Pandu membuka tas ransel besar yang ia bawa dari asramanya di tengah laut. Lusa jadwal ia kembali berangkat, Zita sedang merapikan pakaian ke lemari setelah ia setrika rapi. Ekor mata Pandu menatap gerakan Zita yang mondar mandir memasukan pakaian miliknya.
Ia mengulum senyum, karena perempuan dua puluh empat tahun itu justru seperti anak remaja, tubuhnya memang tak sesuai sama usianya. Malah tampak seperti om-om bersama cabe-cabeannya.
"Ehem." Pandu berdeham, ia berharap Zita menoleh dan peka dengan kodenya itu. Tapi sayang, Zita cuek.
"Ehem!" Lagi, Pandu berdeham. Kini sambil duduk di tepi ranjang dengan satu kaki turun ke lantai dan satu kaki lagi ia tekuk ke atas kasur.
"Zit."
"Hm."
"Kamu tau, kan, nolak ajakan suami untuk tidur bareng itu juga, dosa, lho," suara Pandu terdengar serius. Seolah memang Zita harus benar-benar harus mendengar apa yang ia sampaikan.
"Yang aku, ya, Mas Pandu, orang yang ingkar janji juga dosa, lho," balas perempuan itu sembari menutup pintu lemari, lalu beralih ke tas ransel besar, ia memeriksa pakaian yang akan dibawa Pandu untuk beberapa hari ke depan.
"Jadi kita sama-sama dosa?" tanya Pandu sembari bersandar di kepala ranjang.
"Betul sekali." Jawab Zita sembari menunjukan senyumnya lalu berubah jutek lagi.
"Aku emang belum dapet cuti lagi, Zita."
"Yaudah, sabar aja kalau gitu, Mas Panduuu," kembali Zita tersenyum lalu menghitung ulang kaos bersib suaminya. "Nanti baju kotor kamu pisahin, Mas, aku bawain laundry bagnya. Jangan di campur, jorok tau!" Zita berkacak pinggang. Pandu diam, menatap istrinya dengan tatapan tajam.
"Zita," panggil Pandu lagi.
"Apa," jawab istrinya itu tanpa menolehkan kepala.
"Cantik, deh." Bukannya terpuji, Zita justru bergidik lalu mengambil dua kaos lagi dan memasukan ke dalam tas ransel besar itu.
"Zita."
"Ya ampunnn... apaan lagi sih, Mas?!" tanya Zita penuh penekanan sembari melotot. Pandu memeluk guling, senyam senyum menatap istri indobulenya itu. Ia menepuk-nepuk ranjang kosong di sebelahnya. Zita menggeleng. Modus Pandu akan selalu ada, dan berujung Zita kesal juga tak akan mempan mau digoda seperti apa juga.
"Mau apa? Modus lagi. Minta di pijitin bahunya tapi ujung-ujungnya yang lain? Nggak mau." Dumal Zita dengan bibir mengerucut.
Pandu mulai geregetan, ia beranjak, tubuh tinggi besarnya jelas mampu untuk menahan tubuh istrinya baru saja ia bopong dan di hempaskan ke ranjang. Dengan santai ia mengukung Zita, hingga wajah mereka berhadapan.
"Apa?" tanga Zita dengan mata mengerjap lucu bagi Pandu.
"Aku sepuluh hari di laut, selama itu, kamu pasti kangen sama suami kamu ini, Zit, jadi, kenapa nggak kita coba aja yuk. Masih ada dua hari ke depan aku ber--"
Zita menangis, jujur ia kesal dengan Pandu, ia merasa Pandu mau menang sendiri. Menuntut menggagahinya tapi tak mengerti perasaan dia. Menikah begitu kilat, tanpa saling kenal, Zita tak mau. Ia tak tau jatuh cinta seperti apa, ia tak tau rasanya menyukai, menahan rindu, khawatir, hingga timbul rasa menggebu dengan seseorang itu, Zita tak tahu, dan Pandu seperti tak peduli.
"Zita?" kungkungan Pandu terlepas, ia menatap wajah canti istrinya itu yang berderai air mata namun bibirnya mengatup rapat. Kedua mata menatap lekat dengan sendu.
"Hei...," tangan Pandu mengusap air mata Zita. Pertama kali ia membuat Zita menangis, dan ia baru sadar, jika ia keterlaluan.
"Maaf, maaf Zita, aku iseng doang," lalu Pandu merebahkan tubuhnya miring di atas ranjang, membawa tubuh mungil Zita ke dalam pelukannya. Mengecup lama kening juga puncak kepala. Terdengar Zita sesenggukan di dalam dekapannya, Pandu sadar, dan ia tak perlu menggoda Zita. Ia harus bersabar untuk mendapatkan haknya, juga mendapatkan cinta Zita.
***
Sarapan sudah tersedia, setelah subuhan tadi, Pandu kembali tidur, sedangkan Zita harus datang ke lapangan komplek karyawan karena ada senam bersama, undangan itu ia dapatkan dari grup w******p yang ia ikuti, juga, surat edaran resmi yang kemarin, sang sekretaris perkumpulan istri karyawan.
Zita tak tau harus memakai pakaian apa, seragam keanggotaan belum ia dapatkan yang katanya, nanti diberikan gratis. Celana training panjang warna hitam, dan kaos warna putih menjadi pilihannya. Beruntung, Zita punya sepatu olahraga, jadi tak sulit untuk menyamai tema pertemuan hari itu.
"Mas..., aku ke lapangan, ada senam bersama istri-istri karyawan, sekarang sabtu pagi, kan, sarapan kamu di meja." Lalu Zita beranjak dari duduknya di tepi ranjang. Pandu hanya menjawab dengan anggukan pelan. Wanita itu meraih tangan Pandu, diciumnya punggung tangan itu.
Ia berjalan ke arah pintu kamar, mendadak kakinya terhenti, ia berbalik badan sejenak, karena Pandu memanggilnya.
Hati-hati, Sayang.
Kalimat itu terucap dengan seutas senyum dari Pandu sebelum ia berbalik badan kembali memeluk guling. Zita mengangguk. Ia menutup pintu kamarnya lagi.
Berjalan kaki, menikmati udara segar, menyapa beberapa tetangga, berjabat tangan memperkenalkan diri, memang menjadi kewajibannya. Ia tinggal di kota lain, ia tak tau situasinya, ini bukan Yogya, yang bisa bebas ia untuk menggunakan celana pendek selutut andalannya, naik sepeda mutar-mutar dan jajan ke mana saja. Ini beda, dan semua perempuan di komolek itu adalah istri. Zita harus bisa membawa diri.
Tiba di lapangan, ia disambut ramah, berkenalan dengan menyebut jika ia istri Pandu, membuat para ibu yang jelas lebih tua darinya tampak senang.
"Pengantin baru? Pantesan,minggu lalu rumahnya udah nggak disewain sama keluarga temannya Pandu, karena sekarang tinggal sama istrinya, selamat bergabung ya. Jangan malu-malu," ujar wanita cantik dengan tubuh gemulai yang akhirnya Zita kenal sebagai ketua perkumpulan para istri.
"Iya, Ibu. Maaf, saya belum pakai seragam," ujarnya.
"Nggak apa-apa, nanti minta sama Dety, tuh, yang lagi duduk di bawah pohon belimbing," tunjuk waniya yang Zita tau namanya Rima.
"Iya, Bu Rima, nanti saya minta. Untuk uang keanggotaannya gimana?" Mereka berjalan ke tengah lapangan, siap berbaris karena senam akan di mulai.
"Gratis. Kita ada anggaran dari perusahaan, tapi kalau kita mau bikin kegiatan lain, nanti patungan dan di bahas bersama. Yuk, Zita, saya ke depan ya, kamu di sini sama teman-teman lainnya." Pamit Rima. Zita mengangguk.
Ya, setidaknya ia punya teman, walau ibu-ibu semua, tak ada yang sepantar dengannya.
***
Senam selesai jam delapan, tak langsung pulang karena ngobrol sebentar. Zita menikmati teh manis dan gorengan tahu yang disediakan. Ramah, dan tak ada yang menatapnya sinis."Eh, yang lagi hamil siapa? Istrinya Andro ya?" tanya seseorang yang Zita belum kenal namanya.
"Iya. Bulan depan lahiran, kita patungan untuk beli kado, yuk." Ajak Rima. Zita menyimak, ia juga baru saja diberikan seragam olahraga dari Dety yang sudah memiliki tiga anak.
"Dety, kumpulin di kamu ya uang patungannya," perintah Rima.
"Siap, Bu." Dety lalu mengeluarkan buku catatan, Zita melirik, sepertinya itu buku catatan uang jika ada patungan untuk perkumpulan mereka. Tak banyak bicara, Zita hanya menjawab saat ditanya dan menyimak saat banyak yang membahas hal lain yang berupa materi rumpi ibu-ibu.
"Bu Rima, emang bener kemarin ada yang dipanggil ke kantor karena ribut rumah tangganya?" tanya seseorang di antara mereka.
"Iya. Biasa lah, pelakor, apa lagi. Saya sampai ikut nenangis. Nih ya, saya kasih saran untuk kalian semua. Suami itu, kalau kita nggak bener-bener jaga dan kasih apa maunya, biasanya gitu, suka sok-sok ngambek, ujung-ujungnya iseng kenalan sama entah siapa pun cewek di luar sana, dan berujung main belakang.
Makanya, saya suka nasehatin kalian, kan, suami kita orang lapangan rata-rata, bergelut sama pekerjaan keras, nggak sedikit yang beresiko, kayak yang di tengah laut. Itu resikonya besar."
Deg. Zita merasa tersindir, tapi bukan sengaja Rima menyindir, memang dirinya saja yang merasa.
"Bu Rima, maaf, emang resikonya apa?" Zita akhirnya bersuara.
"Nah, Pandu di tengah lapangan ya, Zit?" tanyanya. Zita mengangguk mantap.
"Resikonya, kalau ada kebocoran minyak mentah, atau alat berat yang rusak, nggak jarang yang kena imbas. Tapi emang safety first itu dijalankan kok, walau resiko pasti ada. Dan, karena mereka udah capek di lapangan, saat pulang ke rumah, maunya dimanja, dikelonin, disayang-sayang, itu kayak kasih energi baru. Bukan di cuekin, apalagi kitanya merajuk, wah... bisa kejadian kayak yang kemarin ribut."
"Emang kalau ribut, kantor ikut campur, Bu?" tanya Zita lagi.
"Sebenarnya enggak, tapi karena udah parah, sampai si istri acungin senjata tajam dan ancam si suami, kan membahayakan, ya, jadinya kita harus turun tangan. Kita memang bukan istri-istri suami yang terikat dinas angkatan, tapi kita semua di sini, saling rangkul aja, rata-rata, semua perantau, jauh dari keluarga, dan kami semua maunya bikin keluarga baru di sini, saling jaga dan sayang."
Kalimat penutup itu membuat Zita paham. Ia tersenyum, ilmu baru yang ia dapat, tapi tetap saja, ia kesal dengan suaminya yang menggodanya terus. Entah itu memang karena dia meminta haknya, atau sekedar iseng belaka.
Jam sembilan, ia sudah tiba di rumah, tampak Pandu sedang sarapan di meja makan kecil berisi dua kursi, Zita mencuci tangan, lalu melirik suaminya yang sedang menikmati bihun goreng ayam buatannya. Rambut Pandu acak-acakkan, di minta Zita cukur rambut, jawabannya tar sok tar sok, alias Ntar besok.
Ia menarik satu kursi, duduk berhadapan dengan suaminya. Dengan polos. Ia bertanya, "Mas Pandu. Seks itu penting emangnya buat laki-laki?"
Pandu tersedak, batuk-batuk lalu Zita menyodorkan gelas ke hadapan pria tampan itu yang menenggak air minumnya sembari melirik ke istrinya itu.
"Kenapa nanyanya gitu?" tanyanya sembari menatap si cantik di hadapannya.
"Mau tau. Aku tuh polos, Mas, jadi nggak tau." Jujur, Zita sangat jujur, dan kejujurannya itu membuat Pandu kembali menyalakan sinyal iseng.
"Banget Zit, kamu tau kan kasusnya Nadin, si Nathan sampai selingkuh, wah... gimana coba, kalau kejadian sama kita. Gara-gara kamu cuekin aku. Aku bisa-bisa... ya...." Pandu memainkan bihun goreng dengan garpu di tangan. Sekali lagi, Pandu hanya iseng, tak akan pernah terjadi ia menyelingkuhi perempuan yang secepat kilat ia sukai sejak pandangan pertama.
Zita diam, ia galau dan kepikiran. "Mas, bikin aku jatuh cinta sama kamu dulu, baru aku bisa pertimbangin soal buku nikah itu." Ia beranjak, memanyunkan bibirnya, bahkan pipinya menggembung lucu di mata Pandu.
"Yah, susah kalau gitu, Zit, bikin kamu jatuh cinta kayaknya lama deh, keburu aku--"
"Tau ah! Cowok emang gitu, ya kayaknya! Nggak mau usaha keras! Mau enaknya aja! Aku emang nggak tau jatuh cinta kayak apa, Mas! Mas Pandu curang! Mau enaknya doang." Ambekan kesekian setelah mereka menikah beberapa waktu.
Pandu menahan tawa, ia tau jika istrinya memang belum mencintainya. Diregangkan kedua tangannya ke atas, tersenyum dan ia tau akan melakukan apa untuk istrinya itu.
Dengan santai, Pandu menghempaskan tubuh tinggi besarnya ke atas ranjang, memeluk guling sesuka hati padahal Zita baru saja merapikannya. Pelototan mata istrinya tak membuat Pandu takut, ia justru tersenyum menatap istrinya yang berkacak pinggang dengan memegang sapu lidi di tangan kanannya."Jalan yuk, muter-muter kota," ajak Pandu."Mau ke mana? Belanja bulanan kan udah lengkap," dengan kesal Zita menjawab ajakan Pandu."Cari bakso ikan, katanya ada yang enak, aku belum pernah cobain. Kamu juga, kan?"Benar juga. Zita yang notabennya tinggalndi Yogyakarta, tak tau bakso ikan, sekarang ia di daerah orang, di Dumai, Riau, yang katanya, makan laut terhampar banyakkk dan enak-enak, salah satunya bakso ikan itu.
"Tidur, kalau kamu maraton terus nontonChicago fire,bisa-bisa otak kamu yang ke bakar mikirin jalan cerita ituseries." Gumam Pandu yang sudah merebahkan diri sembari memeluk guling. Sedangkan Zita, masih fokus nonton dengan bersandar pada kepala ranjang yang ia ganjal dengan dua bantal miliknya."Lagi seru. Kamu tidur aja, Mas." Sahut Zita santai. Pandu berdecak seraya memejamkan mata. Tangan kirinya merayap ke pinggang istrinya itu."Perboden, ey. Tangan-tangan." Tegur Zita. Pandu justru melempar guling lalu merapatkan diri ke pinggang Zita, menenggelamkan wajahnya ke sana."Mas Pandu! Ih, geli!" protesnya. Pandu masa bodoh. Ia mengeratkan pelukannya lalu memejamkan mata. Zita yang susah payah menghindar, kalah juga, karena tak lama justru suara den
Memasuki hari ke tujuh, di mana pada akhirnya, seorang Zita mulai jenuh tak tau mau berbuat apa lagi. Setiap malam, Pandu rutinvideo callke istrinya itu, jangan bayangkan hal romantis, yang ada malah kesel-keselnya. Seperti malam itu, malam ke tujuh mereka LDR laut dan darat.Zita sedang menggunakan masker wajah hasil rumpian dengan Maya - tetangga sebelah - yang katanya, masker gold itu bagus untuk wajah. Oke, Zita beli seharga sembilan puluh ribu.Pandu menatap layar laptopnya yang ia taruh di meja yang ada di kamar berukuran kecil di tengan laut itu."Efeknya apa masker itu? Bisa glowing in the dark?"Goda Pandu sembari cekikikan. Ia hanya memakai kaos singlet pres body yang menunjukan otot-otot tubuhnya.
Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa."Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya."Apa, Mbak?" Zita beranjak."Ini, ada yang ant
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Zita dan Pandu berjalan-jalan di taman yang ada di kota Istanbul, keduanya begitu menikmati hari yang selama ini mereka nantikan. Keempat anaknya sibuk dengan acara jalan-jalannya sendiri bersama saudara sepupu lainnya. Bangku taman itu mereka duduki, Pandu membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Zita memberikan es kopi miliknya ke tangan Pandu, karena ia ingin mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. "Mas, kita foto-foto dulu, selfie dulu biar keceh..." ujarnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah keduanya. Pandu bahkan tersenyum bahagia, dan ada yang foto sambil mencium pipi istrinya itu. "Zit, kalau rambutku di cet cokelat tua bagus kayaknya, deh," tanya Pandu sambil menyugar rambutnya yang masih lebat. Bagaimana tidak, Zita rajin membalur rambut Pandu dengan ramuan cemceman warisan budenya, dengan minyak kemiri, juga bahan-bahan tradisional lainnya. "Nggak usah. Ngapain, mau centil kamu. Puber ke dua? Iya?"
Hidup manusia itu layaknya roda berputar, itu benar. Pengulangan lingkaran kehidupan itu pasti akan terjadi. Tak jarang, banyak yang berpikir untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dari pada yang terdahulu, baik orang tua tua sendiri, atau menyangkut jalan hidup anggota keluar lainnya. Pandu dan Zita, menikah begitu cepat, kenalan juga cepat, harus menikah siri lebih dulu sebelum buku nikah diterima di tangan, tapi mampu membangun rasa cinta dua orang asing yang akhirnya, merasa terikat dan begitu saling membutuhkan seumur hidup. Tahun demi tahun mereka lewati, ujian rumah tangga mereka hadapi, pun, saat ujian berganti saat menerpa anak-anak mereka. Duta sempat berkelahi dengan remaja seusianya saat mengganggu Diva dan Dira yang berjalan setelah pulang dari minimarket, tak tedeng aling-aling, Duta main hajar dua remaja itu hingga akhirnya Pandu dan Zita ke rumah sakit karena dua remaja itu terluka cukup parah. Padahal, Datra lah si atlit karate, tapi Datra tak pern
Tidak heran, jika keluarga Pandu dan Zita memang ramai dan heboh. Tahun berganti, kehidupan mereka tak ayal seperti keluarga pada umumnya. Masalah banyak mereka temui, dan bisa terpecahkan dengan sangat baik juga. Ingat Duta yang tak bisa membaca? Kini, di saat triplet sudah menginjak masa sekolah dasar, Duta menunjukkan hal lain yang mampu membuat Zita dan Pandu bangga. Ia juara umum pidato anak kelas 6 SD. Iya, kini mereka sudah besar, waktu berjalan begitu cepat. Zita, apalagi Pandu, semakin tua, tapi, tidak mematikan semangat jiwa muda mereka semua.Pidato dengan tema "Sekolah untuk siapa?" itu, dibuat Duta seorang diri. Materinya ia kumpulkan sendiri sambil banyak menonton berita juga membaca buku. Tuh, kan, jangan meremehkan seseorang. Dulu, Pandu dan Zita bisa saja kesal karena kelihatannya, Duta malas belajar, pemberontak, tapi kini, ia seperti anak yang suka berorasi, menyuarakan pikirannya dengan terbuka, jago debat, dengan cara yang tepat. Datra bahkan kewalahan sa
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta
"Ayo... ayo... cepetan! Kita bisa ketinggalan kereta...! Ya ampunnn..." panik Zita yang berjalan menggandeng dua anaknya, satu anaknya lagi digendong Pandu, sedangnya Ageng sudah berlari lebih dulu untuk mencari gerbong kereta yang akan mereka naiki. Porter berjalan di belakang mereka membawa tiga tas koper besar. Tak hanya satu, tapi ada tiga porter yang mereka minta bantuan jasanya."Ini...!" teriak Ageng. Ia memberikan tiket kereta ke petugas yang masih berdiri di depan gerbong kereta eksekutif yang akan mereka naiki. Zita dan dua anaknya berjalan ke dalam gerbong, lalu Pandu yang masih menggendong Diva. Zita terengah-engah, ia merasa lega karena tak tertinggal kereta. Duta dan Datra memindai sekitar sembari menganga. Pertama kali naik kereta dan tampak takjub. "Diva duduk di sini sama Om Ageng, ya," ujar Zita sembari memindahkan Diva dari gendongan Pandu. Mereka duduk di bangku 13DC yang artinya, kursi bisa diputar 180 derajat, kereta Argo lawu itu nyaman karena kelas eks
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih