Ira pura-pura sibuk membaca buku saat Bian datang ke rumahnya.
“Assalamu alaikum,” ucap Bian ketika memasuki halaman rumah Ira.
Ira pura-pura baru tahu ada Bian datang. “Waalaikum salam,” jawabnya. Kemudian ia melipat buku itu dan beranjak, menghampiri Bian.
Meski pintu rumah Ira tertutup, tetapi Bian masih dapat melihat apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Sebab kaca jendela rumah dinas Ira cukup besar. Apalagi dalam rumahnya terang dan Ira belum menutup tirainya.
Ceklek!
Ira membuka pintu rumah itu. “Eh, udah datang?” ucapnya basa-basi.
“Kamu belum tidur?” tanya Bian.
“Belum ngantuk. Aku gak biasa tidur sore,” jawab Ira.
“Oh ....”
Berada dalam kondisi seperti itu, mereka berdua sama-sama canggung.
“Kamu mau ngopi, gak?” tanya Ira.
“Heuh? B-bol
“Yah, Papah kan tau aku gak bisa pulang kalau gak ada yang gantiin,” keluh Ira. Ia sebal karena papahnya sendiri yang mengirim ke sana. Namun malah bertanya seolah tidak tahu.“Iya juga, ya. Tapi kalau kamu gak datang, gak apa-ap?” tanya Muh. Sebenarnya ia kasihan jika anaknya tidak hadir di acara penting kakaknya itu.“Ya gak apa-apa, sih. Kan yang mau resepsi Abang, bukan aku. Ada atau gak ada aku juga pasti tetap berjalan. Namanya lagi tugas, mau gimana lagi,” jawab Ira.Meski sebenarnya Ira ingin menghadiri acara kakaknya. Namun ia cukup profesional. Sehingga tidak memaksakan diri untuk pergi.“Ya sudah kalau begitu. Pokoknya kalau kamu bisa pulang, pulang aja, ya!” pinta Muh.“Siap, Pah!” jawab Ira, semangat.Sejak tadi ia tidak menyebutkan nama Zein atau yang lain. Sehingga Bian belum sadar siapa yang sedang Ira bahas.“Kamu kok kayaknya seneng banget, sih?” tanya Muh. Ia heran karena anaknya begitu bersemangat. Padahal waktu berangkat, Ira sempat mengeluh.Ia pikir Ira akan mur
Ira terkesiap. Ia tidak menyangka Bian akan mengatakan hal seperti itu. Sebagai seorang gadis, tentu itu sangat menakutkan baginya."He he he he, bercanda kali. Serius banget, deh. Gak mungkinlah aku berani kayak gitu," ucap Bian sambil terkekeh. Ia merasa ekspresi Ira saat itu sangat menggemaskan.Ira pun akhirnya tertawa. "Ya abisnya kamu ngomong kayak gitu. Aku jadi shock," jawabnya jujur. Ia tidak menampik bahwa hal seperti itu cukum membuatnya terkejut."Emang kamu pikir aku berani? Enggaklah. Kalau aku mau macam-macam, kemarin pas di hutan pasti aku udah ...." Bian tidak melanjutkan ucapannya karena Ira memotongnya.Ira langsung menyelak ucapan Bian. "Iya, iya aku percaya. Enggak usah dilanjutin!" ucapnya. ia tidak ingin Bian mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar."Syukurlah kalau kamu percaya." Bian senang karena Ira tidak menuduhnya macam-macam lagi."Tapi kira-kira sampai kapan kamu bakalan jagain rumah aku kayak gitu?" tanya Ira. Ia tidak tega jika Bian harus ti
Bian yang memiliki insting kuat itu pun dapat menyadari kehadiran anak buahnya di sana.'Berani sekali, mereka,' batin Bian.Ia keluar dari kamar secara perlahan, tanpa menimbulkan suara. Kemudian mengejutkan anak buahnya dari belakang."Apa kalian sudah bosan hidup?" tanya Bian dengan menyentak, sambil menodongkan senapan ke arah anak buahnya itu.Deg!Mereka menoleh perlahan ke arah belakang. Betapa terkejutnya mereka melihat Bian sedang membidik mereka."A-ampun, Ndan. Kami khilaf," ucap mereka gugup sambil mengangkat kedua tangan.Ceklek!Bian menarik tuas senapan itu. Mereka pun semakin gemetar ketakutan. Sebab dalam kondisi seperti ini, mereka tidak mungkin melawan. Apalagi Bian adalah komandan mereka sendiri.Saat ini wajah Bian terlihat begitu serius. Sehingga mereka berpikir Bian benar-benar marah."Ndan, jangan main-main, Ndan. Itu bahaya," ucap mereka dengan suara bergetar."Memangnya kalian pikir aku sedang main-main? Kalian sudah kurang ajar pada atasan kalian. Jadi panta
Ira dan Bian langsung terkesiap saat ditanya seperti itu oleh anak kecil.“Memangnya kamu tau pacar itu apa?” tanya Bian. Ia tidak langsung mengelak. Sebab Bian ingin tahu apakah anak-anak itu mengerti dengan apa yang mereka tanyakan.Para anak-anak itu malu saat ditanya seperti itu oleh Bian.“Tau, gak?” tanya Bian lagi.“Hehehe, pacaran itu begini,” ucap anak-anak itu sambil mengerucutkan kedua jemarinya, kemudian menyatukan ujung jemarinya tersebut.Bian dan Ira ternganga. Mereka tak menyangka anak-anak yang kemungkinan masih SD itu sudah memahami hal tersebut.“Kata siapa? Kalian tau dari mana kayak gitu?” tanya Bian lagi. Ia merasa miris karena anak sekecil itu pikirannya sudah dewasa.“Kami suka lihat di TV, hehehe,” jawab mereka, polos.Di wilayah tersebut, mereka bisa menonton televisi menggunakan parabola. Mungkin para anak-anak itu menonton siaran yang bukan untuk usianya. Sehingga mereka sudah terkontaminasi seperti itu.“Hem ... harusnya kalian itu menonton tayangan yang s
"Waduh, gimana ini?" tanya Ira. Ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu. Sehingga ia cukup panik dan ketakutan."Ayo kabur!" ajak Lica. Ia langsung menarik tangan Ira dan Bian.Akhirnya Ira dan Bian refleks mengikuti Lica. Mereka sadar tidak mungkin menghadapi orang yang membawa parang hanya dengan tangan kosong. Apalagi orang tersebut sedang marah."Ke sini!" ajak Lica. Ia ingin membawa Bian ke markasnya melalui jalan pintas. Sebagai pribumi, Lica sudah hafal betul wilayah tersebut.Bian menoleh ke belakang. Orang itu pun semakin dekat."Ikuti aku!" ajak Bian.Bukan pengecut. Jika hanya sendiri, mungkin bisa saja Bian nekat. Namun saat ini ada Ira. Ia khawatir Ira akan terluka oleh orang tersebut.Ia mengajak Ira dan Lica untuk bersembunyi ke tempat rahasianya. Tempat itu tertutupi oleh rumput. Sehingga orang awam tidak akan mengetahuinya."Ssstt! Kita sembunyi di sini," ucap Bian. Ia tahu Ira tidak biasa berlari. Sehingga ia khawatir Ira akan kelelahan jika harus berlari
Ditanya seperti itu oleh Ira, Bian pun salah tingkah. “Lho, maksud aku bukan begitu. Maksudnya aku tuh ... ah, iya. Salut sama dia. Aku bangga ada pribumi yang masih semangat belajar,” jelas Bian, gugup. “Oooh, kirain kamu naksir sama anak kecil,” ledek Ira. Entah mengapa hatinya merasa lega. Namun ia pun merasa konyol karena mencurigai anak kecil. “Ya gak mungkinlah. Aku masih normal. Masa naksir sama anak kecil. Kalau sama kamu mungkin,” jawab Bian, kelepasan. Ira terkesiap mendengarnya. Bian pun terkejut saat menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Aku masuk dulu, ya. Kamu mau nunggu di mana?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia berharap Ira tidak mendengar ucapannya barusan. “Aku tunggu di dekat pos aja,” jawab Ira. Ia pun tidak ingin membahas hal itu lagi. Meski sebenarnya ia sempat ge'er saat Bian mengatakan kemungkinan naksir dirinya. “Ya sudah, ayo!” ajak Bian. Mereka berjalan ke pintu masuk markas tersebut. “Sore, Ndan!” sapa anak buah Bian yang sedang be
“Nanti juga kamu tau sendiri,” jawab Bian. Ia malah seolah sengaja ingin membuat Ira penasaran. “Iiih, kamu nih sengaja banget, deh! Ngapain ngomong kalau gak mau ngasih tau aku? Bikin penasarana aj!” ucap Ira, sebal. Namun ia senang karena Bian bisa bercanda. “Penasarana aja apa penasaran banget?” ledek Bian. Ira malah terkekeh jadinya. Ia semakin gemas karena Bian malah menggodanya yang sedang kesal itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah Ira. “Aku mandi dulu, ya. Abis itu baru makan,” ucap Ira. “Oke,” sahut Bian. Ia pun menunggu Ira di tenda. Sementara Ira masuk ke rumah untuk mandi. Saat Ira selesai mandi, hari sudah maghrib. Sehingga ia melaksanakan shalat lebih dulu. Pun dengan Bian. Pria itu melaksanakan shalat di tenda. Selesai shalat maghrib, barulah Ira menyiapkan makanan untuk mereka nikmati bersama. Ceklek! Ira keluar dari rumahnya. “Mau makan sekarang?” tanya Ira, pada Bian yang sedang duduk di depan tendanya. “Boleh,” jawab Bian. Kebetulan ia pun
Ira memalingkan wajah. Ia tak berani menatap punggung Bian terus karena khawatir khilaf.‘Sadar, Ira! Jangan sampe khilaf. Jangan malu-maluin,’ batin Ira sambil komat-kamit.Saat seperti itu, ternyata Bian sudah selesai mencuci piring. Bahkan ia berdiri tepat di samping Ira.“Kenapa?” tanyanya tanpa dosa.Deg!Ira refleks menoleh dan ternyata Bian sudah ada di hadapannya. “Astaghfirullah!” pekik Ira. Ia sangat terkejut karena Ira pikir Bian masih berada di tempat cuci piring.Ira yang terkejut pun langsung mundur, hingga ia hampir terjatuh. Beruntung Bian yang merupakan seorang tentara itu sigap menangkap Ira dan menariknya.Set!Buk!Ira pun langsung mendarat di dada Bian yang sedang berdiri tegak itu. Tanpa sengaja posisi mereka saat ini sedang berpelukan.“Hati-hati!” ucap Bian. Ia dapat merasakan d
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?