"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"
Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana. Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas. Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah. Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai saling berbisik banyak dari mereka merasa tertekan, takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika ada kesalahan kecil yang ditemukan oleh penyidik. Di posisinya berada, Handoko tampak semakin panik. Keringat dingin membasahi wajahnya, dan tangannya gemetar saat dia berusaha menenangkan diri. Ia sadar, bahwa setiap kata yang diucapkannya tadi akan diperiksa dengan teliti. Kegelisahan semakin terasa ketika dia melirik ke arah Bu Fatma yang tampak teremenung. "Bagaimana?" batin Handoko terus berucap. Sementara itu, Bu Fatma yang duduk termenung dengan tatapan matanya yang kosong, tak henti-hentinya memikirkan kondisi putrinya. Ia berharap, penyelidikan yang dilakukan dapat mengungkapkan kebenaran. Melihat keadaan Bu Fatma yang mengkhawatirkan, Dokter Antares dan Dokter Lucia yang duduk di sisi kanan dan kiri wanita itu saling bertukar pandang. Keduanya merasa kasihan melihat keadaan Bu Fatma yang dirundung kesedihan dan kebingungan. Namun, mereka tidak dapat melakukan apapun selain berusaha menenangkan Bu Fatma dan membantu tim penyidik mengungkap kebenaran dari kasus yang membingungkan tersebut. "Bu Fatma, kami tahu semua ini berat. Tapi percayalah, jika Tim penyidik akan memecahkan kasus ini secepatnya," ucap Dokter Lucia. Ia berbicara dengan nada lembut, berusaha memberikan ketenangan pada Bu Fatma yang sedang tidak baik-baik saja. Mendengar perkataan Dokter Lucia, Bu Fatma yang tersadar dari lamunannya itu pun menganggukkan kepalanya. "Entah apa dosa saya dan Giana, Dokter. Apa sebenarnya salah kami? Sehingga Tuhan memberikan ujian yang begitu berat seperti ini," ucap Bu Fatma. Suaranya serak, seperti tercekat di tenggorokan. Dokter Lucia menghela napas, "Sabar, Bu. Percayalah jika Tuhan tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuan." Mata Bu Fatma kembali memanas, air matanya menganak sungai. Ia kembali menangis tergugu, membuat Dokter Lucia dan Dokter Antares semakin merasa iba. "Tenanglah, Bu. Kita akan memecahkan masalah ini bersama-sama," ucap Dokter Antares. Perkataan pria itu terdengar lembut. Ia berusaha mendorong kekuatan untuk Bu Fatma yang sedang menghadapi masalah pelik. Masalah yang menimbulkan banyak pertanyaan tetapi belum ada satupun jawaban yang didapatkan. "Semoga kasus ini cepat terungkap, Dokter. Agar pelaku keji itu bisa segera diamankan dan mendapatkan hukuman atas semua yang telah dilakukannya terhadap Giana," ucap lirih Bu Fatma. Wanita itu menyeka air matanya yang terus-terusan menetes tanpa diminta, seakan tak pernah menyusut dan mengering. Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut benar-benar terasa tegang. Di posisinya, sesekali Handoko melirik pada Dokter Antares dan Dokter Lucia yang berusaha memberikan ketenangan untuk Bu Fatma. *** Sore harinya, tepatnya di ruang rawat Giana, tampak gadis itu tengah duduk termenung diposisinya. Tatapan matanya kosong dengan pandangan yang lurus ke depan. Wajahnya pun terlihat begitu pucat, seperti mayat hidup. Disamping ranjang tersebut, ada Bu Fatma yang duduk di sebuah kursi, di tangannya terdapat semangkuk bubur untuk putrinya. "Buka mulutnya, Sayang," ucap Bu Fatma. Ia meminta putrinya untuk membuka mulut dan menerima suapan bubur yang disodorkannya. Namun, Giana yang duduk diposisinya itu bergeming. Ia bagaikan jiwa tanpa raga setelah bangun dari tidur panjangnya dan mendapati jika dirinya tengah mengandung. "Gi, ayo buka mulutnya. Mumpung buburnya masih hangat," ucap Bu Fatma. Meskipun sulit menerima, tetapi Bu Fatma tetap merawat putrinya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Mengandung seperti itu bukanlah keinginan putrinya, terlebih lagi semua ini adalah musibah yang begitu mengejutkan mereka semua. Entah siapa pemilik janin yang tumbuh di rahim Giana, kenapa orang itu tega memanfaatkan ketidakberdayaan. "Gi tidak lapar, Ma," ucap Giana. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Hanya gerak bibirnya saja yang menunjukkan jika ia merespon perkataan ibunya. Bibir Bu Fatma bergetar, ia sadar dan memahami jika saat ini putrinya pasti syok atas apa yang menimpanya. "Meskipun tidak lapar, kamu harus makan meskipun sedikit. Mama tidak mau kamu kembali sakit," ucap Bu Fatma. Ia membujuk putrinya agar mau menerima suapannya. "Di dunia ini, Mama cuman punya kamu, Gi. Kamu adalah satu-satunya penyemangat dan alasan Mama bertahan." imbuhnya. Mendengar perkataan Bu Fatma, Giana menoleh, ia merespon dengan cara menatap pada wanita itu. Tak tahan melihat tatapan sendu Ibunya, Giana pun mengulas senyuman kecil di bibir pucatnya. Lalu, ia membuka mulut dan menerima suapan yang disodorkan oleh Bu Fatma. "Makan yang banyak, habiskan, Sayang," kata Bu Fatma. Ia membalas senyuman kecil putrinya, tetapi dengan mata yang berkaca-kaca. "Kapan kita pulang, Ma? Gi rindu rumah ...." Ditanya oleh Giana, Bu Fatma memejamkan matanya, berusaha untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Selanjutnya, "Besok, kalau semua musibah yang menimpa kita sudah menemui titik terang dan terselesaikan. Kita akan pulang dan hidup dengan tenang, Sayang." Di saat Bu Fatma dan Giana sedang berbicara berdua, Dokter Antares yang membawa sebuah kantong kresek dan juga peralatan medisnya datang, membuat ibu dan anak itu menyudahi pembicaraan mereka. "Selamat sore, Bu Fatma dan Giana!" "Selamat sore, Dokter Antares," balas Bu Fatma seraya beringsut dari posisinya. Sedangkan Giana yang duduk di atas ranjang, kembali memasang wajah murungnya. Melihat perubahan raut wajah Giana, Dokter Antares tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan meletakan kantong kresek yang dibawanya ke atas meja. "Giana, saya bawakan kamu buah segar. Baik untuk kesehatan kamu dan janin yang kamu kandung, dimakan ya!" tuturnya dengan lembut, tak hentinya bibir Dokter Antares tersenyum, seolah memberikan semangat untuk Giana yang sedang terpuruk. Dokter muda itu mendekat, tangannya perlahan menyentuh kening Giana dengan punggung telapak tangan, mencoba memeriksa suhu tubuhnya yang sebelumnya terasa dingin. Tetapi, tiba-tiba saja Giana menepis tangannya dengan cepat dan kasar. "Giana!" seru Dokter Antares, terkejut. Wajahnya menegang, bingung dengan reaksi yang tak terduga Giana. "Gia!" Bu Fatma segera mendekat, memanggil putrinya dengan cemas. Giana terengah, napasnya memburu. Sorot matanya menunjukkan ketakutan. "Jangan sentuh saya, Dokter!" ucapnya, penuh penolakan."Jangan sentuh saya, Dokter!" Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kemba
"Bagaimana keadaan kamu, Giana? Apa ada keluhan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Dokter Lucia. Ia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Giana. Dengan senyuman kecil yang terbit di bibirnya, ia menghampiri Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya terlihat begitu lemas dengan wajahnya yang pucat. Mendengar suara Dokter Lucia, Giana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Kelegaan terlihat jelas di wajahnya saat melihat sosok Dokter wanita yang dikenalnya.Setelah itu, ia pun menjawab, "Sudah cukup membaik, Dokter." Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Hanya saja, rasa mualnya masih kerap datang, khususnya di pagi hari." imbuhnya.Dokter Lucia mengulas senyum dan angguk-angguk kepala. Lalu katanya, "Mual seperti itu biasa terjadi pada wanita yang sedang hamil muda, Gi. Morning sickness namanya, jadi tidak usah cemas dan khawatir." Tuturnya dengan suaranya yang terdengar lembut.Wanita itu berusaha mengurangi kecemasan yang sedang dirasakan oleh Giana. T
"Saudara Handoko, kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas kasus pelecehan yang terjadi pada pasien Giana Putri Aurora!" Pagi itu, seluruh staf rumah sakit dibuat terkejut dengan penangkapan Handoko. Pasalnya, petugas kepolisian menangkap perawat pria itu saat baru saja tiba di rumah sakit. "Apa-apaan ini? Demi Tuhan, Pak Polisi, saya tidak terlibat. Saya tidak melakukan apapun pada pasien Giana!" teriak Perawat Handoko dengan suaranya yang bergetar lantaran panik.Diringkus dan diborgol oleh petugas kepolisian, Perawat Handoko berusaha membela diri dan menolak saat akan dibawa ke kantor. "Tolong percaya pada saya, Pak. Saya bukan pelakunya!" teriak histeris Perawat Handoko. Lorong rumah sakit terasa begitu mencengkam, seluruh staf terlihat gugup dan takut. Bahkan sebagian dari mereka tampak berbisik, membicarakan kasus yang menyeret salah satu rekan kerja mereka. "Astaga, aku benar-benar tidak menyangka jika Handoko adalah pelakunya," gumam salah satu Perawat. Suaranya te
Rapat yang dilangsungkan oleh petinggi, staf, dokter dan karyawan rumah sakit pun diakhiri. Semua pihak setuju untuk melakukan tes DNA pada janin yang dikandung oleh Giana— tentunya atas seizin dari pihak keluarga pasien korban pelecehan. Tes DNA dianggap sebagai langkah paling masuk akal untuk mengungkap siapa pelaku pelecehan tersebut. Bahkan, Handoko yang kini ditahan oleh pihak kepolisian, akan ikut melakukan tes DNA. Terlibat atau tidaknya, semua akan jelas setelah hasil tes DNA keluar."Rapat ditutup!" Direktur rumah sakit tersebut mengakhiri rapat. Ia membereskan berkas yang ada di mejanya dan beranjak dari duduknya. Sosoknya yang kharismatik perlahan meninggalkan ruangan, diikuti dengan suasana hening yang mulai pecah ketika para peserta rapat mulai berbincang-bincang dengan suara yang pelan. Sepeninggalan Direktur rumah sakit tersebut, keadaan ruangan rapat yang semula hening, kini dipenuhi dengan suara bisikan peserta rapat yang ada di dalamnya. Mereka semua membicaraka
"Sebenarnya, malam itu saya melihat—" Beberapa bulan yang lalu. Malam itu, tepatnya pada pukul 21:49, Handoko sedang bertugas shift malam di rumah sakit. Ia sudah terbiasa dengan suasana sepi dan temaram dari koridor rumah sakit yang panjang. Sesekali terdengar suara detak monitor dari ruang-ruang rawat yang dilewatinya. Langkah kakinya teratur, santai, meskipun lelah mulai menyusup ke tubuhnya setelah berjam-jam berjaga. Tugasnya malam ini sederhana: memeriksa kondisi pasien, memastikan peralatan medis bekerja dengan baik, dan memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.Dengan langkahnya yang santai, Handoko melangkah menuju kamar nomer 13, yaitu ruangan yang ditempati oleh Giana, pasien kecelakaan yang mengalami koma. Saat tiba di ruangan rawat tersebut, Handoko spontan menghentikan langkahnya lantaran mendengar suara keributan dari dalam sana, suara orang yang tidak asing ditelinganya."Saya tahu yang terbaik untuk pasien! Jadi tidak perlu mengkritik saya!" suara it
Di dalam ruangan rawatnya yang sunyi, Giana tampak termenung dengan tatapan matanya yang kosong. Setelah mendengar kabar penangkapan Handoko pagi tadi, wajah gadis itu terlihat semakin murung. Bu Fatma yang melihat keadaan putrinya dari ambang pintu ruangan rawat itu merasa semakin sedih. Pasalnya, saat ini mental Giana benar-benar terguncang dan kewarasannya kini mulai dipertanyakan. Semenjak mengetahui jika dirinya menjadi korban pelecehan dan mengandung, ia benar-benar berubah. Bahkan, kerap tidak merespon jika diajak bicara. "Gia ...." Bu Fatma yang baru saja memasuki ruangan rawat putrinya, memanggilnya dengan suaranya yang lembut. Namun, Giana yang duduk dengan kedua tangan memeluk lututnya itu tidak merespon sama sekali, membuat Bu Fatma mengusap dadanya yang berdenyut nyeri. "Giana!" panggil Bu Fatma lagi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit keras dari sebelumnya. Giana yang mendengar panggilan Bu Fatma, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap pada wajah sang Ibu hin
"Argh ... si4l!" Makian tersebut dilontarkan oleh Dokter Antares. Di dalam ruangan kerjanya, ia tampak gelisah. Wajahnya menunjukkan ketidaktenangan. Perkataan penuh ancaman yang keluar dari mulut Inspektur Raka sebelumnya, benar-benar membuat perasaan Dokter Antares risau. Pasalnya, Inspektur Raka mengatakan, jika akan memperdalam penyidikan tentang kasus pelecehan Giana dan menargetkan dirinya sebagai salah satu pelaku.Dokter Antares menghela napas berat, ia menghempaskan bokongnya pada kursi kerjanya. Kedua telapak tangannya bergerak menyapu wajahnya dengan kasar, perkataan Inspektur Raka, tak dapat ia singkirkan dari otaknya. "Memeriksa kondisi pasien, atau Anda dan Perawat Destia bertengkar? Terlibat cekcok serius?!" tekan Inspektur Raka pada Dokter Antares, membuat wajahnya seketika berubah pucat. "Apa maksud Anda, Pak Inspektur?" tanya balik Dokter Antares. Sebisa mungkin, ia menetralkan perasaan gugupnya.Pria itu menatap tajam pada Inspektur Raka yang juga menatapnya. "
"Maaf untuk semuanya, Giana. Saya berjanji jika semua ini akan berakhir secepatnya." Tangan Bu Fatma meremas kertas yang berada di tangannya hingga kusut. Wajahnya memerah, dadanya seketika bergemuruh, dan matanya menatap dengan sorot penuh amarah. "Apa maksud semua ini, Gi? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan pada Mama!" Bu Fatma yang emosi, menekan Giana untuk mengatakan sesuatu tentang surat tersebut. Ia yakin sekali, jika putrinya menyembunyikan sesuatu. "Katakan pada Mama, apakah ada orang yang mengancam dan menekan kamu?" tanya Bu Fatma. Suaranya terdengar tertahan dan penuh penekanan. Ditanya oleh Mamanya, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Menunjukkan jika ia tidak mengetahui apapun tentang kertas itu dan siapa pengirimannya. "Giana, katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Bu Fatma. "Gia tidak tahu, Gia tidak tahu apapun," jawab Giana dengan pelan. Jemarinya meremas ujung sperai tempatnya berada. "Jangan takut, Gia. Katakan pada Mama," ucap Bu