Suasana ruang rawat masih diselimuti ketegangan setelah kabar mengejutkan tentang kehamilan Giana terungkap. Bu Fatma duduk di kursinya dengan wajah penuh duka dan kebingungan, masih belum bisa menerima kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Dokter kepadanya. Air matanya terus mengalir, menetes membasahi pipinya.
Dokter Antares, yang berdiri di sampingnya, tampak berusaha menenangkan wanita itu dengan sikap hangatnya. "Sabar, Bu. Kita tunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut keluar," ucap Dokter Antares. Tangannya bergerak pelan, mengusap punggung Bu Fatma yang bergetar dengan lembut. Sejak tadi, pria itu tidak banyak bicara, tetapi selalu mengawasi situasi dengan penuh perhatian. Bahkan, tatapan matanya tak lepas dari Giana yang terbaring lemah di atas ranjang. "Semua ini benar-benar tidak masuk akal, Dokter. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin putri saya mengandung?" Bu Fatma berseru pada Dokter wanita bernama Lucia yang memeriksa putrinya. Suaranya terdengar bergetar dan frustasi, tangannya mencengkram erat pegangan kursi seolah tak ingin menjauh dari dekat putrinya sedikitpun. Dokter Lucia yang memeriksa Giana, melangkah maju dan mendekat pada Bu Fatma. Ia mencoba menjelaskan situasi yang membingungkan itu. "Bu Fatma, saya mengerti ini sangat sulit untuk diterima," katanya dengan lembut tetapi tegas. "Tapi, pemeriksaan medis menunjukkan dengan jelas bahwa ada janin di rahim Giana, dan usia kandungannya sudah sekitar dua bulan." Kata-kata itu menggantung di udara, memicu keheningan yang mencekam di seluruh ruangan. Bu Fatma menundukkan kepalanya, seolah tak mampu lagi menyangkal kenyataan. Dua bulan, itu artinya, Giana mengandung setelah mengalami koma, bukan sebelumnya. Ia mencoba mencari jawaban, mencari penjelasan yang masuk akal, tetapi yang ada hanya kekosongan dan kebingungan. "Jika usia kandungannya dua bulan, itu artinya putri saya mengandung setelah koma. Bagaimana mungkin orang yang koma bisa mengandung?" tanyanya dengan pelan. Suaranya benar-benar tercekat, semua yang dialami putrinya begitu sulit dimengerti. Dokter Lucia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Bukan hanya Bu Fatma yang kebingungan, tetapi juga dirinya yang kesulitan mencerna semua yang terjadi saat ini. "Itulah yang tidak saya mengerti, Bu. Apakah ada oknum yang telah memanfaatkan kondisi Giana? Atau ada hal lainnya yang telah terjadi," kata Dokter Lucia. "Saya dan tim akan melakukan serangkaian pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi Giana dan juga keadaan janin yang dikandungnya." imbuhnya. Mendengar pembicaraan Dokter Lucia dan Bu Fatma, Dokter Antares yang selalu bersikap tenang, menunjukkan mimik wajah seriusnya. "Saya heran, Dokter Lucia. Selama saya menangani dan merawat pasien, keadaannya baik-baik saja dan tidak ada kejanggalan sama sekali. Semua ini benar-benar membuat saya bingung," tutur Dokter Antares. "Hal ini patut dipertanyakan nanti!" ujar Dokter Lucia dengan tegas, membuat Dokter Antares kembali diam. Selaku Dokter senior di rumah sakit tersebut, Dokter Lucia tidak dapat diam saja. Ia harus bertindak dan membongkar misteri yang terjadi. "Ya Tuhan ... bagaimana dengan nasib putriku setelah ini?" desah frustasi Bu Fatma. Kedua telapak tangannya bergerak menyapu wajahnya dengan kasar. "Ibu tenang saja, kami juga akan melaporkan situasi ini kepada pihak rumah sakit. Secepatnya juga, melibatkan pihak berwenang agar investigasi dan penyelidikan bisa dimulai!" Mendengar perkataan Dokter Lucia, Bu Fatma terhenyak, matanya melebar. "Penyelidikan?" tanyanya. Dokter Lucia mengangguk pelan. "Situasi ini tidak biasa, Bu. Tidak ada yang dapat kami lakukan selain melaporkan semuanya pada pihak rumah sakit dan juga pihak berwajib!" Bu Fatma menunduk, tangannya kembali gemetar. Dalam hatinya, rasa takut mulai menyelinap, tak bisa ia kendalikan. Pikiran-pikiran buruk mulai berputar di kepalanya. Siapa yang berani melakukan hal ini kepada putrinya? Bagaimana mungkin seseorang bisa berbuat keji pada pasien yang sedang dalam keadaan tak berdaya? Ditengah-tengah kekalutannya, Dokter Antares kembali angkat suara. "Kita serahkan semuanya pada pihak berwajib, Bu. Kita tunggu hasilnya dan lihat, siapa orang yang telah berani berbuat seperti ini pada Giana." Bu Fatma menganggukkan kepalanya. Perkataan Dokter Antares, membuat perasaannya sedikit menghangat. "Dokter Antares benar, Bu. Tetaplah tenang, karena semua misteri ini pasti akan terpecahkan," kata Dokter Lucia. Ia menimpali perkataan Dokter Antares. "Kami akan memastikan bahwa segala sesuatu akan diselidiki dengan teliti. Giana dan Ibu akan mendapatkan keadilan, dan kami semua akan membantu untuk menemukan kebenaran." Kepala Bu Fatma kembali mengangguk lemah. Meski hatinya terasa hancur, ia mencoba menggantungkan harapannya pada tim medis dan pihak rumah sakit. Giana adalah segalanya baginya. Yang ia inginkan sekarang, menemukan siapa yang telah melakukan hal keji ini kepada Giana secepatnya dan menuntut keadilan untuk putrinya. *** Beberapa jam kemudian, suasana rumah sakit mulai berubah. Berita tentang kehamilan Giana menyebar dengan cepat di antara para staf, perawat, dan dokter serta pasien-pasien rumah sakit tersebut. Mereka saling berbisik, membicarakan kabar yang begitu tak terduga dan penuh teka-teki. Semua orang tampak waspada, tak ada yang benar-benar mengerti apa yang terjadi. Bu Fatma hanya bisa menunggu dengan gelisah di ruang tunggu. Perasaannya campur aduk antara marah, sedih, dan putus asa. Dokter Antares tetap berada di sisinya, memberikan sedikit ketenangan dalam diam. Dokter muda itu adalah orang yang selama ini merawat Giana dengan setia. Bu Fatma merasa setidaknya ada seseorang yang bisa ia percayai di tengah kekacauan ini. "Apakah penyidik akan segera datang ke sini, Dokter?" tanya Bu Fatma dengan suara lirih, memecah keheningan di antara mereka. Dokter Antares mengangguk kecil. "Ya, Bu. Mereka akan segera datang untuk memulai penyelidikan. Kita harus siap memberikan semua informasi yang diperlukan agar mereka bisa membantu." Tak lama kemudian, seperti yang dijanjikan, tim penyidik dari kepolisian tiba di rumah sakit. Beberapa petugas berpakaian rapi masuk dengan sikap serius. Mereka langsung menemui dokter kepala dan perawat senior untuk meminta keterangan awal. Ruangan-ruangan di rumah sakit menjadi lebih tegang. Setiap sudut dipenuhi ketegangan, terutama di kalangan staf laki-laki yang merasa tak nyaman dengan kehadiran penyidik. Meski demikian, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, atau siapa yang mungkin bertanggung jawab atas kehamilan Giana. Penyelidikan dimulai dengan cepat. Para perawat, staf medis, dan semua pria yang bekerja di rumah sakit dipanggil satu per satu untuk dimintai keterangan. Mereka dicecar berbagai pertanyaan terkait keberadaan dan aktivitas mereka selama tiga bulan terakhir—periode yang mencakup saat Giana koma. Namun, meski proses berlangsung intens, belum ada tanda-tanda kemajuan. Semua orang tampak bekerja dengan hati-hati dan profesional. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada yang terlihat mencolok. Di tengah penyelidikan yang berlangsung, Dokter Antares tetap mendampingi Bu Fatma. Sikapnya yang tenang dan perhatian sedikit banyak memberi kekuatan pada wanita itu. Meski kegelisahan terus menghantuinya, Bu Fatma merasa bahwa setidaknya ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. "Jangan khawatir, Bu Fatma," ujar salah satu penyidik pada akhirnya. "Kami akan melakukan segala upaya untuk mengungkap kebenaran. Ini akan memakan waktu, tapi kami berjanji, jika putri Ibu akan segera mendapatkan keadilan!" Bu Fatma hanya bisa mengangguk. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan kebenaran ini masih panjang. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan berhenti sampai pelaku yang telah menyakiti putrinya ditemukan.Tim penyidik kini sudah berada di rumah sakit, mereka meminta seluruh staf rumah sakit berkumpul di ruang rapat untuk dimintai keterangan. Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut dipenuhi dengan ketegangan. Di tengah ruangan tersebut, berdiri inspektur polisi yang usianya kisaran empatpuluh lima tahunan. Tampangnya tegas dengan tatapan matanya yang tajam. Di tangannya, terdapat beberapa berkas laporan yang berisi keterangan awal dari kasus kehamilan Giana.Inspektur polisi yang bernama Rakanda Wiryawan itu, menatap staf rumah sakit yang duduk di hadapannya satu persatu, membuat para staf itu menundukkan kepala mereka masing-masing. "Baiklah, kita mulai penyidikannya," kata Inspektur Raka. Ia membuka percakapan, membuat suasana menjadi semakin tegang. Bu Fatma yang duduk diantara Dokter Antares dan Dokter Lucia itu, meremas jemarinya satu sama lain. Jelas terlihat, jika dirinya begitu menantikan kejelasan dari musibah yang dialami oleh putrinya."Sebelum saya mulai penyidikan ini,
"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana. Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas. Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah.Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai sa
"Jangan sentuh saya, Dokter!" Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kemba
"Bagaimana keadaan kamu, Giana? Apa ada keluhan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Dokter Lucia. Ia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Giana. Dengan senyuman kecil yang terbit di bibirnya, ia menghampiri Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya terlihat begitu lemas dengan wajahnya yang pucat. Mendengar suara Dokter Lucia, Giana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Kelegaan terlihat jelas di wajahnya saat melihat sosok Dokter wanita yang dikenalnya.Setelah itu, ia pun menjawab, "Sudah cukup membaik, Dokter." Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Hanya saja, rasa mualnya masih kerap datang, khususnya di pagi hari." imbuhnya.Dokter Lucia mengulas senyum dan angguk-angguk kepala. Lalu katanya, "Mual seperti itu biasa terjadi pada wanita yang sedang hamil muda, Gi. Morning sickness namanya, jadi tidak usah cemas dan khawatir." Tuturnya dengan suaranya yang terdengar lembut.Wanita itu berusaha mengurangi kecemasan yang sedang dirasakan oleh Giana. T
"Saudara Handoko, kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas kasus pelecehan yang terjadi pada pasien Giana Putri Aurora!" Pagi itu, seluruh staf rumah sakit dibuat terkejut dengan penangkapan Handoko. Pasalnya, petugas kepolisian menangkap perawat pria itu saat baru saja tiba di rumah sakit. "Apa-apaan ini? Demi Tuhan, Pak Polisi, saya tidak terlibat. Saya tidak melakukan apapun pada pasien Giana!" teriak Perawat Handoko dengan suaranya yang bergetar lantaran panik.Diringkus dan diborgol oleh petugas kepolisian, Perawat Handoko berusaha membela diri dan menolak saat akan dibawa ke kantor. "Tolong percaya pada saya, Pak. Saya bukan pelakunya!" teriak histeris Perawat Handoko. Lorong rumah sakit terasa begitu mencengkam, seluruh staf terlihat gugup dan takut. Bahkan sebagian dari mereka tampak berbisik, membicarakan kasus yang menyeret salah satu rekan kerja mereka. "Astaga, aku benar-benar tidak menyangka jika Handoko adalah pelakunya," gumam salah satu Perawat. Suaranya te
Rapat yang dilangsungkan oleh petinggi, staf, dokter dan karyawan rumah sakit pun diakhiri. Semua pihak setuju untuk melakukan tes DNA pada janin yang dikandung oleh Giana— tentunya atas seizin dari pihak keluarga pasien korban pelecehan. Tes DNA dianggap sebagai langkah paling masuk akal untuk mengungkap siapa pelaku pelecehan tersebut. Bahkan, Handoko yang kini ditahan oleh pihak kepolisian, akan ikut melakukan tes DNA. Terlibat atau tidaknya, semua akan jelas setelah hasil tes DNA keluar."Rapat ditutup!" Direktur rumah sakit tersebut mengakhiri rapat. Ia membereskan berkas yang ada di mejanya dan beranjak dari duduknya. Sosoknya yang kharismatik perlahan meninggalkan ruangan, diikuti dengan suasana hening yang mulai pecah ketika para peserta rapat mulai berbincang-bincang dengan suara yang pelan. Sepeninggalan Direktur rumah sakit tersebut, keadaan ruangan rapat yang semula hening, kini dipenuhi dengan suara bisikan peserta rapat yang ada di dalamnya. Mereka semua membicaraka
"Sebenarnya, malam itu saya melihat—" Beberapa bulan yang lalu. Malam itu, tepatnya pada pukul 21:49, Handoko sedang bertugas shift malam di rumah sakit. Ia sudah terbiasa dengan suasana sepi dan temaram dari koridor rumah sakit yang panjang. Sesekali terdengar suara detak monitor dari ruang-ruang rawat yang dilewatinya. Langkah kakinya teratur, santai, meskipun lelah mulai menyusup ke tubuhnya setelah berjam-jam berjaga. Tugasnya malam ini sederhana: memeriksa kondisi pasien, memastikan peralatan medis bekerja dengan baik, dan memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.Dengan langkahnya yang santai, Handoko melangkah menuju kamar nomer 13, yaitu ruangan yang ditempati oleh Giana, pasien kecelakaan yang mengalami koma. Saat tiba di ruangan rawat tersebut, Handoko spontan menghentikan langkahnya lantaran mendengar suara keributan dari dalam sana, suara orang yang tidak asing ditelinganya."Saya tahu yang terbaik untuk pasien! Jadi tidak perlu mengkritik saya!" suara it
Di dalam ruangan rawatnya yang sunyi, Giana tampak termenung dengan tatapan matanya yang kosong. Setelah mendengar kabar penangkapan Handoko pagi tadi, wajah gadis itu terlihat semakin murung. Bu Fatma yang melihat keadaan putrinya dari ambang pintu ruangan rawat itu merasa semakin sedih. Pasalnya, saat ini mental Giana benar-benar terguncang dan kewarasannya kini mulai dipertanyakan. Semenjak mengetahui jika dirinya menjadi korban pelecehan dan mengandung, ia benar-benar berubah. Bahkan, kerap tidak merespon jika diajak bicara. "Gia ...." Bu Fatma yang baru saja memasuki ruangan rawat putrinya, memanggilnya dengan suaranya yang lembut. Namun, Giana yang duduk dengan kedua tangan memeluk lututnya itu tidak merespon sama sekali, membuat Bu Fatma mengusap dadanya yang berdenyut nyeri. "Giana!" panggil Bu Fatma lagi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit keras dari sebelumnya. Giana yang mendengar panggilan Bu Fatma, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap pada wajah sang Ibu hin