Seorang bidan desa yang masih mengenakan setelan seragam batik bermotif mega mendung dibalut sweater terakota dengan tatanan rambut dicepol tengah mengusap-usap punggung seorang pasien, wanita hamil yang sebentar lagi akan melahirkan. Wanita berambut panjang kusut masai tersebut telah mengalami kontraksi intens, nyaris lima menit sekali dan pembukaan lengkap.Sore itu ia datang sendirian hanya diantar ojek pangkalan untuk melahirkan di sana. Suaminya kerja di kota dan ia hanya tinggal sendiri di rumahnya. Satu tangannya menenteng tas jinjing berisi perlengkapan bayi bergambar boneka teddy bear sedang tangannya yang satu lagi mengusap perutnya yang besar sembari merintih kesakitan.Begitu wanita hamil yang berusia kepala tiga tiba di sana, pasien lain yang ingin melahirkan juga tiba tak selang beberapa menit. Sarah Hanif istrinya Alwi juga akan melahirkan di sana. Berbeda dengan pasien sebelumnya Sarah Hanif diantar sang suami kemudian disusul rombongan keluarganya, Arunika, Salwa Sal
Malam semakin larut dan terdengar seekor burung hantu berdekut di belakang klinik bersalin yang ditumbuhi perdu dan semak. Terlihat rindang dan asri saat siang hari tetapi tidak saat malam hari karena terlihat angker dan dihuni penduduk lain. Suara burung dan embusan angin mengantarkan kelahiran bayi laki-laki berwajah tampan dengan berat badan tiga kilo gram dan panjang lima puluh centi meter. Semua orang terharu menyambut kehadiran anggota baru mereka. Akhirnya Alwi memiliki putra dari Sarah setelah ujian rumah tangganya di mana ia nyaris kembali pada mantan istri pertamanya. Karena kondisi ekonomi istri pertamanya meminta cerai dengannya. Alwi langsung mengadzani bayi lelaki nya dengan berlinangan air mata. Sarah tersenyum melihat sang suami yang menatap putra mereka penuh cinta. “Selamat Sarah, akhirnya kau sempurna menjadi seorang ibu.” Aruni mengusap pucuk kepala Sarah pengganti mama mertua untuknya. Ke dua orang tua Aruni dan Alwi telah berpulang pada sang pencipta. “Bagaim
Seorang pria tambun berkacamata hitam, memakai topi baseball dan masker terlihat sedang membuntuti sebuah mobil hitam metalik di jalan raya. Kecepatan mobil SUV tersebut tidak terlalu cepat maupun lamban. Cara si pengendara mobil mirip seekor elang yang terbang dengan waspada, berhati-hati ketika berada di jalan yang ramai. Benar-benar mulus dalam mengemudikan kendaraan mewahnya.Bahkan ketika seorang pejalan kaki yang sembrono lewat ia mampu mengerem dengan begitu baik. Bisa ditarik kesimpulan orang yang mengendarai mobil tersebut ialah semacam orang yang memiliki perhitungan yang tepat.Bagi pria tambun tersebut, sebuah pepatah mewakili isi kepalanya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak perlu repot mencari si pemilik kendaraan tersebut tepat ketika ia hendak melancarkan aksi busuknya karena dewi fortuna menyambutnya dengan baik. Lelaki yang ia cari tepat berada di jalan di depannya.Ekor matanya bergerak-gerak di balik kacamata berbentuk kotak persegi mengkilap berharga ratusan dolar.
Tubuh Nuha yang membengkak mirip ikan buntal berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang megah. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Berharap menatap lamat-lamat lampu kristal yang menjuntai di langit-langit akan menepikan sejenak suasana hatinya yang buruk. Lampu itu terlihat kompleks dan indah. Kilauannya memantulkan kecantikan sebuah hasil karya seni kriya yang diciptakan oleh seorang pengrajin dengan penuh cinta. Namun di matanya keindahan lampu kristal sama sekali tak menarik kekagumannya.Dengan nafas sedikit terengah, tangannya menopang pada ranjang, meremat sprei untuk bangkit. Hanya untuk bangkit ia seolah membutuhkan tenaga Samson atau mungkin Hulk. Tujuh bulan sudah sepasang janin kembar menghuni rahimnya. Namun bentuk perutnya sudah seperti berusia sembilan bulan lamanya.Beberapa bagian tubuh Nuha ikut melebar. Wajah dan tubuhnya semakin besar seiring usia kehamilannya.Sebelah tangannya mengusap perutnya yang buncit dan sebelah tangannya yang lain menyibak tirai berbaha
Tenda berwarna biru telah terpasang sempurna di halaman rumah termasuk kursi lipat yang sudah dibungkus kain satin mengkilap berwarna hijau lengkap dengan pita di bagian badannya.Di bagian ruang tamu dan teras tak kalah riuh dengan pekerja yang tengah menggelar karpet sebagai alas untuk acara inti. Alwi kebagian menjadi koordinator teknis lapangan.Beberapa hidangan sudah tertata rapi di atas meja prasmanan termasuk para remaja cantik tengah memperoleh tugas menjaganya.Sebuah mikrofon beberapa kali bergaung diuji coba oleh sang empunya rumah.“Tes, halo, halo Bandung!” gumam Salwa mencoba mikrofon dengan hati-hati. Pilinan kabel ia rentangkan agar suara nya keluar. Satu per satu tamu undangan hadir dan memenuhi satu per satu posisi mereka pada sebuah kursi. Mereka datang berbondong-bondong lebih awal. “Teh Nuha masih di mana Ummi?”Salwa memencet tombol off dan menaruh kembali mikrofon ke tempat semula.“Tadi masih di rumah saat Ummi telepon.”Tangan Aruni terayun, mengarahkan para
Sebuah mobil berwarna hitam metalik mendarat sempurna di halaman rumah Aruni. Kedatangannya begitu menyita perhatian semua orang yang berada di sana. Sebaliknya penghuni kendaraan mewah tersebut tak kalah terkejut melihat barisan manusia tengah menyemut area halaman termasuk teras, hingga menuju ruang tamu.“Sayang, ini ‘kah yang dimaksud acara tujuh bulanan? Mas kira hanya rombongan jamaah ibu-ibu pengajian. Tapi … ini di luar dugaan Mas,”Gelombang rasa gugup kentara menyerbu Darren dalam hitungan sepersekian detik. Darren biasa menghadapi klien bahkan orang-orang penting berasal dari berbagai kalangan.Namun saat bertemu makhluk ras terkuat di dunia, para ibu-ibu seketika Darren menciut menjadi butiran debu. Sewaktu dulu saat ia bertemu dengan para tamu Aruni yang notabenenya berasal dari para ibu-ibu, Darren seolah ditempatkan sebagai terdakwa yang diinterogasi. Merasa melihat perubahan gelagat sang suami Nuha melepas ikatan sabuk pengamannya sendiri dan meraih tangan suaminya. “
Di penghujung dalu saat semua orang terlelap tidur, Salwa masih terjaga. Suara hembusan angin yang menggoyangkan dream catcher mengambil alih separuh pikirannya. Jendela kamar memang sedikit terbuka sehingga dengan leluasa angin menyelinap melewati vitrase yang tersibak. Tanpa seijinnya bayangan pemuda itu tiba-tiba memenuhi kepalanya, entah sebagai apa. Salwa tak pernah sedekat itu dengan seorang lawan jenis kendati dengan temannya sekalipun. Ia acapkali membangun benteng marsose kala berhadapan dengan mereka. Mungkin karena beberapa pertemuan dengannya yang menempatkan mereka seolah dekat dan akrab satu sama lain. Sebuah tindakan resiprokal. Saling tolong menolong. Selain itu yang membuat mereka semakin dekat ialah fakta tentang penyakit Daniel yang berhasil mengguncang simpati Salwa. Salwa pun mulai merasa nyaman berkomunikasi dengannya, entah sebagai apa. Mungkin sebagai seorang kakak atau lebih. Namun semua perasaan yang mulai tumbuh seketika luluh lantak ketika pertemuan sor
Pemandangan pertama kali yang Anggara lihat ialah Bagas tengah digiring oleh dua orang security berwajah sangar dalam kondisi setengah sadar. Bau alkohol menyeruak dari tubuhnya.Anggara pun segera meraih satu tangan besar sang ayah ke pundaknya, memapahnya menuju taxi yang tengah menunggunya. Setelah mengamankan Bagas, barulah Anggara masuk ke dalam kelab lagi untuk membayar ganti rugi akibat kekacauan yang diperbuat oleh ayahnya.“Berapa?” tanya Anggara pada seorang manajer yang tengah menghitung jumlah properti kelab yang rusak; kursi, botol minuman dan meja kaca yang pecah belah.“Total semua dua belas juta rupiah,” jawab sang manajer kelab malam, menjumlahkan nominal angka pada layar mesin penghitung.“Bisa kurang?”Anggara menengok dompet kulitnya. Hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna merah. Tujuh puluh persen gajinya sebagai sekretaris Darren Dash ia tabungkan dalam bentuk deposito dan cicilan sebuah rumah. Ia hanya menyimpan uang ala kadarnya untuk biaya hidup sehari-ha
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap