"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter? Apakah keadaannya benar-benar sudah membaik?" Suara Bu Fatma terdengar bergetar, nyaris tak mampu menutupi kecemasan yang mengendap dalam hatinya. Wanita paruh baya itu duduk di kursi seberang meja kerja Dokter Antares, dokter muda yang selama tiga bulan terakhir setia menangani putrinya yang koma akibat kecelakaan tragis yang menimpanya saat berkendara di jalan raya. Dokter Antares mengalihkan pandangannya dari catatan medis yang ada di meja kerjanya, lalu menatap Bu Fatma dengan senyum lembut yang dimaksudkan untuk menenangkan wanita itu. "Kondisi Giana sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Bu," jawabnya. "Namun, karena koma yang dialaminya, otot-ototnya mengalami kekakuan. Giana membutuhkan terapi jalan untuk memulihkan fungsi tubuhnya secara perlahan." imbuhnya seraya mengulas senyum. Bu Fatma menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, berusaha mengontrol perasaannya. "Saya ikut bagaimana Dokter saja.
Suasana ruang rawat masih diselimuti ketegangan setelah kabar mengejutkan tentang kehamilan Giana terungkap. Bu Fatma duduk di kursinya dengan wajah penuh duka dan kebingungan, masih belum bisa menerima kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Dokter kepadanya. Air matanya terus mengalir, menetes membasahi pipinya. Dokter Antares, yang berdiri di sampingnya, tampak berusaha menenangkan wanita itu dengan sikap hangatnya. "Sabar, Bu. Kita tunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut keluar," ucap Dokter Antares. Tangannya bergerak pelan, mengusap punggung Bu Fatma yang bergetar dengan lembut. Sejak tadi, pria itu tidak banyak bicara, tetapi selalu mengawasi situasi dengan penuh perhatian. Bahkan, tatapan matanya tak lepas dari Giana yang terbaring lemah di atas ranjang. "Semua ini benar-benar tidak masuk akal, Dokter. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin putri saya mengandung?"Bu Fatma berseru pada Dokter wanita bernama Lucia yang memeriksa putrinya. Suaranya terdengar bergetar dan frustasi
Tim penyidik kini sudah berada di rumah sakit, mereka meminta seluruh staf rumah sakit berkumpul di ruang rapat untuk dimintai keterangan. Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut dipenuhi dengan ketegangan. Di tengah ruangan tersebut, berdiri inspektur polisi yang usianya kisaran empatpuluh lima tahunan. Tampangnya tegas dengan tatapan matanya yang tajam. Di tangannya, terdapat beberapa berkas laporan yang berisi keterangan awal dari kasus kehamilan Giana.Inspektur polisi yang bernama Rakanda Wiryawan itu, menatap staf rumah sakit yang duduk di hadapannya satu persatu, membuat para staf itu menundukkan kepala mereka masing-masing. "Baiklah, kita mulai penyidikannya," kata Inspektur Raka. Ia membuka percakapan, membuat suasana menjadi semakin tegang. Bu Fatma yang duduk diantara Dokter Antares dan Dokter Lucia itu, meremas jemarinya satu sama lain. Jelas terlihat, jika dirinya begitu menantikan kejelasan dari musibah yang dialami oleh putrinya."Sebelum saya mulai penyidikan ini,
"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana. Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas. Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah.Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai sa
"Jangan sentuh saya, Dokter!" Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kemba
Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke
Setelah berhasil mendapatkan sate yang diinginkan oleh Giana, Bu Fatma bergegas kembali ke ruangan rawat putrinya. Dengan langkahnya yang lebar dan cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit. Saat tiba di depan pintu ruangan rawat putrinya, Bu Fatma menghentikan langkahnya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ada Dokter Lucia dan kedua rekan Dokter wanita lainnya di dalam ruangan tersebut. Pamandangan itu, membuat benaknya bertanya-tanya. "Apa yang terjadi pada Gia?" gumam Bu Fatma dengan wajahnya yang terlihat cemas. Dengan perlahan, dia mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalamnya, menghampiri Dokter Lucia dan kedua rekannya."Dokter Lucia, ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu pada putri saya?" tanyanya dengan pelan. Jelas, jika ia mencemaskan keadaan putrinya.Wanita setengah baya itu menatap pada Dokter Lucia dan kedua rekannya bergantian. Lalu, beralih pada Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan wajahnya yang tertunduk, menunjukkan jika gadis itu
"Giana ...." Pintu ruangan rawat itu terbuka, dan muncullah Bu Fatma dengan langkahnya yang santai memasuki ruangan rawat putrinya. Di tangannya membawa sekotak makanan dan juga secangkir teh hangat yang didapatnya dari kantin rumah sakit. "Gia, kamu kenapa? Kok menangis?" tanya Bu Fatma. Ia melangkah mendekat dengan tatapan matanya berfokus pada wajah putrinya yang memerah, sembab dan terlihat pucat. Di dalam ruang rawat tersebut, tampak Giana duduk bersandar pada kepala ranjang. Dan— tentunya hanya sendirian, sedangkan Dokter Antares yang semula berada di sana, tidak terlihat batang hidungnya, entah kemana perginya pria itu dalam waktu yang begitu singkat. Ditanya oleh Bu Fatma, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lalu, ia beringsut sedikit dari posisinya dan menyentuh perutnya yang masih rata. Seolah, ia menunjukkan jika kesedihannya berasal dari kandungannya "Ada apa, Gi? Bicara pada Mama dan katakan siapa yang telah membuat kamu menangis?" tanya Bu Fatma. Ia
Siang itu, Dokter Antares mengajukan permohonan cuti untuk beberapa hari ke depan dengan alasan ada kepentingan keluarga yang begitu mendesak. Tetapi, ternyata semua tidak berjalan sesuai rencana, permohonan cutinya di tolak oleh atasan dengan alasan, beberapa bulan yang lalu Dokter Antares sudah mengambil masa cutinya. Ya, meskipun tidak di tolak sepenuhnya, tetap saja di luar harapannya. Cuti yang diajukan selama satu minggu, tetapi hanya diberikan selama dua hari. "Saya tahu jika keadaan di rumah sakit ini sedang tidak baik-baik saja, tapi keadaan saya juga mendesak, Pak. Adik saya yang berkuliah di Singapura mengalami kecelakaan, dan saya harus segera menjenguknya. Dia membutuhkan saya selaku keluarga satu-satunya yang dia miliki!" Dokter Antares yang tidak diberi izin untuk cuti, berbicara dengan tegas dan datar pada atasan yang berwenang di rumah sakit tersebut. Ia menunjukkan reaksi tidak senang. "Anda hanya diberikan izin cuti selama dua hari, Dokter Antares. Dan— maaf, s