"Pergi! Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan, Pelacur!" Terdengar gema kemarahan dari sosok pria yang tengah duduk di atas kursi roda. Tatapannya dingin, sedingin kabut di musim salju. Penampilannya berantakan dengan hanya mengenakan jubah mandi di tubuhnya yang sudah tidak terpasang dengan benar. Dan sialnya tetap terlihat mengagumkan meski tubuhnya tidak bisa dikatakan indah. Tetesan air mengalir dari rambutnya yang mulai gondrong menambah kesan maskulin pada pria berwajah bak dewa tersebut.
Aland Amsrtong, pria yang dulunya kekar mempesona, kini hanya bisa duduk tidak berdaya di atas kursi roda. Ya, walau kelumpuhannya tidak memudarkan kadar ketampanannya sama sekali. Hanya saja dengan kondisinya yang sekarang, ia bahkan tidak bisa menyelamatkan diri saat para perawat yang menjaganya berlaku kurang ajar padanya dengan cara melecehkannya. Aland tidak bisa melindungi dirinya, ia merasa malu, jijik dan juga merasa hina terhadap dirinya sendiri.Aland, pebisnis hebat di usianya yang masih terbilang muda. Dikenal sebagai pria yang cukup humble. Membuat banyak para gadis yang mengincar, juga tebar-tebar pesona padanya secara terang-terangan. Selain kekayaan yang melimpah ruah, pria blasteran itu juga memiliki wajah yang sangat rupawan. Tubuh tinggi tegap dengan manik perak yang begitu memukau yang ia warisi dari ayahnya.Dulu, Aland hanya perlu menggerakkan mulut untuk memberi perintah, mengangkat sebelah tangan menolak seseorang. Sekarang, hal itu tidak berarti lagi.Kejadian yang sama selama tiga tahun terakhir selalu terulang. Perawat yang dipilih ayahnya selalu melecehkannya.Pagi ini, saat ia sedang mandi, perawat itu dengan tidak tahu malunya berani menyentuh dan meremas miliknya. Aland hanya bisa menggeram dan memaki dalam hati. Ternyata tidak hanya sampai di sana, perawat itu masih berulah saat Aland sudah duduk di kursi roda. Perawat murahan itu dengan lancangnya duduk di atas pangkuannya, memainkan jemari nakal di dadanya dan berusaha untuk mencuri ciuman Aland. Di saat seperti itulah Aland mengambil kesempatan. Menyambut ciuman si perawat lalu kemudian menggigitnya dengan kuat hingga si perawat murahan tersebut meminta ampun."Dasar pelacur! Cuiiihhh!! Aku tidak ingin melihat wajahmu di sini lagi! Pergi atau aku akan membunuhmu, Jalang!" Ancaman yang sebenarnya tidak memiliki arti karena sekedar untuk menggerakkan jemarinya saja, Aland tidak mampu melakukannya. Menyedihkan!Wanita itu segera keluar dari kamar yang begitu gelap karena tidak ada pencahayaan sama sekali. Sejak tiga tahun lalu, tepatnya setelah ia mengalami kecelakaan, Aland menolak untuk membiarkan matahari atau cahaya apa pun menyinari kamarnya. Hidupnya berubah kelam sejak hari di mana Julia pergi meninggalkannya.Perawat mesum itu membuka pintu dan terkejut dengan kehadiran Tuan Amstrong di depan pintu kamar. Si perawat segera menyeka darah yang ada di bibirnya akibat luka yang ia dapatkan dari gigitan Aland."Tuan, saya..."Tuan Amstrong mengangguk mengerti. "Pergilah."Carver Amstrong, pria setengah baya yang merupakan pria paling terpukul dengan keadaan dan kondisi putra semata wayangnya."Ini perawat ke 72 dan hanya bertahan selama dua hari," suaranya menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam. "Bagaimana akan sembuh, jika dia selalu menolak untuk mendapatkan perawatan." Adu pria tua itu pada Sofia. Setelah istirahat seharian, akhirnya keesokan harinya, Sofia menemui Tuan Amstrong agar mengantarnya ke kamar Aland."Apa alasannya menolak para perawat itu?" Sofia bertanya penasaran. Wajah wanita yang tadi keluar dari dalam kamar terlihat pucat pasi. Tapi, Sofia juga sempat melihat darah yang keluar dari bibir wanita itu. Tuan Amstrong mungkin tidak terlalu memperhatikan."Mungkin dia ingin membunuh dirinya secara perlahan demi perlahan. Dia tidak memiliki semangat untuk hidup lagi, Sofia. Aku bahkan tidak cukup untuk dijadikannya sebagai alasan bertahan."Sofia menatap Tuan Amstrong dengan iba. "Kau sudah mulai menua, Uncle. Rambutmu juga sudah mulai memutih." Komentar Sofia, keluar dari konteks pembicaraan."Aku memang sudah tua sejak aku membawamu dan ibumu kemari, Nak." Kelakar pria itu sambil menatap hangat pada Sofia. "Aku senang kau sudah kembali, setidaknya aku memiliki teman untuk berbagi.""Aku juga senang bisa kembali ke rumah ini, Uncle. Berhentilah memikirkan Aland, sebaiknya kau lebih memikirkan kesehatanmu.""Aku akan berhenti memikirkannya jika kau berhasil membujuk Aland untuk mendapatkan pengobatan, Nak, dan tentunya kamu menerima lamaran kami.""Aku akan mencoba untuk berbicara dengannya. Tentang pengobatan," Sofia buru-buru menambahkan sebelum Tuan Amstrong salah sangka. Untuk menikah, Sofia masih membutuhkan waktu yang cukup banyak."Dia pasti mendengarkanmu. Aku harap begitu.""Semoga saja. Kami sudah lama tidak berkomunikasi. Mungkin saja dia tidak mengenaliku lagi."Tuan Amstrong tertawa, "Ya, aku pun hampir tidak mengenalimu, Sayang. Kau terlihat mengagumkan dengan hijab yang menutupi kepalamu.""Dia juga pasti akan terkecoh." Sofia tersenyum simpul."Masuklah, sapa dia."Sofia mendadak gugup, tapi gadis yang kini berusia 25 tahun itu tetap menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum manis di tengah jantung yang menderu-deru tidak karuan. Sudah hampir tujuh tahun dia tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Aland. Apakah Aland masih sehangat dulu? Sofia tahu jawabannya adalah tidak!"Doakan aku semoga putramu tidak melakukan sesuatu yang membuatku keluar dari kamar ini dalam keadaan pucat pasi," selorohnya."Berjanjilah untuk tetap tidak menyerah meski dia membuatmu ketakutan, Nak." Tuan Amstrong menggenggam tangan Sofia, menatap penuh harap pada gadis cantik tersebut."Permintaanmu terlalu berat, Uncle. Aku merasakan jantungku berdegup tidak menentu. Ini pertanda buruk." Wajah Sofia memelas yang dibalas Tuan Amstrong tidak kalah memelas."Baiklah, kau menang. Aku akan masuk. Jika aku tidak keluar dalam tiga puluh menit, tolong masuk dan pastikan apakah aku masih hidup atau tidak." Sofia melepaskan genggaman tangan tuan Amstrong. Ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan dan keberanian sebelum mendorong pintu.Hal pertama yang ia lihat adalah kegelapan. Bulu kuduknya merinding seketika."Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi, Jalang."Sofia menggigil seketika mendengar suara Aland yang begitu dingin dan mencekam penuh ancaman.Sofia memendarkan pandangan, mencari sosok si pemilik suara. Samar-samar ia melihat bayangan di depan jendela."Apa kau memang sudah bosan hidup, Jalang sialan?!""Sambutan yang cukup manis untuk seorang teman yang baru bertemu setelah delapan tahun tidak bertemu." Sofia meraba dinding mencari saklar lampu dan di detik selanjutnya, ruangan itu terang benderang. Terdengar umpatan kasar.Terlihat lah sosok Aland yang sedang menatapnya dengan berbagai ekspresi yang bertukar setiap satu detik. Awalnya marah, kemudian bingung dan terakhir terkejut hingga pupil mata pria itu melebar."Sofia?" tebak pria itu dengan ragu.Sofia berdehem, penampilan Aland sangat tidak sopan sekali. Hanya mengenakan jubah mandi yang tidak terpasang sempurna. Dengan memaksakan senyumnya, Sofia berkata, "Aku tersanjung kamu masih mengenalku, Tuan.""Ciih." Aland mendengus dengan seringaian sinis. "Kuharap kemunculanmu di sini membawa kabar baik. Apa kau membawa ayahmu yang penipu itu kemari?!""Sayang sekali, aku tidak membawanya, Tuan." Sofia menjawab dengan tenang."Lalu apa yang kau lakukan di sini?""Menjenguk teman lama.""Sejak kapan seorang pelayan berteman dengan tuannya?!" Sarkas pria itu."Wuaahh, kelumpuhanmu ternyata membuat lidahmu semakin tajam saja.""Matikan lampunya, Sialan!""Lakukan sendiri. Itu pekerjaan yang sangat mudah, bukan, tuan Aland yang terhormat?"Sofia spontan mengembuskan napas begitu ia keluar dari dalam kamar Aland. Tubuhnya bersandar di daun pintu sambil memegangi dadanya. Degupannya begitu terasa di tangan. Sumpah demi apa pun, dia begitu gugup, panik, takut dan juga iba. Aland begitu berbeda, sangat berbeda dari yang ada di dalam ingatannya. Yang sama, hanya ketampanannya, tidak berubah sama sekali. Bahkan Sofia menganggap bahwa Aland semakin menawan dengan tatapan bengis dan aura yang menakutkan itu. Konyol emang."Apa dia membuatmu takut?"Sofia berjengkit kaget, "Uncle!!" Memekik dengan suara tertahan."Sepertinya Aland memang membuatmu takut." Mr. Amstrong terlihat kecewa. Jika Sofia takut begini sangat memungkinkan bahwa Sofia akan menolak lamarannya untuk Aland.Sofia buru-buru menggelengkan kepala, "Tidak benar-benar membuatku takut, aku hanya kaget, terkejut dengan penampakannya. Dia... Hmmm... Aland sangat berbeda."Sofia tidak melihat lagi sisa-sisa kejenakaan di tatapan Aland. Dulu, mata itu sering menggoda da
Aland sudah bersiap hendak menyemburkan makian begitu mendengar pintu kamarnya dibuka lagi. Begitu melihat sahabatnya, Zoe, ia hanya mendengus, memalingkan wajah."Hei, Dude...""Kenapa kau lama sekali, aku hampir mati kedinginan.""Yang kulihat justru sebaliknya," Zoe sengaja memancing dan tepat sasaran. Aland mengapresiasi pancingannya itu dengan tatapan super maut andalannya."Aku bertemu Sofia di depan pintu kamar," Zoe tertawa, tidak terusik sama sekali dengan tatapan Aland yang mematikan."Tarik tirainya!" Aland memberi titah. Perintah yang tidak berarti apa-apa, karena Zoe hanya menanggapinya dengan tawa.Zoe melenggang santai menuju ruang ganti untuk mengambil pakaian bos yang merangkap sebagai sahabatnya itu."Zoe, kau tidak mendengarku?! Matikan juga lampunya! Zoe, sialan, Zoe... Kau ingin kupecat!"Zoe muncul membawa pakaian Aland. "Kau tahu apa yang dikatakan Sofia, Bung?""Aku tidak mau tahu! Tarik tirai dan padamkan lampunya!""Dia mengatakan bahwa kau tidak mungkin meme
"Dia terlihat menyedihkan, Ibu." Yang dimaksud Sofia adalah Aland. "Pria itu terlihat seperti singa yang kehilangan kuasanya. Aland benar-benar menderita kurang gizi.""Ya," sahut Ibu Rahayu dari seberang telepon. "Mr. Amstrong selalu mengatakan hal yang sama setiap kami bertemu. Apa dia mau bicara padamu. Biasanya dia menolak berbicara dengan siapa pun.""Dia bahkan memakiku," ucap Sofia sambil tertawa."Oh ya?" Ibu Rahayu ikut tertawa."Ibu, kau sungguh tidak keberatan aku harus mengabaikanmu lagi?""Kau tidak pernah mengabaikanku, Sayang. Tidak pernah sama sekali. Aland lebih membutuhkan bantuanmu. Ibu bisa menunggu dan Ibu akan baik-baik saja. Sementara Aland sudah sekarat. Sementara aku sedang menikmati hidupku dengan teman-temanku di sini." Yang dimaksud di sini adalah di panti sosial. Sejak dua tahun lalu, Ibu Rahayu memang memutuskan tinggal di panti sosial dimana Mr. Amstrong adalah donatur tetap di sana. Ibu Rahayu merasa lebih hidup karena di sana ia membantu menyiapkan ma
"Aku mendengar Aland berteriak."Sofia yang baru menutup pintu kamar pasien barunya berbalik, menatap wajah pria yang sudah tua itu mengkhawatirkan putranya."Ya, dia memakiku, Uncle."Seketika Sofia melihat helaan napas lega di wajah Mr. Amstrong."Biar kutebak bahwa kau baru saja mengumumkan akan menjadi perawatnya yang baru."Sofia mengangguk semangat, "Dan dia marah, memandangku tidak percaya. Uncle, aku membutuhkan gimnasium. Apakah kita bisa membuatnya di dekat kolam berenang. Beberapa alat olahraga diperlukan guna menunjung kesembuhannya.""Tentu saja bisa. Aku akan meminta Zoe menyiapkan semuanya.""Terima kasih, Uncle.""Apakah ada harapan?" Mr. Amstrong bertanya penuh harap. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Sarapan Aland juga harus diganti. Tidak akan ada kopi. Sofia akan memberikan daftarnya pada pelayan."Selalu ada harapan, Uncle." Sofia tersenyum hangat. "Paling cepat enam bulan, InsyaAllah, Aland akan bisa berjalan kembali."Mr. Amstrong tidak bisa menyembunyikan bin
Hawa masih dingin saat Sofia menurunkan kaki dari ranjang. Dia sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Sofia selalu bangun dengan segera, alasan kenapa dia bisa menjadi terapis handal, jika dibutuhkan pasien, dia selalu bersedia, sekalipun tengah malam, tidak akan ada jalan sempoyongan atau menguap sambil menggosok-gosok mata. Sofia selalu melakukan apa pun yang dibutuhkan dari dirinya.Ia mengayunkan kaki menuju toilet. Mandi dan mengenakan pakaian seefesien mungkin.Ia sudah siap untuk melakukan pekerjaannya dengan pasien yang ia ketahui cukup keras kepala.Sofia tersenyum saat memasuki kamar Aland setelah mengetuk dua kali."Selamat pagi," sapanya seriang mungkin. Kakinya berjalan menuju balkon, menyingkap tirai dengan satu kali tarikan. Cahaya matahari seketika memenuhi ruangan.Terdengar makian lirih dari arah ranjang. Aland berbaring telentang, kakinya sedikit canggung seolah pria itu mencoba menggerakkan tungkainya tadi malam.Sofia memperhatikan Aland membuka mata, pria itu berusa
"Dia sungguh menggerakkan tangannya?" Manik Mr. Amstrong berkaca-kaca. Ini kabar bagus, amat sangat bagus menurutnya. "Katakan jika bocah tengil itu sungguh bisa menggerakkan tangannya, Sofia?"Sofia tersenyum, ia sudah biasa menghadapi keluarga pasiennya yang langsung bersemangat begitu ada kemajuan pada diri pasien walau hanya setitik. "Uncle, dari awal, Aland mengatakan bahwa tangannya memang tidak mempunyai masalah. Hanya suka kebas dan terasa berat. Akhirnya ia memilih untuk tidak menggerakkan tangannya. Seperti yang Uncle katakan, Aland tidak mempunyai semangat untuk hidup, bunuh diri secara perlahan adalah misinya dan ia berpikir untuk melumpuhkan dirinya secara total. Cara yang dia lakukan mungkin hampir berhasil, nyatanya dia tidak menggunakan tangannya selama ini. Ini kali pertama dalam satu tahun terakhir, tangan itu kembali melakukan apa yang dia inginkan." Tidak seperti kakinya yang sudah lumpuh setelah hampir tiga tahun, nasib tangan Aland memburuk satu tahun terakhir
"Jika sangat muak kepadaku, kenapa kau menerima pekerjaan ini?"Sofia mengedikkan bahu, "Kau memiliki uang yang sangat banyak yang sebagian akan beralih padaku jika aku tinggal di sini dan memberikanmu terapi fisik.""Yeah, sudah kuduga ini tentang uang." Aland menyahut dengan nada sinis. Sofia megerjap, "Memangnya kau kira ada alasan yang lebih masuk akal?" Aland terdiam, memilih tidak menyahut lagi. "Tapi, semuanya bukan hanya tentang uang," Sofia menambahkan setelah keheningan selama setengah menit. "Aku tidak akan percaya kalau kau mengatakan bahwa kau bersedia karena niat tulus hatimu yang luar biasa."Sofia melipat bibirnya, menahan agar senyumnya tidak lepas, "Sepertinya kau sangat mengenalku," tuturnya dengan sarkas."Kalau begitu karena apa?" Aland mulai penasaran. Tapi ia mengatur suaranya agar terdengar malas-malasan, seolah ini hanya perbincangan penuh basa basi. "Bayangkan betapa menguntungkannya bagiku bekerja dengan Aland Amstrong yang hebat. Aku baru terjun selama
"Aku berkeringat, sebaiknya aku mandi." Suara Aland tenang, tapi tidak dengan sorot matanya yang tajam. "Zoe akan membawaku ke kamar mandi," ia tidak membiarkan Sofia membantah dan memang ia tidak ingin dibantah. Hanya perkataanya yang akan didengar di sini, bukan Sofia. Sofia yang sudah sangat faham dengan sikap keras kepala pria itu memilih setuju. Sepertinya Aland tidak suka Maurin melihat penampilan dirinya yang sedikit kacau. "Kami akan segera kembali," Zoe berpamitan kepada kedua wanita itu. Sofia menganggukkan kepala sementara Maurin hanya bergeming. Keheningan menyelimuti kedua wanita itu untuk sepersekian menit yang terasa begitu lama. "Aku masih tidak menyangka ini dirimu." Akhirnya Maurin lah yang memecahkan keheningan yang terasa canggung ini. Sofia tersenyum samar, "Apa aku terlihat begitu berubah? Atau kau hanya tidak menyangka bahwa aku tumbuh dengan baik?" Wajah Maurin berubah merah seketika, antara malu dan marah. Wanita itu tertawa hambar, "Ya, aku bisa melihat
"Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela
"Daddy sudah melamar Sofia untukmu."Hening untuk beberapa detik lamanya. Kemudian Aland mengerjap, tidak percaya dengan pendengarannya sama sekali. Namun, begitu melihat wajah serius ayahhya dan juga wajah Sofia yang mendadak tegang dan pucat, ia sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Telinganya masih berfungsi bagaimana semestinya.Tiba-tiba tawanya meledak, memecah keheningan. Tawannya tidak tertular sama sekali baik terhadap Mr. Amstrong atau pun pada Sofia. Bahkan Sofia justru terlihat semakin pucat."Oh Tuhan, ini lelucon paling menggelikan yang pernah kudengar setelah sekian tahun," ucapnya di sela tawanya."Ini bukan lelucon," sahut Ayahnya dengan tenang.Aland mengerutkan bibir, tampak berpikir keras mencerna tiga kata yang baru terlontar dari mulut sang ayah. "Apa jawabanmu?" Ekspresinya berubah dingin."Aku...""Atau justru kaulah yang mengusulkan ide gila tersebut?" Aland menyela sebelum Sofia selesai menjawab pertanyaannya."Sofia tidak mengatakan apa-a
"Sialan kau, Sofia!"Makian Aland tidak dihiraukan Sofia. Ia sama marahnya dengan pria itu. Ingin rasanya Sofia menendang tulang kering pria itu atau mungkin mencekik lehernya agar Aland sadar bahwa pria itu tidak seharusnya terpuruk begitu dalam. Sebenarnya apa yang membuat Sofia begitu marah? Apa karena ketidakberdayaan Aland atau karena mengetahui fakta bahwa Aland sepertinya masih begitu mencintai Julia?Pertanyaan itu membuat Sofia tersentak. Ia bahkan sampai berhenti dan bersandar di dinding. Deru napasnya memburu, amarahnya semakin menjadi dengan bisikan pertanyaan yang tidak ia tahu berasal dari mana. Dan ia tidak ingin repot-repot memikirkan jawabannya."Apa yang terjadi?"Sofia kembali tersentak kaget. Mr. Amstrong sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan raut bingung bercampur cemas. "Aland melakukan sesuatu yang buruk padamu, Sofia?"Sofia menggeleng lemah. "Aku mendengarnya berteriak dan memaki, juga debuman pintu. Aku yakin kau lah yang membanting pintu itu, bukan Alan
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir