"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"
Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana. Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas. Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah. Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai saling berbisik banyak dari mereka merasa tertekan, takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika ada kesalahan kecil yang ditemukan oleh penyidik. Di posisinya berada, Handoko tampak semakin panik. Keringat dingin membasahi wajahnya, dan tangannya gemetar saat dia berusaha menenangkan diri. Ia sadar, bahwa setiap kata yang diucapkannya tadi akan diperiksa dengan teliti. Kegelisahan semakin terasa ketika dia melirik ke arah Bu Fatma yang tampak teremenung. "Bagaimana?" batin Handoko terus berucap. Sementara itu, Bu Fatma yang duduk termenung dengan tatapan matanya yang kosong, tak henti-hentinya memikirkan kondisi putrinya. Ia berharap, penyelidikan yang dilakukan dapat mengungkapkan kebenaran. Melihat keadaan Bu Fatma yang mengkhawatirkan, Dokter Antares dan Dokter Lucia yang duduk di sisi kanan dan kiri wanita itu saling bertukar pandang. Keduanya merasa kasihan melihat keadaan Bu Fatma yang dirundung kesedihan dan kebingungan. Namun, mereka tidak dapat melakukan apapun selain berusaha menenangkan Bu Fatma dan membantu tim penyidik mengungkap kebenaran dari kasus yang membingungkan tersebut. "Bu Fatma, kami tahu semua ini berat. Tapi percayalah, jika Tim penyidik akan memecahkan kasus ini secepatnya," ucap Dokter Lucia. Ia berbicara dengan nada lembut, berusaha memberikan ketenangan pada Bu Fatma yang sedang tidak baik-baik saja. Mendengar perkataan Dokter Lucia, Bu Fatma yang tersadar dari lamunannya itu pun menganggukkan kepalanya. "Entah apa dosa saya dan Giana, Dokter. Apa sebenarnya salah kami? Sehingga Tuhan memberikan ujian yang begitu berat seperti ini," ucap Bu Fatma. Suaranya serak, seperti tercekat di tenggorokan. Dokter Lucia menghela napas, "Sabar, Bu. Percayalah jika Tuhan tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuan." Mata Bu Fatma kembali memanas, air matanya menganak sungai. Ia kembali menangis tergugu, membuat Dokter Lucia dan Dokter Antares semakin merasa iba. "Tenanglah, Bu. Kita akan memecahkan masalah ini bersama-sama," ucap Dokter Antares. Perkataan pria itu terdengar lembut. Ia berusaha mendorong kekuatan untuk Bu Fatma yang sedang menghadapi masalah pelik. Masalah yang menimbulkan banyak pertanyaan tetapi belum ada satupun jawaban yang didapatkan. "Semoga kasus ini cepat terungkap, Dokter. Agar pelaku keji itu bisa segera diamankan dan mendapatkan hukuman atas semua yang telah dilakukannya terhadap Giana," ucap lirih Bu Fatma. Wanita itu menyeka air matanya yang terus-terusan menetes tanpa diminta, seakan tak pernah menyusut dan mengering. Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut benar-benar terasa tegang. Di posisinya, sesekali Handoko melirik pada Dokter Antares dan Dokter Lucia yang berusaha memberikan ketenangan untuk Bu Fatma. *** Sore harinya, tepatnya di ruang rawat Giana, tampak gadis itu tengah duduk termenung diposisinya. Tatapan matanya kosong dengan pandangan yang lurus ke depan. Wajahnya pun terlihat begitu pucat, seperti mayat hidup. Disamping ranjang tersebut, ada Bu Fatma yang duduk di sebuah kursi, di tangannya terdapat semangkuk bubur untuk putrinya. "Buka mulutnya, Sayang," ucap Bu Fatma. Ia meminta putrinya untuk membuka mulut dan menerima suapan bubur yang disodorkannya. Namun, Giana yang duduk diposisinya itu bergeming. Ia bagaikan jiwa tanpa raga setelah bangun dari tidur panjangnya dan mendapati jika dirinya tengah mengandung. "Gi, ayo buka mulutnya. Mumpung buburnya masih hangat," ucap Bu Fatma. Meskipun sulit menerima, tetapi Bu Fatma tetap merawat putrinya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Mengandung seperti itu bukanlah keinginan putrinya, terlebih lagi semua ini adalah musibah yang begitu mengejutkan mereka semua. Entah siapa pemilik janin yang tumbuh di rahim Giana, kenapa orang itu tega memanfaatkan ketidakberdayaan. "Gi tidak lapar, Ma," ucap Giana. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Hanya gerak bibirnya saja yang menunjukkan jika ia merespon perkataan ibunya. Bibir Bu Fatma bergetar, ia sadar dan memahami jika saat ini putrinya pasti syok atas apa yang menimpanya. "Meskipun tidak lapar, kamu harus makan meskipun sedikit. Mama tidak mau kamu kembali sakit," ucap Bu Fatma. Ia membujuk putrinya agar mau menerima suapannya. "Di dunia ini, Mama cuman punya kamu, Gi. Kamu adalah satu-satunya penyemangat dan alasan Mama bertahan." imbuhnya. Mendengar perkataan Bu Fatma, Giana menoleh, ia merespon dengan cara menatap pada wanita itu. Tak tahan melihat tatapan sendu Ibunya, Giana pun mengulas senyuman kecil di bibir pucatnya. Lalu, ia membuka mulut dan menerima suapan yang disodorkan oleh Bu Fatma. "Makan yang banyak, habiskan, Sayang," kata Bu Fatma. Ia membalas senyuman kecil putrinya, tetapi dengan mata yang berkaca-kaca. "Kapan kita pulang, Ma? Gi rindu rumah ...." Ditanya oleh Giana, Bu Fatma memejamkan matanya, berusaha untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Selanjutnya, "Besok, kalau semua musibah yang menimpa kita sudah menemui titik terang dan terselesaikan. Kita akan pulang dan hidup dengan tenang, Sayang." Di saat Bu Fatma dan Giana sedang berbicara berdua, Dokter Antares yang membawa sebuah kantong kresek dan juga peralatan medisnya datang, membuat ibu dan anak itu menyudahi pembicaraan mereka. "Selamat sore, Bu Fatma dan Giana!" "Selamat sore, Dokter Antares," balas Bu Fatma seraya beringsut dari posisinya. Sedangkan Giana yang duduk di atas ranjang, kembali memasang wajah murungnya. Melihat perubahan raut wajah Giana, Dokter Antares tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan meletakan kantong kresek yang dibawanya ke atas meja. "Giana, saya bawakan kamu buah segar. Baik untuk kesehatan kamu dan janin yang kamu kandung, dimakan ya!" tuturnya dengan lembut, tak hentinya bibir Dokter Antares tersenyum, seolah memberikan semangat untuk Giana yang sedang terpuruk. Dokter muda itu mendekat, tangannya perlahan menyentuh kening Giana dengan punggung telapak tangan, mencoba memeriksa suhu tubuhnya yang sebelumnya terasa dingin. Tetapi, tiba-tiba saja Giana menepis tangannya dengan cepat dan kasar. "Giana!" seru Dokter Antares, terkejut. Wajahnya menegang, bingung dengan reaksi yang tak terduga Giana. "Gia!" Bu Fatma segera mendekat, memanggil putrinya dengan cemas. Giana terengah, napasnya memburu. Sorot matanya menunjukkan ketakutan. "Jangan sentuh saya, Dokter!" ucapnya, penuh penolakan."Jangan sentuh saya, Dokter!" Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kemba
"Bagaimana keadaan kamu, Giana? Apa ada keluhan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Dokter Lucia. Ia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Giana. Dengan senyuman kecil yang terbit di bibirnya, ia menghampiri Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya terlihat begitu lemas dengan wajahnya yang pucat. Mendengar suara Dokter Lucia, Giana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Kelegaan terlihat jelas di wajahnya saat melihat sosok Dokter wanita yang dikenalnya.Setelah itu, ia pun menjawab, "Sudah cukup membaik, Dokter." Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Hanya saja, rasa mualnya masih kerap datang, khususnya di pagi hari." imbuhnya.Dokter Lucia mengulas senyum dan angguk-angguk kepala. Lalu katanya, "Mual seperti itu biasa terjadi pada wanita yang sedang hamil muda, Gi. Morning sickness namanya, jadi tidak usah cemas dan khawatir." Tuturnya dengan suaranya yang terdengar lembut.Wanita itu berusaha mengurangi kecemasan yang sedang dirasakan oleh Giana. T
"Saudara Handoko, kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas kasus pelecehan yang terjadi pada pasien Giana Putri Aurora!" Pagi itu, seluruh staf rumah sakit dibuat terkejut dengan penangkapan Handoko. Pasalnya, petugas kepolisian menangkap perawat pria itu saat baru saja tiba di rumah sakit. "Apa-apaan ini? Demi Tuhan, Pak Polisi, saya tidak terlibat. Saya tidak melakukan apapun pada pasien Giana!" teriak Perawat Handoko dengan suaranya yang bergetar lantaran panik.Diringkus dan diborgol oleh petugas kepolisian, Perawat Handoko berusaha membela diri dan menolak saat akan dibawa ke kantor. "Tolong percaya pada saya, Pak. Saya bukan pelakunya!" teriak histeris Perawat Handoko. Lorong rumah sakit terasa begitu mencengkam, seluruh staf terlihat gugup dan takut. Bahkan sebagian dari mereka tampak berbisik, membicarakan kasus yang menyeret salah satu rekan kerja mereka. "Astaga, aku benar-benar tidak menyangka jika Handoko adalah pelakunya," gumam salah satu Perawat. Suaranya te
Rapat yang dilangsungkan oleh petinggi, staf, dokter dan karyawan rumah sakit pun diakhiri. Semua pihak setuju untuk melakukan tes DNA pada janin yang dikandung oleh Giana— tentunya atas seizin dari pihak keluarga pasien korban pelecehan. Tes DNA dianggap sebagai langkah paling masuk akal untuk mengungkap siapa pelaku pelecehan tersebut. Bahkan, Handoko yang kini ditahan oleh pihak kepolisian, akan ikut melakukan tes DNA. Terlibat atau tidaknya, semua akan jelas setelah hasil tes DNA keluar."Rapat ditutup!" Direktur rumah sakit tersebut mengakhiri rapat. Ia membereskan berkas yang ada di mejanya dan beranjak dari duduknya. Sosoknya yang kharismatik perlahan meninggalkan ruangan, diikuti dengan suasana hening yang mulai pecah ketika para peserta rapat mulai berbincang-bincang dengan suara yang pelan. Sepeninggalan Direktur rumah sakit tersebut, keadaan ruangan rapat yang semula hening, kini dipenuhi dengan suara bisikan peserta rapat yang ada di dalamnya. Mereka semua membicaraka
"Sebenarnya, malam itu saya melihat—" Beberapa bulan yang lalu. Malam itu, tepatnya pada pukul 21:49, Handoko sedang bertugas shift malam di rumah sakit. Ia sudah terbiasa dengan suasana sepi dan temaram dari koridor rumah sakit yang panjang. Sesekali terdengar suara detak monitor dari ruang-ruang rawat yang dilewatinya. Langkah kakinya teratur, santai, meskipun lelah mulai menyusup ke tubuhnya setelah berjam-jam berjaga. Tugasnya malam ini sederhana: memeriksa kondisi pasien, memastikan peralatan medis bekerja dengan baik, dan memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.Dengan langkahnya yang santai, Handoko melangkah menuju kamar nomer 13, yaitu ruangan yang ditempati oleh Giana, pasien kecelakaan yang mengalami koma. Saat tiba di ruangan rawat tersebut, Handoko spontan menghentikan langkahnya lantaran mendengar suara keributan dari dalam sana, suara orang yang tidak asing ditelinganya."Saya tahu yang terbaik untuk pasien! Jadi tidak perlu mengkritik saya!" suara it
Di dalam ruangan rawatnya yang sunyi, Giana tampak termenung dengan tatapan matanya yang kosong. Setelah mendengar kabar penangkapan Handoko pagi tadi, wajah gadis itu terlihat semakin murung. Bu Fatma yang melihat keadaan putrinya dari ambang pintu ruangan rawat itu merasa semakin sedih. Pasalnya, saat ini mental Giana benar-benar terguncang dan kewarasannya kini mulai dipertanyakan. Semenjak mengetahui jika dirinya menjadi korban pelecehan dan mengandung, ia benar-benar berubah. Bahkan, kerap tidak merespon jika diajak bicara. "Gia ...." Bu Fatma yang baru saja memasuki ruangan rawat putrinya, memanggilnya dengan suaranya yang lembut. Namun, Giana yang duduk dengan kedua tangan memeluk lututnya itu tidak merespon sama sekali, membuat Bu Fatma mengusap dadanya yang berdenyut nyeri. "Giana!" panggil Bu Fatma lagi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit keras dari sebelumnya. Giana yang mendengar panggilan Bu Fatma, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap pada wajah sang Ibu hin
"Argh ... si4l!" Makian tersebut dilontarkan oleh Dokter Antares. Di dalam ruangan kerjanya, ia tampak gelisah. Wajahnya menunjukkan ketidaktenangan. Perkataan penuh ancaman yang keluar dari mulut Inspektur Raka sebelumnya, benar-benar membuat perasaan Dokter Antares risau. Pasalnya, Inspektur Raka mengatakan, jika akan memperdalam penyidikan tentang kasus pelecehan Giana dan menargetkan dirinya sebagai salah satu pelaku.Dokter Antares menghela napas berat, ia menghempaskan bokongnya pada kursi kerjanya. Kedua telapak tangannya bergerak menyapu wajahnya dengan kasar, perkataan Inspektur Raka, tak dapat ia singkirkan dari otaknya. "Memeriksa kondisi pasien, atau Anda dan Perawat Destia bertengkar? Terlibat cekcok serius?!" tekan Inspektur Raka pada Dokter Antares, membuat wajahnya seketika berubah pucat. "Apa maksud Anda, Pak Inspektur?" tanya balik Dokter Antares. Sebisa mungkin, ia menetralkan perasaan gugupnya.Pria itu menatap tajam pada Inspektur Raka yang juga menatapnya. "
"Maaf untuk semuanya, Giana. Saya berjanji jika semua ini akan berakhir secepatnya." Tangan Bu Fatma meremas kertas yang berada di tangannya hingga kusut. Wajahnya memerah, dadanya seketika bergemuruh, dan matanya menatap dengan sorot penuh amarah. "Apa maksud semua ini, Gi? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan pada Mama!" Bu Fatma yang emosi, menekan Giana untuk mengatakan sesuatu tentang surat tersebut. Ia yakin sekali, jika putrinya menyembunyikan sesuatu. "Katakan pada Mama, apakah ada orang yang mengancam dan menekan kamu?" tanya Bu Fatma. Suaranya terdengar tertahan dan penuh penekanan. Ditanya oleh Mamanya, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Menunjukkan jika ia tidak mengetahui apapun tentang kertas itu dan siapa pengirimannya. "Giana, katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Bu Fatma. "Gia tidak tahu, Gia tidak tahu apapun," jawab Giana dengan pelan. Jemarinya meremas ujung sperai tempatnya berada. "Jangan takut, Gia. Katakan pada Mama," ucap Bu
Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke
Setelah berhasil mendapatkan sate yang diinginkan oleh Giana, Bu Fatma bergegas kembali ke ruangan rawat putrinya. Dengan langkahnya yang lebar dan cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit. Saat tiba di depan pintu ruangan rawat putrinya, Bu Fatma menghentikan langkahnya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ada Dokter Lucia dan kedua rekan Dokter wanita lainnya di dalam ruangan tersebut. Pamandangan itu, membuat benaknya bertanya-tanya. "Apa yang terjadi pada Gia?" gumam Bu Fatma dengan wajahnya yang terlihat cemas. Dengan perlahan, dia mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalamnya, menghampiri Dokter Lucia dan kedua rekannya."Dokter Lucia, ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu pada putri saya?" tanyanya dengan pelan. Jelas, jika ia mencemaskan keadaan putrinya.Wanita setengah baya itu menatap pada Dokter Lucia dan kedua rekannya bergantian. Lalu, beralih pada Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan wajahnya yang tertunduk, menunjukkan jika gadis itu
"Giana ...." Pintu ruangan rawat itu terbuka, dan muncullah Bu Fatma dengan langkahnya yang santai memasuki ruangan rawat putrinya. Di tangannya membawa sekotak makanan dan juga secangkir teh hangat yang didapatnya dari kantin rumah sakit. "Gia, kamu kenapa? Kok menangis?" tanya Bu Fatma. Ia melangkah mendekat dengan tatapan matanya berfokus pada wajah putrinya yang memerah, sembab dan terlihat pucat. Di dalam ruang rawat tersebut, tampak Giana duduk bersandar pada kepala ranjang. Dan— tentunya hanya sendirian, sedangkan Dokter Antares yang semula berada di sana, tidak terlihat batang hidungnya, entah kemana perginya pria itu dalam waktu yang begitu singkat. Ditanya oleh Bu Fatma, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lalu, ia beringsut sedikit dari posisinya dan menyentuh perutnya yang masih rata. Seolah, ia menunjukkan jika kesedihannya berasal dari kandungannya "Ada apa, Gi? Bicara pada Mama dan katakan siapa yang telah membuat kamu menangis?" tanya Bu Fatma. Ia
Siang itu, Dokter Antares mengajukan permohonan cuti untuk beberapa hari ke depan dengan alasan ada kepentingan keluarga yang begitu mendesak. Tetapi, ternyata semua tidak berjalan sesuai rencana, permohonan cutinya di tolak oleh atasan dengan alasan, beberapa bulan yang lalu Dokter Antares sudah mengambil masa cutinya. Ya, meskipun tidak di tolak sepenuhnya, tetap saja di luar harapannya. Cuti yang diajukan selama satu minggu, tetapi hanya diberikan selama dua hari. "Saya tahu jika keadaan di rumah sakit ini sedang tidak baik-baik saja, tapi keadaan saya juga mendesak, Pak. Adik saya yang berkuliah di Singapura mengalami kecelakaan, dan saya harus segera menjenguknya. Dia membutuhkan saya selaku keluarga satu-satunya yang dia miliki!" Dokter Antares yang tidak diberi izin untuk cuti, berbicara dengan tegas dan datar pada atasan yang berwenang di rumah sakit tersebut. Ia menunjukkan reaksi tidak senang. "Anda hanya diberikan izin cuti selama dua hari, Dokter Antares. Dan— maaf, s