Sebuah keajaiban dunia ke sekian telah terjadi. Sebuah anomali terwujud di depan mata. Seekor kambing mengeong dan seekor kucing mengembik. Dunia terbalik menurut sinetron layar kaca berbentuk persegi. Bagaimana ini bisa terjadi. Satu kalimat dilawan dua kalimat. Satu alinea dihajar satu cerita. Kepala sekolah kalah telak berdebat melawan wanita muda yang usianya berada jauh di bawahnya. Mungkin rentang usianya mirip ayah dan anaknya. Suasana terasa hening dan canggung. Perdebatan terjadi cukup alot di ruang tamu berukuran enam kali enam meter tersebut. Dinding yang bergeming menjadi saksi mata di mana terjadi sebuah adu argumen antara pria paruh baya nan angkuh dan wanita muda yang keras kepala melebihi batu. Ke duanya sama-sama memiliki pendirian sekokoh besi. Tak mudah dipatahkan apalagi dikalahkan. Jika dalam sebuah pertandingan maka hasilnya seri. Tidak ada yang menang maupun kalah. Namun tetap saja dalam sebuah pertandingan harus ada yang menang dan kalah. Oleh karena itu aka
“Gunting, kertas, batu!”“Gunting, kertas, batu!”Sembari menunggu kepulangan Nuha dan Darren, Salwa dan Ratih kini tengah beradu lomba GKB (gunting, kertas dan batu) di mana hukumannya ialah makan mie kuah pedas Shayang yang dilaksanakan di ruang bermain dengan disaksikan ke dua juri bocah mungil nan menggemaskan. Farah dan Asyraf yang didapuk sebagai juri termuda seantero jagat raya. Begitulah kiranya Salwa menyematkan posisi mereka di sana. Ratih hanya mengangguk beo.Menit pertama hingga ke lima mendapat hukuman memakan mie terasa nikmat karena rasa lapar menyatu dengan rasa gurih nan pedas mie Shayang. Nikmat tiada tara! Menit ke sepuluh perut mulai melakukan aksi barikade karena lambung hampir meledak.Menit ke dua puluh perut mulai bergemuruh seolah ingin mengeluarkan lava panas. Beruntung ada minyak kayu putih yang langsung menjadi obat mujarab dioleskan pada bagian perut.Menit ke tiga puluh, mulut terasa terbakar api abadi dan bibir kian merona macam dirias tukang rias yan
Ratih mengamati Salwa yang tengah mengemasi barang-barangnya. Ia bersedih melihat gadis itu akan pulang ke desa dan kembali belajar di sekolah. Lima hari sudah rumah itu dipenuhi keceriaan yang dibawa oleh gadis petakilan tersebut.Tawanya yang lebar dan kelakarnya yang terkadang kocak tetapi kadang garing senantiasa membuat Ratih ikut tertawa dan lupa jika ia sedang bekerja di sana. Melupakan rasa letih sebagai seorang baby sitter. Ratih bersyukur bisa bekerja pada keluarga majikan yang baik dan menghargai dirinya meski ia di sana hanyalah pelayan. Tak seperti majikan lainnya yang seringkali membangun benteng agar menjaga jarak dengan pekerjanya.“Non Salwa, butuh bantuan?” tanya Ratih di depan pintu kamar Salwa. Saat ini gadis bertubuh tinggi itu tengah menjejalkan pakaiannya ke dalam tas ransel miliknya. Dengan gerakan sat set akhirnya ia bisa memasukan semua barang-barangnya. Kemudian ia menghela nafas panjang. Seolah ia memperlihatkan postur tubuh yang entahlah, bisa bermacam-ma
Aruni benar-benar menikmati kerepotan mengasuh cucu-cucunya. Rumahnya yang semula hening sehening lagu mengheningkan cipta, apalagi semenjak drama kumbara menghilangnya putri ke duanya yang super duper aktif, kini terdengar ramai kembali karena kehadiran dua cucu kembarnya yang bawel dan senang berceloteh di ruang tamu.Dalam hitungan detik rumah Aruni berubah menjadi taman bermain baik untuk anak-anak maupun dewasa.Sengaja Aruni menggelar playmate khusus untuk ke dua cucunya agar bisa berbaring di sana, latihan berguling, senam lantai, tengkurap dan aktifitas motorik kasar lainnya yang sedang mereka tekuni.Ia juga segera menelepon Alwi agar ikut bergabung membawa anaknya, Zul. Tambah lagi personel maka suasana akan bertambah meriah.Terlihat Farah mengangkat kepalanya, berusaha menggapai dengan tangannya mainan kerincingan yang dipancing oleh Aruni. Sementara itu ketika adik kembarnya sibuk bermain dengannya, Asyraf sibuk latihan berguling dan tiarap sembari mengokang teater ala le
Nuha dan Darren memutuskan untuk bermalam di rumah Aruni. Mereka akan menikmati sejenak udara sejuk berasal dari pegunungan yang indah. Istirahat dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat mereka merasa jenuh. Nuha mengajak Darren untuk bersepeda menikmati pemandangan alam pegunungan. Anak-anak seperti biasa akan diasuh oleh Aruni dan Ratih. Salwa dan Rasyid kembali mengunjungi padepokan pencak silat untuk berlatih silat setelah sekian lama meliburkan diri sesuka hati. “Mas, sudah siap belum?” tanya Nuha di bibir pintu kamar yang masih tertutup. Ia baru saja menyusui ke dua bayi kembarnya. Ia pula sudah siap dengan memakai pakaian kasual lengkap dengan jaket berhoodie yang menjuntai hingga lutut karena udara di kaki gunung yang dingin akan semakin dingin saat pagi buta. Ketika azan subuh berkumandang suaminya sudah keluar rumah untuk melaksanakan shalat subuh di sebuah surau. Untuk pertama kalinya. Para jamaah terheran-heran siapakah pria berwajah blasteran ikut sholat di sana. Alhasi
Pagi itu Nuha kerepotan harus mengurus suami dan ke dua anak kembarnya. Ratih pulang karena anak bungsunya kembali sakit. Kalau orang Sunda bilang ririwit. Bisa jadi karena musim pancaroba dan daya tahan tubuhnya kurang baik. Putra bungsunya seringkali terserang penyakit rutin, kalau tidak tifus sakit demam berdarah. [Jadi kapan Mbak pulang? Si kembar kangen Mbak,]Begitulah Nuha ketika menelepon Ratih. Pasalnya anak bungsunya sudah pulang dari rumah sakit karena gejala tifus. Namun ia sangat manja sehingga terkadang mencari berbagai alasan agar ibunya tidak pergi bekerja. Satu-satunya cara membujuknya ialah dengan mengatasnamakan si kembar.[Dek, barusan dengar ‘kan Nyonya bilang Mbak Farah dan Mas Asyraf kangen Ibuk.]Ratih sengaja mengeraskan volume suara telepon agar putra bungsunya mendengar perkataan majikannya.[Danu, Mbak punya drone keluaran terbaru. Kalau Ibuk Ratih kemari, saat pulang Ibuk Ratih bawain,]Nuha bernegosiasi dengan mengimingi-imingi sebuah hadiah untuk Danu,
(Bukan) orang ketiga“Jika Ayahmu bersedia, dia bisa bekerja lagi tetapi di bagian staf di kantor yang berada di gedung C.”Anggara tergugu. Dari mana Darren mengetahui jika ayahnya sekarang telah menjelma menjadi seorang pengacara, pengangguran banyak acara.“Jika ayahmu bersedia, Angga. Tapi tenang saja staf gedung C belum mengenal ayahmu. Jika ayahmu bersedia dan bekerja dengan baik maka setelah saya pertimbangkan maka ayahmu bisa kembali menjabat ke posisi semula. Asalkan dengan satu syarat!”“Syarat apa?”“Dia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika sampai mengulangi kesalahan yang sama maka kesempatannya sudah khatam. Bagaimana?”Darren yang awalnya bersikeras merasa sangat kecewa pada Bagaskara dan sama sekali tak peduli soal nasibnya setelah dipecat dari posisi direktur. Namun ketika melihat kejadian yang menimpanya di mana Bagaskara hidupnya menjadi melarat melebihi gelandangan, hidup terlunta-lunta karena diabaikan anak istrinya, sementara itu Anggara menjadi pelarian. Ia
[Ada apa Adis? Katakanlah!][Aku sendirian di rumah. Embok sedang pergi ke Lombok. Barusan aku lihat ada orang yang lewat di depan balkon kamarku. Aku takut sekali.][Emang pak satpam kemana?]Nuha tertegun sejenak. Mana bisa sosok Adisty bisa menjadi sosok yang lemah. Sepengetahuan dirinya dulu Adisty yang menghajar pelaku hipnosis pada Ratih. Kendati ia beralasan reflek meninju si penjahat.[Pak satpam pulang kampung. Nuha, bisakah aku menginap di rumahmu?]Adisty berkata dengan nada lirih. Seperti terdengar sehabis menangis. Nuha kembali tergugu. Haruskah ia mengijinkan Adisty bermalam di rumah. Kehadirannya seakan mengusik kehidupan Nuha yang aman nan damai. Terutama cara ia mendekati putrinya, Nuha keberatan.Nuha tak lantas menjawab. Ingin rasanya menolak tetapi tak kuasa karena merasa iba. Jika memang kondisinya ia tengah ketakutan, dengan lapang dada Nuha merentangkan tangan menyambutnya.Nuha akan menempatkan Adisty di kamar tamu atau tidur bersama Ratih. [Datanglah ke sini