Acara makan siang selesai. Aldevaro dan lainnya memutuskan untuk pulang. Tak lupa Aldevaro mengantar Bella ke sekolah karena gadis itu akan pulang ke rumahnya setelah pekerjaan ayahnya selesai yakni pada sore hari.
"Lu suka sama Kak Bella, ya, Bang?" tanya Elbert di mobil.
"Mau tau aja, lu," jawab Aldevaro dingin.
"Hallah, ngaku aja. Gue juga suka sama Rara, cuman lom jujur aja sama tu anak."
Aldevaro mendelik. "Lu jangan macem-macem sama adek gue!"
"Ck! Kagak semacem. Macem-macem gue sukanya," ucap Elbert asal.
Aldevaro mendengkus, kemudian turun karena mobil sudah terparkir di halaman rumah.
"Mommy? Tumben ada di rumah?" tanya Elbert saat tiba di ruang keluarga.
Casandra tersenyum. "Iya, Nak. Lagi mau di rumah aja," sahutnya. Matanya melihat kantong yang Aldevaro dan Elbert bawa. "Kok, cuman sedikit belanjanya?"
Aldevaro mengatakan jika mereka hanya membeli makanan ringan dan minuman kalen
Xiera mengajak Bella untuk kembali ke tenda. Walaupun malu kepada semua peserta terlebih lagi kepada Aldevaro, mau tidak mau ia kembali. Namun, di tengah perjalanan Aldevaro meminta untuk berbicara dengan Bella yang akhirnya Xiera kembali lebih dulu.Bella menunduk. Air matanya kembali menetes."Maafin gue, Bell. Gu-gue gak sengaja," sesal Aldevaro."Iya, gak sengaja ... ta-tapi, kenapa kamu seperti sengaja terus menciumku, hah? Kamu jahat ... jahat ...." Bella memukul dada Aldevaro."Maafin gue, Bell. Itu karena gue ... emm ...""Apa? Mau bikin cemburu Anjani? Biar gue dibenci banyak orang disangka rebut kamu dari Anjani, iya?!"Aldevaro memegang tangan Bella. "Gue ... gue itu ..."Bella menarik tangannya, kemudian pergi meninggalkan Aldevaro."Ck! Elaaah, napa jadi begini, sih?" gumam Aldevaro sambil mengacak rambutnya.Aldevaro kembali ke tenda. Ia melihat orang-orang sekitar yang ternyata suda
Pagi menjelang diiringi rintik hujan yang membasahi bumi. Suasana kediaman Xie sangat sepi tanpa kehadiran Xiera. Walaupun Xiera tidak ada, Revalina tetap bangun pada jam empat pagi. Seperti biasa ia akan menyiapkan menu sarapan. Suara gemuruh di luar membuat Revalina penasaran seberapa deras hujan yang turun. Ia menyibak gorden dan membuka jendela kaca kamarnya. Angin dingin nan kencang berhasil menyapa kulit dan ...Prang!Pigura yang membingkai foto Xiera terjatuh."Astaga!" seru Revalina. Ia bergegas menghampiri pigura yang terjatuh.Suara pecahan tersebut membangunkan Raffael."Ada apa, Sayang?" tanya Raffael sambil menyibak selimut. Pria itu menghampiri istrinya yang sedang jongkok."Putriku ... bagaimana keadaannya? A-apa dia baik-baik saja?" Revalina menggoncang tubuh Raffael yang ikut berjongkok di sampingnya."Ssst! Sayang, putri kita baik-baik saja. Kau jangan khawatir." Raffael mencoba menenan
Di kediaman Xie, Raffael, Revalina dan Hanna baru saja selesai sarapan. Pagi itu Raffael sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Seperti biasa, Revalina mengantar sang suami sampai ke depan pintu."Hati-hati, Sayang. Awas! Jangan macem-macem di kantor," ucap Revalina manja.Raffael mengecup kening Revalina. "Iya, Sayang. Kau tenang saja. Hati dan cintaku hanya untuk Rere seorang."Revalina tertawa. "Idiih ... gombal!""Tapi, suka, kan?" goda Raffael sambil menaikturunkan alisnya.Revalina tersenyum. "Ya, sudah, sana berangkat."Raffael mengangguk dan kembali mendaratkan ciuman. Bukan di kening, melainkan di bibir. Revalina kembali masuk saat mobil yang ditumpangi suaminya pergi. Namun, ia tidak lekas membereskan meja makan seperti biasa, tetapi duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu memegang dadanya yang terasa berdebar lebih kencang."Xiera, kamu lagi apa, Nak?" gumamnya.Revalina menarik napasnya dalam-
Bella tetap bersabar atas perlakuan Anjani terhadapnya walaupun dalam hati ia merasakan sakit yang teramat. Bukan ia tidak membela diri, tetapi situasi masih genting bukan saatnya untuk berdebat. Dirinya percaya bahwa Tuhan selalu membersamai. Tuhan selalu dekat dengan orang-orang yang benar.Bella menatap kepergian Revalina dan Hanna."Mampus, lu! Makanya, jangan macem-macem sama gue! Beraninya elu rebut Al dari gue," ketus Anjani, kemudian pergi."Sabar, Kak. Aku percaya kalau Kakak tidak melakukannya," ucap Dinda sambil menepuk pelan pundak Bella.Bella tersenyum diiringi anggukkan.***Setelah mengantar majikannya ke tempat yang aman, James kembali ke tempat kejadian. Ia tidak hanya memikirkan keselamatan Xiera saja, melainkan keberadaan dua anak buahnya.Saat berjalan, James menginjak sesuatu. Ia berjongkok dan meraihnya."Ponsel?" gumamnya. "Milik siapa ini?"Jemari James menekan tombo
Revalina menangis bahagia setelah mendapatkan kabar dari James. Wanita itu segera menghubungi suaminya. Selang tiga puluh menit, Raffael dan rombongan kembali ke tenda."Sayang, benarkah apa yang kau katakan?" tanya Raffael sumringah.Revalina mengangguk antusias. "Iya, bener. James sekarang di rumah sakit."Mata Aldevaro menangkap dua orang polisi menggiring seorang wanita. Dahinya mengernyit sambil bertanya, "Siapa yang dibawa polisi itu?"Revalina mengikuti ke mana arah Aldevaro melihat. "Oh, itu wanita yang sudah mendorong Xiera ke sungai.""Itu, Bella, kan?" tanya Aldevaro meyakinkan."Iya, kamu kenal?"Degh!Aldevaro tidak menjawab pertanyaan Revalina, ia hanya menatap Bella sampai hilang dari pandangan. Hatinya terus berkata jika Bella bukanlah orang yang mencelakai sang adik. Namun, apa boleh buat, dirinya tidak bisa membela karena tidak melihat kejadiannya."Kita ke rumah sakit sekarang!"
Sudah tiga hari Xiera dan Elbert dirawat. Luka mereka sudah mulai membaik, tetapi rasa trauma masih menghantui keduanya. Roy dan Joni sudah pulang sejak satu hari yang lalu. Istri Roy pun sudah melahirkan dengan biaya ditanggung oleh Raffael. Begitupun dengan cek yang Raffael janjikan kepada Roy dan Joni sudah terpenuhi."Syukurlah hari ini sudah bisa pulang, Sayang," kata Revalina."Iya, Ma, Rara bosen makan bubur terus," tutur Xiera.Revalina tersenyum sambil menyelipkan rambut Xiera pada telinga. "Ya, di rumah juga sama. Jangan dulu makan yang aneh-aneh.""Iih, emangnya Rara sakit panas."Disaat mereka asyik mengobrol daun pintu terbuka. Mereka mengedarkan pandangan ke arah suara."Nenek ... Kakek!" seru Xiera ketika melihat siapa yang datang.Revalina beranjak menyambut kedatangan Cindy dan Carlos. "Mama sama Papa apa kabar?""Baik, Nak," jawab Carlos.Cindy tersenyum. "Baik, Sayang."
Dua mobil mewah milik Carlos dan Raffael memasuki gerbang kediaman Xie. Revalina mengajak Bella turun. Rasa kagum dan malu bercampur aduk dalam diri Bella dan Rudy. Bagaimana tidak? Bangunan di hadapan mereka lebih pantas disebut gedung semacam hotel mewah dibandingkan disebut rumah, pikirnya."Ayok, masuk, Nak, Pak," ajak Revalina.Bella dan Rudy membuka sandalnya."Tidak usah dilepas, pakai saja," kata Revalina. Namun, Bella dan Rudy tetap membukanya karena mereka merasa sendalnya kotor.Revalina mempersilakan duduk dan memanggil Jumi untuk menghidangkan minuman serta menyiapkan makan siang untuk menjamu Bella dan Rudy.Suara derap langkah kaki menuruni anak tangga mencuri perhatian Bella."Kak Bella!" seru Xiera mempercepat langkahnya."Jangan lari!" kata Bella seraya berdiri dan menghampiri Xiera.Keduanya berpelukan dan saling bertanya kabar."Gimana kabar kamu, Ra? Ap
Satu minggu telah berlalu.Revalina sudah mencabut tuntutan terhadap Anjani atas dasar kasihan dan masih dibawah umur. Anjani dikabarkan pindah sekolah karena malu atas perbuatannya. Namun, Anjani tetaplah Anjani, tidak ada kata maaf yang ke luar dari mulutnya kepada Revalina, Xiera maupun Bella. Gadis itu hilang bak ditelan bumi.Tepat hari itu pula Aldevaro akan berangkat ke Surabaya. Rupanya Casandra tidak main-main dengan ancamannya."Al, bangun. Mana kopermu? Ayok, Mommy bantu lipat bajumu," ucap Casandra sambil menggoyangkan tubuh Aldevaro."Hemmm ...." Aldevaro hanya bergumam."Ayok, bangun! Sore ini kamu harus berangkat!"Aldevaro membuka matanya perlahan. "Bisa nanti saja gak, Mom? Al gak enak badan.""Allaaahhh, alasan kamu saja!"Aldevaro bangun dan duduk bersandar. Ia meraih tangan Casandra dan menempelkan di keningnya."Ck! Hanya panas biasa. Ayok, bangun, ah! Jangan manja! Kamu
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald