Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Di kantor.Bianca menjelaskan tentang konsep pengaturan karyawan hasil dari pikirannya. Pandu menolak, ia beranjak, dengan spidol di tangan, ia menuliskan struktur koordinasi staf di lapangan sesuai dengan fakta lapangan. Bianca mengangguk."Untuk jadwalrollingzona, nanti saya coba koordinasi sama kepala kru di sama, saya email atau telpon nanti. Di sini, yang perempuan lebih harus difokuskan, karena beberapa orang ada yang lagi hamil, nggak mungkin di tarih ke tengah laut."Pandu kembali duduk."Kalau untuk latar belakang pendidikan gimana, Ndu? Apa nggak masalah kalau stuktur koordinator di lapangan, sesuai sama pendidikan mereka?" Bianca kembali berbicara."Buat bagian apa? Bukannya masalah itu udah dibuat
Pandu masih terlelap, dengan tangan memeluk pinggang Zita yang ramping, juga karena tubuh Zita yang berusia dua puluh empat tahun tapi tampak seperti anak SMA kelas dua, imut, menggemaskan, ngeselin, tapi ngangenin. Sedangkan Zita yang sudah bangun sejak pukul tiga pagi, jemarinya mengusap layar ponsel. Zita sedang membaca artikel tentang :Pelakor, ciri-ciri wanita perebut suami orang, gerak-gerik pasangan selingkuh, juga, cara menghadapi wanita yang menyukai pasangan kita.Zita masih kepikiran, kecurigaan dan rasa was-was perlahan muncul dipikirannya. Apalagi ia sadar, Pandu belum menjalankan misi membuka segel Zita, dan di dalam hati, Zita juga tak enak hati. Ia juga sudah mempelajari hal tersebut dari sisi agama.Kedua matanya melirik Pandu yang tetap terlihat tampan saat tertidur. Ia tersenyum tipis, isi kepalanya men
Perkumpulan ibu-ibu komplek karyawan itu di buka dengan Rima yang menyampaikan beberapa kata sebagai ungkapan rasa syukur karena acara sunatan itu bisa di realisasikan.Zita duduk menatap kagum kepada Rima yang secara personal memang senang berbagi, wajar saja, karena ia juga senior di antara mereka semua. Gemuruh tepuk tangan mengudara, para ibu beranjak, menuju ke posisi masing-masing, Zita menjadi panitia bagian pendataan peserta sunat, menyematkan ID Card dengan peniti di baju koko anak-anak yang akan di sunat.Peserta sunat empat puluh anak, dengan dokter ada sepuluh. Aula di sulap dengan hiasan yang indah dengan pendingin ruangan yang membuat nyaman semua orang. Sejak pukul enam pagi, Zita sudah berada di sana, Pandu masih tidur, dan akan ke kantor pukul sembilan.Tiga hari sejak
"Kenapa muka kamu gitu, Mas Pandu?" tanya Zita saat mereka makan di gerai makanan cepat saji, Pandu mendengkus."Pak Ahmad minta aku ke kantor, bahas absen dan rolling shift temen-temen di laut." Pandu memasukan ponsel ke dalam saku celananya lagi.Zita mengangguk, tapi dengan cepat menatap lekat suaminya. "Ada Bianca dong, Mas?" tanyanya semangat plus waswas."Iya lah, pasti. Buruan habisin, jam tiga aku ditunggu di sana." Pandu juga kembali menikmati burger jumbo pesanannya dan minuman cola. Zita diam, ia sudah diminta Pandu untuk tidak menuduh dan buang jauh-jauh pikiran tentang Bianca, tapi tetap saja sudah, Pandu juga tau jika Bianca tertarik padanya, untuk itu ia bersikap ketus dan dingin.Zita menghela napas, ia menatap suaminy
Zita terlelap, saat Pandu tiba di rumahnya. Hari sudah larut, tepatnya pukul sebelas malam. Terpaksa Pandu mengetuk-ngetuk jendela kamar supaya Zita terbangun untuk membukakan kunci."Zita... Zit, Mas Pandu nih, bukain dong pintunya, cepetan, udah kaya maling aku, nih," suara Pandu terdengar pelan dari luar jendela. Zita mendengar, ia beranjak, lalu berjalan ke luar kamar menuju ke pintu.Diliriknya jam di dinding. Ia berdecak pelan. Tangannya membuka gagang pintu, muncul Pandu yang tampak lelah juga."Maaf bangunin kamu, tidur lagi sana, aku mandi dulu," tangan Pandu mengusap kepala Zita."Aku masakin air panas buat mandi, udah malam, Mas, jangan pakai air dingin. Kamu duduk dulu aja," perintah Zita. Pandu mengangguk. Istrinya mengam
Pandu beranjak dari duduknya, menghampiri Zita yang begitu cantik. Kedua mata Zita melirik ke Bianca yang tersenyum masam ke arahnya. Bianca jual, Zita beli. Enak aja mau serobot suami orang, belum tahu apa yang bakal Zita lakukan terhadap pengganggu keharmonisan rumah tangganya. Tak akan Zita biarkan begitu saja."Hai, kok ke sini, nggak bilang-bilang." Dengan santai Pandu mengecup kening istrinya. Sorakan segera terdengar riuh, bahkan ada yang melempar Pandu dengan pulpen. Zita tertawa."Maaf ya, saya samperin suami saya nggak bilang-bilang." Zita berbicara kepada teman-teman Pandu, tertawa sembari menutup sedikit mulutnya menunjukan tanda kesopanan dan malu. Zita belajar dari drama korea yang ia tonton.Pandu menggandeng tangan istrinya, menarik kursi, meminta Zita duduk. "Kit
"Lagi ngapain?" Pandu mencolek pinggang Zita hingga ia terperanjat sambil memegang dadanya."Ngagetin, kamu ih. Apaan sih, Mas Pandu." Zita melirik sinis ke suaminya yang mesam mesem."Kamu masak? Emang bisa?" goda Pandu sambil mengintip ke atas wajan. Zita berdecak, ia ingin memasak semur daging, setelah belajar kilat dengan Maya pagi hari, Zita langsung mempraktekannya siang hari."Hp sepi nih, nggak ada telpon masuk atau pesan masuk. Udah KO itu nenek lampir?" sindir Zita dengan tangan memegang centong mengaduk daging yang sudah meletup-letup kaldu dan bumbu di dalam wajan. Ia kecilkan api, kali ini bergeser menyiapkan sayur bayam untuk ia rebus sebagai lalapannya, untuk sambal, ia membeli jadi dari UMKM ibu-ibu yang tergabung di grupnya, sambal jontor dan sambal roa.