Pandu membuka tas ransel besar yang ia bawa dari asramanya di tengah laut. Lusa jadwal ia kembali berangkat, Zita sedang merapikan pakaian ke lemari setelah ia setrika rapi. Ekor mata Pandu menatap gerakan Zita yang mondar mandir memasukan pakaian miliknya.
Ia mengulum senyum, karena perempuan dua puluh empat tahun itu justru seperti anak remaja, tubuhnya memang tak sesuai sama usianya. Malah tampak seperti om-om bersama cabe-cabeannya.
"Ehem." Pandu berdeham, ia berharap Zita menoleh dan peka dengan kodenya itu. Tapi sayang, Zita cuek.
"Ehem!" Lagi, Pandu berdeham. Kini sambil duduk di tepi ranjang dengan satu kaki turun ke lantai dan satu kaki lagi ia tekuk ke atas kasur.
"Zit."
"Hm."
"Kamu tau, kan, nolak ajakan suami untuk tidur bareng itu juga, dosa, lho," suara Pandu terdengar serius. Seolah memang Zita harus benar-benar harus mendengar apa yang ia sampaikan.
"Yang aku, ya, Mas Pandu, orang yang ingkar janji juga dosa, lho," balas perempuan itu sembari menutup pintu lemari, lalu beralih ke tas ransel besar, ia memeriksa pakaian yang akan dibawa Pandu untuk beberapa hari ke depan.
"Jadi kita sama-sama dosa?" tanya Pandu sembari bersandar di kepala ranjang.
"Betul sekali." Jawab Zita sembari menunjukan senyumnya lalu berubah jutek lagi.
"Aku emang belum dapet cuti lagi, Zita."
"Yaudah, sabar aja kalau gitu, Mas Panduuu," kembali Zita tersenyum lalu menghitung ulang kaos bersib suaminya. "Nanti baju kotor kamu pisahin, Mas, aku bawain laundry bagnya. Jangan di campur, jorok tau!" Zita berkacak pinggang. Pandu diam, menatap istrinya dengan tatapan tajam.
"Zita," panggil Pandu lagi.
"Apa," jawab istrinya itu tanpa menolehkan kepala.
"Cantik, deh." Bukannya terpuji, Zita justru bergidik lalu mengambil dua kaos lagi dan memasukan ke dalam tas ransel besar itu.
"Zita."
"Ya ampunnn... apaan lagi sih, Mas?!" tanya Zita penuh penekanan sembari melotot. Pandu memeluk guling, senyam senyum menatap istri indobulenya itu. Ia menepuk-nepuk ranjang kosong di sebelahnya. Zita menggeleng. Modus Pandu akan selalu ada, dan berujung Zita kesal juga tak akan mempan mau digoda seperti apa juga.
"Mau apa? Modus lagi. Minta di pijitin bahunya tapi ujung-ujungnya yang lain? Nggak mau." Dumal Zita dengan bibir mengerucut.
Pandu mulai geregetan, ia beranjak, tubuh tinggi besarnya jelas mampu untuk menahan tubuh istrinya baru saja ia bopong dan di hempaskan ke ranjang. Dengan santai ia mengukung Zita, hingga wajah mereka berhadapan.
"Apa?" tanga Zita dengan mata mengerjap lucu bagi Pandu.
"Aku sepuluh hari di laut, selama itu, kamu pasti kangen sama suami kamu ini, Zit, jadi, kenapa nggak kita coba aja yuk. Masih ada dua hari ke depan aku ber--"
Zita menangis, jujur ia kesal dengan Pandu, ia merasa Pandu mau menang sendiri. Menuntut menggagahinya tapi tak mengerti perasaan dia. Menikah begitu kilat, tanpa saling kenal, Zita tak mau. Ia tak tau jatuh cinta seperti apa, ia tak tau rasanya menyukai, menahan rindu, khawatir, hingga timbul rasa menggebu dengan seseorang itu, Zita tak tahu, dan Pandu seperti tak peduli.
"Zita?" kungkungan Pandu terlepas, ia menatap wajah canti istrinya itu yang berderai air mata namun bibirnya mengatup rapat. Kedua mata menatap lekat dengan sendu.
"Hei...," tangan Pandu mengusap air mata Zita. Pertama kali ia membuat Zita menangis, dan ia baru sadar, jika ia keterlaluan.
"Maaf, maaf Zita, aku iseng doang," lalu Pandu merebahkan tubuhnya miring di atas ranjang, membawa tubuh mungil Zita ke dalam pelukannya. Mengecup lama kening juga puncak kepala. Terdengar Zita sesenggukan di dalam dekapannya, Pandu sadar, dan ia tak perlu menggoda Zita. Ia harus bersabar untuk mendapatkan haknya, juga mendapatkan cinta Zita.
***
Sarapan sudah tersedia, setelah subuhan tadi, Pandu kembali tidur, sedangkan Zita harus datang ke lapangan komplek karyawan karena ada senam bersama, undangan itu ia dapatkan dari grup w******p yang ia ikuti, juga, surat edaran resmi yang kemarin, sang sekretaris perkumpulan istri karyawan.
Zita tak tau harus memakai pakaian apa, seragam keanggotaan belum ia dapatkan yang katanya, nanti diberikan gratis. Celana training panjang warna hitam, dan kaos warna putih menjadi pilihannya. Beruntung, Zita punya sepatu olahraga, jadi tak sulit untuk menyamai tema pertemuan hari itu.
"Mas..., aku ke lapangan, ada senam bersama istri-istri karyawan, sekarang sabtu pagi, kan, sarapan kamu di meja." Lalu Zita beranjak dari duduknya di tepi ranjang. Pandu hanya menjawab dengan anggukan pelan. Wanita itu meraih tangan Pandu, diciumnya punggung tangan itu.
Ia berjalan ke arah pintu kamar, mendadak kakinya terhenti, ia berbalik badan sejenak, karena Pandu memanggilnya.
Hati-hati, Sayang.
Kalimat itu terucap dengan seutas senyum dari Pandu sebelum ia berbalik badan kembali memeluk guling. Zita mengangguk. Ia menutup pintu kamarnya lagi.
Berjalan kaki, menikmati udara segar, menyapa beberapa tetangga, berjabat tangan memperkenalkan diri, memang menjadi kewajibannya. Ia tinggal di kota lain, ia tak tau situasinya, ini bukan Yogya, yang bisa bebas ia untuk menggunakan celana pendek selutut andalannya, naik sepeda mutar-mutar dan jajan ke mana saja. Ini beda, dan semua perempuan di komolek itu adalah istri. Zita harus bisa membawa diri.
Tiba di lapangan, ia disambut ramah, berkenalan dengan menyebut jika ia istri Pandu, membuat para ibu yang jelas lebih tua darinya tampak senang.
"Pengantin baru? Pantesan,minggu lalu rumahnya udah nggak disewain sama keluarga temannya Pandu, karena sekarang tinggal sama istrinya, selamat bergabung ya. Jangan malu-malu," ujar wanita cantik dengan tubuh gemulai yang akhirnya Zita kenal sebagai ketua perkumpulan para istri.
"Iya, Ibu. Maaf, saya belum pakai seragam," ujarnya.
"Nggak apa-apa, nanti minta sama Dety, tuh, yang lagi duduk di bawah pohon belimbing," tunjuk waniya yang Zita tau namanya Rima.
"Iya, Bu Rima, nanti saya minta. Untuk uang keanggotaannya gimana?" Mereka berjalan ke tengah lapangan, siap berbaris karena senam akan di mulai.
"Gratis. Kita ada anggaran dari perusahaan, tapi kalau kita mau bikin kegiatan lain, nanti patungan dan di bahas bersama. Yuk, Zita, saya ke depan ya, kamu di sini sama teman-teman lainnya." Pamit Rima. Zita mengangguk.
Ya, setidaknya ia punya teman, walau ibu-ibu semua, tak ada yang sepantar dengannya.
***
Senam selesai jam delapan, tak langsung pulang karena ngobrol sebentar. Zita menikmati teh manis dan gorengan tahu yang disediakan. Ramah, dan tak ada yang menatapnya sinis."Eh, yang lagi hamil siapa? Istrinya Andro ya?" tanya seseorang yang Zita belum kenal namanya.
"Iya. Bulan depan lahiran, kita patungan untuk beli kado, yuk." Ajak Rima. Zita menyimak, ia juga baru saja diberikan seragam olahraga dari Dety yang sudah memiliki tiga anak.
"Dety, kumpulin di kamu ya uang patungannya," perintah Rima.
"Siap, Bu." Dety lalu mengeluarkan buku catatan, Zita melirik, sepertinya itu buku catatan uang jika ada patungan untuk perkumpulan mereka. Tak banyak bicara, Zita hanya menjawab saat ditanya dan menyimak saat banyak yang membahas hal lain yang berupa materi rumpi ibu-ibu.
"Bu Rima, emang bener kemarin ada yang dipanggil ke kantor karena ribut rumah tangganya?" tanya seseorang di antara mereka.
"Iya. Biasa lah, pelakor, apa lagi. Saya sampai ikut nenangis. Nih ya, saya kasih saran untuk kalian semua. Suami itu, kalau kita nggak bener-bener jaga dan kasih apa maunya, biasanya gitu, suka sok-sok ngambek, ujung-ujungnya iseng kenalan sama entah siapa pun cewek di luar sana, dan berujung main belakang.
Makanya, saya suka nasehatin kalian, kan, suami kita orang lapangan rata-rata, bergelut sama pekerjaan keras, nggak sedikit yang beresiko, kayak yang di tengah laut. Itu resikonya besar."
Deg. Zita merasa tersindir, tapi bukan sengaja Rima menyindir, memang dirinya saja yang merasa.
"Bu Rima, maaf, emang resikonya apa?" Zita akhirnya bersuara.
"Nah, Pandu di tengah lapangan ya, Zit?" tanyanya. Zita mengangguk mantap.
"Resikonya, kalau ada kebocoran minyak mentah, atau alat berat yang rusak, nggak jarang yang kena imbas. Tapi emang safety first itu dijalankan kok, walau resiko pasti ada. Dan, karena mereka udah capek di lapangan, saat pulang ke rumah, maunya dimanja, dikelonin, disayang-sayang, itu kayak kasih energi baru. Bukan di cuekin, apalagi kitanya merajuk, wah... bisa kejadian kayak yang kemarin ribut."
"Emang kalau ribut, kantor ikut campur, Bu?" tanya Zita lagi.
"Sebenarnya enggak, tapi karena udah parah, sampai si istri acungin senjata tajam dan ancam si suami, kan membahayakan, ya, jadinya kita harus turun tangan. Kita memang bukan istri-istri suami yang terikat dinas angkatan, tapi kita semua di sini, saling rangkul aja, rata-rata, semua perantau, jauh dari keluarga, dan kami semua maunya bikin keluarga baru di sini, saling jaga dan sayang."
Kalimat penutup itu membuat Zita paham. Ia tersenyum, ilmu baru yang ia dapat, tapi tetap saja, ia kesal dengan suaminya yang menggodanya terus. Entah itu memang karena dia meminta haknya, atau sekedar iseng belaka.
Jam sembilan, ia sudah tiba di rumah, tampak Pandu sedang sarapan di meja makan kecil berisi dua kursi, Zita mencuci tangan, lalu melirik suaminya yang sedang menikmati bihun goreng ayam buatannya. Rambut Pandu acak-acakkan, di minta Zita cukur rambut, jawabannya tar sok tar sok, alias Ntar besok.
Ia menarik satu kursi, duduk berhadapan dengan suaminya. Dengan polos. Ia bertanya, "Mas Pandu. Seks itu penting emangnya buat laki-laki?"
Pandu tersedak, batuk-batuk lalu Zita menyodorkan gelas ke hadapan pria tampan itu yang menenggak air minumnya sembari melirik ke istrinya itu.
"Kenapa nanyanya gitu?" tanyanya sembari menatap si cantik di hadapannya.
"Mau tau. Aku tuh polos, Mas, jadi nggak tau." Jujur, Zita sangat jujur, dan kejujurannya itu membuat Pandu kembali menyalakan sinyal iseng.
"Banget Zit, kamu tau kan kasusnya Nadin, si Nathan sampai selingkuh, wah... gimana coba, kalau kejadian sama kita. Gara-gara kamu cuekin aku. Aku bisa-bisa... ya...." Pandu memainkan bihun goreng dengan garpu di tangan. Sekali lagi, Pandu hanya iseng, tak akan pernah terjadi ia menyelingkuhi perempuan yang secepat kilat ia sukai sejak pandangan pertama.
Zita diam, ia galau dan kepikiran. "Mas, bikin aku jatuh cinta sama kamu dulu, baru aku bisa pertimbangin soal buku nikah itu." Ia beranjak, memanyunkan bibirnya, bahkan pipinya menggembung lucu di mata Pandu.
"Yah, susah kalau gitu, Zit, bikin kamu jatuh cinta kayaknya lama deh, keburu aku--"
"Tau ah! Cowok emang gitu, ya kayaknya! Nggak mau usaha keras! Mau enaknya aja! Aku emang nggak tau jatuh cinta kayak apa, Mas! Mas Pandu curang! Mau enaknya doang." Ambekan kesekian setelah mereka menikah beberapa waktu.
Pandu menahan tawa, ia tau jika istrinya memang belum mencintainya. Diregangkan kedua tangannya ke atas, tersenyum dan ia tau akan melakukan apa untuk istrinya itu.
Dengan santai, Pandu menghempaskan tubuh tinggi besarnya ke atas ranjang, memeluk guling sesuka hati padahal Zita baru saja merapikannya. Pelototan mata istrinya tak membuat Pandu takut, ia justru tersenyum menatap istrinya yang berkacak pinggang dengan memegang sapu lidi di tangan kanannya."Jalan yuk, muter-muter kota," ajak Pandu."Mau ke mana? Belanja bulanan kan udah lengkap," dengan kesal Zita menjawab ajakan Pandu."Cari bakso ikan, katanya ada yang enak, aku belum pernah cobain. Kamu juga, kan?"Benar juga. Zita yang notabennya tinggalndi Yogyakarta, tak tau bakso ikan, sekarang ia di daerah orang, di Dumai, Riau, yang katanya, makan laut terhampar banyakkk dan enak-enak, salah satunya bakso ikan itu.
"Tidur, kalau kamu maraton terus nontonChicago fire,bisa-bisa otak kamu yang ke bakar mikirin jalan cerita ituseries." Gumam Pandu yang sudah merebahkan diri sembari memeluk guling. Sedangkan Zita, masih fokus nonton dengan bersandar pada kepala ranjang yang ia ganjal dengan dua bantal miliknya."Lagi seru. Kamu tidur aja, Mas." Sahut Zita santai. Pandu berdecak seraya memejamkan mata. Tangan kirinya merayap ke pinggang istrinya itu."Perboden, ey. Tangan-tangan." Tegur Zita. Pandu justru melempar guling lalu merapatkan diri ke pinggang Zita, menenggelamkan wajahnya ke sana."Mas Pandu! Ih, geli!" protesnya. Pandu masa bodoh. Ia mengeratkan pelukannya lalu memejamkan mata. Zita yang susah payah menghindar, kalah juga, karena tak lama justru suara den
Memasuki hari ke tujuh, di mana pada akhirnya, seorang Zita mulai jenuh tak tau mau berbuat apa lagi. Setiap malam, Pandu rutinvideo callke istrinya itu, jangan bayangkan hal romantis, yang ada malah kesel-keselnya. Seperti malam itu, malam ke tujuh mereka LDR laut dan darat.Zita sedang menggunakan masker wajah hasil rumpian dengan Maya - tetangga sebelah - yang katanya, masker gold itu bagus untuk wajah. Oke, Zita beli seharga sembilan puluh ribu.Pandu menatap layar laptopnya yang ia taruh di meja yang ada di kamar berukuran kecil di tengan laut itu."Efeknya apa masker itu? Bisa glowing in the dark?"Goda Pandu sembari cekikikan. Ia hanya memakai kaos singlet pres body yang menunjukan otot-otot tubuhnya.
Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa."Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya."Apa, Mbak?" Zita beranjak."Ini, ada yang ant
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.