena usai honeymoon
Sore itu, Nuha dan Aruni tengah duduk di depan teras rumah sembari mengobrol. Nuha dan rombongan keluarga Dash pulang dari bandara sekitar pukul dua siang. Salwa pun barusaja diantar oleh Daniel ke pondok pesantren.Tanpa sungkan Salwa memintanya untuk mengantarnya. Entah mengapa, ia lebih merasa nyaman jika diantar olehnya. Meskipun dalam perjalanan hening. Daniel pun memahami perasaannya. Ia memang sabar ketika berada di sisinya. Salwa hanya bergumam sesekali ketika Daniel bercerita.Usai mengantar Salwa ke pondok, Daniel kembali ke rumah Nuha. Ia berada di sana karena merasa betah berlama-lama dengan si kembar tiga. Anak-anak Nuha sangat menyayanginya. Sehingga mereka selalu memaksa om mereka untuk menginap di sana. Bik Ningsih membawakan dua cangkir teh hangat dan menaruhnya di atas meja yang berada di antara Nuha dan Aruni.“Makasih, Bik,” ucap Nuha tersenyum pada Bik Ningsih.“Sama-sama Mbak Nuha,” jawabnya sedikit membungkuk lalu masuk ke dalam lagi.Di sela-sela menikmati teh
“Hei, kamu! Kamu sehat? Kamu baru datang kok sudah balik lagi. Kamu tau gak padahal aku nunggu kamu …Aku kira kamu beneran bakal datang ke rumahku. Mana janjimu? Katanya kamu mau ngelamar aku kalau udah sukses …Hum, kamu emang tukang ngibul!”Gadis bertubuh berisi itu terus bermonolog di tengah keheningan malam.Sama sekali tak ada rasa takut berada di pemakaman yang sepi. Justru ia takut ketika pulang dan ia benar-benar sadar jika lelaki yang ia nantikan sudah tiada.“Kamu tau gak? Sekarang aku kuliah sudah tingkat tiga. Mungkin setahun lagi aku bakalan jadi dokter… mengambil spesialis, lalu … aku menikah,”-“Eh, kamu masih inget gak? Waktu kita nyanyi di kafe pas perpisahan? Kita duet bareng tau! Untung suaramu bagus! Suaraku yang jelek terselamatkan. Eh, aku masih ada videonya. Aku upload di media sosial tau! Ditag in sama teman-teman sekelas.”Gadis itu benar-benar tenggelam dalam kesedihan. Ia berbicara sendiri namun ia merasa tengah berbicara dengan Acep.Gadis itu mengeluarka
“Maaf, pasien mengalami serangan jantung.” Dokter jaga IGD itu menjawab dengan nada penuh simpatik.“Apa?” Serempak, Salwa, Shafiyah, Siti dan Ustaz Baihaqi terperangah mendengar kabar buruk tersebut.Namun tiba-tiba Salwa berkata, “gak mungkin! Neng gak mungkin sakit jantung! Dokter jangan asal ngomong! Neng Mas sehat wal afiat. Dia cuma syok aja karena Acep meninggal. Padahal Neng Mas sekarang sudah mau dilamar Acep.”“Siapa Acep?” tanya Siti dan shafiyah kepo mendengar perkataan Salwa yang terkesan curhat!“Dokter! Temanku namanya Neng Mas. Coba cek lagi!” ujar Salwa, mengabaikan pertanyaan santriwati yang penasaran tadi.“Oh, ya, maaf, ini keluarga pasien Eneng Masyanti Sundari bukan?” sahut dokter dengan santai.“Dokter salah! Temanku bernama Neng MAS! Ingat bukan Neng Sundari … Eneng Masyanto ..Neng Sundel atau Neng Kunti!” jawab Salwa jengkel.Dokter ini melakukan kesalahan fatal dengan memberikan kabar yang keliru.Bagaimana jika keluarga pasien yang menerima kabar syok dan
Pukul enam pagi, Salwa dikejutkan kabar buruk yang disampaikan oleh seorang perawat wanita. Neng Mas menghilang.Entah sejak kapan Neng Mas pergi dari rumah sakit. Mungkin saat Salwa terlelap tidur di sofa.Sebagai seorang sahabat, Salwa benar-benar panik dan khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk menimpa Neng Mas. Ia takut jika Neng Mas melakukan sesuatu hal yang nekad semisal mengakhiri hidupnya.Apakah mungkin gadis itu putus asa karena patah hati? Dibantu Evan, Salwa mencari Neng Mas. Tujuan pencarian mereka ialah makam Acep. Namun selama perjalanan, mereka juga tetap mencarinya dengan menanyakan pada siapa saja yang mereka temui, dengan menunjukan foto Neng Mas. Ya, Neng Mas kini mirip anak kecil yang hilang karena diculik penjahat.Selama perjalanan, Salwa tak henti-hentinya berbicara betapa ia sangat takut terjadi apa-apa pada sahabatnya. Evan dengan sabar mendengar keluh kesahnya yang mirip dengungan lebah.Oh, betapa beruntungnya menjadi Neng Mas disayangi oleh sahabat sep