Ira terkesiap. Ia tidak menyangka Bian akan mengatakan hal seperti itu. Sebagai seorang gadis, tentu itu sangat menakutkan baginya."He he he he, bercanda kali. Serius banget, deh. Gak mungkinlah aku berani kayak gitu," ucap Bian sambil terkekeh. Ia merasa ekspresi Ira saat itu sangat menggemaskan.Ira pun akhirnya tertawa. "Ya abisnya kamu ngomong kayak gitu. Aku jadi shock," jawabnya jujur. Ia tidak menampik bahwa hal seperti itu cukum membuatnya terkejut."Emang kamu pikir aku berani? Enggaklah. Kalau aku mau macam-macam, kemarin pas di hutan pasti aku udah ...." Bian tidak melanjutkan ucapannya karena Ira memotongnya.Ira langsung menyelak ucapan Bian. "Iya, iya aku percaya. Enggak usah dilanjutin!" ucapnya. ia tidak ingin Bian mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar."Syukurlah kalau kamu percaya." Bian senang karena Ira tidak menuduhnya macam-macam lagi."Tapi kira-kira sampai kapan kamu bakalan jagain rumah aku kayak gitu?" tanya Ira. Ia tidak tega jika Bian harus ti
Bian yang memiliki insting kuat itu pun dapat menyadari kehadiran anak buahnya di sana.'Berani sekali, mereka,' batin Bian.Ia keluar dari kamar secara perlahan, tanpa menimbulkan suara. Kemudian mengejutkan anak buahnya dari belakang."Apa kalian sudah bosan hidup?" tanya Bian dengan menyentak, sambil menodongkan senapan ke arah anak buahnya itu.Deg!Mereka menoleh perlahan ke arah belakang. Betapa terkejutnya mereka melihat Bian sedang membidik mereka."A-ampun, Ndan. Kami khilaf," ucap mereka gugup sambil mengangkat kedua tangan.Ceklek!Bian menarik tuas senapan itu. Mereka pun semakin gemetar ketakutan. Sebab dalam kondisi seperti ini, mereka tidak mungkin melawan. Apalagi Bian adalah komandan mereka sendiri.Saat ini wajah Bian terlihat begitu serius. Sehingga mereka berpikir Bian benar-benar marah."Ndan, jangan main-main, Ndan. Itu bahaya," ucap mereka dengan suara bergetar."Memangnya kalian pikir aku sedang main-main? Kalian sudah kurang ajar pada atasan kalian. Jadi panta
Ira dan Bian langsung terkesiap saat ditanya seperti itu oleh anak kecil.“Memangnya kamu tau pacar itu apa?” tanya Bian. Ia tidak langsung mengelak. Sebab Bian ingin tahu apakah anak-anak itu mengerti dengan apa yang mereka tanyakan.Para anak-anak itu malu saat ditanya seperti itu oleh Bian.“Tau, gak?” tanya Bian lagi.“Hehehe, pacaran itu begini,” ucap anak-anak itu sambil mengerucutkan kedua jemarinya, kemudian menyatukan ujung jemarinya tersebut.Bian dan Ira ternganga. Mereka tak menyangka anak-anak yang kemungkinan masih SD itu sudah memahami hal tersebut.“Kata siapa? Kalian tau dari mana kayak gitu?” tanya Bian lagi. Ia merasa miris karena anak sekecil itu pikirannya sudah dewasa.“Kami suka lihat di TV, hehehe,” jawab mereka, polos.Di wilayah tersebut, mereka bisa menonton televisi menggunakan parabola. Mungkin para anak-anak itu menonton siaran yang bukan untuk usianya. Sehingga mereka sudah terkontaminasi seperti itu.“Hem ... harusnya kalian itu menonton tayangan yang s
"Waduh, gimana ini?" tanya Ira. Ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu. Sehingga ia cukup panik dan ketakutan."Ayo kabur!" ajak Lica. Ia langsung menarik tangan Ira dan Bian.Akhirnya Ira dan Bian refleks mengikuti Lica. Mereka sadar tidak mungkin menghadapi orang yang membawa parang hanya dengan tangan kosong. Apalagi orang tersebut sedang marah."Ke sini!" ajak Lica. Ia ingin membawa Bian ke markasnya melalui jalan pintas. Sebagai pribumi, Lica sudah hafal betul wilayah tersebut.Bian menoleh ke belakang. Orang itu pun semakin dekat."Ikuti aku!" ajak Bian.Bukan pengecut. Jika hanya sendiri, mungkin bisa saja Bian nekat. Namun saat ini ada Ira. Ia khawatir Ira akan terluka oleh orang tersebut.Ia mengajak Ira dan Lica untuk bersembunyi ke tempat rahasianya. Tempat itu tertutupi oleh rumput. Sehingga orang awam tidak akan mengetahuinya."Ssstt! Kita sembunyi di sini," ucap Bian. Ia tahu Ira tidak biasa berlari. Sehingga ia khawatir Ira akan kelelahan jika harus berlari
Ditanya seperti itu oleh Ira, Bian pun salah tingkah. “Lho, maksud aku bukan begitu. Maksudnya aku tuh ... ah, iya. Salut sama dia. Aku bangga ada pribumi yang masih semangat belajar,” jelas Bian, gugup. “Oooh, kirain kamu naksir sama anak kecil,” ledek Ira. Entah mengapa hatinya merasa lega. Namun ia pun merasa konyol karena mencurigai anak kecil. “Ya gak mungkinlah. Aku masih normal. Masa naksir sama anak kecil. Kalau sama kamu mungkin,” jawab Bian, kelepasan. Ira terkesiap mendengarnya. Bian pun terkejut saat menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Aku masuk dulu, ya. Kamu mau nunggu di mana?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia berharap Ira tidak mendengar ucapannya barusan. “Aku tunggu di dekat pos aja,” jawab Ira. Ia pun tidak ingin membahas hal itu lagi. Meski sebenarnya ia sempat ge'er saat Bian mengatakan kemungkinan naksir dirinya. “Ya sudah, ayo!” ajak Bian. Mereka berjalan ke pintu masuk markas tersebut. “Sore, Ndan!” sapa anak buah Bian yang sedang be
“Nanti juga kamu tau sendiri,” jawab Bian. Ia malah seolah sengaja ingin membuat Ira penasaran. “Iiih, kamu nih sengaja banget, deh! Ngapain ngomong kalau gak mau ngasih tau aku? Bikin penasarana aj!” ucap Ira, sebal. Namun ia senang karena Bian bisa bercanda. “Penasarana aja apa penasaran banget?” ledek Bian. Ira malah terkekeh jadinya. Ia semakin gemas karena Bian malah menggodanya yang sedang kesal itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah Ira. “Aku mandi dulu, ya. Abis itu baru makan,” ucap Ira. “Oke,” sahut Bian. Ia pun menunggu Ira di tenda. Sementara Ira masuk ke rumah untuk mandi. Saat Ira selesai mandi, hari sudah maghrib. Sehingga ia melaksanakan shalat lebih dulu. Pun dengan Bian. Pria itu melaksanakan shalat di tenda. Selesai shalat maghrib, barulah Ira menyiapkan makanan untuk mereka nikmati bersama. Ceklek! Ira keluar dari rumahnya. “Mau makan sekarang?” tanya Ira, pada Bian yang sedang duduk di depan tendanya. “Boleh,” jawab Bian. Kebetulan ia pun
Ira memalingkan wajah. Ia tak berani menatap punggung Bian terus karena khawatir khilaf.‘Sadar, Ira! Jangan sampe khilaf. Jangan malu-maluin,’ batin Ira sambil komat-kamit.Saat seperti itu, ternyata Bian sudah selesai mencuci piring. Bahkan ia berdiri tepat di samping Ira.“Kenapa?” tanyanya tanpa dosa.Deg!Ira refleks menoleh dan ternyata Bian sudah ada di hadapannya. “Astaghfirullah!” pekik Ira. Ia sangat terkejut karena Ira pikir Bian masih berada di tempat cuci piring.Ira yang terkejut pun langsung mundur, hingga ia hampir terjatuh. Beruntung Bian yang merupakan seorang tentara itu sigap menangkap Ira dan menariknya.Set!Buk!Ira pun langsung mendarat di dada Bian yang sedang berdiri tegak itu. Tanpa sengaja posisi mereka saat ini sedang berpelukan.“Hati-hati!” ucap Bian. Ia dapat merasakan d
“Kamu ini mau nanya apa ngagetin?” tegur Bian. Ia kesal karena anak buahnya itu sangat mengejutkan. Padahal biasanya jika anak buahnya bicara pelan, Bian pun menegurnya karena tidak bersemangat.“Hehehe, Komandan udah kayak orang lagi mojok di semak-semak aja. Pake kaget segala,” ledek anak buah Bian. Ia jadi merasa serba salah karena sikap Bian.“Ck! Sembarangan. Mau aku tembak kamu, hah?” ancam Bian sambil mengambil senjata yang ada di balik jaketnya. Bian tersinggung karena ucapan anak buahnya memang benar. Meski ia tidak sedang mojok di semak-semak, tetapi Bian sedang perang batin agar bisa berbincang dengan Ira.“Hehehe, jangan dong, ndan! Maaf, Ndan. Ini kan masih pagi, jadi harus semangat. Kalau gak semangat nanti disuruh lari di lapangan 7 putaran,” jawab anak buah Bian. Ia menyindir Bian karena biasanya Bian menghukum mereka seperti itu.“Oke, kalau be