"Dia sungguh menggerakkan tangannya?" Manik Mr. Amstrong berkaca-kaca. Ini kabar bagus, amat sangat bagus menurutnya.
"Katakan jika bocah tengil itu sungguh bisa menggerakkan tangannya, Sofia?"Sofia tersenyum, ia sudah biasa menghadapi keluarga pasiennya yang langsung bersemangat begitu ada kemajuan pada diri pasien walau hanya setitik."Uncle, dari awal, Aland mengatakan bahwa tangannya memang tidak mempunyai masalah. Hanya suka kebas dan terasa berat. Akhirnya ia memilih untuk tidak menggerakkan tangannya. Seperti yang Uncle katakan, Aland tidak mempunyai semangat untuk hidup, bunuh diri secara perlahan adalah misinya dan ia berpikir untuk melumpuhkan dirinya secara total. Cara yang dia lakukan mungkin hampir berhasil, nyatanya dia tidak menggunakan tangannya selama ini. Ini kali pertama dalam satu tahun terakhir, tangan itu kembali melakukan apa yang dia inginkan."Tidak seperti kakinya yang sudah lumpuh setelah hampir tiga tahun, nasib tangan Aland memburuk satu tahun terakhir ini."Aku punya firasat bahwa kita akan melihat tangan itu kembali bekerja dengan di luar semestinya," Sofia berkelakar. Yang ia maksud bahwa Aland akan lebih sering mencampakkan ataupun menghancurkan benda yang berada dalam jangkauannya."Itu lebih baik menurutku," Mr. Amstrong menjawab dengan antusias. "Daripada ia benar-benar melakoni peran sebagai mayat hidup dengan sangat totalitas. Sofia, aku percaya Tuhan benar-benar mengirimmu untuk kesembuhan Aland. Apa kamu masih menolak lamaran kami?"Sofia tertawa, Mr. Amstrong ternyata belum menyerah untuk menjadikannya anak menantu."Aku belum siap untuk menikah, Uncle.""Katakan kalau kau sudah siap. Aland suami yang baik yang memang sedikit keras kepala.""Sangat keras kepala, Uncle." Koreksinya dengan segera.Mr. Amstrong tertawa, "Aku yakin bahwa kau dan dia akan menjadi pasangan yang cocok.""Cocok sebagai rival, mungkin.""Dia sangat menawan.""Percayalah, Uncle, aku tidak meragukannya sedikit pun.""Menurutmu dia memang rupawan?""Hanya gadis buta yang tidak menyadari hal itu. Dia mewarisi ketampanan itu darimu, Uncle."Mr. Amstrong tertawa renyah mendengar pujian Sofia dan dia cukup tersentuh. Dia sangat mencintai putranya, jadi saat ada yang menyamakan dirinya dengan Aland, ada kebanggaan tersendiri dalam benaknya."Jadi, kenapa?" Kali ini Mr. Amstrong bertanya dengan serius. Ia sangat menyukai Sofia, menyayangi gadis itu dan dia yakin tidak butuh waktu lama bagi putranya untuk merasakan hal yang sama."Uncle, ini pemerasan." Dan yang paling disukai Mr. Amstrong adalah sikap teguh gadis itu. Sofia tidak akan takut menyuarakan isi pikirannya. Dan Mr. Amstrong tahu pengalaman hidup lah yang membentuk Sofia menjadi sedikit keras terhadap diri sendiri."Penolakan harus disertai dengan penjelasan masuk akal," Mr. Amstrong terkadang juga sangat keras kepala jika keinginannya tidak terpenuhi.Sofia memandangi pria yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri. Jika bukan karena keluarga Amstrong, mungkin sudah lama Sofia tidak memberi hormat pada makhluk berjenis kelamin pria. Dia tidak mempunyai pengalaman manis dengan yang namanya pria. Bahkan pria yang mempunyai andil besar atas kelahirannya ke dunia yang fana ini tidak pernah menganggapnya penting. Ayahnya selalu memberikan kepahitan.Sofia tahu bahwa Mr. Amstrong kecewa atas penolakannya. Ia juga merasa tidak tega. Tapi, Sofia merasa jika dia menerima lamaran ini hanya untuk menyenangkan hati Mr. Amstrong, ke depannya dia tidak akan sanggup menghadapi resikonya. Lagi pula yang paling penting saat ini bukankah kesehatan Aland."Kurasa tidak ada cinta antara aku dan Aland sudah cukup menjadi alasan. Ikatan suci setidaknya harus berlandaskan itu, Uncle."Mr. Amstrong merenungi jawaban bijak Sofia. Gadis belia yang dulu dirawatnya, sekarang benar-benar sudah dewasa."Persahabatan, rasa hormat, bisa menjadi awal yang baik untuk memulai suatu hubungan. Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu.""Persahabatan? Jelas aku dan Aland bukan sahabat, Uncle. Di matanya aku tidak lebih dari seekor monyet betina yang menyusup masuk ke kebun mencuri mangganya. Aku tidak lebih dari seorang gadis pelayan yang diam-diam menguasai dapur. Aku tidak lebih dari seorang gadis belia yang bisa ia perintah bersama teman-temannya. Itulah aku di matanya, Uncle. Bahkan, aku dianggap pengacau saat tanpa sengaja merusak momen kebersamaannya dengan Julia. Tidak ada persahabatan antara aku dan dia, Uncle. Kami memandang satu sama lain dengan cara yang berbeda. Tidak ada rasa hormat. Andai aku menyisakan rasa hormat pada dirinya, itu karena dia adalah putramu.""Jadi, seperti apa kau memandangnya?" Mr. Amstrong melayangkan pertanyaan jebakan. Pria tua itu menggarisbawahi kata berbeda. Berbeda seperti apa yang dimaksud Sofia.Sayangnya, Sofia memang tumbuh dengan baik. Gadis itu sangat cerdas. Dengan tenang Sofia menjawab, "Dia tidak lebih dari seorang pasien di mataku, Uncle. Aku memiliki tanggungjawab untuk kesembuhannya.""Sepertinya aku tidak akan pernah bisa membujukmu." Mr. Amstrong akhirnya menyerah. Keteguhan Sofia tidak tergoyahkan.Sofia beranjak dari kursinya, "Kudengar Uncle akan pergi memancing, aku tidak akan menahanmu di sini.""Ya." Seketika Mr. Amstrong ingat janjinya dan melihat arlojinya. "Jam sepuluh kami akan pergi.""Selamat bersenang-senang kalau begitu.""Kau akan menemuinya lagi?""Ya, aku sudah mengatakan bahwa akan ada latihan selanjutnya. Aku penasaran apa yang dia lakukan dengan tangannya nanti.""Dia tidak akan melukaimu." Mr. Amstrong tidak yakin dengan ucapannya sendiri mengingat tempramen Aland yang sangt buruk sejak putranya itu mengalami kelumpuhan."Aku percaya dia tidak akan melukai wanita, Uncle." Semua menenangkan walau dalam hatinya memiliki keraguan sebesar keraguan yang dirasaka Mr. Amstrong. Sampai sekarang Sofia masih bertanya-tanya apa yang terjadi pada perawat yang tempo hari keluar dari kamar Aland dengan bibir yang terluka. Sangat tidak mungkin jika wanita itu dengan sengaja melukai diri sendiri.***Sofia mengetuk dua kali, tidak ada jawaban perintah untuk masuk Dan Sofia sudah menduga hal itu. Aland tidak akan mempersilakannya masuk karena hadirnya memang tidak dibutuhkan pria itu.Andai Aland bisa berjalan, Sofia tidak akan ragu jika pria itu akan dengan sangat tega menyeretnya untuk keluar.Sofia mendorong pintu dan tatapan laser Aland sudah menyambutnya. Pria itu duduk persis menghadap pintu masuk. Seperti monster yang siap melahap mangsanya."Hai," Sofia menyapa riang, menyembunyikan rasa gugupnya. Percayalah, sulit untuk mengabaikan tatapan membunuh pria itu."Beraninya kau...""Selamat." Sofia menyela dan kali ini dia berkata dengan lebih riang disertai dengan senyum tulus. "Selamat untuk tanganmu. Tidakkah kau merasa pijitanku memang seajaib itu."Aland menyeringai sinis, "sudah kuduga kau akan besar kepala hanya karena perkara tangan.""Itu kemajuan." Sebenarnya Sofia tidak menganggap itu kemajuan, karena Aland sendiri mengatakan tangannya terasa berat dan kebas, tidak benar-benar lumpuh seperti bagian kakinya."Kemajuan jika aku sudah bisa menendang bokongmu dengan kakiku!"Sofia membeliak, pura-pura kaget dengan ucapan Aland. "Sebentar lagi, kau akan bisa berjalan sebentar lagi. Tapi, tidakkah menendang bokongku sangat tidak sopan.""Persetan.""Baiklah, demi bisa menendang bokongku, mari kita latihan lagi. Jadikan itu acuan." Sofia tersenyum manis. Senyum yang dianggap Aland seperti sedang meremehkannya."Kau ingin kubantu mendorong kursi rodamu atau kau bisa menggerakkannya sendiri.""Apa gunanya pelayan." Sarkas Aland dengan wajah sangat menyebalkan."Baiklah, Tuan angkuh yang menyebalkan, aku akan membantumu. Kita akan bermain di kolam."Sofia hampir tertawa melihat wajah Aland yang mendadak panik dan pucat."Ko-kolam, sialan kau, Sofi!" Ia benci dirinya saat gugup. "Kau ingin menenggelamkanku?!!""Jika mau, aku juga bisa mendorongmu dari kursi roda ini hingga berguling-guling. Jadi, berhenti bersikap menyebalkan. Di sini akulah yang berkuasa. Kau tidak berhak bersikap sinis padaku.""Wuah, aku terkejut dengan ketegasan dan keangkuhanmu.""Sudah seharusnya kau terkejut."Alamd mengerjap, ia benar-benar terkejut secara harfiah bukan cuma kiasan semata. "Kau memberiku perintah?""Aku memberimu peringatan. Semakin kau bekerja sama, semakin semuanya mudah. Kau mungkin muak denganku, percayalah, sesungguhnya aku lebih muak denganmu!"Dan kalimat terakhir Sofia membuat Aland tersentak, seperti ada tinju yang menghantam tepat di ulu hatinya."Jika sangat muak kepadaku, kenapa kau menerima pekerjaan ini?"Sofia mengedikkan bahu, "Kau memiliki uang yang sangat banyak yang sebagian akan beralih padaku jika aku tinggal di sini dan memberikanmu terapi fisik.""Yeah, sudah kuduga ini tentang uang." Aland menyahut dengan nada sinis. Sofia megerjap, "Memangnya kau kira ada alasan yang lebih masuk akal?" Aland terdiam, memilih tidak menyahut lagi. "Tapi, semuanya bukan hanya tentang uang," Sofia menambahkan setelah keheningan selama setengah menit. "Aku tidak akan percaya kalau kau mengatakan bahwa kau bersedia karena niat tulus hatimu yang luar biasa."Sofia melipat bibirnya, menahan agar senyumnya tidak lepas, "Sepertinya kau sangat mengenalku," tuturnya dengan sarkas."Kalau begitu karena apa?" Aland mulai penasaran. Tapi ia mengatur suaranya agar terdengar malas-malasan, seolah ini hanya perbincangan penuh basa basi. "Bayangkan betapa menguntungkannya bagiku bekerja dengan Aland Amstrong yang hebat. Aku baru terjun selama
"Aku berkeringat, sebaiknya aku mandi." Suara Aland tenang, tapi tidak dengan sorot matanya yang tajam. "Zoe akan membawaku ke kamar mandi," ia tidak membiarkan Sofia membantah dan memang ia tidak ingin dibantah. Hanya perkataanya yang akan didengar di sini, bukan Sofia. Sofia yang sudah sangat faham dengan sikap keras kepala pria itu memilih setuju. Sepertinya Aland tidak suka Maurin melihat penampilan dirinya yang sedikit kacau. "Kami akan segera kembali," Zoe berpamitan kepada kedua wanita itu. Sofia menganggukkan kepala sementara Maurin hanya bergeming. Keheningan menyelimuti kedua wanita itu untuk sepersekian menit yang terasa begitu lama. "Aku masih tidak menyangka ini dirimu." Akhirnya Maurin lah yang memecahkan keheningan yang terasa canggung ini. Sofia tersenyum samar, "Apa aku terlihat begitu berubah? Atau kau hanya tidak menyangka bahwa aku tumbuh dengan baik?" Wajah Maurin berubah merah seketika, antara malu dan marah. Wanita itu tertawa hambar, "Ya, aku bisa melihat
"Zoe wakil yang hebat," Aland bersuara begitu Zoe pamit undur diri. Sofia juga hendak beranjak, tapi tertahan karena ucapan Aland. Sepertinya pria itu ingin berbincang-bincang sebentar. Oke, dia akan meladeninya beberapa menit. Dua menit mungkin."Dia juga sahabat yang baik," Sofia hampir mengenal semua kelompok pertemanan Aland. Dulu, mereka sering datang ke rumah ini. Hampir satu minggu di sini, hanya Zoe yang ia lihat, kemana yang lainnya? "Tapi dia bukan tunangan yang hebat." Suaranya rendah dan dingin.Pernyataan Aland sontak saja sedikit membuat Sofia terkejut. Zoe sudah bertunangan? Wow! Ia kira Zoe tipikal pria yang tidak percaya dengan sebuah komitmen. "Zoe dan Maurin bertunangan."Kali ini Sofia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Zoe dengan Sofia? Astaga! Seingat Sofia, dulu Zoe salah playboy yang tidak tahan dengan satu wanita. Memiliki paras rupawan dan kantong tebal tentu bukan hal sulit bagi Zoe untuk mendapatkan wanita yang ia inginkan. Siapa sangka ia justru
"Ibu..." Sofia berlari melintasi teras rumah, menyambut kedatangan sang ibu. Bertahun lamanya tidak bersua membuat Sofia hampir menangis haru. Begitupun dengan Ibu Rahayu, wanita itu bahkan tidak mampu membendung air matanya. "Sofia, ya Allah, Nak..." Wanita itu kehilangan kata-kata. Meski sering melakukan panggilan vidio, bahkan bisa dibilang tiap hari, tetap saja bertemu secara langsung begini membuat Ibu Rahayu takjub tidak percaya. Ibu dan anak itu melepaskan kerinduan masing-masing. Sofia menghirup dalam aroma menenangkan dari tubuh ibunya. Betapa ia sangat mencintai wanita ini, wanita yang juga ia yakini sangat mencintainya dengan setulus hati meski Sofia bukanlah putri yang terlahir dari rahim ibu Rahayu. Ya, Rahayu dinyatakan mandul setelah satu tahun pernikahannya dengan ayah Sofia, Doni. Sofia terlahir dari rahim salah seorang wanita murahan yang ditiduri ayahnya. Wanita itu tidak ingin repot-repot mengurus Sofia, bahkan ingin menggugurkannya kala itu. Rahayu dengan kebe
Setelah mengantar kepergian ibunya pulang ke panti, Sofia langsung masuk ke dalam kamar. Duduk di ranjang, merenungi apa yang dikatakan ibunya tentang dia yang dulu sangat mengagumi Aland, tentang dia yang diam-diam melukis wajah Aland. Yang dulu dia adalah pecinta anime. Buku gambarnya penuh dengan wajah-wajah pria kartun tampan hasil ciptaan manusia, beralih pada wujud manusia asli yaitu Aland.Apakah sekarang rasa kagum itu masih ada?Sofia tidak ingin menjawab hal itu. Segera ia merebahkan tubuh, menarik selimut dan memejamkan mata. Namun ia tahu bahwa ia tidak akan bisa tidur dengan begitu mudah. Perbincangannya dengan Ibunya masih terngiang-ngiang. Tentang saran ibu Rahayu yang memintanya untuk memikirkan ulang tentang lamaran tersebut. Seribu kali berpikir, Sofia tidak menemukan alasan mengapa ia harus menjadi istri Aland.Pagi berikutnya, Sofia bangun dengan tekad yang kuat untuk membantu Aland pulih. Dia telah menjadi seorang terapis yang berpengalaman, tetapi ini adalah tugas
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir
"Sialan kau, Sofia!"Makian Aland tidak dihiraukan Sofia. Ia sama marahnya dengan pria itu. Ingin rasanya Sofia menendang tulang kering pria itu atau mungkin mencekik lehernya agar Aland sadar bahwa pria itu tidak seharusnya terpuruk begitu dalam. Sebenarnya apa yang membuat Sofia begitu marah? Apa karena ketidakberdayaan Aland atau karena mengetahui fakta bahwa Aland sepertinya masih begitu mencintai Julia?Pertanyaan itu membuat Sofia tersentak. Ia bahkan sampai berhenti dan bersandar di dinding. Deru napasnya memburu, amarahnya semakin menjadi dengan bisikan pertanyaan yang tidak ia tahu berasal dari mana. Dan ia tidak ingin repot-repot memikirkan jawabannya."Apa yang terjadi?"Sofia kembali tersentak kaget. Mr. Amstrong sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan raut bingung bercampur cemas. "Aland melakukan sesuatu yang buruk padamu, Sofia?"Sofia menggeleng lemah. "Aku mendengarnya berteriak dan memaki, juga debuman pintu. Aku yakin kau lah yang membanting pintu itu, bukan Alan
"Daddy sudah melamar Sofia untukmu."Hening untuk beberapa detik lamanya. Kemudian Aland mengerjap, tidak percaya dengan pendengarannya sama sekali. Namun, begitu melihat wajah serius ayahhya dan juga wajah Sofia yang mendadak tegang dan pucat, ia sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Telinganya masih berfungsi bagaimana semestinya.Tiba-tiba tawanya meledak, memecah keheningan. Tawannya tidak tertular sama sekali baik terhadap Mr. Amstrong atau pun pada Sofia. Bahkan Sofia justru terlihat semakin pucat."Oh Tuhan, ini lelucon paling menggelikan yang pernah kudengar setelah sekian tahun," ucapnya di sela tawanya."Ini bukan lelucon," sahut Ayahnya dengan tenang.Aland mengerutkan bibir, tampak berpikir keras mencerna tiga kata yang baru terlontar dari mulut sang ayah. "Apa jawabanmu?" Ekspresinya berubah dingin."Aku...""Atau justru kaulah yang mengusulkan ide gila tersebut?" Aland menyela sebelum Sofia selesai menjawab pertanyaannya."Sofia tidak mengatakan apa-a
"Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela
"Daddy sudah melamar Sofia untukmu."Hening untuk beberapa detik lamanya. Kemudian Aland mengerjap, tidak percaya dengan pendengarannya sama sekali. Namun, begitu melihat wajah serius ayahhya dan juga wajah Sofia yang mendadak tegang dan pucat, ia sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Telinganya masih berfungsi bagaimana semestinya.Tiba-tiba tawanya meledak, memecah keheningan. Tawannya tidak tertular sama sekali baik terhadap Mr. Amstrong atau pun pada Sofia. Bahkan Sofia justru terlihat semakin pucat."Oh Tuhan, ini lelucon paling menggelikan yang pernah kudengar setelah sekian tahun," ucapnya di sela tawanya."Ini bukan lelucon," sahut Ayahnya dengan tenang.Aland mengerutkan bibir, tampak berpikir keras mencerna tiga kata yang baru terlontar dari mulut sang ayah. "Apa jawabanmu?" Ekspresinya berubah dingin."Aku...""Atau justru kaulah yang mengusulkan ide gila tersebut?" Aland menyela sebelum Sofia selesai menjawab pertanyaannya."Sofia tidak mengatakan apa-a
"Sialan kau, Sofia!"Makian Aland tidak dihiraukan Sofia. Ia sama marahnya dengan pria itu. Ingin rasanya Sofia menendang tulang kering pria itu atau mungkin mencekik lehernya agar Aland sadar bahwa pria itu tidak seharusnya terpuruk begitu dalam. Sebenarnya apa yang membuat Sofia begitu marah? Apa karena ketidakberdayaan Aland atau karena mengetahui fakta bahwa Aland sepertinya masih begitu mencintai Julia?Pertanyaan itu membuat Sofia tersentak. Ia bahkan sampai berhenti dan bersandar di dinding. Deru napasnya memburu, amarahnya semakin menjadi dengan bisikan pertanyaan yang tidak ia tahu berasal dari mana. Dan ia tidak ingin repot-repot memikirkan jawabannya."Apa yang terjadi?"Sofia kembali tersentak kaget. Mr. Amstrong sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan raut bingung bercampur cemas. "Aland melakukan sesuatu yang buruk padamu, Sofia?"Sofia menggeleng lemah. "Aku mendengarnya berteriak dan memaki, juga debuman pintu. Aku yakin kau lah yang membanting pintu itu, bukan Alan
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir