"Aku mendengar Aland berteriak."
Sofia yang baru menutup pintu kamar pasien barunya berbalik, menatap wajah pria yang sudah tua itu mengkhawatirkan putranya."Ya, dia memakiku, Uncle."Seketika Sofia melihat helaan napas lega di wajah Mr. Amstrong."Biar kutebak bahwa kau baru saja mengumumkan akan menjadi perawatnya yang baru."Sofia mengangguk semangat, "Dan dia marah, memandangku tidak percaya. Uncle, aku membutuhkan gimnasium. Apakah kita bisa membuatnya di dekat kolam berenang. Beberapa alat olahraga diperlukan guna menunjung kesembuhannya.""Tentu saja bisa. Aku akan meminta Zoe menyiapkan semuanya.""Terima kasih, Uncle.""Apakah ada harapan?" Mr. Amstrong bertanya penuh harap. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Sarapan Aland juga harus diganti. Tidak akan ada kopi. Sofia akan memberikan daftarnya pada pelayan."Selalu ada harapan, Uncle." Sofia tersenyum hangat. "Paling cepat enam bulan, InsyaAllah, Aland akan bisa berjalan kembali."Mr. Amstrong tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaan di wajahnya. Selama ini, para terapis yang ia tanya hanya akan memberi jawaban tidak pasti."Aku akan berdoa untuk keberkahan hidupmu, Nak.""Doa siapa lagi yang kuharapkan jika bukan doa orang tua. Jadi, mulai sekarang, kau juga harus memperhatikan kesehatanmu. Begitu Aland sembuh, kau dan dia sudah bisa bermain tennis lagi.""Oh Tuhan, membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.""Ini akan menjadi kenyataan atas izin yang Kuasa, Uncle."Mr. Amstrong mengangguk, kemudian mengusap hijab yang menutupi mahkota Sofia."Mungkin ucapanku akan sedikit menekanmu, Nak, tapi sungguh aku sangat berharap putraku kembali seperti dulu.""Aku mengerti perasaanmu, Uncle. Itu hal yang normal mengingat betapa kamu sangat putus asa. Untuk permulaan, aku harus mengubah sarapannya dan harus mengantarnya sekarang. Tidak ada makanan kesukaannya untuk sarapan pagi." Sofia memberikan daftar yang sudah dia catat kepada pelayan dapur.Sembari menunggu, dia dan Mr. Amstrong juga memilih untuk sarapan. Tidak berapa lama, Ny. Nomi datang membawa nampan sesuai perintahnya."Aku yang akan mengantarnya." Sofia mengakhiri sarapannya, mengambil alih nampan dan berpamitan pada Mr. Amstrong. Di atas nampan, Sofia juga meletakkan beberapa butir pil."Aku datang lagi," serunya setelah mengetuk pintu dua kali.Aland melayangkan tatapan sinis kepadanya."Waktunya sarapan. Kau pasti sudah lapar." Mengabaikan tatapan membunuh yang dilayangkan Aland padanya."Daripada terapis, kau lebih cocok menjadi pelayan. Sangat sesuai." Cemooh pria itu."Katakan apa pun yang membuatmu senang, Al." Sofia meletakkan nampan, bergegas ke dekat jendela."Jangan menyentuh tirai sialan itu!"Sreeekkk!!Sofia tidak peduli. Sinar matahari langsung memenuhi ruangan."Sialan kau, Sofi!""Saatnya menikmati sarapanmu. Akan kubantu kau duduk. Omong-omong, sejak kapan tanganmu tidak bisa bergerak.""Aku lupa.""Bagaimana dengan jarimu? Bisakah kau menggerakkannya."Entah setan apa yang merasuki Aland, dia menuruti apa yang dikatakan Sofia. Pria itu menggerakkan kesepuluh jarinya. Ternyata pria itu mampu."Aku bisa menggerakkan tanganku, hanya saja terasa berat," Aland menjelaskan tanpa diminta dan Sofia harus menahan senyum mendengar penuturan tersebut."Nanti aku akan memberikan pijatan ajaib di sana. Kau akan mendapatkan kekuatan tanganmu kembali." Sofia membantu Aland untuk duduk. Mengatur posisi pria itu senyaman mungkin. "Apa kau lebih suka duduk di kursi roda?""Di sini saja."Sofia mengambil wadah berisi obat dan meletakkannya di hadapan Aland. Katakan lah Sofia kejam, ia sangat menikmati ekspresi Aland yang terkesan jijik melihat sarapannya."Sampah apa ini?" Protes sengit kembali terlontar dari mulut pria itu."Pil." Sahut Sofia kalem. Sebelum Aland berubah marah, Sofia buru-buru menambahi. "Tentu saja sarapanmu bukan itu. Hanya saja mulai lah dari meminum beberapa vitamin.""Aku tidak akan menelannya!" Raung Aland seolah yang di piringnya itu adalah binatang melata yang menjijikkan."Kau akan menelannya karena kau sangat membutuhkannya. Tidak akan ada sarapan sebelum kau menelannya.""Bajingan..." Desis pria itu."Aku bisa membantumu, buka mulutmu.""Aku ingin mencekik lehermu!""Ya, aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu. Untuk mempunyai tenaga mencekikku, mula-mula kau harus menelan ini, Al.""Masukkan semuanya ke dalam mulutku!" Desisnya seraya membuka mulut. Sofia melakukannya dan membantunya minum air."Nah, kau puas! Pil keparat itu sudah bersemayam di perutku.""Terima kasih. Kau pasien yang cukup manis.""Tutup mulutmu!""Sekarang waktunya kau nikmati sarapanmu." Sofia bersiap menikmati pertunjukkan kedua. Jika menu sarapan Aland belum berubah sejak dulu, bisa dipastikan pria itu akan kembali murka melihat apa yang Sofia sajikan untuknya. Anggur, roti gandum bakar, telur dan susu."Apa-apaan ini? Kau sedang melucu?!" Tebakan Sofia benar. "Aku mau wafel bluberi."Sofia mengidik, "Ini sarapanmu. Wafel terlalu manis. Makan anggurnya." Sofia menyodorkan anggur ke dalam mulut pria itu."Aku tidak suka anggur!" wajahnya merah menahan amarah, dan Sofia tahu itu. Ia justru berharap kemarahan Aland bisa membuat pria itu mengangkat tangan dan melempar sarapannya."Kau butuh vitamin C.""Apa kau lupa bahwa baru saja aku menelan jatah vitamin untuk satu tahun penuh!"Harapan Sofia terlalu tinggi rupanya, meski mengamuk, pria itu membuka mulut dan mengunyah kasar anggur yang dimulutnya."Padahal aku menunggu kau melempar nampan ini." Sofia melontarkan apa yang ada di pikirannya."Aku akan melakukannya jika aku bisa mengangkat tanganku.""Sekarang minum susunya tanpa protes. Kau butuh kalsium.""Kopiku mana?""Tidak ada kopi.""Apa secangkir kopi akan membuatku mati?""Kurasa tidak, tapi juga tidak membantu penyembuhanmu sama sekali.""Kalau begitu aku mau kopi." Aland bersikeras.Sofia juga tidak ingin bertindak terlalu keras, "Mau membuat kesepakatan?""Aku ingin kopiku!""Kau akan mendapatkan secangkir kopi jika kau meminum susumu."Aland menatapnya, lalu menghela napas panjang. Kemudian memberi isyarat agar Sofia mendekatkan gelas susu tersebut ke mulutnya. Dia menenggaknya sampai habis."Ternyata kau cukup patuh daripada yang ada di bayanganku. Latihan akan resmi dimulai besok pagi. Persiapkan dirimu. Karena ini akan menyakitkan. Tapi hasil yang didapat juga akan membuat kehidupanmu yang hilang selama tiga tahun kembali lagi."Aland terdiam sejenak, meresapi apa yang dikatakan Sofia. "Omong kosong!""Kita akan bertemu besok pagi." Sofia mengambil nampan dan membanya keluar. Di ambang pintu, perempuan itu berhehti dan berbalik. "Omong-omong, aku sudah pindah ke kamar sebelah. Jika ada yang kau butuhkan, kau tinggal memanggil namaku.""Aku tidak butuh apa pun darimu.""Selama tiga jam ke depan, mungkin aku akan sibuk dengan ibuku. Dia akan datang berkunjung."Aland tidak menanggapi lagi, jadi Sofia pun memilih keluar. Di luar kamar, ia menyandarkan tubuhnya daun pintu. Menarik napas panjang seolah dia baru saja keluar dari goa kematian. Meski Aland melontarkan kata-kata tajam dan menohok, Sofia bisa melihat manik pria itu memancarkan sedikit harapan.Sofia sudah terbiasa melihat pasien seperti Aland. Sofia akan lebih bersemangat jika ia sudah melihat harapan di mata pasiennya. Aland berbeda, justru ketakutanlah yang menyerangnya. Bagaimana jika pria itu memilih menyerah dengan serangkaian latihan yang melelahkan? Jika dia gagal, Aland pasti tidak bersedia untuk mempercayai terapis lagi. Selamanya.Hawa masih dingin saat Sofia menurunkan kaki dari ranjang. Dia sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Sofia selalu bangun dengan segera, alasan kenapa dia bisa menjadi terapis handal, jika dibutuhkan pasien, dia selalu bersedia, sekalipun tengah malam, tidak akan ada jalan sempoyongan atau menguap sambil menggosok-gosok mata. Sofia selalu melakukan apa pun yang dibutuhkan dari dirinya.Ia mengayunkan kaki menuju toilet. Mandi dan mengenakan pakaian seefesien mungkin.Ia sudah siap untuk melakukan pekerjaannya dengan pasien yang ia ketahui cukup keras kepala.Sofia tersenyum saat memasuki kamar Aland setelah mengetuk dua kali."Selamat pagi," sapanya seriang mungkin. Kakinya berjalan menuju balkon, menyingkap tirai dengan satu kali tarikan. Cahaya matahari seketika memenuhi ruangan.Terdengar makian lirih dari arah ranjang. Aland berbaring telentang, kakinya sedikit canggung seolah pria itu mencoba menggerakkan tungkainya tadi malam.Sofia memperhatikan Aland membuka mata, pria itu berusa
"Dia sungguh menggerakkan tangannya?" Manik Mr. Amstrong berkaca-kaca. Ini kabar bagus, amat sangat bagus menurutnya. "Katakan jika bocah tengil itu sungguh bisa menggerakkan tangannya, Sofia?"Sofia tersenyum, ia sudah biasa menghadapi keluarga pasiennya yang langsung bersemangat begitu ada kemajuan pada diri pasien walau hanya setitik. "Uncle, dari awal, Aland mengatakan bahwa tangannya memang tidak mempunyai masalah. Hanya suka kebas dan terasa berat. Akhirnya ia memilih untuk tidak menggerakkan tangannya. Seperti yang Uncle katakan, Aland tidak mempunyai semangat untuk hidup, bunuh diri secara perlahan adalah misinya dan ia berpikir untuk melumpuhkan dirinya secara total. Cara yang dia lakukan mungkin hampir berhasil, nyatanya dia tidak menggunakan tangannya selama ini. Ini kali pertama dalam satu tahun terakhir, tangan itu kembali melakukan apa yang dia inginkan." Tidak seperti kakinya yang sudah lumpuh setelah hampir tiga tahun, nasib tangan Aland memburuk satu tahun terakhir
"Jika sangat muak kepadaku, kenapa kau menerima pekerjaan ini?"Sofia mengedikkan bahu, "Kau memiliki uang yang sangat banyak yang sebagian akan beralih padaku jika aku tinggal di sini dan memberikanmu terapi fisik.""Yeah, sudah kuduga ini tentang uang." Aland menyahut dengan nada sinis. Sofia megerjap, "Memangnya kau kira ada alasan yang lebih masuk akal?" Aland terdiam, memilih tidak menyahut lagi. "Tapi, semuanya bukan hanya tentang uang," Sofia menambahkan setelah keheningan selama setengah menit. "Aku tidak akan percaya kalau kau mengatakan bahwa kau bersedia karena niat tulus hatimu yang luar biasa."Sofia melipat bibirnya, menahan agar senyumnya tidak lepas, "Sepertinya kau sangat mengenalku," tuturnya dengan sarkas."Kalau begitu karena apa?" Aland mulai penasaran. Tapi ia mengatur suaranya agar terdengar malas-malasan, seolah ini hanya perbincangan penuh basa basi. "Bayangkan betapa menguntungkannya bagiku bekerja dengan Aland Amstrong yang hebat. Aku baru terjun selama
"Aku berkeringat, sebaiknya aku mandi." Suara Aland tenang, tapi tidak dengan sorot matanya yang tajam. "Zoe akan membawaku ke kamar mandi," ia tidak membiarkan Sofia membantah dan memang ia tidak ingin dibantah. Hanya perkataanya yang akan didengar di sini, bukan Sofia. Sofia yang sudah sangat faham dengan sikap keras kepala pria itu memilih setuju. Sepertinya Aland tidak suka Maurin melihat penampilan dirinya yang sedikit kacau. "Kami akan segera kembali," Zoe berpamitan kepada kedua wanita itu. Sofia menganggukkan kepala sementara Maurin hanya bergeming. Keheningan menyelimuti kedua wanita itu untuk sepersekian menit yang terasa begitu lama. "Aku masih tidak menyangka ini dirimu." Akhirnya Maurin lah yang memecahkan keheningan yang terasa canggung ini. Sofia tersenyum samar, "Apa aku terlihat begitu berubah? Atau kau hanya tidak menyangka bahwa aku tumbuh dengan baik?" Wajah Maurin berubah merah seketika, antara malu dan marah. Wanita itu tertawa hambar, "Ya, aku bisa melihat
"Zoe wakil yang hebat," Aland bersuara begitu Zoe pamit undur diri. Sofia juga hendak beranjak, tapi tertahan karena ucapan Aland. Sepertinya pria itu ingin berbincang-bincang sebentar. Oke, dia akan meladeninya beberapa menit. Dua menit mungkin."Dia juga sahabat yang baik," Sofia hampir mengenal semua kelompok pertemanan Aland. Dulu, mereka sering datang ke rumah ini. Hampir satu minggu di sini, hanya Zoe yang ia lihat, kemana yang lainnya? "Tapi dia bukan tunangan yang hebat." Suaranya rendah dan dingin.Pernyataan Aland sontak saja sedikit membuat Sofia terkejut. Zoe sudah bertunangan? Wow! Ia kira Zoe tipikal pria yang tidak percaya dengan sebuah komitmen. "Zoe dan Maurin bertunangan."Kali ini Sofia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Zoe dengan Sofia? Astaga! Seingat Sofia, dulu Zoe salah playboy yang tidak tahan dengan satu wanita. Memiliki paras rupawan dan kantong tebal tentu bukan hal sulit bagi Zoe untuk mendapatkan wanita yang ia inginkan. Siapa sangka ia justru
"Ibu..." Sofia berlari melintasi teras rumah, menyambut kedatangan sang ibu. Bertahun lamanya tidak bersua membuat Sofia hampir menangis haru. Begitupun dengan Ibu Rahayu, wanita itu bahkan tidak mampu membendung air matanya. "Sofia, ya Allah, Nak..." Wanita itu kehilangan kata-kata. Meski sering melakukan panggilan vidio, bahkan bisa dibilang tiap hari, tetap saja bertemu secara langsung begini membuat Ibu Rahayu takjub tidak percaya. Ibu dan anak itu melepaskan kerinduan masing-masing. Sofia menghirup dalam aroma menenangkan dari tubuh ibunya. Betapa ia sangat mencintai wanita ini, wanita yang juga ia yakini sangat mencintainya dengan setulus hati meski Sofia bukanlah putri yang terlahir dari rahim ibu Rahayu. Ya, Rahayu dinyatakan mandul setelah satu tahun pernikahannya dengan ayah Sofia, Doni. Sofia terlahir dari rahim salah seorang wanita murahan yang ditiduri ayahnya. Wanita itu tidak ingin repot-repot mengurus Sofia, bahkan ingin menggugurkannya kala itu. Rahayu dengan kebe
Setelah mengantar kepergian ibunya pulang ke panti, Sofia langsung masuk ke dalam kamar. Duduk di ranjang, merenungi apa yang dikatakan ibunya tentang dia yang dulu sangat mengagumi Aland, tentang dia yang diam-diam melukis wajah Aland. Yang dulu dia adalah pecinta anime. Buku gambarnya penuh dengan wajah-wajah pria kartun tampan hasil ciptaan manusia, beralih pada wujud manusia asli yaitu Aland.Apakah sekarang rasa kagum itu masih ada?Sofia tidak ingin menjawab hal itu. Segera ia merebahkan tubuh, menarik selimut dan memejamkan mata. Namun ia tahu bahwa ia tidak akan bisa tidur dengan begitu mudah. Perbincangannya dengan Ibunya masih terngiang-ngiang. Tentang saran ibu Rahayu yang memintanya untuk memikirkan ulang tentang lamaran tersebut. Seribu kali berpikir, Sofia tidak menemukan alasan mengapa ia harus menjadi istri Aland.Pagi berikutnya, Sofia bangun dengan tekad yang kuat untuk membantu Aland pulih. Dia telah menjadi seorang terapis yang berpengalaman, tetapi ini adalah tugas
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir
"Kau terlihat sangat menawan." Zoe bersiul memuji ketampanan Aland yang ternyata tidak memudar sama sekali meski tidak terawat selama bertahun-tahun. Yah, kalau dari awal setelan pabriknya sudah oke, pasti akan tetap oke. "Kupikir setelan tuxedo ini tidak cocok untukmu." Aland tampil begitu memukau dengan tuxedo warna putih pilihan Zoe. Setiap detail pakaian tersebut menunjukkan keanggunan dan ketampanannya. Tuxedo putih tersebut sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi, beruntung bobot tubuhnya sudah mulai bertambah.Kemeja putih yang dikenakannya melengkapi tuxedo dengan sangat sempurna, menciptakan kontras yang elegan. Dasinya ditenun dengan rapi, memberikan sentuhan klasik pada penampilannya. Lengkungan kerah tuxedo yang dipadukan dengan dasi hitam membuatnya terlihat sangat berkelas. Aland juga memilih sepatu kulit hitam yang mengkilap dan sesuai dengan tuxedo putihnya. Semua elemen penampilannya saling melengkapi, menciptakan citra seorang pria yang sangat rupawan dan berwibawa p
"Apa kau berencana untuk hidup selamanya denganku?" Pertanyaan Aland mengandung sarkasme. Sofia tertegun mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana konsep pernikahan dadakan ini. Namanya pernikahan tentu hanya sekali seumur hidup. Setidaknya begitu lah Sofia memaknainya. Namun, beberapa perkataan Aland yang seolah sengaja ingin mencecarnya, menunjukkan bahwa Aland tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali."Pastinya kau akan pergi meninggalkanku begitu kau berhasil mencapai tujuanmu, bukan?""Kenapa kau harus menduga-duga sampai sejauh itu.""Itu bukan dugaan. Tapi kenyataan. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria lumpuh impoten. Dan jelas kau bukan wanita gila.""Bisa tidak kau tidak bicara terlalu sinis.""Wuaaahh, wanita alim penuh nurani rupanya merasa tersinggung."Sofia mengembuskan napas jengah. Aland pria keras kepala, tidak akan ada habisnya sindiran pedas yang dilayangkan pria itu padanya jika ia terus meladeninya. Tapi, j
"Mulai!" Zoe memberikan aba-aba.Baik Sofia atau pun Aland tidak memperlihatkan gerakan menyentak, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tegang dan saling menggenggam dengan erat."Kamu ingat taruhannya?" Sofia mempertahankan ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang. Tidak mempertontonkan pada Aland betapa keras usaha yang ia kerahkan untuk tetap mempertahankan pergelangan tangannya tetap lurus.Aland tidak merespon. Pria itu lebih memilih fokus pada pertarungan daripada perjanjian sepihak yang dicetuskan oleh Sofia. Andai Maurin tidak meragukannya, Aland tidak akan merespon ide konyol wanita yang bertarung dengannya ini. Astaga, ia tidak tahu apa ia harus terkejut atau tertawa. Menikah karena kalah tarung panco, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku tahu kau ingat dengan kesepakatannya." Sofia kembali berkata. "Tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika aku menang, kita akan menikah." Sofia tidak menambahkan kemungkinan jika dia kalah, karena dia sangat yakin bahwa kemenangan a
"Bagaimana kalau kita adu panco?"Aland kira ide menikah dengan Sofia lah yang paling menggelikan, tidak tahunya cara menerima usulan ide tersebut lah yang paling tidak masuk akal hingga berhasil membuatnya ingin marah juga tertawa dalam saat bersamaan. Bagaimana bisa adu panco dijadikan acuan untuk sebuah pernikahan. "Bagaimana, apa jawabanmu?" Desak Sofia yang terlihat seolah ia memang ingin menjadi nyonya Amstrong. Aland berani mempertaruhkan apa pun bahwa Sofia sama sekali tidak tertarik padanya. Aland mendongak, matanya menyipit memandangi tubuh ramping di balik baju yang begitu longgar. Lalu, tatapan Aland jatuh pada tangan femininnya yang lentur. Tatapan Aland kembali naik ke atas. Ke wajah Sofia yang minim akan polesan. Bahkan bibir Sofia sedikit pucat, pertanda gadis itu tidak mengenakan kosmetik sama sekali."Kau sungguh ingin menikah denganku?" Aland hanya bertanya basa basi. "Ya, jika aku menang."Dan Sofia yakin ia akan menang 100 persen. Dalam keadaan normal, jika pri
Aland berbaring hanya mengenakan celena pendek ketat berwarna hitam. Sementara Abel mulai memberikan pijatan ditubuhnya. Pijatan Abel mungkin tidak semenyiksa pijatan Sofia, tapi Aland benar-benar tidak nyaman dengan sentuhan wanita itu. "Pijat lah di titik yang seperlunya saja," ucapnya dengan dingin meski ia sendiri tidak yakin apa memang ada titik-titik tertentu.Abel tertawa renyah, tidak ambil hati dengan ucapan dingin yang dilontarkan Aland. "Aku lah terapisnya, Aland. Kau tinggal menikmati, maksudku tinggal menunggu hasil." Pijatan Abel naik ke betis, terus maju ke paha bagian dalam, tangannya terus saja bergerak, bukannya memberi pijatan tapi wanita itu justru dengan sengaja berusaha untuk merangsangnya. Aland merasa mual dan jijik, belum lagi tatapan Abel yang fokus pada organ bagian intimnya. Celana renang super ketat yang ia kenakan tentulah akan dengan mudah mempertontonkan reaksi atas sentuhan Abel. Organ intimnya tetap saja tidur dengan nyaman, tidak memberikan reaksi
Setelah dipecat, setelah pertikaian antara dirinya dan Aland yang tidak berkesudahan, Sofia pergi mengunjungi ibunya di panti. Ia juga menginap di sana selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, Mr. Amstrong datang mengunjungi mereka, membujuk agar Sofia bersedia pulang meski bukan sebagai terapis Aland lagi. Entah ini kabar baik atau buruk, Aland bersedia mendapat perawatan dari terapis lain. "Apa yang akan kulakukan di sana, Uncle?" Tanya Sofia saat Mr. Amstrong kembali datang dan mengajaknya pulang."Banyak hal yang bisa kau lakukan di sana," sahut pria itu dengan tatapan hangat khas kebapakan. "Itu adalah rumahmu. Bukankah kau putriku?"Benar, Sofia juga sangat menghormati pria tua di hadapannya ini. Orang yang memiliki kontribusi atas pencapaian yang ia dapatkan sekarang. Ia sangat menghormati Mr. Amstrong juga menyayangi pria itu. Sejujurnya, Sofia tidak akan sanggup menolak apa pun permintaan Mr. Amsrtong. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepala. "Ya, aku akan sela
"Daddy sudah melamar Sofia untukmu."Hening untuk beberapa detik lamanya. Kemudian Aland mengerjap, tidak percaya dengan pendengarannya sama sekali. Namun, begitu melihat wajah serius ayahhya dan juga wajah Sofia yang mendadak tegang dan pucat, ia sadar bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Telinganya masih berfungsi bagaimana semestinya.Tiba-tiba tawanya meledak, memecah keheningan. Tawannya tidak tertular sama sekali baik terhadap Mr. Amstrong atau pun pada Sofia. Bahkan Sofia justru terlihat semakin pucat."Oh Tuhan, ini lelucon paling menggelikan yang pernah kudengar setelah sekian tahun," ucapnya di sela tawanya."Ini bukan lelucon," sahut Ayahnya dengan tenang.Aland mengerutkan bibir, tampak berpikir keras mencerna tiga kata yang baru terlontar dari mulut sang ayah. "Apa jawabanmu?" Ekspresinya berubah dingin."Aku...""Atau justru kaulah yang mengusulkan ide gila tersebut?" Aland menyela sebelum Sofia selesai menjawab pertanyaannya."Sofia tidak mengatakan apa-a
"Sialan kau, Sofia!"Makian Aland tidak dihiraukan Sofia. Ia sama marahnya dengan pria itu. Ingin rasanya Sofia menendang tulang kering pria itu atau mungkin mencekik lehernya agar Aland sadar bahwa pria itu tidak seharusnya terpuruk begitu dalam. Sebenarnya apa yang membuat Sofia begitu marah? Apa karena ketidakberdayaan Aland atau karena mengetahui fakta bahwa Aland sepertinya masih begitu mencintai Julia?Pertanyaan itu membuat Sofia tersentak. Ia bahkan sampai berhenti dan bersandar di dinding. Deru napasnya memburu, amarahnya semakin menjadi dengan bisikan pertanyaan yang tidak ia tahu berasal dari mana. Dan ia tidak ingin repot-repot memikirkan jawabannya."Apa yang terjadi?"Sofia kembali tersentak kaget. Mr. Amstrong sudah berdiri di sana. Menatapnya dengan raut bingung bercampur cemas. "Aland melakukan sesuatu yang buruk padamu, Sofia?"Sofia menggeleng lemah. "Aku mendengarnya berteriak dan memaki, juga debuman pintu. Aku yakin kau lah yang membanting pintu itu, bukan Alan
"Aku impoten!"Pernyataan tersebut berhasil membuat Sofia tersentak kaget. Ini di luar perkiraannya. Bahkan tidak pernah menduganya sama sekali.Suasana di dalam kamar mendadak mencekam. Keheningan ini benar-benar membuat tidak nyaman. Tapi lidah Sofia terasa kelu untuk berkomentar. Lagi pula apa yang akan ia katakan? Melontarkan hiburan? Hiburan macam apa? Wajah Aland terlihat begitu terluka dan Sofia merasakan hatinya tercubit sakit. Kali ini, Aland tidak menyembunyikan kerapuhannya sama sekali. Seketika Sofia menyesal karena sudah mendorong Aland untuk bersikap terbuka kepadanya. Seperti yang dipertanyakan Aland, bagaimana ia akan mengatasi ini. Bagi seorang pria, terlebih pria yang sangat menjunjung tinggi harga diri seperti Aland, menjadi seorang impoten di usia yang masih muda, tentu saja merupakan suatu kutukan. Kini, Sofia tahu alasan kenapa Aland lebih memilih kematian. Hidup tanpa berhasrat sama saja mati, bukan?Gelak tawa Aland akhirnya memecahkan keheningan. Tawa getir