Di kediaman Xie, putri kesayangan Revalina sudah berangkat sekolah diantar sopir. Namun, Revalina tampak gelisah.
"Sayang, ada apa?" tanya Raffael. "Kok, dari tadi aku perhatikan sepertinya lagi mikirin sesuatu."
Revalina yang tengah duduk di tepi ranjang pun menghampiri suaminya yang sedang mengenakan kemeja kerjanya.
Revalina meraih dasi.
"Aku kepikiran Xiera juga Cecilia."
Raffael memandang lekat wajah sang istri. "Putri kita kenapa?"
Revalina menjawab, bahwa dirinya mendengar sang putri memanggil seseorang dengan sebutan sayang di sambungan telepon. Xiera selalu tersenyum bahagia ketika mendapatkan pesan singkat.
"Apa Xiera punya pacar?"
Raffael tersenyum. "Ya ... paling juga cinta monyet."
"Tidak! Jangan sampai itu terjadi!" tegas Revalina.
Raffael membingkai wajah Revalina. "Aku juga tidak mau itu terjadi. Tapi, zaman sekarang itu sangat berbeda dengan zaman kita dulu. Dul
Raffael dan Revalina baru saja tiba di Xie Company. Keduanya sudah memasuki ruangan. Raffael yang duduk di kursi kebesarannya, sedangkan Revalina menyiapkan teh hangat untuk suaminya.Revalina jadi bingung sendiri, apa yang harus ia lakukan di kantor. "Aku ngapain, dong, di sini?" tanya Revalina saat menyajikan secangkir teh.Raffael tersenyum. "Bawa kursi, dan duduklah di dekatku, Sayang. Pokoknya terserah mau ngapain."Revalina mengangguk dan mengikuti saran suaminya."Sayang, apa aku kerja aja, ya? Di sini atau di kantor papa, gitu.""No! Kau cukup di rumah saja. Pekerjaanmu cukup melayaniku dan mengurus anak saja.""Tapi, aku bosan. Xiera sudah besar dan kau setiap hari ke kantor. Apa aku buka butik saja atau salon? Kau, sih! Coba dulu aku punya anak banyak, di rumah pasti rame."Sejenak Raffael terdiam. Ya, memang dahulu Raffael yang mengatakan cukup satu anak saja. Ia tidak tega melihat Revalina kesakitan saat melahirkan.
Jam weker melolong tepat pukul empat pagi. Revalina yang merasa lelah tidak terusik sama sekali. Berbeda dengan Raffael yang tiada merasa lelah, malah badannya terasa bugar. Ia terbangun dan meraih jam weker lantas mematikannya.Raffael tersenyum melihat sang istri. Tangannya mengusap lembut pipi Revalina, kemudian mengecupnya. Wajah lelah Revalina sangat jelas terlihat. Kata maaf terucap dari mulut Raffael dengan pelan.Pria itu beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tiga puluh menit sudah ritual mandi Raffael lakukan. Berbelit handuk putih di pinggang berikut handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut, pria itu ke luar dari kamar mandi.Langit masih gelap. Sisa-sisa air hujan masih terlihat jelas di halaman rumah tatkala Raffael menyibak gorden. Embusan angin masih terasa dingin seakan-akan ia membawa bulir-bulir air. Raffael bergegas berpakaian. Cukup pakaian rumahan dulu saja. Ia berniat akan memasak masakan
Mendengar keributan, Xiera yang hendak pergi ke dapur memutar langkahnya mencari sumber suara. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum saat ia melihat Aldevaro. Xiera yang memang tidak tahu dengan apa yang terjadi berlari kecil menghampiri sambil berkata, "Abang! Rara kangen!"Aldevaro yang menyadari kedatangan sang adik pun berdiri dan dengan sigap menerima pelukan Xiera."Cih! Dasar anak tidak sopan!" ketus Casandra.Xiera melerai pelukan. Ia baru menyadari jika perbuatannya salah. "Ma-maaf semua, a-aku terlalu senang melihat Bang Al," sesal Xiera sambil membungkukkan badan."Haalaaahhh, ibumu tidak mengajarimu sopan santun!" seru Casandra."Cukup! Jaga bicaramu!" tegas Alex.Casandra yang menerima bentakan dari suaminya pun terdiam, sedangkan Revalina menatap tajam ke arah Casandra. Ia mencoba menahan emosinya."Sayang, kembalilah ke kamar. Kami sedang ada tamu," titah Hanna."Iya, Nek.
Tiba di kelas, Xiera hanya diam. Sapaan dari Dinda seolah-olah ia tak dengar. Tatapannya kosong.Puk!Dinda mendaratkan sebuah buku tepat di pundak Xiera. Sang pemilik pundak tentu saja terperanjat."Aaww!" rintih Xiera. "Gak da kerjaan banget ih!" lanjutnya dengan sungut berapi.Dinda menghela napas. "Yang ada juga gue yang nanya sama elu. Elu itu kenapa? Gue tanya, diem aja, lu."Xiera memasang wajah sedih, kemudian menatap Dinda sangat dalam."Ih ... napa pula liatin gue gitu amat, sih?" Dinda merasa tidak nyaman.Xiera mengatakan jika dirinya akan menceritakan apa yang ia rasakan nanti di kantin. Dinda hanya mengacungkan jempolnya pertanda setuju.Bel pertanda masuk sudah diperdengarkan.Xiera mengusap wajahnya kasar. Ia mencoba untuk fokus dalam belajar. Satu jam, dua jam, gadis itu bisa konsentrasi dengan apa yang gurunya terangkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bergantinya mata
Xiera dan Elbert memutuskan jika mereka tetap menjalin hubungan. Apa pun itu rintangannya mereka akan hadapi bersama dan yang paling penting fokus utama mereka adalah belajar.Di kantin, Bella --gadis si rambut panjang tengah duduk termangu. Sapu dan kain pel teronggok tepat di sampingnya. Rasa rindu kepada Aldevaro tidak dapat ia bendung lagi. Layar ponsel yang menampilkan foto sang kekasih pun ia usap seolah-olah membelai pipi. Bagaimana tidak rindu? Sudah satu bulan Aldevaro tidak bisa dihubungi. Pun tidak ada kabar dari pria tampannya itu."Untuk apa kamu bilang kalau aku harus menunggu? Menunggu ketidakpastian darimu? Haruskah aku terus berharap? Haaah! Bangun, Bella, bangun! Benar kata ayah, kamu dan aku itu bagai langit dan bumi. Dari sekarang saja, kamu sangat sulit aku raih. Si miskin dan si kaya yang tidak mungkin bersatu," ucap Bella pelan.Bella mematikan ponselnya, kemudian menarik napasnya dalam."Udah mandangin fotonya?"
Motor kesayangan Aldevaro sudah terparkir di halaman kediaman Xie. Abang dan adek itu bergegas turun dengan senyum yang tersungging dari keduanya."Idiih, senyum-senyum. Kenapa?" tanya Aldevaro."Yee ... Abang sendiri kenapa?""Keppoo!" sahut Aldevaro sambil mengacak rambut sang adik, kemudian berlari karena tahu Xiera pasti akan marah."Abaaaang! Rambut Adek jadi berantakan!" Xiera mengejar Aldevaro.Revalina tersenyum sambil menggeleng melihat tingkah kedua anak kesayangannya. "Eh, eh, kalian ini udah kaya Tom and Jerry aja.""Abang, tuh, Ma," rengek Xiera.Sang pelaku menjulurkan lidah kepada Xiera sambil menaiki anak tangga. "Kejar kalo bisa!"Xiera menghentakkan kaki. "Iiih, nyebelin!""Sudah, sudah, ah. Abang gak ada aja, kamu sedih. Sekalinya ada, berantem terus," ucap Revalina sambil menepuk kening."Hehehe ... ya, udah, Rara ke kamar dulu, ya, Ma." Xiera bergegas menapa
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.