Share

CHAPTER 4

"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"

Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana.

Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas.

Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah.

Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai saling berbisik banyak dari mereka merasa tertekan, takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika ada kesalahan kecil yang ditemukan oleh penyidik.

Di posisinya berada, Handoko tampak semakin panik. Keringat dingin membasahi wajahnya, dan tangannya gemetar saat dia berusaha menenangkan diri. Ia sadar, bahwa setiap kata yang diucapkannya tadi akan diperiksa dengan teliti. Kegelisahan semakin terasa ketika dia melirik ke arah Bu Fatma yang tampak teremenung.

"Bagaimana?" batin Handoko terus berucap.

Sementara itu, Bu Fatma yang duduk termenung dengan tatapan matanya yang kosong, tak henti-hentinya memikirkan kondisi putrinya. Ia berharap, penyelidikan yang dilakukan dapat mengungkapkan kebenaran.

Melihat keadaan Bu Fatma yang mengkhawatirkan, Dokter Antares dan Dokter Lucia yang duduk di sisi kanan dan kiri wanita itu saling bertukar pandang. Keduanya merasa kasihan melihat keadaan Bu Fatma yang dirundung kesedihan dan kebingungan.

Namun, mereka tidak dapat melakukan apapun selain berusaha menenangkan Bu Fatma dan membantu tim penyidik mengungkap kebenaran dari kasus yang membingungkan tersebut.

"Bu Fatma, kami tahu semua ini berat. Tapi percayalah, jika Tim penyidik akan memecahkan kasus ini secepatnya," ucap Dokter Lucia. Ia berbicara dengan nada lembut, berusaha memberikan ketenangan pada Bu Fatma yang sedang tidak baik-baik saja.

Mendengar perkataan Dokter Lucia, Bu Fatma yang tersadar dari lamunannya itu pun menganggukkan kepalanya.

"Entah apa dosa saya dan Giana, Dokter. Apa sebenarnya salah kami? Sehingga Tuhan memberikan ujian yang begitu berat seperti ini," ucap Bu Fatma. Suaranya serak, seperti tercekat di tenggorokan.

Dokter Lucia menghela napas, "Sabar, Bu. Percayalah jika Tuhan tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuan."

Mata Bu Fatma kembali memanas, air matanya menganak sungai. Ia kembali menangis tergugu, membuat Dokter Lucia dan Dokter Antares semakin merasa iba.

"Tenanglah, Bu. Kita akan memecahkan masalah ini bersama-sama," ucap Dokter Antares.

Perkataan pria itu terdengar lembut. Ia berusaha mendorong kekuatan untuk Bu Fatma yang sedang menghadapi masalah pelik. Masalah yang menimbulkan banyak pertanyaan tetapi belum ada satupun jawaban yang didapatkan.

"Semoga kasus ini cepat terungkap, Dokter. Agar pelaku keji itu bisa segera diamankan dan mendapatkan hukuman atas semua yang telah dilakukannya terhadap Giana," ucap lirih Bu Fatma.

Wanita itu menyeka air matanya yang terus-terusan menetes tanpa diminta, seakan tak pernah menyusut dan mengering.

Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut benar-benar terasa tegang. Di posisinya, sesekali Handoko melirik pada Dokter Antares dan Dokter Lucia yang berusaha memberikan ketenangan untuk Bu Fatma.

***

Sore harinya, tepatnya di ruang rawat Giana, tampak gadis itu tengah duduk termenung diposisinya. Tatapan matanya kosong dengan pandangan yang lurus ke depan. Wajahnya pun terlihat begitu pucat, seperti mayat hidup.

Disamping ranjang tersebut, ada Bu Fatma yang duduk di sebuah kursi, di tangannya terdapat semangkuk bubur untuk putrinya.

"Buka mulutnya, Sayang," ucap Bu Fatma. Ia meminta putrinya untuk membuka mulut dan menerima suapan bubur yang disodorkannya.

Namun, Giana yang duduk diposisinya itu bergeming. Ia bagaikan jiwa tanpa raga setelah bangun dari tidur panjangnya dan mendapati jika dirinya tengah mengandung.

"Gi, ayo buka mulutnya. Mumpung buburnya masih hangat," ucap Bu Fatma.

Meskipun sulit menerima, tetapi Bu Fatma tetap merawat putrinya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Mengandung seperti itu bukanlah keinginan putrinya, terlebih lagi semua ini adalah musibah yang begitu mengejutkan mereka semua.

Entah siapa pemilik janin yang tumbuh di rahim Giana, kenapa orang itu tega memanfaatkan ketidakberdayaan.

"Gi tidak lapar, Ma," ucap Giana. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Hanya gerak bibirnya saja yang menunjukkan jika ia merespon perkataan ibunya.

Bibir Bu Fatma bergetar, ia sadar dan memahami jika saat ini putrinya pasti syok atas apa yang menimpanya.

"Meskipun tidak lapar, kamu harus makan meskipun sedikit. Mama tidak mau kamu kembali sakit," ucap Bu Fatma. Ia membujuk putrinya agar mau menerima suapannya. "Di dunia ini, Mama cuman punya kamu, Gi. Kamu adalah satu-satunya penyemangat dan alasan Mama bertahan." imbuhnya.

Mendengar perkataan Bu Fatma, Giana menoleh, ia merespon dengan cara menatap pada wanita itu.

Tak tahan melihat tatapan sendu Ibunya, Giana pun mengulas senyuman kecil di bibir pucatnya. Lalu, ia membuka mulut dan menerima suapan yang disodorkan oleh Bu Fatma.

"Makan yang banyak, habiskan, Sayang," kata Bu Fatma. Ia membalas senyuman kecil putrinya, tetapi dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kapan kita pulang, Ma? Gi rindu rumah ...."

Ditanya oleh Giana, Bu Fatma memejamkan matanya, berusaha untuk mengurangi rasa sesak di dadanya.

Selanjutnya, "Besok, kalau semua musibah yang menimpa kita sudah menemui titik terang dan terselesaikan. Kita akan pulang dan hidup dengan tenang, Sayang."

Di saat Bu Fatma dan Giana sedang berbicara berdua, Dokter Antares yang membawa sebuah kantong kresek dan juga peralatan medisnya datang, membuat ibu dan anak itu menyudahi pembicaraan mereka.

"Selamat sore, Bu Fatma dan Giana!"

"Selamat sore, Dokter Antares," balas Bu Fatma seraya beringsut dari posisinya.

Sedangkan Giana yang duduk di atas ranjang, kembali memasang wajah murungnya.

Melihat perubahan raut wajah Giana, Dokter Antares tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan meletakan kantong kresek yang dibawanya ke atas meja.

"Giana, saya bawakan kamu buah segar. Baik untuk kesehatan kamu dan janin yang kamu kandung, dimakan ya!" tuturnya dengan lembut, tak hentinya bibir Dokter Antares tersenyum, seolah memberikan semangat untuk Giana yang sedang terpuruk.

Dokter muda itu mendekat, tangannya perlahan menyentuh kening Giana dengan punggung telapak tangan, mencoba memeriksa suhu tubuhnya yang sebelumnya terasa dingin. Tetapi, tiba-tiba saja Giana menepis tangannya dengan cepat dan kasar.

"Giana!" seru Dokter Antares, terkejut. Wajahnya menegang, bingung dengan reaksi yang tak terduga Giana.

"Gia!" Bu Fatma segera mendekat, memanggil putrinya dengan cemas.

Giana terengah, napasnya memburu. Sorot matanya menunjukkan ketakutan. "Jangan sentuh saya, Dokter!" ucapnya, penuh penolakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status