Aland sudah bersiap hendak menyemburkan makian begitu mendengar pintu kamarnya dibuka lagi. Begitu melihat sahabatnya, Zoe, ia hanya mendengus, memalingkan wajah.
"Hei, Dude...""Kenapa kau lama sekali, aku hampir mati kedinginan.""Yang kulihat justru sebaliknya," Zoe sengaja memancing dan tepat sasaran. Aland mengapresiasi pancingannya itu dengan tatapan super maut andalannya."Aku bertemu Sofia di depan pintu kamar," Zoe tertawa, tidak terusik sama sekali dengan tatapan Aland yang mematikan."Tarik tirainya!" Aland memberi titah. Perintah yang tidak berarti apa-apa, karena Zoe hanya menanggapinya dengan tawa.Zoe melenggang santai menuju ruang ganti untuk mengambil pakaian bos yang merangkap sebagai sahabatnya itu."Zoe, kau tidak mendengarku?! Matikan juga lampunya! Zoe, sialan, Zoe... Kau ingin kupecat!"Zoe muncul membawa pakaian Aland. "Kau tahu apa yang dikatakan Sofia, Bung?""Aku tidak mau tahu! Tarik tirai dan padamkan lampunya!""Dia mengatakan bahwa kau tidak mungkin memecatku. Awalnya aku tidak berpikiran demikian. Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan, tapi setelah dipikir-pikir, Sofia ada benarnya. Jika memecatku, siapa yang akan membantumu mengenakan pakaian." Zoe kini berdiri di hadapan Aland yang menatapnya seperti singa kelaparan yang tidak berdaya.Zoe mengabaikan tatapan tajam sedingin salju yang dilaserkan ke arahnya. Dengan santai Zoe melepaskan jubah Aland. Memasang pakaian pada tubuh kurus itu."Ck! Tubuhmu kering kerontang, Dude. Aku tidak percaya kau akan mampu bertahan hidup lebih lama lagi.""Itulah yang kunantikan," Aland menjawab murung. Dia benar-benar putus asa. Tidak memiliki alasan untuk bertahan hidup. Tiga tahun, bukanlah waktu yang singkat.Aland pria yang luar biasa. Dia pebisnis hebat. Bahkan dia merakit sendiri pesawat terbangnya. Bepergian sebagai pilot penguji untuk menerbangkan pesawat-pesawat rahasia milik pemerintah di luar negeri. Aland aktif dalam bidang olahraga. Dia mendaki gunung, menyelam laut dalam. Dia pria yang betah di darat, di laut dan di udara. Tapi sekarang, dia hanya bisa duduk di kursi roda dan hal itu membunuhnya.Kecelakaan itu memporak-porandakan dunianya."Kau ingin berjalan-jalan?" Zoe memilih pura-pura tidak mendengar keputusasaan yang begitu kentara."Aku hanya ingin kau menutup tirainya. Itulah yang kubutuhkan.""Aku tidak ingin berurusan dengan Sofia.""Siapa dia?!" Aland kembali melayangkan tatapan membunuh. "Aku lah bossmu, aku yang harus kau dengarkan!""Aku akan meminta Sofia melakukannya. Kau butuh sesuatu?""Aku bersumpah akan membunuhmu, Zoe!""Aku akan meminta Monica mengantar secangkir kopi.""Pergilah ke neraka!"Rentetan makian terdengar, Zoe menulikan pendengaran. Tahun pertama menjalani hidup sebagai pria lumpuh, membuat Aland histeris dan selalu mengamuk, meluapkan amarah setiap detik. Namun, dua tahun terakhir ini, dia lebih banyak diam, kecuali saat berurusan dengan perawat. Ini pertama kalinya, Aland meluapkan amarahnya kepada Zoe.Zoe tersenyum. Sepertinya kedatangan Sofia memang akan membuat hidup Aland kembali kacau.Zoe menuruni tangga, berharap ia bisa bertemu Sofia sebelum ia kembali ke kantor. Keinginannya terkabul, di ruang utama Sofia sedang berbincang dengan Mr. Amstrong."Hai," Sofia menyapa dengan ramah."Duduklah bersama kami," Mr. Amstrong menawarkan. Zoe yang memang ingin berbincang dengan Sofia segera duduk tanpa diminta dua kali.Sofia menuangkan kopi untuknya."Terima kasih," ucap Zoe seraya membawa cangkir kopi ke mulutnya."Apa dia masih berteriak, menyebut ingin membunuhku?"Zoe tergelak, hampir-hampir tersedak."Dia memintaku ke neraka. Menurutmu, mana yang lebih buruk?"Sofia tertawa kecil, "Dua-duanya tidak ada yang baik. Aland pengumpat yang buruk.""Kau sudah membuat keputusanmu, Sofia?" Mr. Amstrong meski mengatakan tidak akan memaksa Sofia atas permintaanya, tetap saja berusaha mendesak Sofia untuk memberi keputusan.Sofia sadar betul bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda waktu untuk memberi jawaban."Apa jawabanku akan mempengaruhi kadar rasa sayangmu padaku, Uncle?""Tentu saja tidak," Mr. Amsrtong menjawab bijak, walau sorot matanya menyiratkan harapan yang begitu besar.Sofia mengutuk dirinya karena tidak bisa memenuhi keinginan pria baik itu. Tapi, dia juga memiliki prinsip dalam hidup yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Pernikahan bukan sesuatu yang mudah. Pernikahan adalah babak awal kehidupan baru yang penuh lika liku yang menguji iman. Dan sepertinya dia memang tidak akan bisa menikah."Maaf, Uncle, aku tidak bisa menerima lamaran ini."Mr. Amstrong menarik napas panjang. Sementara, Zoe yang menyimak dari tadi juga terkejut dengan penolakan tegas Sofia."Tapi aku tetap akan merawatnya, Uncle." Janji Sofia. Ucapannya itu berhasil membuat manik Mr. Amstrong berbinar. Terlihat secercah harapan di sana dan Sofia tidak akan sanggap lagi mematahkan harapan tersebut."Aku akan menjadi terapisnya." Ya, Sofia seorang terapis fisik. Pekerjaan yang ia ambil dengan harapan bisa membantu ibunya untuk pulih. Kepulangannya, semata ingin merawat ibunya. Bukan untuk menjadi menantu rumah ini.Mr. Amstrong lah yang membiayai semua pelatihan yang ia dapatkan. Dia cukup handal dalam bidang ini. Rasanya tidak adil jika dia mengabaikan Aland begitu saja mengingat pencapaiannya tidak lepas dari campur tangan Mr. Amstrong."Terima kasih, Nak. Kutahu ini akan sulit bagimu mengingat dia sangat keras kepala. Walau sebenarnya aku masih berharap kau menerima lamaranku. Mungkin dengan menjadi istrinya, kau tidak perlu menjaga batasanmu. Kau memiliki kuasa penuh atas dirinya." Mr. Amstrong masih mencoba peruntungannya dengan mengemukakan alasan yang terdengar logis yang lebih masuk akal. Tapi alasan hanya lah sebuah alasan. Ada makna sebenarnya di balik ucapan itu. Sofia tahu kemana arahnya. Dan hanya Mr. Amstrong dan dirinya yang tahu.Sofia tersenyum kecil. "Aku bekerja cukup profesional, Uncle. Pasienku bukan hanya terdiri dari wanita saja. Ada pria dan juga anak-anak. Pria dewasa, remaja, aku menangani mereka dengan cukup baik."Mr. Amstrong menatap manik Sofia dengan hangat juga prihatin. Zoe menangkap sinyal itu. Keningnya berkerut bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang disembunyikan keduanya. Zoe menyanggah pemikirannya itu. Memangnya apa yang bisa disembunyikan Mr. Amstrong dan Sofia?"Wow! Benarkah ini Sofia si pemanjat tebing?" Zoe memutus aksi tatapan penuh makna keduanya."Pemanjat mangga, Zoe." Sofia mengalihkan tatapannya pada pria itu. "Bagaimana tadi, seru tidak?""Apa?""Aksi pembangkangan yang kau lakukan terhadapnya."Zoe tertawa, "Dia pasti akan memotong bonusku. Aku masih tidak percaya kau seorang terapis. Apakah Aland tahu?""Memangnya apa yang dia ketahui tentangku." Selorohnya setengah bergurau. "Well, aku butuh catatan medisnya untuk kupelajari.""Aku akan membawanya untukmu." Janji Zoe."Bisakah aku mendapatkannya hari ini, Zoe.""Tentu saja." Zoe berdiri. "Satu jam lagi kau akan mendapatkannya.""Terima kasih.""Sama-sama." Zoe berpamitan pada Mr. Amstrong. Catatan medis Aland ada padanya dan benda itu selalu dibawa setiap ia berdiskusi dengan terapis lain. Dan sejauh ini, para terapis itu gagal dan memilih mundur karena tidak tahan dengan lidah Aland yang tajam dan sikap keras kepala pria itu.Akankah Sofia mampu menghadapi Aland. Zoe jelas tahu seperti apa kekuatan Aland. Meski pria itu lumpuh, jiwa kekuasaannya tidak luntur sama sekali."Dia terlihat menyedihkan, Ibu." Yang dimaksud Sofia adalah Aland. "Pria itu terlihat seperti singa yang kehilangan kuasanya. Aland benar-benar menderita kurang gizi.""Ya," sahut Ibu Rahayu dari seberang telepon. "Mr. Amstrong selalu mengatakan hal yang sama setiap kami bertemu. Apa dia mau bicara padamu. Biasanya dia menolak berbicara dengan siapa pun.""Dia bahkan memakiku," ucap Sofia sambil tertawa."Oh ya?" Ibu Rahayu ikut tertawa."Ibu, kau sungguh tidak keberatan aku harus mengabaikanmu lagi?""Kau tidak pernah mengabaikanku, Sayang. Tidak pernah sama sekali. Aland lebih membutuhkan bantuanmu. Ibu bisa menunggu dan Ibu akan baik-baik saja. Sementara Aland sudah sekarat. Sementara aku sedang menikmati hidupku dengan teman-temanku di sini." Yang dimaksud di sini adalah di panti sosial. Sejak dua tahun lalu, Ibu Rahayu memang memutuskan tinggal di panti sosial dimana Mr. Amstrong adalah donatur tetap di sana. Ibu Rahayu merasa lebih hidup karena di sana ia membantu menyiapkan ma
"Aku mendengar Aland berteriak."Sofia yang baru menutup pintu kamar pasien barunya berbalik, menatap wajah pria yang sudah tua itu mengkhawatirkan putranya."Ya, dia memakiku, Uncle."Seketika Sofia melihat helaan napas lega di wajah Mr. Amstrong."Biar kutebak bahwa kau baru saja mengumumkan akan menjadi perawatnya yang baru."Sofia mengangguk semangat, "Dan dia marah, memandangku tidak percaya. Uncle, aku membutuhkan gimnasium. Apakah kita bisa membuatnya di dekat kolam berenang. Beberapa alat olahraga diperlukan guna menunjung kesembuhannya.""Tentu saja bisa. Aku akan meminta Zoe menyiapkan semuanya.""Terima kasih, Uncle.""Apakah ada harapan?" Mr. Amstrong bertanya penuh harap. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Sarapan Aland juga harus diganti. Tidak akan ada kopi. Sofia akan memberikan daftarnya pada pelayan."Selalu ada harapan, Uncle." Sofia tersenyum hangat. "Paling cepat enam bulan, InsyaAllah, Aland akan bisa berjalan kembali."Mr. Amstrong tidak bisa menyembunyikan bin
Hawa masih dingin saat Sofia menurunkan kaki dari ranjang. Dia sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Sofia selalu bangun dengan segera, alasan kenapa dia bisa menjadi terapis handal, jika dibutuhkan pasien, dia selalu bersedia, sekalipun tengah malam, tidak akan ada jalan sempoyongan atau menguap sambil menggosok-gosok mata. Sofia selalu melakukan apa pun yang dibutuhkan dari dirinya.Ia mengayunkan kaki menuju toilet. Mandi dan mengenakan pakaian seefesien mungkin.Ia sudah siap untuk melakukan pekerjaannya dengan pasien yang ia ketahui cukup keras kepala.Sofia tersenyum saat memasuki kamar Aland setelah mengetuk dua kali."Selamat pagi," sapanya seriang mungkin. Kakinya berjalan menuju balkon, menyingkap tirai dengan satu kali tarikan. Cahaya matahari seketika memenuhi ruangan.Terdengar makian lirih dari arah ranjang. Aland berbaring telentang, kakinya sedikit canggung seolah pria itu mencoba menggerakkan tungkainya tadi malam.Sofia memperhatikan Aland membuka mata, pria itu berusa
"Dia sungguh menggerakkan tangannya?" Manik Mr. Amstrong berkaca-kaca. Ini kabar bagus, amat sangat bagus menurutnya. "Katakan jika bocah tengil itu sungguh bisa menggerakkan tangannya, Sofia?"Sofia tersenyum, ia sudah biasa menghadapi keluarga pasiennya yang langsung bersemangat begitu ada kemajuan pada diri pasien walau hanya setitik. "Uncle, dari awal, Aland mengatakan bahwa tangannya memang tidak mempunyai masalah. Hanya suka kebas dan terasa berat. Akhirnya ia memilih untuk tidak menggerakkan tangannya. Seperti yang Uncle katakan, Aland tidak mempunyai semangat untuk hidup, bunuh diri secara perlahan adalah misinya dan ia berpikir untuk melumpuhkan dirinya secara total. Cara yang dia lakukan mungkin hampir berhasil, nyatanya dia tidak menggunakan tangannya selama ini. Ini kali pertama dalam satu tahun terakhir, tangan itu kembali melakukan apa yang dia inginkan." Tidak seperti kakinya yang sudah lumpuh setelah hampir tiga tahun, nasib tangan Aland memburuk satu tahun terakhir
"Jika sangat muak kepadaku, kenapa kau menerima pekerjaan ini?"Sofia mengedikkan bahu, "Kau memiliki uang yang sangat banyak yang sebagian akan beralih padaku jika aku tinggal di sini dan memberikanmu terapi fisik.""Yeah, sudah kuduga ini tentang uang." Aland menyahut dengan nada sinis. Sofia megerjap, "Memangnya kau kira ada alasan yang lebih masuk akal?" Aland terdiam, memilih tidak menyahut lagi. "Tapi, semuanya bukan hanya tentang uang," Sofia menambahkan setelah keheningan selama setengah menit. "Aku tidak akan percaya kalau kau mengatakan bahwa kau bersedia karena niat tulus hatimu yang luar biasa."Sofia melipat bibirnya, menahan agar senyumnya tidak lepas, "Sepertinya kau sangat mengenalku," tuturnya dengan sarkas."Kalau begitu karena apa?" Aland mulai penasaran. Tapi ia mengatur suaranya agar terdengar malas-malasan, seolah ini hanya perbincangan penuh basa basi. "Bayangkan betapa menguntungkannya bagiku bekerja dengan Aland Amstrong yang hebat. Aku baru terjun selama
"Aku berkeringat, sebaiknya aku mandi." Suara Aland tenang, tapi tidak dengan sorot matanya yang tajam. "Zoe akan membawaku ke kamar mandi," ia tidak membiarkan Sofia membantah dan memang ia tidak ingin dibantah. Hanya perkataanya yang akan didengar di sini, bukan Sofia. Sofia yang sudah sangat faham dengan sikap keras kepala pria itu memilih setuju. Sepertinya Aland tidak suka Maurin melihat penampilan dirinya yang sedikit kacau. "Kami akan segera kembali," Zoe berpamitan kepada kedua wanita itu. Sofia menganggukkan kepala sementara Maurin hanya bergeming. Keheningan menyelimuti kedua wanita itu untuk sepersekian menit yang terasa begitu lama. "Aku masih tidak menyangka ini dirimu." Akhirnya Maurin lah yang memecahkan keheningan yang terasa canggung ini. Sofia tersenyum samar, "Apa aku terlihat begitu berubah? Atau kau hanya tidak menyangka bahwa aku tumbuh dengan baik?" Wajah Maurin berubah merah seketika, antara malu dan marah. Wanita itu tertawa hambar, "Ya, aku bisa melihat
"Zoe wakil yang hebat," Aland bersuara begitu Zoe pamit undur diri. Sofia juga hendak beranjak, tapi tertahan karena ucapan Aland. Sepertinya pria itu ingin berbincang-bincang sebentar. Oke, dia akan meladeninya beberapa menit. Dua menit mungkin."Dia juga sahabat yang baik," Sofia hampir mengenal semua kelompok pertemanan Aland. Dulu, mereka sering datang ke rumah ini. Hampir satu minggu di sini, hanya Zoe yang ia lihat, kemana yang lainnya? "Tapi dia bukan tunangan yang hebat." Suaranya rendah dan dingin.Pernyataan Aland sontak saja sedikit membuat Sofia terkejut. Zoe sudah bertunangan? Wow! Ia kira Zoe tipikal pria yang tidak percaya dengan sebuah komitmen. "Zoe dan Maurin bertunangan."Kali ini Sofia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Zoe dengan Sofia? Astaga! Seingat Sofia, dulu Zoe salah playboy yang tidak tahan dengan satu wanita. Memiliki paras rupawan dan kantong tebal tentu bukan hal sulit bagi Zoe untuk mendapatkan wanita yang ia inginkan. Siapa sangka ia justru
"Ibu..." Sofia berlari melintasi teras rumah, menyambut kedatangan sang ibu. Bertahun lamanya tidak bersua membuat Sofia hampir menangis haru. Begitupun dengan Ibu Rahayu, wanita itu bahkan tidak mampu membendung air matanya. "Sofia, ya Allah, Nak..." Wanita itu kehilangan kata-kata. Meski sering melakukan panggilan vidio, bahkan bisa dibilang tiap hari, tetap saja bertemu secara langsung begini membuat Ibu Rahayu takjub tidak percaya. Ibu dan anak itu melepaskan kerinduan masing-masing. Sofia menghirup dalam aroma menenangkan dari tubuh ibunya. Betapa ia sangat mencintai wanita ini, wanita yang juga ia yakini sangat mencintainya dengan setulus hati meski Sofia bukanlah putri yang terlahir dari rahim ibu Rahayu. Ya, Rahayu dinyatakan mandul setelah satu tahun pernikahannya dengan ayah Sofia, Doni. Sofia terlahir dari rahim salah seorang wanita murahan yang ditiduri ayahnya. Wanita itu tidak ingin repot-repot mengurus Sofia, bahkan ingin menggugurkannya kala itu. Rahayu dengan kebe
"Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela
"Daddy sudah melamar Sofia untukmu."Hening untuk beberapa detik lamanya. Kemudian Aland mengerjap, tidak percaya dengan pendengarannya sama sekali. Namun, begitu melihat wajah serius ayahhya dan juga wajah Sofia yang mendadak tegang dan pucat, ia sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Telinganya masih berfungsi bagaimana semestinya.Tiba-tiba tawanya meledak, memecah keheningan. Tawannya tidak tertular sama sekali baik terhadap Mr. Amstrong atau pun pada Sofia. Bahkan Sofia justru terlihat semakin pucat."Oh Tuhan, ini lelucon paling menggelikan yang pernah kudengar setelah sekian tahun," ucapnya di sela tawanya."Ini bukan lelucon," sahut Ayahnya dengan tenang.Aland mengerutkan bibir, tampak berpikir keras mencerna tiga kata yang baru terlontar dari mulut sang ayah. "Apa jawabanmu?" Ekspresinya berubah dingin."Aku...""Atau justru kaulah yang mengusulkan ide gila tersebut?" Aland menyela sebelum Sofia selesai menjawab pertanyaannya."Sofia tidak mengatakan apa-a
"Sialan kau, Sofia!"Makian Aland tidak dihiraukan Sofia. Ia sama marahnya dengan pria itu. Ingin rasanya Sofia menendang tulang kering pria itu atau mungkin mencekik lehernya agar Aland sadar bahwa pria itu tidak seharusnya terpuruk begitu dalam. Sebenarnya apa yang membuat Sofia begitu marah? Apa karena ketidakberdayaan Aland atau karena mengetahui fakta bahwa Aland sepertinya masih begitu mencintai Julia?Pertanyaan itu membuat Sofia tersentak. Ia bahkan sampai berhenti dan bersandar di dinding. Deru napasnya memburu, amarahnya semakin menjadi dengan bisikan pertanyaan yang tidak ia tahu berasal dari mana. Dan ia tidak ingin repot-repot memikirkan jawabannya."Apa yang terjadi?"Sofia kembali tersentak kaget. Mr. Amstrong sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan raut bingung bercampur cemas. "Aland melakukan sesuatu yang buruk padamu, Sofia?"Sofia menggeleng lemah. "Aku mendengarnya berteriak dan memaki, juga debuman pintu. Aku yakin kau lah yang membanting pintu itu, bukan Alan
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir