Ira mengangguk ragu. Debaran hatinya pun semakin cepat karena ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu.
“Ayo!” ajak Bian. Mereka berdiri di balik pintu sabil menunggu Bian memantau situasi di luar.
Sebelum keluar, Bian menggenggam tangan Ira tanpa menoleh.
Deg!
Ira sangat gugup kala tangannya digenggam seperti itu oleh Bian. Ia pun menatap genggaman tangan mereka. Kemudian ia menatap Bian yang serius memantau situasi di luar dari celah pintu.
Kini debaran hati Ira semakin bertambah. Sebab selain karena takut, Ira pun berdebar karena genggaman tangan Bian itu.
‘Ternyata dia baik juga,’ batin Ira sambil menatap Bian dari belakang.
“Di luar sudah sepi. Apa kamu siap?” tanya Bian, sambil menoleh.
Ira yang sedang menatap Bian pun langsung gelagapan. “Heuh? I-iya. Siap,” jawab Ira.
“Tangan kamu dingin sekali. Apa kamu yakin bisa lari?” tanya Bian sambil mel
"Tidak! Kita harus bisa segera keluar dari hutan ini sebelum malam!" ucap Bian. Kira kira berapa jauh lagi jarak yang harus kita tempuh agar bisa keluar dari hutan ini?" tanya Bian pada anak buahnya itu. Tadi Bian berjalan sambil dibuntuti oleh dua orang penjahat yang menyandranya. Sehingga ia lupa seberapa jauh jarak yang telah ia tempuh sampai tiba di markas tersebut. "Kurang lebih 2 km, Ndan," jawab anak buah Bian. "Kalo hanya kita saja mungkin masih bisa dengan berjalan cepat. Tapi kan ada dokter Ira yang harus kita lindungi. Rasanya mustahil bisa keluar dari hutan ini sebelum gelap," timpal temannya. "Maaf, ya. Gara-gara aku semuanya jadi repot repot," ucap Ira. Ia tidak enak hati karena telah merepotkan banyak orang. Bahkan sudah seperti ini saja Ira merasa menjadi penghalang bagi mereka. "Kamu enggak perlu minta maaf. Ini sudah kewajiban kami untuk menolong setiap warga sipil yang terancam keselamatannya," jawab Bian. "Terima kasih," ucap Ira, kemudian ia memalingkan wajah
‘Ternyata dia baik juga, ya? Kalau lagi begini, gak nyebelin lagi. Malah kelihatan ganteng,’ batin Ira. Ia terus menatap Bian dengan tatapan penuh kekaguman. Bian yang biasanya terlihat menyebalkan, kini justru terlihat gagah dan tampan.Beberapa detik kemudian, Ira pun terkesiap. “Iih, mikir apa sih gue?” gumam Ira, pelan.“Kenapa?” tanya Bian yang mendengar gumaman Ira, samar. Ia pun menoleh ke arah Ira.“Eh, gak apa-apa,” jawab Ira, kikuk. “Susah, ya?” tanyanya, basa-basi. ia malu karena hampir ketahuan oleh Bian.“Iya, sepertinya kayunya sudah lama dingin. Jadi agak susah. Untuk menyalakan api harus menggunakan kayu kering,” jawab Bian. Meski begitu ia masih tetap berusaha.Bian terus memutar-mutar kayu dengan telapak tangannya hingga ujung kayu itu bergesekkan dengan kayu yang ada di bawahnya. Bahkan sampai tangannya terasa pan
Bian pun tak kalah terkejut mendengar teriakan Ira. “Sstt! Kamu jangan heboh gitu, dong! Aku gak ngapa-ngapain, cuma berusaha menghangatkan saja,” jelas Bian. Namun kemudian ia sadar ada yang salah dari kata-katanya.Ira terbelalak saat mendengar kata ‘menghangatkan’. “Apa kamu bilang?” tanyanya dengan nada tinggi.Bian pun panik karena Ira salah paham. Ia tidak ingin dianggap berbuat yang tidak-tidak oleh Ira.“Eh, tenang dulu! Maksud aku itu semalam kita hampir mati kedinginan. Jadi harus berpelukan supaya tetap hangat. Tapi selebihnya tidak ada hal lain yang aku lakukan. Percayalah!” ucap Bian, gugup.Memang kondisi seperti itu cukup sulit dijelaskan. Apalagi mereka sama-sama gadis dan perjaka. Sehingga sangat aneh ketika tidur dalam posisi berpelukan.“Apa tidak ada cara lain?” tanya Ira, kesal. Ia merasa Bian telah mengambil kesempatan dal
“Hah? Gak usah. Aku bisa sendiri, kok,” ucap Ira, panik. Ia tidak nyaman jika harus dijaga oleh pria.“Yakin kamu berani? Bagaimana jika mereka masih pensaran? Kamu dengan sendiri mereka melarikan diri. Jadi bisa kembali kapan pun,” ucap Bian. Entah mengapa dia seolah sangat ingin menjaga Ira.“Dan ketika mereka kembali, bisa saja dokter Ira yang dicari,” timpal anak buah Bian. Mereka memprovokasi Ira karena memang ingin mendukung Bian.“Iiih, kalian kok nakutin aku, sih?” keluh Ira. Ia sebal karena para pria itu bukan menenangkannya, tetapi malah menakutinya.“Kami bukan menakuti. Ini hanya peringatan. Aku mau mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti kemarin. Kalau sudah terjadi, siapa yang akan direpotkan?” tanya Bian.Ia sengaja bicara seperti itu agar Ira mau menerima usulannya. Terlepas ada modus lain atau tidak, Bian memang mengkhawatirkan Ira.“Iya, sih. Tapi aku kan wanita, sendirian. Masa dijaga sama cowok? Gantian pula. Aneh banget rasanya,” uca
“Bukannya stalking. Sebagai pengawas wilayah ini, aku kan harus tahu siapa aja yang datang ke sini dan tujuannya apa aja. Jadi kamu jangan heran kalo aku tahu sedikit banyak tentang kamu,” jelas Bian.Sebenarnya itu hanya alasan saja.“Ah masa? Bilang aja kalau emang stalking! Pake alasan segala,” ledek Ira.“Jangan-jangan kamu emang pengen aku stalk, ya?” tanya Bian. Ia tidak mau kalah dari Ira.“Yee! Enak aja, jangan nuduh sembarangan, deh!” keluh Ira.“Nah! Enggak enakan dituduh? Sendirinya tadi nuduh duluan. Makanya jangan suka nethink! Mau? Ribut lagi kaya waktu itu,” tantang Bian.“Hehehe, jangan dong! Capek tahu berantem terus. Mending temanan aja, deh,” jawab Ira sambil tersenyum kikuk.Bian mengulurkan tangannya ke arah Ira. “Oke deal! Jadi mulai sekarang kita temanan,” ucap Bian sambil menatap Ira.Ira pun tersenyum. “Deal! Temanan, ya?” sahutnya.Mereka jadi seperti anak kecil yang baru memiliki teman.“Kenapa enggak langsung pacaran aja, Ndan?” tanya anak buah Bian. Pertan
Bian terperanjat saat ditanya seperti itu oleh anak buahnya. Hampir saja ia terjatuh dari menara tersebut. "Astaga! Bikin kaget aja," gumamnya, kesal.“L-lagi cari angin,” jawab Bian, salah tingkah. Ia pun langsung berdiri.“Ooh, emang di bawah gak ada angin ya, Ndan? Sampe naik ke atas begitu,” tanya anak buahnya lagi, tanpa dosa.“Di bawah anginnya kurang terasa,” jawab Bian. Kemudian ia turun menggunakan tangga yang ada di menara tersebut. 'Angin palamu!' batin Bian, emosi.‘Perasaan di sini juga anginnya kenceng. Gimana di atas, ya?’ batin anak buah Bian, heran. Ia merasa Bian sangat aneh karena angin di bawah sana cukup kencang menurutnya. Ia belum sadar apa yang sedang Bian lakukan sebenarnya.“Ada apa?” tanya Bian saat sudah tiba di bawah, ketus.“Gak ada apa-apa, Ndan. Cuma kebetulan lewat aja, hehe,” jawab anak b
Ira pura-pura sibuk membaca buku saat Bian datang ke rumahnya.“Assalamu alaikum,” ucap Bian ketika memasuki halaman rumah Ira.Ira pura-pura baru tahu ada Bian datang. “Waalaikum salam,” jawabnya. Kemudian ia melipat buku itu dan beranjak, menghampiri Bian.Meski pintu rumah Ira tertutup, tetapi Bian masih dapat melihat apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Sebab kaca jendela rumah dinas Ira cukup besar. Apalagi dalam rumahnya terang dan Ira belum menutup tirainya.Ceklek!Ira membuka pintu rumah itu. “Eh, udah datang?” ucapnya basa-basi.“Kamu belum tidur?” tanya Bian.“Belum ngantuk. Aku gak biasa tidur sore,” jawab Ira.“Oh ....”Berada dalam kondisi seperti itu, mereka berdua sama-sama canggung.“Kamu mau ngopi, gak?” tanya Ira.“Heuh? B-bol
“Yah, Papah kan tau aku gak bisa pulang kalau gak ada yang gantiin,” keluh Ira. Ia sebal karena papahnya sendiri yang mengirim ke sana. Namun malah bertanya seolah tidak tahu.“Iya juga, ya. Tapi kalau kamu gak datang, gak apa-ap?” tanya Muh. Sebenarnya ia kasihan jika anaknya tidak hadir di acara penting kakaknya itu.“Ya gak apa-apa, sih. Kan yang mau resepsi Abang, bukan aku. Ada atau gak ada aku juga pasti tetap berjalan. Namanya lagi tugas, mau gimana lagi,” jawab Ira.Meski sebenarnya Ira ingin menghadiri acara kakaknya. Namun ia cukup profesional. Sehingga tidak memaksakan diri untuk pergi.“Ya sudah kalau begitu. Pokoknya kalau kamu bisa pulang, pulang aja, ya!” pinta Muh.“Siap, Pah!” jawab Ira, semangat.Sejak tadi ia tidak menyebutkan nama Zein atau yang lain. Sehingga Bian belum sadar siapa yang sedang Ira bahas.“Kamu kok kayaknya seneng banget, sih?” tanya Muh. Ia heran karena anaknya begitu bersemangat. Padahal waktu berangkat, Ira sempat mengeluh.Ia pikir Ira akan mur
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?