Dengan santai, Pandu menghempaskan tubuh tinggi besarnya ke atas ranjang, memeluk guling sesuka hati padahal Zita baru saja merapikannya. Pelototan mata istrinya tak membuat Pandu takut, ia justru tersenyum menatap istrinya yang berkacak pinggang dengan memegang sapu lidi di tangan kanannya.
"Jalan yuk, muter-muter kota," ajak Pandu.
"Mau ke mana? Belanja bulanan kan udah lengkap," dengan kesal Zita menjawab ajakan Pandu.
"Cari bakso ikan, katanya ada yang enak, aku belum pernah cobain. Kamu juga, kan?"
Benar juga. Zita yang notabennya tinggalndi Yogyakarta, tak tau bakso ikan, sekarang ia di daerah orang, di Dumai, Riau, yang katanya, makan laut terhampar banyakkk dan enak-enak, salah satunya bakso ikan itu.
"Bentar, aku ganti baju." Akhirnya wanita itu menyetujui ajakan Pandu.
"Mas."
"Ya."
"Gimana pemakaman mantan suami Mbak Nadin? Tadi pagi kan?" tanya Zita sembari mengambil kaos dan celana kulot panjang dari dalam lemari yang jadi satu dengan lemari suaminya.
"Iya, udah. Kasian juga kalau meninggalnya karena sakit di kelaminnya. Beruntung Nadin buru-buru periksa kesehatannya."
"Emang, beneran karena suka... mmm, apa itu, Mas, yang kamu cerita?" Zita lupa. Maklum, kadang kapasitas otaknya terbatas, lebih banyak tempat kosong tapi malas ia isi.
"Sifilis, karena suka main cewek. Suka berzina," jawab pandu sembari menatap istrinya yang urung ganti baju. "Buruan ganti baju," perintah Pandu.
"Hih... amit-amit, serem juga ya. Ck, Mas Pandu keluar kamar, aku nggak mau telanjang depan kamu!" Pelotot Zita.
"Aku tutup muka." Pandu segera menutup wajahnya.
"Nggak. Mas keluar."
"Tutup pake guling." Usaha lagi kan, si Pandu.
"Nggak. Pokoknya sebelum buku nikah ada, aku nggak akan bugil depan kamu!" tolak Zita sembari membuka laci lemari pakaian untuk mengambil jam tangan. Namun matanya menangkap lembaran amplop dengan logo perusahaan.
"Udah belum? Aku masih tutupan guling, Zita." Suara Pandung terpendam guling yang menutup wajah dan mulutnya. Tak ada suara dari Zita, seperti mendapat kesempatan, Pandu melempar guling ke samping dan... bengong melihat Zita sedang membuka isi amplop dan membuka kertas-kertas warna putih itu.
"Gaji kamu bukan, sepuluh juta perbulan?" Toleh Zita lagi. Pandu cengar cengir.
"Emang di situ tulisannya apaan?" tunjuk Pandu dengan jemarinya ke atas kertas.
"Dua puluh dollar perjam, masa kerja emlat belas hari di tengah laut, libur empat belas hari di darat, take home pay setelah di kurskan ke rupiah..., mmm..."
Zita menghitung, Pandu mencebik. "Ini ada nilainya Zita,nggak usah ngitung," tunjuk Pandu yang sudah bergeser duduknya ke sebelah Zita.
Kedua mata perempuan itu terbelalak. "Serius! Sebulan, tiga puluh lebih, Mas!" Zita memekik. Teriakannya membuat Pandu menutup telinga.
"Kenceng amat teriaknya. Iya, segitu, tapi resikonya juga gede, apalagi posisiku, ngawasin pemasangan pipa istilahnya jabatanku Floorman, ngawasin sama bantu kerja Driller di rig floor. Montir pipa pengeboran minyak kalau kamu bingung."
"Resikonya apa?" Zita menoleh, menatap suaminya lekat.
"Mati. Kita yang kerja di tengah laut, resikonya banyak, Zit. Ya alam termasuk cuaca, atau ada masalah sama alat berat, pipa bocor yang bisa bikin ledakan mendadak."
"Terus?" Zita mendadak khawatir. Pandu menatap bingung.
"Terus apaan, Zita? Terus kamu ganti baju, ayo kita jalan. Besok aku berangkat, kan, jadwal heli jam sembilan, shift ku siang jam dua belas siang sampai dua belas malam." Pandu mengecup pipi Zita lalu beranjak mengambil kunci mobil di atas nakas samping ranjang. Zita diam, kalau ada apa-apa sama Pandu, dia belum mau jadi janda muda, apalagi dia belum jatuh cinta sama suaminya itu. Zita tak memikirkan gaji yang di dapat Pandu, tapi dua hal itu yang lebih penting.
***
Mereka tak jadi menggunakan mobil, Zita merengek minta berboncengan dengan motor. Pandu menuruti kemauan istrinya itu. Tapi, raut wajah Zita menunjukkan hal lain, seperti rasa khawatir.
"Mas, kamu beneran sekarang dua minggu di laut, dua minggu pulang ke rumah?" Wanita itu masih sibuk memakai helmnya yang tak berhasil memasang kaitnya. Membuat Pandu geregetan hingga membantu memasangkannya.
"Iya, peraturan baru juga, karena aku sambil ngajarin anak baru dateng ke sana setelah pelatihan di darat."
"Oh, jadi nggak langsung kerja di laut?"
"Ya enggak lah. Ada training macem-macem. Hampir lupa, surat medical check up aku udah kamu taruh di tas kan?"
"Udah, sama hasil rontgen paru-paru juga. Penting banget di bawa?" Zita bersiap naik ke atas motor dengan berpegang bahu suaminya itu.
"Iya lah, mana bisa aku berangkat kalau kesehatanku nggak baik. Makanya kemarin ke rumah sakit, kan." Lirik Pandu ketus.
Zita manyun-manyun, ia masih belum naik ke atas motor. "Ya mana aku tau, makanya aku nanya. Gitu aja sewot." Sebenarnya yang lebih sewot siapa, di penanya apa yang jawab. Pandu sadar, Zita masih banyak hal yang belum diketahui wanita itu tentang diri dan pekerjaannya, Pandu salah kalau Zita banyak tanya namun ia jawab ketus.
"Maafin, Mas Pandu ya, Zita, nggak bermaksud mau judesin kamu," ucap Pandu dengan tolehan kepala saat Zita sudah naik ke boncengannya. "Peluk dong, masa sama suaminya duduk di motor jauh-jauhan." Pandu terkekeh. Zita berdecak namun melingkarkan tangannya ke pinggang Pandu.
"Nah, gitu dong, kan kayak olang pacalan." Lalu motor melaju meninggalkan rumah mereka. Zita menatap sekitar, menghapal jalanan dan juga tempat penting yang pasti ia harus sambangi sendiri selama suaminya bekerja. Kedua mata Pandu melirik ke spion kiri, melihat mata istrinya yang memiliki bulu mata lentik dan hidung mancung, justru membuatnya berdebar tak karuan.
Mereka komitmen akan berpacaran dulu sebelum terjun ke lembah kenikmatan berumah tangga. Mereka ingin saling mengenal, Pandu tak akan memaksa atau menggoda Zita untuk urusan ranjang lagi, ia tak mau istrinya kembali menangis karena menganggapnya ingkar janji. Sekedar mencium pipi, kening atau mengecup bibir, tak masalah, pacaran halal bisa disematkan pada kondisi keduanya.
Zita juga tak menolak, ia sadar posisinya dan memberikan porsi sewajarnya untuk Pandu.
Kedai bakso ikan terlihat, jelas ramai, sangat malah. Pandu udah BT, dia malas mengantri lama, Zita ternyata sama, mereka sepakat pindah ke tempat makan lain. Hidangan seafood menjadi pilihan mereka kemudian.
Kembali mengendarai sepeda motor, Pandu dan Zita mencari restoran seafood. Jam dua siang mereka keluar rumah, panas matahari masih menyengat, tak mengurungkan keduanya untuk jalan-jalan.
"Bersih ya, Mas, kotanya?" Zita mulai bersuara. Pandu mengangguk.
Tak lama, motor yang dikendarai Pandu terparkir di depan restoran. Kedua mata pandu melihat satu mobil yang terparkir di sana. "Zita, ada bos aku, orang kantor pusat di sini, aku kenalin ya," ucapnya. Zita mengangguk.
Keduanya berjalan masuk ke restoran, tak begitu ramai, berdesakan seperti kedai bakso tadi, dan ada meja kosong di dekat kasir. Setelah memesan menu di meja kasir dan menunjuk tempat duduk, keduanya berjalan ke meja tempat bosnya Pandu duduk bersama keluarganya.
"Pak Ahmad," sapa Pandu. Pria lima puluhan itu menoleh.
"Hei! Pandu! Sama siapa?!" Pria itu beranjak. Pandu berjabat tangan.
"Sama istri, Pak," jawabnya. Zita menjabat tangan Pak Ahmad, lalu ke istri dan tiga anaknya yang sudah dewasa semua.
"Berarti berita kamu udah nikah bukan gosip?" Ledeknya. Pandu menggeleng.
"Kalau udah jodoh, pasti ketemu, Pak. Silakan dilanjut, saya sama istri duduk di sana," tunjuk pria itu lagi. Pak Ahmad mengangguk, ia justru mengingatkan Pandu untuk lapor ke HRD di kantor, supaya terdata. Suami Zita itu mengangguk sembari pamit dan menggandeng tangan Zita berjalan ke meja mereka.
"Mas Pandu, yang itu anak-anaknya bos kamu?" Dengan wajah bingung sembari berjalan mengikuti Pandu, Zita bertanya.
"Iya, yang cowok dua, kerja di kantor pusat Jakarta, lagi cuti kali, jadinya bisa ke sini, yang satu lagi kerja di kantor BUMN juga di sini."
Zita membulatkan bibirnya membuat huruf O. Keduanya duduk, Pandu menatap istrinya yang begitu gemas di matanya. "Zit."
"Hm?" Toleh Zita menatap mata suaminya.
"Kapan suka sama aku? Jangan lama-lama," keluhnya. Zita berdecak lalu memutar bola matanya malas. Ia masih mengedarkan pandangan ke seluruh area restoran. Tangan Pandu terulur, mencubit pelan pipi Zita yang hanya diam saja.
"Kamu suka cowok kayak gimana, sih, Zit? Tipe kamu?" tanya Pandu duduk sembari menyangga siku di meja, jemari tangan bergerak-gerak di wajahnya.
"Nggak punya tipe. Pacaran aja nggak pernah. Kamu tau kan aku kecelakaan, lupa ingatan, kayak orang planga plongo. Bude sama Mas Bagus yang telaten ajak aku ngobrol sampai pelan-pelan ingatan aku balik."
"Terus, apa hubungan sama pacaran pernah atau nggak?" Pandu masih bertanya. Zita menghela napas sembari menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Baba sama Umma aku, Bapak Ibu maksudnya, terlalu jaga aku, aku nggak dibiarin deket sama temen cowok, di sana, Turki maksudnya, aku sekolah yang khusus perempuan semua, Umma anter jemput aku setiap hari, ke mana-mana sama Umma, aku sama sekali nggak tau temen cowok, kecuali ya interaksi sama Mas Bagus atau sepupu lainnya. Selain itu, Baba dan Umma ngelarang banget." Zita menunduk, memainkan kuku jarinya.
"Kenapa?" Pandu mulai tertarik.
"Mereka takut aku salah bergaul, Baba bisa sedih kalau pergaulan bikin aku rusak, jadi ya, selama di sana, aku belajar apa pun sama Umma dan Baba. Sampai bahasa Indonesiaku selancar ini, karena ya, belajar aja taunya."
Pandu mengangguk, ia tersenyum senang, bahkan meraih jemari Zita. "And i am the lucky man, betul kan?"
Zita tau maksud Pandu. Dia hanya terkekeh. "Dan aku sial karena mau diajak nikah mendadak sama Om Brewok yang nggak aku kenal sama sekali." Zita menjulurkan lidah ke Pandu yang malah tertawa geli.
"Zita."
"Apa?" Istrinya menatap sembari bertopang dagu. Pandu mengeluarkan kartu debet dari dompetnya, ia berikan ke Zita.
"Semua gaji aku, di situ, aku pegang satu untuk pegangan aku aja, sedikit. Tolong setiap bulan, kirimin ke Ibu, terserah kamu nominalnya berapa, sama ke Nadin kalau dia minta. Kamu nggak marah kan, kalau aku kirim uang ke mereka berdua?"
Zita menggelengkan kepala, Pandu tersenyum. "Lupa, sama ke Bude kamu, harus kamu kirim juga. Kamu atur juga untuk kebutuhan rumah sama sehari-hari kamu, buat beli baju, atau skin care kamu, tas, sepatu apa aja. Pakai yang itu. Kamu udah tau gaji aku berapa tiap bulan, aku nggak mau tutupin lagi.
Tadinya, aku mau bahas malam ini, eh, udah kamu temuin duluan slip gaji itu. Emang nggak boleh nunda-nunda bahasan sama istri sendiri."
Zita diam, tangannya sedikit gemetar menerima kartu itu. Ia baru merasakan dibiayai hidupnya oleh orang lain selain bude dan tabungan peninggalan orang tuanya. Ia tersenyum ragu-ragu, Pandu bisa melihat itu, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga istrinya.
"Malu niye, ternyata suaminya kaya, kan, eeaaaa..." bisik Pandu diakhiri kekehan. Zita menoleh, melotot kedua matanya, Pandu senyum-senyum sembari memainkan alisnya naik turun dan Zita berakhir manyun-manyun sendiri.
"Tidur, kalau kamu maraton terus nontonChicago fire,bisa-bisa otak kamu yang ke bakar mikirin jalan cerita ituseries." Gumam Pandu yang sudah merebahkan diri sembari memeluk guling. Sedangkan Zita, masih fokus nonton dengan bersandar pada kepala ranjang yang ia ganjal dengan dua bantal miliknya."Lagi seru. Kamu tidur aja, Mas." Sahut Zita santai. Pandu berdecak seraya memejamkan mata. Tangan kirinya merayap ke pinggang istrinya itu."Perboden, ey. Tangan-tangan." Tegur Zita. Pandu justru melempar guling lalu merapatkan diri ke pinggang Zita, menenggelamkan wajahnya ke sana."Mas Pandu! Ih, geli!" protesnya. Pandu masa bodoh. Ia mengeratkan pelukannya lalu memejamkan mata. Zita yang susah payah menghindar, kalah juga, karena tak lama justru suara den
Memasuki hari ke tujuh, di mana pada akhirnya, seorang Zita mulai jenuh tak tau mau berbuat apa lagi. Setiap malam, Pandu rutinvideo callke istrinya itu, jangan bayangkan hal romantis, yang ada malah kesel-keselnya. Seperti malam itu, malam ke tujuh mereka LDR laut dan darat.Zita sedang menggunakan masker wajah hasil rumpian dengan Maya - tetangga sebelah - yang katanya, masker gold itu bagus untuk wajah. Oke, Zita beli seharga sembilan puluh ribu.Pandu menatap layar laptopnya yang ia taruh di meja yang ada di kamar berukuran kecil di tengan laut itu."Efeknya apa masker itu? Bisa glowing in the dark?"Goda Pandu sembari cekikikan. Ia hanya memakai kaos singlet pres body yang menunjukan otot-otot tubuhnya.
Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa."Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya."Apa, Mbak?" Zita beranjak."Ini, ada yang ant
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Di kantor.Bianca menjelaskan tentang konsep pengaturan karyawan hasil dari pikirannya. Pandu menolak, ia beranjak, dengan spidol di tangan, ia menuliskan struktur koordinasi staf di lapangan sesuai dengan fakta lapangan. Bianca mengangguk."Untuk jadwalrollingzona, nanti saya coba koordinasi sama kepala kru di sama, saya email atau telpon nanti. Di sini, yang perempuan lebih harus difokuskan, karena beberapa orang ada yang lagi hamil, nggak mungkin di tarih ke tengah laut."Pandu kembali duduk."Kalau untuk latar belakang pendidikan gimana, Ndu? Apa nggak masalah kalau stuktur koordinator di lapangan, sesuai sama pendidikan mereka?" Bianca kembali berbicara."Buat bagian apa? Bukannya masalah itu udah dibuat