"Tidur, kalau kamu maraton terus nonton Chicago fire, bisa-bisa otak kamu yang ke bakar mikirin jalan cerita itu series." Gumam Pandu yang sudah merebahkan diri sembari memeluk guling. Sedangkan Zita, masih fokus nonton dengan bersandar pada kepala ranjang yang ia ganjal dengan dua bantal miliknya.
"Lagi seru. Kamu tidur aja, Mas." Sahut Zita santai. Pandu berdecak seraya memejamkan mata. Tangan kirinya merayap ke pinggang istrinya itu.
"Perboden, ey. Tangan-tangan." Tegur Zita. Pandu justru melempar guling lalu merapatkan diri ke pinggang Zita, menenggelamkan wajahnya ke sana.
"Mas Pandu! Ih, geli!" protesnya. Pandu masa bodoh. Ia mengeratkan pelukannya lalu memejamkan mata. Zita yang susah payah menghindar, kalah juga, karena tak lama justru suara dengkuran halus pria itu yang terdengar. Zita cuek, ia fokus menonton TV lagi.
Pagi hari.
Karena kurang tidur, Zita malas membuat sarapan, dengan motor milik Pandu, ia membeli sarapan di dekat rumah, ada perkumpulan penjual sarapan di dekat lapangan.
Pilihannya banyak, tapi Zita tertarik membeli sarapan ketupat sayur padang. "Kak, dibungkus dua ya, pake telor."
"Iyo." Jawab penjual yang masih muda.
"Ta! Zita!" suara tetangga sebelah rumahnya - Maya - dia juga sedang membeli sarapan.
"Eh, Kak Maya, beli apa, Kak?"
"Ini, lontong medan. Eh, suami kamu berangkat juga hari ini kan? Bareng sama suamiku, satu shift mereka."
"Oh, iya, aku nggak tanya-tanya, Kak," kekeh Zita.
"Nggak pa-pa, pelan-pelan juga paham. Zita, kamu udah ikut arisan grup kita belum? Kalau belum daftar ya, sebulan seratus ribu, yang main dua puluh orang."
Zita mengangguk, "ikut deh, Kak, nanti daftarnya ke siapa? Kak Dety?"
"Iya, ke Dety, dia kan bendahara sama seksi perlengkapan. Kamu nanti kalau butuh apa-apa, ke rumah aja ya, ditinggal suami ke laut, BT juga karena apa-apa harus sendirian."
Zita tersenyum juga mengangguk. Pesanannya sudah siap, ia memberikan uang lalu pamit duluan ke Maya yang masih mengantri. Jam menunjukan pukul delapan, tak lama lagi Pandu harus bersiap.
Sesampainya di rumah, Zita mendengar gemericik air dari kamar mandi, baguslah suaminya sudah bangun dan mandi. Membangunkan Pandu tidur sama aja kayak bangunin orang pingsan. Zita menyiapkan sarapan untuk keduanya, tak lama, Pandu keluar dari kamar mandi, bersandar di ambang pintu, menatap istri yang mungil di matanya dengan tatapan tak tega meninggalkan Zita bekerja.
"Jangan lihatin, buruan pake baju, sarapan udah siap." Celetuknya sembari menuangkan teh hangat ke cangkir.
Pandu memeluk Zita yang masih biasa saja, tak ada getaran apa pun di dalam dadanya. Berbeda dengan Pandu yang sudah bercukur sehingga wajahnya bebas bulu, dan menciumi pipi empuk juga lembut istrinya itu.
"Nggak asih ah! Nggak ada reaksi apa-apa." Pandu melepas pelukannya, lalu duduk di kursi, menyesap teh hangat lalu makan. Zita diam, menatap suaminya yang suka berlaku semaunya kepada dirinya.
"Pakai baju dulu baru makan, Mas Pandu. Nggak sopan di meja makan telanjang dada gitu, pake celana pendek doang juga, hih." Zita kesal, ia berjalan ke kamar. Menghentakan kaki ke lantai. Kembali keluar kamar dan menyerahkan kaos ke suaminya. Pandu bergeming, asik makan.
Helaan napas Zita terdengar, ia lalu memakaikan kaos ke suaminya yang masih diam walau tak menolak Zita pakaikan bajunya.
"Mas, kamu barengan sama suami Kak Maya? Nanti tuh ke kantor di jemput apa gimana?"
Masih diam, tak menjawab pertanyaan Zita. Ok, Zita ngalah, ia menikmati sarapannya, hingga keduanya selesai makan, masih tak ada suara.
Zita ke kamar, memeriksa tas bawaan Pandu, takut-takut ada yang tertinggal. Pandu masuk ke kamar sembari berbicara dengan seseorany di telpon. "Kenapa harus pakai seragam sekarang? Emang langsung terbang?" tanyanya.
Zita melongo, ia menghentikan kegiatannya untuk memastikan sesuatu. Keluarin seragam warna orange. Perintah Pandu begitu pelan. Zita mengangguk. Ia mengeluarkan seragam, kaos dalaman putih polos juga.
"Zona C bukan saya yang pegang, kan? Alan yang pegang." Tampak Pandu panik, ia dengan santai melepaskan kaos dan celana pendek, membuat Zita berbalik badan memunggui suaminya yang buru-buru memakai seragam.
Bahu Zita dicolek, ia menoleh, Pandu mengecup keningnya masih dengan berbicara dengan rekannya di ponsel. Pandu mendekat, Zita mengerjap pelan. Suaminya menunjuk ke restleting bajunya, minta ditarik hingga atas. Zita mengangguk.
"Sepuluh menit lagi? Ok, on time. Saya udah siap." Pandu melempar ponsel ke ranjang, lalu memeluk Zita erat. Wanita itu gak membalas pelukan, hanya mendongak menatap suaminya.
"Ada masalah di Zona C, doain semua lancar ya, Zit."
Deg.
Kali ini jantung Zita seperti berhenti sejenak, ia mengangguk, masih tak berkata apa pun. Pandu melepaskan pelukannya. Ia kini duduk di tepi ranjang, menggenggam jemari Zita sembari menatap mata indah istrinya itu.
"Aku usahain, kasih kabar kamu kalau sampai di sana atau, setelah kekacauan itu selesai aku urus. Ada kesalahan pemasangan beberapa pipa, anak baru di minta koordinatorku turun, jadinya gini, nggak bahaya, tapi tetap harus aku cek langsung.
Aku dijemput duluan, nggak bareng sama Ado, suami Maya. Kamu hati-hati di rumah ya, kalau naik motor jangan ngebut-ngebut, nanti aku ajarin setir mobil juga. Sori, kamu harus jadi istri mandiri. Resiko nikah sama kuli bor tambang minyak lepas pantai."
Pandu tersenyum, Zita membalas dengan senyuman keraguan, lagi.
"Boleh minta sesuatu dari kamu, Zit?" Pinta Pandu.
"Apa?"
"Peluk," ucapnya. Zita diam sejenak, mencoba meyakinkan diri.
"Aku di sini banyak yang jagain, kok, Mas Pandu fokus kerja aja, yang penting hati-hati juga, jangan bercanda terus, jangan galak-galak sama anak buah. Inget pesen aku yang ini, jangan biarin aku jadi janda muda. Nggak mau aku."
Lagi-lagi Pandu tertawa geli. Ia mengangguk. Zita mendekat, memeluk suaminya itu yang begitu erat memeluk pinggangnya dengan mata terpejam. "Tapi, resiko besar itu pasti ada, Zit, makanya kamu buruan jatuh cinta sama aku."
Plak.
Zita memukul punggung Pandu, suaminya mengaduh tapi tidak melepaskan pelukannya. "Lepas, Mas, mau ke kamar mandi aku, kebelet."
"Halah, bokis. Paling kamu ngerasa malu, kan, aku peluk gini. Baper ya, baper kan? Jujur?" Pandu mendongak. Zita hanya berdecak sembari manyun-manyun. Pelukan terlepas, Zita melesat berjalan ke kamar mandi, menuntaskan hasrat buang air kecilnya, namun mendadak senyum tersungging di bibirnya.
Tak lama, terdengae suara teriakan Pandu memanggilnya. Ia buru-buru menyelesaikan membersihkan diri lalu berjalan keluar kamar mandi.
"Apaan pake teriak-teriak, kayak di hutan!" omel Zita.
Pandu sedang memakai sepatu, tas juga sudah bersandar di depan pintu. "Jemputanku udah dateng, aku berangkat, ya." Ia berdiri, Zita mengangguk. Tangannya meraih jemari tangan sang suami. Diciumnya punggung tangan itu.
"Hati-hati," ujar Zita. Ia tersenyum. Pandu mengangguk, lalu ia memeluk Zita sembari menghirup aroma wangi istrinya itu. Diciumnya kening, kedua pipi, lalu berakhir mengecup singkat bibir mungil Zita.
"Kita ketemu dua minggu lagi, ya. Hati-hati di rumah, istrinya Pandu."
Aneh, Zita merasa hatinya seperti diremas, kebersamaannya beberapa waktu setelah menikah, membuat dirinya terbiasanya dengan adanya Pandu. Setelah menikah, Pandu meninggalkannya sepuluh hari, dan di rumah lima hari. Tapi sekarang, semua berubah mendadak, kebijakan perusahaan berubah. Hal itu dipengaruhi Pandu yang bisa dibilang ahli di bidangnya.
Zita melambaikan tangan saat mobil melaju, Pandu tersenyum, Zita menjulurkan lidah meledek suaminya itu yang di balas gelak tawa.
Memasuki hari ke tujuh, di mana pada akhirnya, seorang Zita mulai jenuh tak tau mau berbuat apa lagi. Setiap malam, Pandu rutinvideo callke istrinya itu, jangan bayangkan hal romantis, yang ada malah kesel-keselnya. Seperti malam itu, malam ke tujuh mereka LDR laut dan darat.Zita sedang menggunakan masker wajah hasil rumpian dengan Maya - tetangga sebelah - yang katanya, masker gold itu bagus untuk wajah. Oke, Zita beli seharga sembilan puluh ribu.Pandu menatap layar laptopnya yang ia taruh di meja yang ada di kamar berukuran kecil di tengan laut itu."Efeknya apa masker itu? Bisa glowing in the dark?"Goda Pandu sembari cekikikan. Ia hanya memakai kaos singlet pres body yang menunjukan otot-otot tubuhnya.
Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa."Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya."Apa, Mbak?" Zita beranjak."Ini, ada yang ant
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Di kantor.Bianca menjelaskan tentang konsep pengaturan karyawan hasil dari pikirannya. Pandu menolak, ia beranjak, dengan spidol di tangan, ia menuliskan struktur koordinasi staf di lapangan sesuai dengan fakta lapangan. Bianca mengangguk."Untuk jadwalrollingzona, nanti saya coba koordinasi sama kepala kru di sama, saya email atau telpon nanti. Di sini, yang perempuan lebih harus difokuskan, karena beberapa orang ada yang lagi hamil, nggak mungkin di tarih ke tengah laut."Pandu kembali duduk."Kalau untuk latar belakang pendidikan gimana, Ndu? Apa nggak masalah kalau stuktur koordinator di lapangan, sesuai sama pendidikan mereka?" Bianca kembali berbicara."Buat bagian apa? Bukannya masalah itu udah dibuat
Pandu masih terlelap, dengan tangan memeluk pinggang Zita yang ramping, juga karena tubuh Zita yang berusia dua puluh empat tahun tapi tampak seperti anak SMA kelas dua, imut, menggemaskan, ngeselin, tapi ngangenin. Sedangkan Zita yang sudah bangun sejak pukul tiga pagi, jemarinya mengusap layar ponsel. Zita sedang membaca artikel tentang :Pelakor, ciri-ciri wanita perebut suami orang, gerak-gerik pasangan selingkuh, juga, cara menghadapi wanita yang menyukai pasangan kita.Zita masih kepikiran, kecurigaan dan rasa was-was perlahan muncul dipikirannya. Apalagi ia sadar, Pandu belum menjalankan misi membuka segel Zita, dan di dalam hati, Zita juga tak enak hati. Ia juga sudah mempelajari hal tersebut dari sisi agama.Kedua matanya melirik Pandu yang tetap terlihat tampan saat tertidur. Ia tersenyum tipis, isi kepalanya men
Zita dan Pandu berjalan-jalan di taman yang ada di kota Istanbul, keduanya begitu menikmati hari yang selama ini mereka nantikan. Keempat anaknya sibuk dengan acara jalan-jalannya sendiri bersama saudara sepupu lainnya. Bangku taman itu mereka duduki, Pandu membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Zita memberikan es kopi miliknya ke tangan Pandu, karena ia ingin mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. "Mas, kita foto-foto dulu, selfie dulu biar keceh..." ujarnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah keduanya. Pandu bahkan tersenyum bahagia, dan ada yang foto sambil mencium pipi istrinya itu. "Zit, kalau rambutku di cet cokelat tua bagus kayaknya, deh," tanya Pandu sambil menyugar rambutnya yang masih lebat. Bagaimana tidak, Zita rajin membalur rambut Pandu dengan ramuan cemceman warisan budenya, dengan minyak kemiri, juga bahan-bahan tradisional lainnya. "Nggak usah. Ngapain, mau centil kamu. Puber ke dua? Iya?"
Hidup manusia itu layaknya roda berputar, itu benar. Pengulangan lingkaran kehidupan itu pasti akan terjadi. Tak jarang, banyak yang berpikir untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dari pada yang terdahulu, baik orang tua tua sendiri, atau menyangkut jalan hidup anggota keluar lainnya. Pandu dan Zita, menikah begitu cepat, kenalan juga cepat, harus menikah siri lebih dulu sebelum buku nikah diterima di tangan, tapi mampu membangun rasa cinta dua orang asing yang akhirnya, merasa terikat dan begitu saling membutuhkan seumur hidup. Tahun demi tahun mereka lewati, ujian rumah tangga mereka hadapi, pun, saat ujian berganti saat menerpa anak-anak mereka. Duta sempat berkelahi dengan remaja seusianya saat mengganggu Diva dan Dira yang berjalan setelah pulang dari minimarket, tak tedeng aling-aling, Duta main hajar dua remaja itu hingga akhirnya Pandu dan Zita ke rumah sakit karena dua remaja itu terluka cukup parah. Padahal, Datra lah si atlit karate, tapi Datra tak pern
Tidak heran, jika keluarga Pandu dan Zita memang ramai dan heboh. Tahun berganti, kehidupan mereka tak ayal seperti keluarga pada umumnya. Masalah banyak mereka temui, dan bisa terpecahkan dengan sangat baik juga. Ingat Duta yang tak bisa membaca? Kini, di saat triplet sudah menginjak masa sekolah dasar, Duta menunjukkan hal lain yang mampu membuat Zita dan Pandu bangga. Ia juara umum pidato anak kelas 6 SD. Iya, kini mereka sudah besar, waktu berjalan begitu cepat. Zita, apalagi Pandu, semakin tua, tapi, tidak mematikan semangat jiwa muda mereka semua.Pidato dengan tema "Sekolah untuk siapa?" itu, dibuat Duta seorang diri. Materinya ia kumpulkan sendiri sambil banyak menonton berita juga membaca buku. Tuh, kan, jangan meremehkan seseorang. Dulu, Pandu dan Zita bisa saja kesal karena kelihatannya, Duta malas belajar, pemberontak, tapi kini, ia seperti anak yang suka berorasi, menyuarakan pikirannya dengan terbuka, jago debat, dengan cara yang tepat. Datra bahkan kewalahan sa
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta
"Ayo... ayo... cepetan! Kita bisa ketinggalan kereta...! Ya ampunnn..." panik Zita yang berjalan menggandeng dua anaknya, satu anaknya lagi digendong Pandu, sedangnya Ageng sudah berlari lebih dulu untuk mencari gerbong kereta yang akan mereka naiki. Porter berjalan di belakang mereka membawa tiga tas koper besar. Tak hanya satu, tapi ada tiga porter yang mereka minta bantuan jasanya."Ini...!" teriak Ageng. Ia memberikan tiket kereta ke petugas yang masih berdiri di depan gerbong kereta eksekutif yang akan mereka naiki. Zita dan dua anaknya berjalan ke dalam gerbong, lalu Pandu yang masih menggendong Diva. Zita terengah-engah, ia merasa lega karena tak tertinggal kereta. Duta dan Datra memindai sekitar sembari menganga. Pertama kali naik kereta dan tampak takjub. "Diva duduk di sini sama Om Ageng, ya," ujar Zita sembari memindahkan Diva dari gendongan Pandu. Mereka duduk di bangku 13DC yang artinya, kursi bisa diputar 180 derajat, kereta Argo lawu itu nyaman karena kelas eks
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih