"Argh ... si4l!" Makian tersebut dilontarkan oleh Dokter Antares. Di dalam ruangan kerjanya, ia tampak gelisah. Wajahnya menunjukkan ketidaktenangan. Perkataan penuh ancaman yang keluar dari mulut Inspektur Raka sebelumnya, benar-benar membuat perasaan Dokter Antares risau. Pasalnya, Inspektur Raka mengatakan, jika akan memperdalam penyidikan tentang kasus pelecehan Giana dan menargetkan dirinya sebagai salah satu pelaku.Dokter Antares menghela napas berat, ia menghempaskan bokongnya pada kursi kerjanya. Kedua telapak tangannya bergerak menyapu wajahnya dengan kasar, perkataan Inspektur Raka, tak dapat ia singkirkan dari otaknya. "Memeriksa kondisi pasien, atau Anda dan Perawat Destia bertengkar? Terlibat cekcok serius?!" tekan Inspektur Raka pada Dokter Antares, membuat wajahnya seketika berubah pucat. "Apa maksud Anda, Pak Inspektur?" tanya balik Dokter Antares. Sebisa mungkin, ia menetralkan perasaan gugupnya.Pria itu menatap tajam pada Inspektur Raka yang juga menatapnya. "
"Maaf untuk semuanya, Giana. Saya berjanji jika semua ini akan berakhir secepatnya." Tangan Bu Fatma meremas kertas yang berada di tangannya hingga kusut. Wajahnya memerah, dadanya seketika bergemuruh, dan matanya menatap dengan sorot penuh amarah. "Apa maksud semua ini, Gi? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan pada Mama!" Bu Fatma yang emosi, menekan Giana untuk mengatakan sesuatu tentang surat tersebut. Ia yakin sekali, jika putrinya menyembunyikan sesuatu. "Katakan pada Mama, apakah ada orang yang mengancam dan menekan kamu?" tanya Bu Fatma. Suaranya terdengar tertahan dan penuh penekanan. Ditanya oleh Mamanya, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Menunjukkan jika ia tidak mengetahui apapun tentang kertas itu dan siapa pengirimannya. "Giana, katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Bu Fatma. "Gia tidak tahu, Gia tidak tahu apapun," jawab Giana dengan pelan. Jemarinya meremas ujung sperai tempatnya berada. "Jangan takut, Gia. Katakan pada Mama," ucap Bu
Siang itu, Dokter Antares mengajukan permohonan cuti untuk beberapa hari ke depan dengan alasan ada kepentingan keluarga yang begitu mendesak. Tetapi, ternyata semua tidak berjalan sesuai rencana, permohonan cutinya di tolak oleh atasan dengan alasan, beberapa bulan yang lalu Dokter Antares sudah mengambil masa cutinya. Ya, meskipun tidak di tolak sepenuhnya, tetap saja di luar harapannya. Cuti yang diajukan selama satu minggu, tetapi hanya diberikan selama dua hari. "Saya tahu jika keadaan di rumah sakit ini sedang tidak baik-baik saja, tapi keadaan saya juga mendesak, Pak. Adik saya yang berkuliah di Singapura mengalami kecelakaan, dan saya harus segera menjenguknya. Dia membutuhkan saya selaku keluarga satu-satunya yang dia miliki!" Dokter Antares yang tidak diberi izin untuk cuti, berbicara dengan tegas dan datar pada atasan yang berwenang di rumah sakit tersebut. Ia menunjukkan reaksi tidak senang. "Anda hanya diberikan izin cuti selama dua hari, Dokter Antares. Dan— maaf, s
"Giana ...." Pintu ruangan rawat itu terbuka, dan muncullah Bu Fatma dengan langkahnya yang santai memasuki ruangan rawat putrinya. Di tangannya membawa sekotak makanan dan juga secangkir teh hangat yang didapatnya dari kantin rumah sakit. "Gia, kamu kenapa? Kok menangis?" tanya Bu Fatma. Ia melangkah mendekat dengan tatapan matanya berfokus pada wajah putrinya yang memerah, sembab dan terlihat pucat. Di dalam ruang rawat tersebut, tampak Giana duduk bersandar pada kepala ranjang. Dan— tentunya hanya sendirian, sedangkan Dokter Antares yang semula berada di sana, tidak terlihat batang hidungnya, entah kemana perginya pria itu dalam waktu yang begitu singkat. Ditanya oleh Bu Fatma, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lalu, ia beringsut sedikit dari posisinya dan menyentuh perutnya yang masih rata. Seolah, ia menunjukkan jika kesedihannya berasal dari kandungannya "Ada apa, Gi? Bicara pada Mama dan katakan siapa yang telah membuat kamu menangis?" tanya Bu Fatma. Ia
Setelah berhasil mendapatkan sate yang diinginkan oleh Giana, Bu Fatma bergegas kembali ke ruangan rawat putrinya. Dengan langkahnya yang lebar dan cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit. Saat tiba di depan pintu ruangan rawat putrinya, Bu Fatma menghentikan langkahnya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ada Dokter Lucia dan kedua rekan Dokter wanita lainnya di dalam ruangan tersebut. Pamandangan itu, membuat benaknya bertanya-tanya. "Apa yang terjadi pada Gia?" gumam Bu Fatma dengan wajahnya yang terlihat cemas. Dengan perlahan, dia mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalamnya, menghampiri Dokter Lucia dan kedua rekannya."Dokter Lucia, ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu pada putri saya?" tanyanya dengan pelan. Jelas, jika ia mencemaskan keadaan putrinya.Wanita setengah baya itu menatap pada Dokter Lucia dan kedua rekannya bergantian. Lalu, beralih pada Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan wajahnya yang tertunduk, menunjukkan jika gadis itu
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu