“Katakan apa maumu?” tanya Ilham merasa tersinggung ketika secangkir kopi tiba-tiba saja menumpahi pakaiannya, tak ada angin dan tak ada hujan. Bagaimana bisa secangkir kopi tiba-tiba tumpah ketika benda itu diam kecuali ada yang menggerakkannya. Bahkan letak cangkir tersebut lebih dekat dengan posisi Ilham ketimbang tangan Daniel. Tak mungkin cangkir itu berpindah karena kemampuan telekinesis seseorang. Ilham tak terima. “Hei, aku sudah bilang sorry! Kau tuli?” Daniel menepuk-nepuk pundak Ilham dengan menampilkan wajah tanpa dosa. Ia justru merasa belum puas menumpahkan cairan kopi pada pakaiannya. Mungkin lain kali ia menumpahkan kopi ke wajahnya saja sekalian, agar tidak caper pada Salwa. “Apa maksudmu? Aku tak punya masalah denganmu! Jangan cari gara-gara! Aku tidak buta, aku bisa melihat kau menumpahkan kopi pada pakaianku dengan sengaja.” Ilham mengemukakan uneg-uneg yang sedari tadi ia tahan ketika mereka berada di ruang tamu. Kini mereka tengah berhadapan, empat mata d
Bab 131“Mama, kenapa dari tadi melamun? Dompet Mama dicopet?”Violeta menghampiri ibunya, yang kini tengah duduk di sofa lobi rumah sakit. Ia menekuk wajah cantiknya. “Mama! Mama jangan ngelamun! Mama gak mau ‘kan masuk rumah sakit juga? Nyusul Papa? Tapi masuk rumah sakit jiwa,” cicit Violeta lagi, puas menggoda ibunya. Ia mengguncang pundak ibunya gemas.“Vio, kamu jangan bicara sembarangan! Mama bukan ngelamun. Mama lagi banyak pikiran,” sahut Lidia dengan perasaan gundah gulana. Perkataan dokter tadi terus menerus terngiang berisik di telinganya mirip nyamuk yang kelaparan.Dokter Cantika menceritakan soal pasien yang dikeroyok oleh ‘begal’. Nama pasien tersebut ialah Salwa Salsabila. Dokter Cantika keceplosan mengatakan nama pasien yang ditanganinya.Lidia mengetahui betul semua kegiatan suaminya, termasuk rencananya dalam membalas dendam pada perbuatan Daniel Dash melalui gadis yang ditaksirnya.Lidia mulai menarik benang merah. Luka yang diperoleh Adriawan sama dengan luka ya
Semenjak kepulangan dari rumah Nuha, Ustazah Aliyah menangkap sesuatu yang tak beres pada putranya. Ketika ia asik berbincang dengan Nuha di ruang tamu, Ilham sudah menunggunya di dalam mobil dengan kondisi wajah yang masam. Ia juga terus meneleponnya agar segera pulang padahal Ilham tinggal menyusul ibu dan adiknya ke dalam rumah. Namun Ilham tetap menunggu di luar. Wajah Ilham terluka. Namun pakaiannya yang kotor sempat digantinya dengan kemeja yang memang selalu dibawa di dalam mobil tersebut. Setelah ia mencoba bertanya apa yang terjadi, Ilham hanya memberi jawaban tak masuk akal. Jatuh. Namun setelah tiba di pondok, ketika mereka berada di rumah Kyai Umar, Ustazah Aliya bertanya kembali. Mumpung tidak ada Zahra yang cerewet. “Ilham, wajahmu kenapa? Jawab yang jujur!” Ustazah Aliyah bicara dengan tegas. Tak mungkin seseorang jatuh hingga menyebabkan wajahnya terlihat lebam dan kini terlihat membengkak saat tiba di rumah. Ilham yang tengah bersiap-siap untuk mengajar, harus m
Pukul delapan pagi.“Binder, tugas makalah, laptop, ponsel, powerbank, flashdisk. Semua ready!” Salwa mengecek perlengkapan yang akan dibawa ke kampus. Ia akan melakukan presentasi salah satu mata kuliah di kelas. Oleh karena itu ia harus mempersiapkan segalanya dengan rinci, khawatir ada yang ketinggalan. Kemudian ia memasukan seluruh keperluannya ke dalam tas ranselnya.“Salwa, udah sarapan belum?” tanya Nuha yang rajin mengecek adiknya. Ia tengah menggendong Farrel yang masih merem. Anak lelaki tampan itu baru bangun, tak seperti kakak kembarnya yang sudah siap, mandi dan sedang sarapan karena mau pergi main dan jalan-jalan bersama Oma Sahila dan Opa Naufal.Si kembar akan mulai mengikuti pre school tahun depan sebab sekarang sudah tanggung, sudah berjalan satu semester. Kemarin Nuha hanya mengecek sekolah dan mencari informasi soal sekolah tersebut. Anak-anak sudah cocok dengan sekolah tersebut.“Mau, Teh,”“Masih sakit perut gak?”“Enggak,”“Makanya jangan makan sembarang!”“Gak
“Jawab, Bobi! Atau saya akan memecatmu! Kau lupa siapa yang mempekerjakanmu? Siapa yang memungutmu? Jawab!”Lidia bersedekap tangan di dada. Saat ini ia tengah menginterogasi asisten pribadi suaminya terkait suaminya yang ditemukan terluka dalam kondisi mabuk.Jika Bobi berkata sejujur-jujurnya, sudah dipastikan Adriawan akan murka padanya. Namun jika Bobi berdusta, ia merasa teramat berdosa. Lidia sangat berjasa bagi hidupnya.“Maaf, Bu, memang saya mengantar Bapak untuk meeting dengan rekan kerja Bapak. Kan seperti Ibu ketahui, terkadang meeting dengan orang luar biasanya memesan wine. Sebetulnya di kalangan pejabat sudah biasa tuh Bu minum. Saya saja yang tidak minum soalnya ‘kan takut terjadi apa-apa kalau Bapak mabuk. Saya yang bawa mobil.”Lidia terdiam sejenak mendengar penjelasan Bobi. Memang betul apa yang dikatakannya. Lidia bukan orang yang antipati pada minuman beralkohol, apalagi teman-teman sosialitanya seringkali mengajaknya mencicipinya ketika berkumpul. Tidak sampai m
Di sebuah klub malam seorang gadis menari di lantai dansa dengan gerakan yang tak karuan. Ia tengah berada dalam pengaruh alkohol. Ia mabuk berat.Beberapa teman perempuan yang diajaknya terus membujuknya agar segera pulang mengingat bahaya untuk seorang gadis mabuk berat di sana maka akan mengundang pria hidung belang, terutama pria yang seringkali menikmati one night stand dengan orang asing.“Vio, stop! Kau harus pulang!”Teman-teman Violeta merasa cemas tatkala melihat Violeta yang mulai kehilangan kesadaran termasuk rasa malunya. Ia meliuk-liukkan tubuhnya di lantai dansa mirip seekor ular yang mendengar suara seruling pawangnya. Dress merah yang ia kenakan kurang bahan dan pasti akan mengundang para pria yang doyan selangkangan.Ke dua teman Violeta menyeret Violeta agar keluar dari klub tersebut. Mereka berhasil memapah Violeta hingga ke tempat parkiran.“Cepat telepon si Kak Evan! Dia masih di mana?” seru salah satu temannya.“Bentar, aku lihat pesan,” tukas temannya yang lain
“Mas Daniel, Ibu telepon!”Riko menyusul Daniel yang tengah mengawal Salwa berbelanja laptop. Mungkin Kinan sudah menghubungi sedari tadi via ponselnya, hanya saja Daniel tak mendengar nada dering telepon ketika asik bersama gadis itu. Memilih laptop terbaik untuknya. Oleh karena itu Kinan menghubungi ponsel Riko.“Aku akan telepon balik, Riko.”Daniel menyahut dan langsung meraih ponsel yang ia simpan di saku celananya. Ia akan mengobrol dengan ibunya di luar toko tersebut, mencari tempat yang sepi. Di dalam toko elektronik tersebut, musik klasik terdengar mengayun merdu sehingga tetap saja akan terdengar berisik untuk mengobrol via teleconference. Sejenak Daniel mengabaikan teman kampusnya yang dulu sempat menjadi rivalnya sewaktu kuliah. Lelaki bertato tersebut tengah menggandeng wanita cantik, memilih laptop pula.“Sal, aku angkat telepon Mommy dulu. Gak apa-apa?”“Okay, Mister. Aku akan menunggu pesananku. Karyawan toko sedang mengemasnya.”Salwa menunjukan ibu jarinya ke hadapa
Di dalam sebuah masjid agung pesantren Babussalam para murid santriwati kelas mahasiswa tengah berkumpul dengan sukacita. Malam ini mereka akan melaksanakan kegiatan tasmi’, menyetor hafalan surat dalam Alquran yang telah mereka hafal selama mondok di sana. Santriwati dibagi ke dalam beberapa kelompok. Malam itu hari pertama kegiatan, ada satu kelompok santriwati yang terdiri dari dua puluh orang yang mengikuti kegiatan tasmi’ disertai talqin atau sambung ayat. Ustazah yang membimbing santriwati putri terdiri dari tiga orang ustazah. Salah satu Ustazah tentu saja putri pemilik pondok, Ustazah Aliya.Satu per satu santriwati maju ke depan dan duduk berhadapan dengan sang ustazah. Mereka mulai membacakan salah satu surat dalam Alquran, yakni surat Al Baqarah. Ustazah juga melakukan metode talqin untuk melancarkan hafalan surat para santriwati.Tiba giliran Salwa Salsabila maju ke depan setelah mendapat panggilan dari sang pembawa acara. Dalam balutan abaya berwarna putih yang mengkila
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap