Ira terkejut saat mendengar Bian hendak membuka celananya. “Hah, mau ngapain kamu pake buka celana segala?” tanyanya.
“Udah jangan banyak tanya! Aku gak mungkin macam-macam dalam situasi kayak gini,” sahut Bian.
Akhirnya Ira menuruti ucapan Bian. Ia memalingkan wajah dan pria itu membuka celananya. Kemudian Bian mengambil ponsel yang ia sembunyikan di balik pahanya. Setelah itu Bian membenarkan celananya lagi hingga terpasang.
“Sudah,” ucap Bian.
Dengan ragu, Ira menoleh dan ia lega setelah Bian mengenakan celana.
“Kamu mau ngapain?” tanya Ira.
“Aku mau ngirim pesan ke markas. Semoga mereka bisa tiba di sini tepat waktu,” jawab Bian. Kemudian ia mengirimkan pesan untuk memberi tahu di mana lokasi markas penjahat tersebut.
Setelah itu, Bian menonaktifkan kembali ponselnya. Lalu ia menyembunyikan ponselnya itu lagi.
“Apa mereka masih bisa menemukan kita jika ponsel
Ira mengangguk ragu. Debaran hatinya pun semakin cepat karena ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu.“Ayo!” ajak Bian. Mereka berdiri di balik pintu sabil menunggu Bian memantau situasi di luar.Sebelum keluar, Bian menggenggam tangan Ira tanpa menoleh.Deg!Ira sangat gugup kala tangannya digenggam seperti itu oleh Bian. Ia pun menatap genggaman tangan mereka. Kemudian ia menatap Bian yang serius memantau situasi di luar dari celah pintu.Kini debaran hati Ira semakin bertambah. Sebab selain karena takut, Ira pun berdebar karena genggaman tangan Bian itu.‘Ternyata dia baik juga,’ batin Ira sambil menatap Bian dari belakang.“Di luar sudah sepi. Apa kamu siap?” tanya Bian, sambil menoleh.Ira yang sedang menatap Bian pun langsung gelagapan. “Heuh? I-iya. Siap,” jawab Ira.“Tangan kamu dingin sekali. Apa kamu yakin bisa lari?” tanya Bian sambil mel
"Tidak! Kita harus bisa segera keluar dari hutan ini sebelum malam!" ucap Bian. Kira kira berapa jauh lagi jarak yang harus kita tempuh agar bisa keluar dari hutan ini?" tanya Bian pada anak buahnya itu. Tadi Bian berjalan sambil dibuntuti oleh dua orang penjahat yang menyandranya. Sehingga ia lupa seberapa jauh jarak yang telah ia tempuh sampai tiba di markas tersebut. "Kurang lebih 2 km, Ndan," jawab anak buah Bian. "Kalo hanya kita saja mungkin masih bisa dengan berjalan cepat. Tapi kan ada dokter Ira yang harus kita lindungi. Rasanya mustahil bisa keluar dari hutan ini sebelum gelap," timpal temannya. "Maaf, ya. Gara-gara aku semuanya jadi repot repot," ucap Ira. Ia tidak enak hati karena telah merepotkan banyak orang. Bahkan sudah seperti ini saja Ira merasa menjadi penghalang bagi mereka. "Kamu enggak perlu minta maaf. Ini sudah kewajiban kami untuk menolong setiap warga sipil yang terancam keselamatannya," jawab Bian. "Terima kasih," ucap Ira, kemudian ia memalingkan wajah
‘Ternyata dia baik juga, ya? Kalau lagi begini, gak nyebelin lagi. Malah kelihatan ganteng,’ batin Ira. Ia terus menatap Bian dengan tatapan penuh kekaguman. Bian yang biasanya terlihat menyebalkan, kini justru terlihat gagah dan tampan.Beberapa detik kemudian, Ira pun terkesiap. “Iih, mikir apa sih gue?” gumam Ira, pelan.“Kenapa?” tanya Bian yang mendengar gumaman Ira, samar. Ia pun menoleh ke arah Ira.“Eh, gak apa-apa,” jawab Ira, kikuk. “Susah, ya?” tanyanya, basa-basi. ia malu karena hampir ketahuan oleh Bian.“Iya, sepertinya kayunya sudah lama dingin. Jadi agak susah. Untuk menyalakan api harus menggunakan kayu kering,” jawab Bian. Meski begitu ia masih tetap berusaha.Bian terus memutar-mutar kayu dengan telapak tangannya hingga ujung kayu itu bergesekkan dengan kayu yang ada di bawahnya. Bahkan sampai tangannya terasa pan
Bian pun tak kalah terkejut mendengar teriakan Ira. “Sstt! Kamu jangan heboh gitu, dong! Aku gak ngapa-ngapain, cuma berusaha menghangatkan saja,” jelas Bian. Namun kemudian ia sadar ada yang salah dari kata-katanya.Ira terbelalak saat mendengar kata ‘menghangatkan’. “Apa kamu bilang?” tanyanya dengan nada tinggi.Bian pun panik karena Ira salah paham. Ia tidak ingin dianggap berbuat yang tidak-tidak oleh Ira.“Eh, tenang dulu! Maksud aku itu semalam kita hampir mati kedinginan. Jadi harus berpelukan supaya tetap hangat. Tapi selebihnya tidak ada hal lain yang aku lakukan. Percayalah!” ucap Bian, gugup.Memang kondisi seperti itu cukup sulit dijelaskan. Apalagi mereka sama-sama gadis dan perjaka. Sehingga sangat aneh ketika tidur dalam posisi berpelukan.“Apa tidak ada cara lain?” tanya Ira, kesal. Ia merasa Bian telah mengambil kesempatan dal
“Hah? Gak usah. Aku bisa sendiri, kok,” ucap Ira, panik. Ia tidak nyaman jika harus dijaga oleh pria.“Yakin kamu berani? Bagaimana jika mereka masih pensaran? Kamu dengan sendiri mereka melarikan diri. Jadi bisa kembali kapan pun,” ucap Bian. Entah mengapa dia seolah sangat ingin menjaga Ira.“Dan ketika mereka kembali, bisa saja dokter Ira yang dicari,” timpal anak buah Bian. Mereka memprovokasi Ira karena memang ingin mendukung Bian.“Iiih, kalian kok nakutin aku, sih?” keluh Ira. Ia sebal karena para pria itu bukan menenangkannya, tetapi malah menakutinya.“Kami bukan menakuti. Ini hanya peringatan. Aku mau mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti kemarin. Kalau sudah terjadi, siapa yang akan direpotkan?” tanya Bian.Ia sengaja bicara seperti itu agar Ira mau menerima usulannya. Terlepas ada modus lain atau tidak, Bian memang mengkhawatirkan Ira.“Iya, sih. Tapi aku kan wanita, sendirian. Masa dijaga sama cowok? Gantian pula. Aneh banget rasanya,” uca
“Bukannya stalking. Sebagai pengawas wilayah ini, aku kan harus tahu siapa aja yang datang ke sini dan tujuannya apa aja. Jadi kamu jangan heran kalo aku tahu sedikit banyak tentang kamu,” jelas Bian.Sebenarnya itu hanya alasan saja.“Ah masa? Bilang aja kalau emang stalking! Pake alasan segala,” ledek Ira.“Jangan-jangan kamu emang pengen aku stalk, ya?” tanya Bian. Ia tidak mau kalah dari Ira.“Yee! Enak aja, jangan nuduh sembarangan, deh!” keluh Ira.“Nah! Enggak enakan dituduh? Sendirinya tadi nuduh duluan. Makanya jangan suka nethink! Mau? Ribut lagi kaya waktu itu,” tantang Bian.“Hehehe, jangan dong! Capek tahu berantem terus. Mending temanan aja, deh,” jawab Ira sambil tersenyum kikuk.Bian mengulurkan tangannya ke arah Ira. “Oke deal! Jadi mulai sekarang kita temanan,” ucap Bian sambil menatap Ira.Ira pun tersenyum. “Deal! Temanan, ya?” sahutnya.Mereka jadi seperti anak kecil yang baru memiliki teman.“Kenapa enggak langsung pacaran aja, Ndan?” tanya anak buah Bian. Pertan
Bian terperanjat saat ditanya seperti itu oleh anak buahnya. Hampir saja ia terjatuh dari menara tersebut. "Astaga! Bikin kaget aja," gumamnya, kesal.“L-lagi cari angin,” jawab Bian, salah tingkah. Ia pun langsung berdiri.“Ooh, emang di bawah gak ada angin ya, Ndan? Sampe naik ke atas begitu,” tanya anak buahnya lagi, tanpa dosa.“Di bawah anginnya kurang terasa,” jawab Bian. Kemudian ia turun menggunakan tangga yang ada di menara tersebut. 'Angin palamu!' batin Bian, emosi.‘Perasaan di sini juga anginnya kenceng. Gimana di atas, ya?’ batin anak buah Bian, heran. Ia merasa Bian sangat aneh karena angin di bawah sana cukup kencang menurutnya. Ia belum sadar apa yang sedang Bian lakukan sebenarnya.“Ada apa?” tanya Bian saat sudah tiba di bawah, ketus.“Gak ada apa-apa, Ndan. Cuma kebetulan lewat aja, hehe,” jawab anak b
Ira pura-pura sibuk membaca buku saat Bian datang ke rumahnya.“Assalamu alaikum,” ucap Bian ketika memasuki halaman rumah Ira.Ira pura-pura baru tahu ada Bian datang. “Waalaikum salam,” jawabnya. Kemudian ia melipat buku itu dan beranjak, menghampiri Bian.Meski pintu rumah Ira tertutup, tetapi Bian masih dapat melihat apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Sebab kaca jendela rumah dinas Ira cukup besar. Apalagi dalam rumahnya terang dan Ira belum menutup tirainya.Ceklek!Ira membuka pintu rumah itu. “Eh, udah datang?” ucapnya basa-basi.“Kamu belum tidur?” tanya Bian.“Belum ngantuk. Aku gak biasa tidur sore,” jawab Ira.“Oh ....”Berada dalam kondisi seperti itu, mereka berdua sama-sama canggung.“Kamu mau ngopi, gak?” tanya Ira.“Heuh? B-bol