Malam tiba.
Mata indah milik Cecilia akhirnya terbuka, tepat pada pukul dua dini hari. Ia melihat ke samping kanan, rupanya Rian tengah tertidur pulas. Cecilia tersenyum karena bangun tepat waktu. Perlahan wanita itu turun dari ranjang, kemudian meraih ponselnya di dalam tas. Ia mengirim pesan kepada seseorang.
"Sekarang!" Isi pesannya.
Cecilia mengambil pakaiannya yang masih ia simpan di dalam koper. Perlahan ia membuka koper itu dan mengambil amplop berwarna coklat, kemudian ia simpan di atas nakas. Gegas Cecilia menutup koper kembali dan meninggalkan kamar. Kaki jenjangnya dengan hati-hati menuruni anak tangga.
Sampai di gerbang, tentu saja pengawal Carlos bertanya ke mana hendak tamu tuannya itu akan pergi. Cecilia pun menjawab, "Saya mau pergi, Pak. Tolong buka, kan, gerbangnya."
"Tapi, Non ..."
"Tidak apa, Pak. Ini masalah pribadi saya dan suami. Tidak ada hubungannya dengan Nyonya atau Tuan Carlos."
Peng
Satu bulan sudah berlalu.Revalina mendapatkan kabar melalui sambungan telepon dari Carlos jika kondisi Rian mengkhawatirkan. Bukan karena sakit, tetapi kondisi badannya yang kurus tak terurus. Kinerjanya pun menurun. Semua itu karena Rian memikirkan keberadaan Cecilia. Carlos mengatakan jika Rian sudah mencari ke segala tempat bahkan hampir ke seluruh penjuru Jakarta. Istrinya bagai ditelan bumi. Pun ia meminta anak buahnya di Amerika untuk mencari keberadaannya di sana. Nihil, Cecilia tidak ditemukan."Beritahu saja di mana istrinya, Nak," kata Carlos."Pa, Rere udah janji sama Cecil kalo Rere tidak akan memberitahu Kak Rian."Terdengar oleh Revalina jika Carlos mengembuskan napas kasar. "Re, Papa mohon, beritahu saja kita jangan ikut campur urusan orang. Dan kamu tau? Kemarin Rian hampir saja terlibat kecelakaan. Dalam apa pun dia tidak fokus, Nak.""Baiklah, Rere akan beritahu Kak Rian, Pa. Kalo gitu Rere tutup dulu, ya. Bye, Papa."
Di kediaman Xie, putri kesayangan Revalina sudah berangkat sekolah diantar sopir. Namun, Revalina tampak gelisah."Sayang, ada apa?" tanya Raffael. "Kok, dari tadi aku perhatikan sepertinya lagi mikirin sesuatu."Revalina yang tengah duduk di tepi ranjang pun menghampiri suaminya yang sedang mengenakan kemeja kerjanya.Revalina meraih dasi."Aku kepikiran Xiera juga Cecilia."Raffael memandang lekat wajah sang istri. "Putri kita kenapa?"Revalina menjawab, bahwa dirinya mendengar sang putri memanggil seseorang dengan sebutan sayang di sambungan telepon. Xiera selalu tersenyum bahagia ketika mendapatkan pesan singkat."Apa Xiera punya pacar?"Raffael tersenyum. "Ya ... paling juga cinta monyet.""Tidak! Jangan sampai itu terjadi!" tegas Revalina.Raffael membingkai wajah Revalina. "Aku juga tidak mau itu terjadi. Tapi, zaman sekarang itu sangat berbeda dengan zaman kita dulu. Dul
Raffael dan Revalina baru saja tiba di Xie Company. Keduanya sudah memasuki ruangan. Raffael yang duduk di kursi kebesarannya, sedangkan Revalina menyiapkan teh hangat untuk suaminya.Revalina jadi bingung sendiri, apa yang harus ia lakukan di kantor. "Aku ngapain, dong, di sini?" tanya Revalina saat menyajikan secangkir teh.Raffael tersenyum. "Bawa kursi, dan duduklah di dekatku, Sayang. Pokoknya terserah mau ngapain."Revalina mengangguk dan mengikuti saran suaminya."Sayang, apa aku kerja aja, ya? Di sini atau di kantor papa, gitu.""No! Kau cukup di rumah saja. Pekerjaanmu cukup melayaniku dan mengurus anak saja.""Tapi, aku bosan. Xiera sudah besar dan kau setiap hari ke kantor. Apa aku buka butik saja atau salon? Kau, sih! Coba dulu aku punya anak banyak, di rumah pasti rame."Sejenak Raffael terdiam. Ya, memang dahulu Raffael yang mengatakan cukup satu anak saja. Ia tidak tega melihat Revalina kesakitan saat melahirkan.
Jam weker melolong tepat pukul empat pagi. Revalina yang merasa lelah tidak terusik sama sekali. Berbeda dengan Raffael yang tiada merasa lelah, malah badannya terasa bugar. Ia terbangun dan meraih jam weker lantas mematikannya.Raffael tersenyum melihat sang istri. Tangannya mengusap lembut pipi Revalina, kemudian mengecupnya. Wajah lelah Revalina sangat jelas terlihat. Kata maaf terucap dari mulut Raffael dengan pelan.Pria itu beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tiga puluh menit sudah ritual mandi Raffael lakukan. Berbelit handuk putih di pinggang berikut handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut, pria itu ke luar dari kamar mandi.Langit masih gelap. Sisa-sisa air hujan masih terlihat jelas di halaman rumah tatkala Raffael menyibak gorden. Embusan angin masih terasa dingin seakan-akan ia membawa bulir-bulir air. Raffael bergegas berpakaian. Cukup pakaian rumahan dulu saja. Ia berniat akan memasak masakan
Mendengar keributan, Xiera yang hendak pergi ke dapur memutar langkahnya mencari sumber suara. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum saat ia melihat Aldevaro. Xiera yang memang tidak tahu dengan apa yang terjadi berlari kecil menghampiri sambil berkata, "Abang! Rara kangen!"Aldevaro yang menyadari kedatangan sang adik pun berdiri dan dengan sigap menerima pelukan Xiera."Cih! Dasar anak tidak sopan!" ketus Casandra.Xiera melerai pelukan. Ia baru menyadari jika perbuatannya salah. "Ma-maaf semua, a-aku terlalu senang melihat Bang Al," sesal Xiera sambil membungkukkan badan."Haalaaahhh, ibumu tidak mengajarimu sopan santun!" seru Casandra."Cukup! Jaga bicaramu!" tegas Alex.Casandra yang menerima bentakan dari suaminya pun terdiam, sedangkan Revalina menatap tajam ke arah Casandra. Ia mencoba menahan emosinya."Sayang, kembalilah ke kamar. Kami sedang ada tamu," titah Hanna."Iya, Nek.
Tiba di kelas, Xiera hanya diam. Sapaan dari Dinda seolah-olah ia tak dengar. Tatapannya kosong.Puk!Dinda mendaratkan sebuah buku tepat di pundak Xiera. Sang pemilik pundak tentu saja terperanjat."Aaww!" rintih Xiera. "Gak da kerjaan banget ih!" lanjutnya dengan sungut berapi.Dinda menghela napas. "Yang ada juga gue yang nanya sama elu. Elu itu kenapa? Gue tanya, diem aja, lu."Xiera memasang wajah sedih, kemudian menatap Dinda sangat dalam."Ih ... napa pula liatin gue gitu amat, sih?" Dinda merasa tidak nyaman.Xiera mengatakan jika dirinya akan menceritakan apa yang ia rasakan nanti di kantin. Dinda hanya mengacungkan jempolnya pertanda setuju.Bel pertanda masuk sudah diperdengarkan.Xiera mengusap wajahnya kasar. Ia mencoba untuk fokus dalam belajar. Satu jam, dua jam, gadis itu bisa konsentrasi dengan apa yang gurunya terangkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bergantinya mata
Xiera dan Elbert memutuskan jika mereka tetap menjalin hubungan. Apa pun itu rintangannya mereka akan hadapi bersama dan yang paling penting fokus utama mereka adalah belajar.Di kantin, Bella --gadis si rambut panjang tengah duduk termangu. Sapu dan kain pel teronggok tepat di sampingnya. Rasa rindu kepada Aldevaro tidak dapat ia bendung lagi. Layar ponsel yang menampilkan foto sang kekasih pun ia usap seolah-olah membelai pipi. Bagaimana tidak rindu? Sudah satu bulan Aldevaro tidak bisa dihubungi. Pun tidak ada kabar dari pria tampannya itu."Untuk apa kamu bilang kalau aku harus menunggu? Menunggu ketidakpastian darimu? Haruskah aku terus berharap? Haaah! Bangun, Bella, bangun! Benar kata ayah, kamu dan aku itu bagai langit dan bumi. Dari sekarang saja, kamu sangat sulit aku raih. Si miskin dan si kaya yang tidak mungkin bersatu," ucap Bella pelan.Bella mematikan ponselnya, kemudian menarik napasnya dalam."Udah mandangin fotonya?"
Motor kesayangan Aldevaro sudah terparkir di halaman kediaman Xie. Abang dan adek itu bergegas turun dengan senyum yang tersungging dari keduanya."Idiih, senyum-senyum. Kenapa?" tanya Aldevaro."Yee ... Abang sendiri kenapa?""Keppoo!" sahut Aldevaro sambil mengacak rambut sang adik, kemudian berlari karena tahu Xiera pasti akan marah."Abaaaang! Rambut Adek jadi berantakan!" Xiera mengejar Aldevaro.Revalina tersenyum sambil menggeleng melihat tingkah kedua anak kesayangannya. "Eh, eh, kalian ini udah kaya Tom and Jerry aja.""Abang, tuh, Ma," rengek Xiera.Sang pelaku menjulurkan lidah kepada Xiera sambil menaiki anak tangga. "Kejar kalo bisa!"Xiera menghentakkan kaki. "Iiih, nyebelin!""Sudah, sudah, ah. Abang gak ada aja, kamu sedih. Sekalinya ada, berantem terus," ucap Revalina sambil menepuk kening."Hehehe ... ya, udah, Rara ke kamar dulu, ya, Ma." Xiera bergegas menapa
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald