"Ini bekal Adek," ucap Revalina sambil memberikan kotak nasi kepada Xiera.
"Dan ini punya Abang." Revalina menyimpan kotak nasi di tempat Aldevaro duduk.
"Loh, punya Papa mana?" tanya Raffael.
"Spesial buat Papa, nanti Mama yang anterin ke kantor."
"Asyik. Papa tunggu."
"Loh, Abang kenapa berdiri di situ?" Revalina melihat Aldevaro diam mematung seakan-akan sedang memperhatikan dirinya. Hati Revalina bertanya-tanya, ada apa dengan putranya karena Aldevaro menatapnya dengan cara berbeda.
Aldevaro tersenyum, kemudian mendekat. "Ini ponsel Papa, ada di laci."
"Makasih, Al," kata Raffael.
"Dek, udah belom makannya? Hari ini Abang gak bawa motor. Mau diantar sopir aja," tutur Aldevaro.
"Udah, ayok."
"Tumben, Al. Kenapa?" tanya Raffael.
"Lagi males, Pa."
Ada rasa tenang dalam diri Revalina karena putra-putrinya tidak menggunakan motor.
"Mama harap setiap hari diantar so
Jam delapan malam, terdengar suara mobil terparkir di halaman kediaman Xie. Ravalina bergegas membuka pintu dan berharap Aldevaro yang datang. Benar saja, saat pintu ia buka, Aldevaro baru saja turun dari mobil.Revalina menyambut kedatangan sang putra dengan suka cita. "Udah dari mana, Sayang?"Bukannya menjawab, Aldevaro menerobos masuk melewati Revalina yang diam mematung melihat tingkah aneh sang putra."Nak, tunggu Mama, Sayang. Kamu kenapa?" tanya Revalina penasaran sambil mengikuti Aldevaro menaiki anak tangga.Raffael dan Hanna yang mendengar kegaduhan pun menghampiri."Al, Mama mohon ceritalah, ada apa, Nak?"Aldevaro dan Revalina saling mendorong daun pintu. Aldevaro mendorong untuk menutup dan Revalina memaksa untuk membuka hingga pada akhirnya ..."Aaaaaa!" teriak Revalina."Astaga!" pekik Raffael."Aldevaro, buka pintunya! Jari Mamamu terjepit!" lanjut Raffael berter
Setelah Revalina tenang, Raffael pergi ke kantor karena memang ada rapat penting. Carlos yang semula akan pergi menemui rekan bisnisnya bersama Cindy memutuskan jika dirinya yang pergi dan membiarkan Cindy menemani Revalina."Masalah tak hentinya datang menerpa rumah tanggaku" ucap Revalina."Sayang, bersabarlah. Ini adalah ujian. Ujian kita bersama. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan manusia," kata cindy."Semua manusia pasti pernah mendapatkan ujian dalam hidup. Tuhan memberikan ujian kepada manusia untuk mengetahui siapa manusia yang amalnya terbaik," timpal Hanna. "Jadi, bersabarlah, kita cari jalan keluar bersama, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Putramu berada dalam fase ini. Nanti, jika dia menyadari siapa yang benar dan siapa yang salah, yakinlah ... dia akan kembali bersama kita," lanjutnya sambil menggenggam tangan Revalina.Cindy mengangguk ikut membenarkan apa yang dikatakan oleh Hanna."
Tidak terasa sudah dua minggu Aldevaro meninggalkan kediaman Xie. Pun ia tidak tinggal di apartemen melainkan tinggal bersama Casandra. Pemuda itu jelas-jelas ingin merasakan dekapan dan belaian dari seorang ibu kandung.Hari-hari yang ia lalui di sana sudah jelas berbeda ketika dirinya tinggal bersama keluarga Xie. Casandra sangat cuek bahkan benar apa kata Elbert, jika Casandra tidak pernah menyiapkan sarapan apalagi menyediakan makan untuk bekal. Jangankan hal itu, pelukan serta ciuman yang biasa didapatkan dari Revalina tidak ia rasakan. Sungguh tidak sesuai dengan harapannya. Namun, Aldevaro mencoba mengerti dimana Casandra adalah seorang pebisnis yang sibuk, sedangkan Revalina hanya seorang ibu rumah tangga saja.Hari Minggu yang biasa ia habiskan dengan berolahraga pagi bersama keluarga, kini setelah sarapan, ia lalui dengan berdiam diri di kamar ditemani Elbert."Gak nyangka gue. Ternyata elu Abang gue," kata Elbert sambil rebahan di kamar Al
Tiba di rumah, Revalina tetap saja diam membuat Raffael dan Xiera serba salah. Hanna yang melihat sang menantu seperti itu tentu saja bertanya."Ada apa, Nak?""Rere merasa heran, Ma. Sebenarnya apa yang sudah Casandra katakan kepada Al? Sampe-sampe Al mengatakan jika Rere yang jauhin dia dari mama kandungnya," ungkap Revalina dengan kesal.Hanna mengusap pundak Revalina mencoba menenangkan. "Sabarlah, Nak. Lambat-laun juga Al pasti sadar.""Apa Al diancam? Iya?" Revalina bertanya dengan khawatir sambil menatap Hanna dan Raffael bergantian."Tidak! Aku yakin tidak," kata Raffael."Lalu, apa?""Kita pantau Al melalui Ferdy, Nak. Pokoknya, di manapun Aldevaro berada dia tetap dalam pengawasan kita. Bukan begitu, El?""Tentu, Ma."Revalina menghela napas, kemudian meminta izin untuk pergi ke kamar dan diikuti oleh Raffael.Di kamar, Revalina duduk di tepi ranjang, kemudian matanya menatap bing
Suara bel yang begitu nyaring tidak Xiera indahkan. Gadis itu masih setia duduk di bangku taman. Hatinya masih merasa kesal kepada kedua kakaknya."Dengan Non Xiera?" tanya seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tukang penjaga kebun."Eh, iya, Mang. Ada apa?""Anu ... Non dipanggil guru BP."Xiera menghapus air matanya. "Iya, Mang. Maaf, merepotkan Mamang. Mamang pasti cari-cari Rara, ya?"Pria itu tersenyum dan mengatakan bahwa sama sekali tidak ada yang direpotkan.Xiera melangkah dengan gontai menuju ruang BP. Ia sudah pasrah dengan risiko yang akan ia terima."Selamat siang, Pak. Bapak manggil saya?" tanya Xiera saat tiba di ruang BP."Iya, silakan duduk."Xiera duduk tepat di hadapan sang guru."Kamu tau, kan, kenapa saya sampai memanggil kamu?"Xiera mengangguk. "Iya, tau, Pak."Guru BP itu menyebutkan sanksi yang harus Xiera jalani, yaitu membersihkan kantin sepul
Dari Xie Company, Alex bergegas pulang. Rasa penasaran menggerogoti hatinya. Bukan masalah Aldevaro saja, tetapi mengenai perusahaan Antonio juga.Mobil sudah terparkir rapi di kediamannya. Alex bergegas turun dan mencari Aldevaro.Tok tok tok!Daun pintu kamar Aldevaro ia ketuk.Tidak berselang lama, Aldevaro membuka pintu dan mempersilakan ayah tirinya itu masuk."Kau sedang apa?" tanya Alex saat melihat tumpukan buku di meja belajar Aldevaro."Mommy menyuruhku untuk mempelajari ini semua, Dad," jawabnya.Alex menghela napas, kemudian berkata, "Tidak usah! Kamu fokus belajar dulu saja. Belajar menjadi pengusaha boleh, tapi utamakan kewajibanmu dulu. Sekolah.""Iya, Dad, Al ngerti. Tapi, gak ada salahnya juga, kan, kalau keduanya berjalan bersamaan?""Ya, terserah kau saja. Tidak ada yang salah, kok. Tapi, untuk saat ini Dady ingin tau satu hal darimu.""Apa itu?"
Weker terus saja berbunyi. Namun, Revalina masih betah dalam dekapan Raffael. Pria tampan itu meraih weker dan mematikannya. Ia mengeratkan pelukan bahkan menutup diri dan sang istri dengan selimut kembali."Emmm ...." Revalina bergumam, kemudian perlahan membuka mata. Tangannya hendak membuka selimut."Biarkan begini, Sayang. Sebentar lagi aja," pinta Raffael dengan mata terpejam."Tidurku perasaan lama sekali. Sudah jam berapa sekarang?""Jam lima," jawab Raffael santai."Apa?!" Revalina hendak bangun, tetapi Raffael kembali menindih Revalina."Sekali lagi. Please ...."Revalina pasrah dan hanya mengangguk. Bisa berabe urusan jika menolak. Suaminya akan terus merengek sampai kemauannya terpenuhi."Beneran, Yang?" tanya Raffael memastikan dengan sumringah."Cepatlah!"Tidak membuang kesempatan, Raffael kembali menyatukan tubuh mereka. Sepuluh menit, dua puluh menit ternyata keg
Revalina dan Raffael tiba di rumah beriringan dengan mobil James yang membawa Xiera."Eh, Sayang. Udah pulang?" tanya Revalina."Iya, Ma. Mama dari mana?""Mama ikut ke kampus sama papa. Yuk, masuk."Ketiganya memasuki rumah. Revalina meminta Raffael dan Xiera untuk berganti pakaian, sedangkan dirinya ke kamar Hanna."Ma, boleh Rere masuk?" tanya Revalina sambil mengetuk pintu."Masuk aja, Nak. Tidak Mama kunci, kok," jawab Hanna dari dalam."Mama gimana kabarnya?" tanya Revalina sambil menempelkan punggung tangannya di kening Hanna."Sudah baikan, Sayang.""Syukurlah kalau begitu, Ma. Rere bawain makan siang, ya? Atau Mama mau makan sesuatu?"Hanna tersenyum lalu menggeleng. "Enggak, Sayang. Mama masih kenyang. Sana, kalian saja yang makan."Revalina menarik napas dalam dan mengeluarkan perlahan."Ada apa? Sepertinya kamu lagi mikirin sesuatu?" tanya Hanna y