Revalina menangis bahagia setelah mendapatkan kabar dari James. Wanita itu segera menghubungi suaminya. Selang tiga puluh menit, Raffael dan rombongan kembali ke tenda.
"Sayang, benarkah apa yang kau katakan?" tanya Raffael sumringah.
Revalina mengangguk antusias. "Iya, bener. James sekarang di rumah sakit."
Mata Aldevaro menangkap dua orang polisi menggiring seorang wanita. Dahinya mengernyit sambil bertanya, "Siapa yang dibawa polisi itu?"
Revalina mengikuti ke mana arah Aldevaro melihat. "Oh, itu wanita yang sudah mendorong Xiera ke sungai."
"Itu, Bella, kan?" tanya Aldevaro meyakinkan.
"Iya, kamu kenal?"
Degh!
Aldevaro tidak menjawab pertanyaan Revalina, ia hanya menatap Bella sampai hilang dari pandangan. Hatinya terus berkata jika Bella bukanlah orang yang mencelakai sang adik. Namun, apa boleh buat, dirinya tidak bisa membela karena tidak melihat kejadiannya.
"Kita ke rumah sakit sekarang!"
Sudah tiga hari Xiera dan Elbert dirawat. Luka mereka sudah mulai membaik, tetapi rasa trauma masih menghantui keduanya. Roy dan Joni sudah pulang sejak satu hari yang lalu. Istri Roy pun sudah melahirkan dengan biaya ditanggung oleh Raffael. Begitupun dengan cek yang Raffael janjikan kepada Roy dan Joni sudah terpenuhi."Syukurlah hari ini sudah bisa pulang, Sayang," kata Revalina."Iya, Ma, Rara bosen makan bubur terus," tutur Xiera.Revalina tersenyum sambil menyelipkan rambut Xiera pada telinga. "Ya, di rumah juga sama. Jangan dulu makan yang aneh-aneh.""Iih, emangnya Rara sakit panas."Disaat mereka asyik mengobrol daun pintu terbuka. Mereka mengedarkan pandangan ke arah suara."Nenek ... Kakek!" seru Xiera ketika melihat siapa yang datang.Revalina beranjak menyambut kedatangan Cindy dan Carlos. "Mama sama Papa apa kabar?""Baik, Nak," jawab Carlos.Cindy tersenyum. "Baik, Sayang."
Dua mobil mewah milik Carlos dan Raffael memasuki gerbang kediaman Xie. Revalina mengajak Bella turun. Rasa kagum dan malu bercampur aduk dalam diri Bella dan Rudy. Bagaimana tidak? Bangunan di hadapan mereka lebih pantas disebut gedung semacam hotel mewah dibandingkan disebut rumah, pikirnya."Ayok, masuk, Nak, Pak," ajak Revalina.Bella dan Rudy membuka sandalnya."Tidak usah dilepas, pakai saja," kata Revalina. Namun, Bella dan Rudy tetap membukanya karena mereka merasa sendalnya kotor.Revalina mempersilakan duduk dan memanggil Jumi untuk menghidangkan minuman serta menyiapkan makan siang untuk menjamu Bella dan Rudy.Suara derap langkah kaki menuruni anak tangga mencuri perhatian Bella."Kak Bella!" seru Xiera mempercepat langkahnya."Jangan lari!" kata Bella seraya berdiri dan menghampiri Xiera.Keduanya berpelukan dan saling bertanya kabar."Gimana kabar kamu, Ra? Ap
Satu minggu telah berlalu.Revalina sudah mencabut tuntutan terhadap Anjani atas dasar kasihan dan masih dibawah umur. Anjani dikabarkan pindah sekolah karena malu atas perbuatannya. Namun, Anjani tetaplah Anjani, tidak ada kata maaf yang ke luar dari mulutnya kepada Revalina, Xiera maupun Bella. Gadis itu hilang bak ditelan bumi.Tepat hari itu pula Aldevaro akan berangkat ke Surabaya. Rupanya Casandra tidak main-main dengan ancamannya."Al, bangun. Mana kopermu? Ayok, Mommy bantu lipat bajumu," ucap Casandra sambil menggoyangkan tubuh Aldevaro."Hemmm ...." Aldevaro hanya bergumam."Ayok, bangun! Sore ini kamu harus berangkat!"Aldevaro membuka matanya perlahan. "Bisa nanti saja gak, Mom? Al gak enak badan.""Allaaahhh, alasan kamu saja!"Aldevaro bangun dan duduk bersandar. Ia meraih tangan Casandra dan menempelkan di keningnya."Ck! Hanya panas biasa. Ayok, bangun, ah! Jangan manja! Kamu
Malam menjelang. Langit bertaburan bintang dan rembulan memancarkan cahayanya membuat kagum siapapun yang memandang. Revalina tengah duduk di balkon. Matanya menatap langit, tetapi dengan tatapan kosong."Sayang, kau di sini rupanya," ucap Raffael sambil memeluk Revalina dari belakang.Wanita itu tidak menjawab. Hanya isakan tangis yang jelas terdengar oleh Raffael.Raffael memutar tubuh sang istri agar menghadapnya. "Sayang, kenapa menangis?"Bukannya menjawab, Revalina memeluk erat Raffael. Tangisnya pecah. Raffael membalas pelukan sang istri dan mengusap punggung Revalina lembut.Revalina sudah merasa tenang. Ia melerai pelukan dan berkata, "Dari kecil Aldevaro aku urus. Jika ia sakit, maka aku merawatnya. Tak sampai hati aku menyuruhnya beranjak dari kasur. Tapi ... apa yang sudah Casandra lakukan sungguh membuatku sakit hati.""Coba hubungi Al, dari tadi aku hubungi ponselnya mati. Atau kau hubungi Alex," sambung
Revalina meminta kepada Raffael agar segera menyelesaikan pekerjaannya karena ia ingin menemui Cecilia di rumah Cindy. Jelas, Revalina menemui mereka di rumah orang tuanya, karena sebelum Rian menikah, Carlos dan Cindy sudah mengangkat Rian sebagai putra mereka dan meminta kepada Claudia agar Rian memegang kendali di perusahaan Carlos. Restoran dan lainnya yang ada di Amerika, sudah Edward percayakan kepada adik dan sepupunya."Iya, Sayang, sabarlah. Sebentar lagi, kok," ucap Raffael santai."Kau ini rindu kepada Cecilia atau Rian?" lanjutnya dengan mata menyipit menatap Revalina.Revalina tersenyum jahat. "Tentu saja sama Kakakku yang tampannya, uuuuhhh ... aku sungguh terpesona."Raffael mendengkus kesal mendengar pengakuan istrinya. Revalina tahu jika suaminya cemburu. Ia terkekeh-kekeh kemudian duduk di pangkuan Raffael dengan tangan ia kalungkan pada tengkuk sang suami serta dada yang ia busungkan. Dua gunung kembar nan besar
Di Surabaya, rupanya Aldevaro belum masuk sekolah. Pemuda tampan itu masih sakit. Sambil bersandar pada ranjang, ia membaca buku mengenai bisnis yang Casandra beri sewaktu di Jakarta. Sudah tiga buku yang selesai ia baca. Aldevaro mengembuskan napas kasar sambil menyimpan buku di atas nakas. Seketika ia terdiam mengingat ketika ia sakit dahulu. Teringat olehnya bagaimana Revalina memperlakukannya. Mama tirinya itu dengan sabar mengurus bahkan tak jarang menemaninya tidur. Aldevaro tersenyum mengingat itu semua.Krruuukk!Perut Aldevaro berbunyi pertanda perut harus mendapatkan isi.Sesungguhnya Aldevaro merasa malas untuk turun dari ranjang. Badannya masih terasa lemas. Perlahan, tubuh jangkung itu menapaki anak tangga. Namun, langkahnya terhenti tatkala mendengar Casandra tengah mengobrol dengan Antonio. Aldevaro bergegas berdiri di balik tembok untuk menguping."Haaaah! Apa aku salah menilai Mama Revalina?" gumamnya, kemudian kembali k
Malam tiba.Mata indah milik Cecilia akhirnya terbuka, tepat pada pukul dua dini hari. Ia melihat ke samping kanan, rupanya Rian tengah tertidur pulas. Cecilia tersenyum karena bangun tepat waktu. Perlahan wanita itu turun dari ranjang, kemudian meraih ponselnya di dalam tas. Ia mengirim pesan kepada seseorang."Sekarang!" Isi pesannya.Cecilia mengambil pakaiannya yang masih ia simpan di dalam koper. Perlahan ia membuka koper itu dan mengambil amplop berwarna coklat, kemudian ia simpan di atas nakas. Gegas Cecilia menutup koper kembali dan meninggalkan kamar. Kaki jenjangnya dengan hati-hati menuruni anak tangga.Sampai di gerbang, tentu saja pengawal Carlos bertanya ke mana hendak tamu tuannya itu akan pergi. Cecilia pun menjawab, "Saya mau pergi, Pak. Tolong buka, kan, gerbangnya.""Tapi, Non ...""Tidak apa, Pak. Ini masalah pribadi saya dan suami. Tidak ada hubungannya dengan Nyonya atau Tuan Carlos."Peng
Satu bulan sudah berlalu.Revalina mendapatkan kabar melalui sambungan telepon dari Carlos jika kondisi Rian mengkhawatirkan. Bukan karena sakit, tetapi kondisi badannya yang kurus tak terurus. Kinerjanya pun menurun. Semua itu karena Rian memikirkan keberadaan Cecilia. Carlos mengatakan jika Rian sudah mencari ke segala tempat bahkan hampir ke seluruh penjuru Jakarta. Istrinya bagai ditelan bumi. Pun ia meminta anak buahnya di Amerika untuk mencari keberadaannya di sana. Nihil, Cecilia tidak ditemukan."Beritahu saja di mana istrinya, Nak," kata Carlos."Pa, Rere udah janji sama Cecil kalo Rere tidak akan memberitahu Kak Rian."Terdengar oleh Revalina jika Carlos mengembuskan napas kasar. "Re, Papa mohon, beritahu saja kita jangan ikut campur urusan orang. Dan kamu tau? Kemarin Rian hampir saja terlibat kecelakaan. Dalam apa pun dia tidak fokus, Nak.""Baiklah, Rere akan beritahu Kak Rian, Pa. Kalo gitu Rere tutup dulu, ya. Bye, Papa."