"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter? Apakah keadaannya benar-benar sudah membaik?" Suara Bu Fatma terdengar bergetar, nyaris tak mampu menutupi kecemasan yang mengendap dalam hatinya.
Wanita paruh baya itu duduk di kursi seberang meja kerja Dokter Antares, dokter muda yang selama tiga bulan terakhir setia menangani putrinya yang koma akibat kecelakaan tragis yang menimpanya saat berkendara di jalan raya. Dokter Antares mengalihkan pandangannya dari catatan medis yang ada di meja kerjanya, lalu menatap Bu Fatma dengan senyum lembut yang dimaksudkan untuk menenangkan wanita itu. "Kondisi Giana sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Bu," jawabnya. "Namun, karena koma yang dialaminya, otot-ototnya mengalami kekakuan. Giana membutuhkan terapi jalan untuk memulihkan fungsi tubuhnya secara perlahan." imbuhnya seraya mengulas senyum. Bu Fatma menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, berusaha mengontrol perasaannya. "Saya ikut bagaimana Dokter saja. Saya percayakan sepenuhnya putri saya pada Anda dan tim," ucapnya lirih, tetapi penuh harap. Mendengar ucapan Bu Fatma, Dokter Antares menundukkan dan menganggukkan kepalanya sedikit pada wanita itu. "Terima kasih atas kepercayaan yang Ibu berikan pada saya dan tim. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk kesembuhan Giana," katanya penuh keyakinan. Namun, suasana yang tenang itu buyar dan menjadi tegang ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan wajah pucat dan langkah tergesa. "Dokter, pasien di kamar 13 mengalami mual dan muntah hebat!" serunya dengan napas yang tersengal. Dokter Antares terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kendali seketika berubah. "Pasien kamar 13, Giana ...." Mata Bu Fatma melebar seiring dengan kabar yang di dengarnya. Rasa cemas semakin merayap di hatinya. "Ada apa dengan putri saya, Dokter?" suaranya memecah keheningan, sarat dengan kecemasan yang membuncah. Tanpa menunggu jawaban, Dokter Antares segera bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke luar ruangan. Bu Fatma, yang diliputi rasa takut, mengikuti di belakangnya dengan langkah limbung. Derap langkah mereka terdengar memenuhi koridor rumah sakit yang sepi, seolah menggema di setiap dinding, membawa kecemasan yang semakin mencekik. Sesampainya di ruang rawat Giana, pemandangan yang tak diduga menyambut mereka. Seorang dokter wanita dan beberapa perawat tengah sibuk menangani Giana yang terbaring lemah, keringat dingin membasahi wajah gadis muda itu. Bau khas memenuhi ruangan, membuat suasana semakin tegang. "Apa yang terjadi?" tanya Dokter Antares. Suaranya sedikit meninggi karena ketegangan yang kian terasa. Dokter wanita yang sedang bertugas, tampak tergesa menenangkan Giana sebelum menoleh pada Dokter Antares dan Bu Fatma. "Pasien mengalami mual dan muntah berlebihan," jawabnya datar. "Saya perlu memeriksa lebih lanjut, ini tidak biasa." Bu Fatma melangkah mendekat, tangannya gemetar. "Kenapa bisa begini? Apa yang sebenarnya terjadi pada putri saya, Dokter?" tanyanya, matanya tak bisa lepas dari tubuh lemah Giana yang terkulai di atas ranjang. Dokter wanita itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, tangannya bergerak cepat memeriksa kondisi Giana, terutama bagian perutnya. Ketika jarinya menekan sedikit, dia terdiam. Matanya menyipit, alisnya mengerut. Ada sesuatu di sana yang membuat wajahnya berubah memucat. Hidungnya kembang kempis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dapati. "Tidak mungkin," bisiknya, hampir tak terdengar. "Ini benar-benar tidak masuk akal ...." Kebingungan menyergap seluruh ruangan. Bu Fatma dan Dokter Antares saling bertukar pandang, jelas sama-sama bingung dan mulai dikuasai rasa takut. Ada sesuatu yang sangat tidak beres dari pemeriksaan Dokter wanita itu. "Ada apa, Dokter?" tanya Bu Fatma dengan suara yang semakin memelas, hampir menangis. "Tolong katakan, apa yang terjadi dengan putri saya?" Dokter wanita itu menggeleng pelan, seolah menolak realitas yang baru saja ditemuinya. "Ada sesuatu di perutnya, dan semua ini benar-benar membingungkan," gumamnya lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi dan terdengar jelas. Dokter Antares tak lagi mampu menyembunyikan kegelisahan dan kecemasannya. "Cepat katakan, ada apa sebenarnya?" desaknya. "Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada pasien?" Dokter muda itu menekan rekan sekaligus seniornya di rumah sakit tersebut agar mengatakan apa yang telah terjadi pada Giana. Dokter wanita itu menelan ludah, kemudian menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Setelah itu, barulah ia memberikan jawaban. "Dokter Antares, pasien ini ... dia, dia sedang mengandung. Ada janin yang tumbuh di dalam rahimnya!" Kata-kata itu jatuh ke udara seperti batu besar yang menjatuhkan segala harapan. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan, seolah waktu berhenti sejenak. Mata Bu Fatma melebar, seluruh tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. Ia terduduk, tangannya terangkat menutup mulutnya, air mata mulai mengalir deras. "Apa? Mengandung! Tidak ... tidak mungkin!" pekik Bu Fatma dengan suara tertahan, seolah suaranya tercekat di tenggorokan. "Putri saya ... dia mengalami koma, mana mungkin semua ini terjadi padanya! Dia tidak mungkin hamil!"Suasana ruang rawat masih diselimuti ketegangan setelah kabar mengejutkan tentang kehamilan Giana terungkap. Bu Fatma duduk di kursinya dengan wajah penuh duka dan kebingungan, masih belum bisa menerima kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Dokter kepadanya. Air matanya terus mengalir, menetes membasahi pipinya. Dokter Antares, yang berdiri di sampingnya, tampak berusaha menenangkan wanita itu dengan sikap hangatnya. "Sabar, Bu. Kita tunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut keluar," ucap Dokter Antares. Tangannya bergerak pelan, mengusap punggung Bu Fatma yang bergetar dengan lembut. Sejak tadi, pria itu tidak banyak bicara, tetapi selalu mengawasi situasi dengan penuh perhatian. Bahkan, tatapan matanya tak lepas dari Giana yang terbaring lemah di atas ranjang. "Semua ini benar-benar tidak masuk akal, Dokter. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin putri saya mengandung?"Bu Fatma berseru pada Dokter wanita bernama Lucia yang memeriksa putrinya. Suaranya terdengar bergetar dan frustasi
Tim penyidik kini sudah berada di rumah sakit, mereka meminta seluruh staf rumah sakit berkumpul di ruang rapat untuk dimintai keterangan. Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut dipenuhi dengan ketegangan. Di tengah ruangan tersebut, berdiri inspektur polisi yang usianya kisaran empatpuluh lima tahunan. Tampangnya tegas dengan tatapan matanya yang tajam. Di tangannya, terdapat beberapa berkas laporan yang berisi keterangan awal dari kasus kehamilan Giana.Inspektur polisi yang bernama Rakanda Wiryawan itu, menatap staf rumah sakit yang duduk di hadapannya satu persatu, membuat para staf itu menundukkan kepala mereka masing-masing. "Baiklah, kita mulai penyidikannya," kata Inspektur Raka. Ia membuka percakapan, membuat suasana menjadi semakin tegang. Bu Fatma yang duduk diantara Dokter Antares dan Dokter Lucia itu, meremas jemarinya satu sama lain. Jelas terlihat, jika dirinya begitu menantikan kejelasan dari musibah yang dialami oleh putrinya."Sebelum saya mulai penyidikan ini,
"Awasi gerak-gerik Perawat yang bernama Handoko. Saya merasa jika dia menyembunyikan sesuatu! Periksa setiap CCTV yang ada di sudut rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun!"Inspektur Raka berbicara pada asistennya sembari meninggalkan ruangan rapat rumah sakit. Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Handoko, ia merasa jika pria itu terlibat dalam kasus kehamilan Giana. Asisten Inspektur Raka mengangguk, "Baik, Inspektur. Saya dan Tim akan melakukan penyidikan dengan baik, tidak akan melewatkan semua orang dari pemeriksaan." Ia menimpali perkataan atasannya dengan nada yang tegas. Ketegangan di rumah sakit terasa semakin memuncak setelah penyelidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Raka. Setiap staf yang hadir di ruang rapat tampak cemas, terutama setelah fokus penyidik tertuju pada perawat Handoko, yang sejak awal terlihat gelisah.Setelah Inspektur Raka dan timnya meninggalkan ruangan, desas-desus mulai terdengar di antara para staf. Beberapa perawat mulai sa
"Jangan sentuh saya, Dokter!" Penolakan yang ditunjukkan oleh Giana, membuat Dokter Antares langsung mengangkat kedua tangannya dan mundur perlahan dari posisinya. Wajah Dokter muda itu memerah, ia merasa kaget melihat reaksi dan respon Giana terhadapnya. Ia tak menyangka, jika Giana menolak sentuhannya. Setelah ini, bagaimana caranya ia akan memeriksa keadaan gadis itu. Melihat air muka Dokter Antares, Bu Fatma segera mendekati putrinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Gia, ini Dokter Antares. Dokter baik yang selama ini membantu dan merawat kamu," ucapnya. Suaranya pelan, berusaha memberikan pengertian pada putrinya yang sepertinya mengalami trauma. "Gia tidak ingin di sentuh oleh lelaki manapun lagi, Ma. Carikan Dokter wanita saja," pinta Giana. Napasnya semakin memburu, menunjukkan jika dirinya benar-benar ketakutan sekarang. Dokter Antares yang berdiri di posisinya, tampak termangu. Ia menatap dengan tatapan matanya yang begitu dalam pada wajah pucat Giana yang kemba
"Bagaimana keadaan kamu, Giana? Apa ada keluhan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Dokter Lucia. Ia melangkah masuk ke dalam ruang rawat Giana. Dengan senyuman kecil yang terbit di bibirnya, ia menghampiri Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuhnya terlihat begitu lemas dengan wajahnya yang pucat. Mendengar suara Dokter Lucia, Giana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Kelegaan terlihat jelas di wajahnya saat melihat sosok Dokter wanita yang dikenalnya.Setelah itu, ia pun menjawab, "Sudah cukup membaik, Dokter." Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Hanya saja, rasa mualnya masih kerap datang, khususnya di pagi hari." imbuhnya.Dokter Lucia mengulas senyum dan angguk-angguk kepala. Lalu katanya, "Mual seperti itu biasa terjadi pada wanita yang sedang hamil muda, Gi. Morning sickness namanya, jadi tidak usah cemas dan khawatir." Tuturnya dengan suaranya yang terdengar lembut.Wanita itu berusaha mengurangi kecemasan yang sedang dirasakan oleh Giana. T
"Saudara Handoko, kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas kasus pelecehan yang terjadi pada pasien Giana Putri Aurora!" Pagi itu, seluruh staf rumah sakit dibuat terkejut dengan penangkapan Handoko. Pasalnya, petugas kepolisian menangkap perawat pria itu saat baru saja tiba di rumah sakit. "Apa-apaan ini? Demi Tuhan, Pak Polisi, saya tidak terlibat. Saya tidak melakukan apapun pada pasien Giana!" teriak Perawat Handoko dengan suaranya yang bergetar lantaran panik.Diringkus dan diborgol oleh petugas kepolisian, Perawat Handoko berusaha membela diri dan menolak saat akan dibawa ke kantor. "Tolong percaya pada saya, Pak. Saya bukan pelakunya!" teriak histeris Perawat Handoko. Lorong rumah sakit terasa begitu mencengkam, seluruh staf terlihat gugup dan takut. Bahkan sebagian dari mereka tampak berbisik, membicarakan kasus yang menyeret salah satu rekan kerja mereka. "Astaga, aku benar-benar tidak menyangka jika Handoko adalah pelakunya," gumam salah satu Perawat. Suaranya te
Rapat yang dilangsungkan oleh petinggi, staf, dokter dan karyawan rumah sakit pun diakhiri. Semua pihak setuju untuk melakukan tes DNA pada janin yang dikandung oleh Giana— tentunya atas seizin dari pihak keluarga pasien korban pelecehan. Tes DNA dianggap sebagai langkah paling masuk akal untuk mengungkap siapa pelaku pelecehan tersebut. Bahkan, Handoko yang kini ditahan oleh pihak kepolisian, akan ikut melakukan tes DNA. Terlibat atau tidaknya, semua akan jelas setelah hasil tes DNA keluar."Rapat ditutup!" Direktur rumah sakit tersebut mengakhiri rapat. Ia membereskan berkas yang ada di mejanya dan beranjak dari duduknya. Sosoknya yang kharismatik perlahan meninggalkan ruangan, diikuti dengan suasana hening yang mulai pecah ketika para peserta rapat mulai berbincang-bincang dengan suara yang pelan. Sepeninggalan Direktur rumah sakit tersebut, keadaan ruangan rapat yang semula hening, kini dipenuhi dengan suara bisikan peserta rapat yang ada di dalamnya. Mereka semua membicaraka
"Sebenarnya, malam itu saya melihat—" Beberapa bulan yang lalu. Malam itu, tepatnya pada pukul 21:49, Handoko sedang bertugas shift malam di rumah sakit. Ia sudah terbiasa dengan suasana sepi dan temaram dari koridor rumah sakit yang panjang. Sesekali terdengar suara detak monitor dari ruang-ruang rawat yang dilewatinya. Langkah kakinya teratur, santai, meskipun lelah mulai menyusup ke tubuhnya setelah berjam-jam berjaga. Tugasnya malam ini sederhana: memeriksa kondisi pasien, memastikan peralatan medis bekerja dengan baik, dan memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.Dengan langkahnya yang santai, Handoko melangkah menuju kamar nomer 13, yaitu ruangan yang ditempati oleh Giana, pasien kecelakaan yang mengalami koma. Saat tiba di ruangan rawat tersebut, Handoko spontan menghentikan langkahnya lantaran mendengar suara keributan dari dalam sana, suara orang yang tidak asing ditelinganya."Saya tahu yang terbaik untuk pasien! Jadi tidak perlu mengkritik saya!" suara it
Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke
Setelah berhasil mendapatkan sate yang diinginkan oleh Giana, Bu Fatma bergegas kembali ke ruangan rawat putrinya. Dengan langkahnya yang lebar dan cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit. Saat tiba di depan pintu ruangan rawat putrinya, Bu Fatma menghentikan langkahnya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ada Dokter Lucia dan kedua rekan Dokter wanita lainnya di dalam ruangan tersebut. Pamandangan itu, membuat benaknya bertanya-tanya. "Apa yang terjadi pada Gia?" gumam Bu Fatma dengan wajahnya yang terlihat cemas. Dengan perlahan, dia mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalamnya, menghampiri Dokter Lucia dan kedua rekannya."Dokter Lucia, ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu pada putri saya?" tanyanya dengan pelan. Jelas, jika ia mencemaskan keadaan putrinya.Wanita setengah baya itu menatap pada Dokter Lucia dan kedua rekannya bergantian. Lalu, beralih pada Giana yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan wajahnya yang tertunduk, menunjukkan jika gadis itu
"Giana ...." Pintu ruangan rawat itu terbuka, dan muncullah Bu Fatma dengan langkahnya yang santai memasuki ruangan rawat putrinya. Di tangannya membawa sekotak makanan dan juga secangkir teh hangat yang didapatnya dari kantin rumah sakit. "Gia, kamu kenapa? Kok menangis?" tanya Bu Fatma. Ia melangkah mendekat dengan tatapan matanya berfokus pada wajah putrinya yang memerah, sembab dan terlihat pucat. Di dalam ruang rawat tersebut, tampak Giana duduk bersandar pada kepala ranjang. Dan— tentunya hanya sendirian, sedangkan Dokter Antares yang semula berada di sana, tidak terlihat batang hidungnya, entah kemana perginya pria itu dalam waktu yang begitu singkat. Ditanya oleh Bu Fatma, Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lalu, ia beringsut sedikit dari posisinya dan menyentuh perutnya yang masih rata. Seolah, ia menunjukkan jika kesedihannya berasal dari kandungannya "Ada apa, Gi? Bicara pada Mama dan katakan siapa yang telah membuat kamu menangis?" tanya Bu Fatma. Ia
Siang itu, Dokter Antares mengajukan permohonan cuti untuk beberapa hari ke depan dengan alasan ada kepentingan keluarga yang begitu mendesak. Tetapi, ternyata semua tidak berjalan sesuai rencana, permohonan cutinya di tolak oleh atasan dengan alasan, beberapa bulan yang lalu Dokter Antares sudah mengambil masa cutinya. Ya, meskipun tidak di tolak sepenuhnya, tetap saja di luar harapannya. Cuti yang diajukan selama satu minggu, tetapi hanya diberikan selama dua hari. "Saya tahu jika keadaan di rumah sakit ini sedang tidak baik-baik saja, tapi keadaan saya juga mendesak, Pak. Adik saya yang berkuliah di Singapura mengalami kecelakaan, dan saya harus segera menjenguknya. Dia membutuhkan saya selaku keluarga satu-satunya yang dia miliki!" Dokter Antares yang tidak diberi izin untuk cuti, berbicara dengan tegas dan datar pada atasan yang berwenang di rumah sakit tersebut. Ia menunjukkan reaksi tidak senang. "Anda hanya diberikan izin cuti selama dua hari, Dokter Antares. Dan— maaf, s