"Jangan sentuh saya, Dokter!"
Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kembali di banjiri oleh air mata. "Jangan takut, Gia. Saya akan mengalihkan tugas dan tanggungjawab saya pada Dokter Lucia," ucap Dokter Antares. "Setelah ini, dia yang akan merawat kamu. Bahkan, saya juga akan meminta pusat untuk menugaskan perawat wanita yang hanya boleh masuk ke ruangan ini." imbuhnya. Sebagai seorang Dokter, ia berusaha untuk tetap profesional dalam menjalankan tugasnya. Tugasnya adalah membuat pasien merasa aman dan nyaman, jadi mana mungkin ia akan membiarkan Giana semakin tertekan. "Bu, saya permisi. Nanti Dokter Lucia yang akan datang kemari untuk menggantikan tugas saya memeriksa keadaan Giana," kata Dokter Antares pada Bu Fatma. Bu Fatma menganggukkan kepalanya. Ada rasa tidak enak hati terhadap Dokter Antares yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari putrinya. "Atas nama Giana, saya minta maaf atas sikap tidak mengenakan yang telah Dokter terima," ucap Bu Fatma. "Tidak apa, Bu. Saya mengerti sekali dengan kondisi Giana saat ini. Lagi pula, Ibu tidak perlu khawatir, karena mulai hari ini akan ada petugas kepolisian yang menjaga dan memantau Giana selama 24 jam!" tutur Dokter Antares seraya mengulas senyum. Setelah berbicara dengan Bu Fatma, Dokter Antares berbalik dan melangkah pergi dari ruangan rawat tersebut. Pria itu berjalan dengan santai, di tangannya membawa alat medis yang sebelumnya akan ia gunakan untuk memeriksa kondisi Giana. "Apakah Giana mengetahui dan merasakan sesuatu?" gumam Dokter Antares. Pikirannya kini tertuju pada respon Giana yang diduganya mengetahui sesuatu. Jelas semua itu terlihat dari reaksinya saat di sentuh, ia merasa begitu tertekan dan ketakutan. "Aku tidak boleh diam saja, semua ini harus segera diatasi!" Tak ingin larut dalam pemikirannya, Dokter Antares pun mempercepat langkahnya. Ia menuju ruangan Dokter Lucia dan meminta senior sekaligus rekannya itu untuk memeriksa keadaan Giana. *** Penyidikan terus dilakukan, bahkan tidak ada seorangpun yang dilewatkan dari pemeriksaan. Tak hanya itu saja, keamanan rumah sakit tersebut pun ikut dipertanyaan. Dokter Antares selaku Dokter yang bertanggungjawab menangani Giana selama koma, tidak lepas dari pengawasan tim penyidik. Meskipun ia selalu bersikap normal dan tidak menunjukkan keanehan sama sekali, tetapi selaku orang yang memiliki akses paling dekat dengan pasien, Dokter Antares adalah orang yang patut di curigai. "Anda yang merawat pasien Giana selama ini, jadi bagaimana mungkin kehamilannya tidak terdeteksi sejak awal?!" Pertanyaan bernada tegas dan merujuk pada sebuah penekanan tersebut dilontarkan oleh Inspektur Raka pada Dokter Antares yang terlihat begitu tenang dan santai di posisinya. "Pertama, saya bukan Dokter spesialis kandungan dan anak, Pak Inspektur. Kedua, saya selalu bekerja dengan baik sesuai dengan prosedur rumah sakit," jawab Dokter Antares. "Jika Pak Inspektur ingin bukti, silahkan lihat hasil catatan medis pasien selama ini." Imbuhnya dengan mata yang menatap serius pada Inspektur Raka. Tangan Dokter muda itu menyodorkan hasil catatan medis Giana selama ini, bukti jika Giana selalu menjalani pemeriksaan rutin. "Anda yakin tidak ada manipulasi dalam catatan medis ini?" tanya Inspektur Raka. "Tuduhan macam apa ini, Pak Inspektur? Saya merasa jika anda menganggap saya sebagai seorang terdakwa atas kasus ini!" timpal Dokter Antares. Keadaan ruangan kerja Dokter Antares terasa begitu tegang. Inspektur Raka selalu saja menanyakan hal-hal yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan Giana. Entah apa tujuan pria itu, memancing pelaku sesungguhnya atau memang menganggap jika Dokter Antares adalah orang yang memang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada Giana? Setelah merasa cukup, Inspektur Raka pun menyudahi penyidikannya hari itu. "Sudah cukup untuk hari ini! Terima kasih atas waktu anda, Dokter Antares. Selamat siang dan selamat bertugas kembali!" Pria itu beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan Dokter Antares, diikuti oleh asistennya dibelakangnya. Melihat Inspektur Raka dan asistennya pergi, Dokter Antares mengulas senyum dan geleng-geleng kepala. "Lakukan pemeriksaan ulang, lihat hasil rekaman CCTV secara mendetil, jangan sampai ada yang terlewatkan. Satu lagi, awasi terus gerak-gerik Dokter Antares!" perintah Inspektur Raka pada asistennya dengan tegas. "Kenapa Pak Inspektur terlihat yakin sekali jika Dokter Antares adalah pelakunya? Bukankah dari bukti-bukti yang ditemukan, pelaku pelecehan pasien Giana a-" "Lakukan saja apa yang saya perintahkan!""Bagaimana keadaan kamu, Giana? Apa ada keluhan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Dokter Lucia. Ia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Giana. Dengan senyuman kecil yang terbit di bibirnya, ia menghampiri Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya terlihat begitu lemas dengan wajahnya yang pucat. Mendengar suara Dokter Lucia, Giana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Kelegaan terlihat jelas di wajahnya saat melihat sosok Dokter wanita yang dikenalnya.Setelah itu, ia pun menjawab, "Sudah cukup membaik, Dokter." Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Hanya saja, rasa mualnya masih kerap datang, khususnya di pagi hari." imbuhnya.Dokter Lucia mengulas senyum dan angguk-angguk kepala. Lalu katanya, "Mual seperti itu biasa terjadi pada wanita yang sedang hamil muda, Gi. Morning sickness namanya, jadi tidak usah cemas dan khawatir." Tuturnya dengan suaranya yang terdengar lembut.Wanita itu berusaha mengurangi kecemasan yang sedang dirasakan oleh Giana. T
"Saudara Handoko, kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas kasus pelecehan yang terjadi pada pasien Giana Putri Aurora!" Pagi itu, seluruh staf rumah sakit dibuat terkejut dengan penangkapan Handoko. Pasalnya, petugas kepolisian menangkap perawat pria itu saat baru saja tiba di rumah sakit. "Apa-apaan ini? Demi Tuhan, Pak Polisi, saya tidak terlibat. Saya tidak melakukan apapun pada pasien Giana!" teriak Perawat Handoko dengan suaranya yang bergetar lantaran panik.Diringkus dan diborgol oleh petugas kepolisian, Perawat Handoko berusaha membela diri dan menolak saat akan dibawa ke kantor. "Tolong percaya pada saya, Pak. Saya bukan pelakunya!" teriak histeris Perawat Handoko. Lorong rumah sakit terasa begitu mencengkam, seluruh staf terlihat gugup dan takut. Bahkan sebagian dari mereka tampak berbisik, membicarakan kasus yang menyeret salah satu rekan kerja mereka. "Astaga, aku benar-benar tidak menyangka jika Handoko adalah pelakunya," gumam salah satu Perawat. Suaranya te
Rapat yang dilangsungkan oleh petinggi, staf, dokter dan karyawan rumah sakit pun diakhiri. Semua pihak setuju untuk melakukan tes DNA pada janin yang dikandung oleh Giana— tentunya atas seizin dari pihak keluarga pasien korban pelecehan. Tes DNA dianggap sebagai langkah paling masuk akal untuk mengungkap siapa pelaku pelecehan tersebut. Bahkan, Handoko yang kini ditahan oleh pihak kepolisian, akan ikut melakukan tes DNA. Terlibat atau tidaknya, semua akan jelas setelah hasil tes DNA keluar."Rapat ditutup!" Direktur rumah sakit tersebut mengakhiri rapat. Ia membereskan berkas yang ada di mejanya dan beranjak dari duduknya. Sosoknya yang kharismatik perlahan meninggalkan ruangan, diikuti dengan suasana hening yang mulai pecah ketika para peserta rapat mulai berbincang-bincang dengan suara yang pelan. Sepeninggalan Direktur rumah sakit tersebut, keadaan ruangan rapat yang semula hening, kini dipenuhi dengan suara bisikan peserta rapat yang ada di dalamnya. Mereka semua membicaraka
"Sebenarnya, malam itu saya melihat—" Beberapa bulan yang lalu. Malam itu, tepatnya pada pukul 21:49, Handoko sedang bertugas shift malam di rumah sakit. Ia sudah terbiasa dengan suasana sepi dan temaram dari koridor rumah sakit yang panjang. Sesekali terdengar suara detak monitor dari ruang-ruang rawat yang dilewatinya. Langkah kakinya teratur, santai, meskipun lelah mulai menyusup ke tubuhnya setelah berjam-jam berjaga. Tugasnya malam ini sederhana: memeriksa kondisi pasien, memastikan peralatan medis bekerja dengan baik, dan memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.Dengan langkahnya yang santai, Handoko melangkah menuju kamar nomer 13, yaitu ruangan yang ditempati oleh Giana, pasien kecelakaan yang mengalami koma. Saat tiba di ruangan rawat tersebut, Handoko spontan menghentikan langkahnya lantaran mendengar suara keributan dari dalam sana, suara orang yang tidak asing ditelinganya."Saya tahu yang terbaik untuk pasien! Jadi tidak perlu mengkritik saya!" suara it
Di dalam ruangan rawatnya yang sunyi, Giana tampak termenung dengan tatapan matanya yang kosong. Setelah mendengar kabar penangkapan Handoko pagi tadi, wajah gadis itu terlihat semakin murung. Bu Fatma yang melihat keadaan putrinya dari ambang pintu ruangan rawat itu merasa semakin sedih. Pasalnya, saat ini mental Giana benar-benar terguncang dan kewarasannya kini mulai dipertanyakan. Semenjak mengetahui jika dirinya menjadi korban pelecehan dan mengandung, ia benar-benar berubah. Bahkan, kerap tidak merespon jika diajak bicara. "Gia ...." Bu Fatma yang baru saja memasuki ruangan rawat putrinya, memanggilnya dengan suaranya yang lembut. Namun, Giana yang duduk dengan kedua tangan memeluk lututnya itu tidak merespon sama sekali, membuat Bu Fatma mengusap dadanya yang berdenyut nyeri. "Giana!" panggil Bu Fatma lagi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit keras dari sebelumnya. Giana yang mendengar panggilan Bu Fatma, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap pada wajah sang Ibu hin
"Argh ... si4l!" Makian tersebut dilontarkan oleh Dokter Antares. Di dalam ruangan kerjanya, ia tampak gelisah. Wajahnya menunjukkan ketidaktenangan. Perkataan penuh ancaman yang keluar dari mulut Inspektur Raka sebelumnya, benar-benar membuat perasaan Dokter Antares risau. Pasalnya, Inspektur Raka mengatakan, jika akan memperdalam penyidikan tentang kasus pelecehan Giana dan menargetkan dirinya sebagai salah satu pelaku.Dokter Antares menghela napas berat, ia menghempaskan bokongnya pada kursi kerjanya. Kedua telapak tangannya bergerak menyapu wajahnya dengan kasar, perkataan Inspektur Raka, tak dapat ia singkirkan dari otaknya. "Memeriksa kondisi pasien, atau Anda dan Perawat Destia bertengkar? Terlibat cekcok serius?!" tekan Inspektur Raka pada Dokter Antares, membuat wajahnya seketika berubah pucat. "Apa maksud Anda, Pak Inspektur?" tanya balik Dokter Antares. Sebisa mungkin, ia menetralkan perasaan gugupnya.Pria itu menatap tajam pada Inspektur Raka yang juga menatapnya. "
"Maaf untuk semuanya, Giana. Saya berjanji jika semua ini akan berakhir secepatnya." Tangan Bu Fatma meremas kertas yang berada di tangannya hingga kusut. Wajahnya memerah, dadanya seketika bergemuruh, dan matanya menatap dengan sorot penuh amarah. "Apa maksud semua ini, Gi? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan pada Mama!" Bu Fatma yang emosi, menekan Giana untuk mengatakan sesuatu tentang surat tersebut. Ia yakin sekali, jika putrinya menyembunyikan sesuatu. "Katakan pada Mama, apakah ada orang yang mengancam dan menekan kamu?" tanya Bu Fatma. Suaranya terdengar tertahan dan penuh penekanan. Ditanya oleh Mamanya, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Menunjukkan jika ia tidak mengetahui apapun tentang kertas itu dan siapa pengirimannya. "Giana, katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Bu Fatma. "Gia tidak tahu, Gia tidak tahu apapun," jawab Giana dengan pelan. Jemarinya meremas ujung sperai tempatnya berada. "Jangan takut, Gia. Katakan pada Mama," ucap Bu
Siang itu, Dokter Antares mengajukan permohonan cuti untuk beberapa hari ke depan dengan alasan ada kepentingan keluarga yang begitu mendesak. Tetapi, ternyata semua tidak berjalan sesuai rencana, permohonan cutinya di tolak oleh atasan dengan alasan, beberapa bulan yang lalu Dokter Antares sudah mengambil masa cutinya. Ya, meskipun tidak di tolak sepenuhnya, tetap saja di luar harapannya. Cuti yang diajukan selama satu minggu, tetapi hanya diberikan selama dua hari. "Saya tahu jika keadaan di rumah sakit ini sedang tidak baik-baik saja, tapi keadaan saya juga mendesak, Pak. Adik saya yang berkuliah di Singapura mengalami kecelakaan, dan saya harus segera menjenguknya. Dia membutuhkan saya selaku keluarga satu-satunya yang dia miliki!" Dokter Antares yang tidak diberi izin untuk cuti, berbicara dengan tegas dan datar pada atasan yang berwenang di rumah sakit tersebut. Ia menunjukkan reaksi tidak senang. "Anda hanya diberikan izin cuti selama dua hari, Dokter Antares. Dan— maaf, s