Revalina meminta kepada Raffael agar segera menyelesaikan pekerjaannya karena ia ingin menemui Cecilia di rumah Cindy. Jelas, Revalina menemui mereka di rumah orang tuanya, karena sebelum Rian menikah, Carlos dan Cindy sudah mengangkat Rian sebagai putra mereka dan meminta kepada Claudia agar Rian memegang kendali di perusahaan Carlos. Restoran dan lainnya yang ada di Amerika, sudah Edward percayakan kepada adik dan sepupunya.
"Iya, Sayang, sabarlah. Sebentar lagi, kok," ucap Raffael santai.
"Kau ini rindu kepada Cecilia atau Rian?" lanjutnya dengan mata menyipit menatap Revalina.
Revalina tersenyum jahat. "Tentu saja sama Kakakku yang tampannya, uuuuhhh ... aku sungguh terpesona."
Raffael mendengkus kesal mendengar pengakuan istrinya. Revalina tahu jika suaminya cemburu. Ia terkekeh-kekeh kemudian duduk di pangkuan Raffael dengan tangan ia kalungkan pada tengkuk sang suami serta dada yang ia busungkan. Dua gunung kembar nan besar
Di Surabaya, rupanya Aldevaro belum masuk sekolah. Pemuda tampan itu masih sakit. Sambil bersandar pada ranjang, ia membaca buku mengenai bisnis yang Casandra beri sewaktu di Jakarta. Sudah tiga buku yang selesai ia baca. Aldevaro mengembuskan napas kasar sambil menyimpan buku di atas nakas. Seketika ia terdiam mengingat ketika ia sakit dahulu. Teringat olehnya bagaimana Revalina memperlakukannya. Mama tirinya itu dengan sabar mengurus bahkan tak jarang menemaninya tidur. Aldevaro tersenyum mengingat itu semua.Krruuukk!Perut Aldevaro berbunyi pertanda perut harus mendapatkan isi.Sesungguhnya Aldevaro merasa malas untuk turun dari ranjang. Badannya masih terasa lemas. Perlahan, tubuh jangkung itu menapaki anak tangga. Namun, langkahnya terhenti tatkala mendengar Casandra tengah mengobrol dengan Antonio. Aldevaro bergegas berdiri di balik tembok untuk menguping."Haaaah! Apa aku salah menilai Mama Revalina?" gumamnya, kemudian kembali k
Malam tiba.Mata indah milik Cecilia akhirnya terbuka, tepat pada pukul dua dini hari. Ia melihat ke samping kanan, rupanya Rian tengah tertidur pulas. Cecilia tersenyum karena bangun tepat waktu. Perlahan wanita itu turun dari ranjang, kemudian meraih ponselnya di dalam tas. Ia mengirim pesan kepada seseorang."Sekarang!" Isi pesannya.Cecilia mengambil pakaiannya yang masih ia simpan di dalam koper. Perlahan ia membuka koper itu dan mengambil amplop berwarna coklat, kemudian ia simpan di atas nakas. Gegas Cecilia menutup koper kembali dan meninggalkan kamar. Kaki jenjangnya dengan hati-hati menuruni anak tangga.Sampai di gerbang, tentu saja pengawal Carlos bertanya ke mana hendak tamu tuannya itu akan pergi. Cecilia pun menjawab, "Saya mau pergi, Pak. Tolong buka, kan, gerbangnya.""Tapi, Non ...""Tidak apa, Pak. Ini masalah pribadi saya dan suami. Tidak ada hubungannya dengan Nyonya atau Tuan Carlos."Peng
Satu bulan sudah berlalu.Revalina mendapatkan kabar melalui sambungan telepon dari Carlos jika kondisi Rian mengkhawatirkan. Bukan karena sakit, tetapi kondisi badannya yang kurus tak terurus. Kinerjanya pun menurun. Semua itu karena Rian memikirkan keberadaan Cecilia. Carlos mengatakan jika Rian sudah mencari ke segala tempat bahkan hampir ke seluruh penjuru Jakarta. Istrinya bagai ditelan bumi. Pun ia meminta anak buahnya di Amerika untuk mencari keberadaannya di sana. Nihil, Cecilia tidak ditemukan."Beritahu saja di mana istrinya, Nak," kata Carlos."Pa, Rere udah janji sama Cecil kalo Rere tidak akan memberitahu Kak Rian."Terdengar oleh Revalina jika Carlos mengembuskan napas kasar. "Re, Papa mohon, beritahu saja kita jangan ikut campur urusan orang. Dan kamu tau? Kemarin Rian hampir saja terlibat kecelakaan. Dalam apa pun dia tidak fokus, Nak.""Baiklah, Rere akan beritahu Kak Rian, Pa. Kalo gitu Rere tutup dulu, ya. Bye, Papa."
Di kediaman Xie, putri kesayangan Revalina sudah berangkat sekolah diantar sopir. Namun, Revalina tampak gelisah."Sayang, ada apa?" tanya Raffael. "Kok, dari tadi aku perhatikan sepertinya lagi mikirin sesuatu."Revalina yang tengah duduk di tepi ranjang pun menghampiri suaminya yang sedang mengenakan kemeja kerjanya.Revalina meraih dasi."Aku kepikiran Xiera juga Cecilia."Raffael memandang lekat wajah sang istri. "Putri kita kenapa?"Revalina menjawab, bahwa dirinya mendengar sang putri memanggil seseorang dengan sebutan sayang di sambungan telepon. Xiera selalu tersenyum bahagia ketika mendapatkan pesan singkat."Apa Xiera punya pacar?"Raffael tersenyum. "Ya ... paling juga cinta monyet.""Tidak! Jangan sampai itu terjadi!" tegas Revalina.Raffael membingkai wajah Revalina. "Aku juga tidak mau itu terjadi. Tapi, zaman sekarang itu sangat berbeda dengan zaman kita dulu. Dul
Raffael dan Revalina baru saja tiba di Xie Company. Keduanya sudah memasuki ruangan. Raffael yang duduk di kursi kebesarannya, sedangkan Revalina menyiapkan teh hangat untuk suaminya.Revalina jadi bingung sendiri, apa yang harus ia lakukan di kantor. "Aku ngapain, dong, di sini?" tanya Revalina saat menyajikan secangkir teh.Raffael tersenyum. "Bawa kursi, dan duduklah di dekatku, Sayang. Pokoknya terserah mau ngapain."Revalina mengangguk dan mengikuti saran suaminya."Sayang, apa aku kerja aja, ya? Di sini atau di kantor papa, gitu.""No! Kau cukup di rumah saja. Pekerjaanmu cukup melayaniku dan mengurus anak saja.""Tapi, aku bosan. Xiera sudah besar dan kau setiap hari ke kantor. Apa aku buka butik saja atau salon? Kau, sih! Coba dulu aku punya anak banyak, di rumah pasti rame."Sejenak Raffael terdiam. Ya, memang dahulu Raffael yang mengatakan cukup satu anak saja. Ia tidak tega melihat Revalina kesakitan saat melahirkan.
Jam weker melolong tepat pukul empat pagi. Revalina yang merasa lelah tidak terusik sama sekali. Berbeda dengan Raffael yang tiada merasa lelah, malah badannya terasa bugar. Ia terbangun dan meraih jam weker lantas mematikannya.Raffael tersenyum melihat sang istri. Tangannya mengusap lembut pipi Revalina, kemudian mengecupnya. Wajah lelah Revalina sangat jelas terlihat. Kata maaf terucap dari mulut Raffael dengan pelan.Pria itu beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tiga puluh menit sudah ritual mandi Raffael lakukan. Berbelit handuk putih di pinggang berikut handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut, pria itu ke luar dari kamar mandi.Langit masih gelap. Sisa-sisa air hujan masih terlihat jelas di halaman rumah tatkala Raffael menyibak gorden. Embusan angin masih terasa dingin seakan-akan ia membawa bulir-bulir air. Raffael bergegas berpakaian. Cukup pakaian rumahan dulu saja. Ia berniat akan memasak masakan
Mendengar keributan, Xiera yang hendak pergi ke dapur memutar langkahnya mencari sumber suara. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum saat ia melihat Aldevaro. Xiera yang memang tidak tahu dengan apa yang terjadi berlari kecil menghampiri sambil berkata, "Abang! Rara kangen!"Aldevaro yang menyadari kedatangan sang adik pun berdiri dan dengan sigap menerima pelukan Xiera."Cih! Dasar anak tidak sopan!" ketus Casandra.Xiera melerai pelukan. Ia baru menyadari jika perbuatannya salah. "Ma-maaf semua, a-aku terlalu senang melihat Bang Al," sesal Xiera sambil membungkukkan badan."Haalaaahhh, ibumu tidak mengajarimu sopan santun!" seru Casandra."Cukup! Jaga bicaramu!" tegas Alex.Casandra yang menerima bentakan dari suaminya pun terdiam, sedangkan Revalina menatap tajam ke arah Casandra. Ia mencoba menahan emosinya."Sayang, kembalilah ke kamar. Kami sedang ada tamu," titah Hanna."Iya, Nek.
Tiba di kelas, Xiera hanya diam. Sapaan dari Dinda seolah-olah ia tak dengar. Tatapannya kosong.Puk!Dinda mendaratkan sebuah buku tepat di pundak Xiera. Sang pemilik pundak tentu saja terperanjat."Aaww!" rintih Xiera. "Gak da kerjaan banget ih!" lanjutnya dengan sungut berapi.Dinda menghela napas. "Yang ada juga gue yang nanya sama elu. Elu itu kenapa? Gue tanya, diem aja, lu."Xiera memasang wajah sedih, kemudian menatap Dinda sangat dalam."Ih ... napa pula liatin gue gitu amat, sih?" Dinda merasa tidak nyaman.Xiera mengatakan jika dirinya akan menceritakan apa yang ia rasakan nanti di kantin. Dinda hanya mengacungkan jempolnya pertanda setuju.Bel pertanda masuk sudah diperdengarkan.Xiera mengusap wajahnya kasar. Ia mencoba untuk fokus dalam belajar. Satu jam, dua jam, gadis itu bisa konsentrasi dengan apa yang gurunya terangkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bergantinya mata