Memasuki hari ke tujuh, di mana pada akhirnya, seorang Zita mulai jenuh tak tau mau berbuat apa lagi. Setiap malam, Pandu rutin video call ke istrinya itu, jangan bayangkan hal romantis, yang ada malah kesel-keselnya. Seperti malam itu, malam ke tujuh mereka LDR laut dan darat.
Zita sedang menggunakan masker wajah hasil rumpian dengan Maya - tetangga sebelah - yang katanya, masker gold itu bagus untuk wajah. Oke, Zita beli seharga sembilan puluh ribu.
Pandu menatap layar laptopnya yang ia taruh di meja yang ada di kamar berukuran kecil di tengan laut itu.
"Efeknya apa masker itu? Bisa glowing in the dark?" Goda Pandu sembari cekikikan. Ia hanya memakai kaos singlet pres body yang menunjukan otot-otot tubuhnya.
"Iyi kili. Kiti Kik Miyi bisi mincirihkin wijih." Susah ngomong Zita karena masker itu menempel di wajahnya.
"Buat siapa emangnya kamu glowing-glowing gitu? Buat suaminya ya? Biar pas suaminya pulang, matanya silau karena wajah istrinya bersinar terang ngalahin lampu sorot kapal." Kembali Pandu cekikikan, membuat Zita melepaskan masker gold itu. Menatap tajam Pandu yang makin geli tertawanya karena Zita BT.
"Buat siapa, Kek, kalau suaminya nggak seneng, yasudah..., siapa tau ada laki-laki lain yang ngelirik, kan?" Ledeknya. Pandu auto kicep. Ia diam sambil terus menatap Zita.
"Jangan aneh-aneh, Zit, mau cowok itu aku seret ke sini, aku lembar ke laut untuk umpan Hiu?!"
"Dih, sewot. Aku kan cuma mengungkapkan apa yang aku pikirin, kamu kan yang mulai duluan."
"Jadi, perawat muka itu, kamu lakuin untuk aku? Hm?" Pandu melembut nada bicaranya, ia memeluk guling sembari tersenyum.
"Nggak juga sih, nyenengin diri sendiri aja, selama di Yogya, aku kan nggak tau kaya gini-ginian, baru di sini aja, ngobrol sama Kak Maya dan gabung ke grup Ibu-ibu komplek, jadi belajar hal baru." Sahut Zita sembari tersenyum manis tapi tatapan ke arah lain.
Pandu diam, ia tersenyum, memuji kecantikan, kepolosan, dan kejudesan Zita yang membuatnya semakin menyayangi istrinya itu. Ia merasakan menahan rindu terhadap seseorang yang menunggunya pulang ke rumah, merasakan getaran menggelitik di hatinya saat Zita bawel menceritakan kegiatan sehariannya yang kini mulai merasa jenuh.
Pandu menyimak dengan baik, ia memperhatikan bagaimana cara Zita bercerita, dan cara Zita menatapnya. Wajah Indo Turki Zita benar-benar membuat Pandu gemas.
"Aku kerja boleh, Mas?" Pertanyaan Zita membuat Pandu tersadar.
"Nggak. Ngapain kerja. Suami kamu kaya, Zit." Tegur Pandu.
"Ck, aku mulai bosen di rumah, Mas, kerja di mini market, deh, boleh ya?" bujuknya. Pandu menggelengkan kepala.
"Kamu ada ide emangnya biar aku nggak BT?" tanya Zita yang kini duduk di atas ranjang, bersandar sembari memangku laptop beralasakan bantal. Sebelumnya ia duduk di meja rias kamarnya.
"Nggak ada ide. Di rumah kan lengkap, ada internet, makanan banyak, tetangga baik, kamu bisa ngobrol dan ikut kegiatan kan?"
"Bukan gitu, Mas Pandu, aku tuh pecicilan orangnya, pingin lakuin yang lebih lagi." Kedua mata Zita menatap sendu ke Pandu. Kembali, suaminya menggelengkan kepala.
Zita lulusan kampus jurusan bahasa Inggris, ia bisa saja mengajar, tapi usul itu pun ditolak Pandu. Ia tak mau istrinya bekerja, intinya itu. Dengkusan Zita membuat Pandu tak enak hati, tapi ia memang tak suka Zita bekerja.
"Pintu udah dikunciin, Zit?" tanya Pandu.
"Udah." Jawabnya ketus dengan bibir manyun.
"Zita," panggil Pandu lembut. Kedua mata Zita menatap ke layar laptop, wajah suaminya tampak begitu jelas.
"Aku emang kurang suka kalau kamu kerja, aku tau kamu bosen di rumah karena nggak ada kegiatan apa-apa. Sebenarnya bisa aja kalau kamu mau aktif bareng Ibu-ibu lainnya, mereka suka bikin kegiatan sosial, kok, coba tanya Maya atau Mbak Dety, cukup rajin kok, Zit, tanpa kamu rutin kerja, kamu pasti sibuk berkegiatan sama mereka."
Kedua bahu Zita merosot, ia menghela napasnya juga. "Yaudah, aku besok coba main ke rumah Mbak Dety pas lewat beli sayur. Udah jam satu malam, Mas, tidur kamu, shift kamu siang terus?" Zita juga mulai mengantuk.
"Iya, bulan ini siang terus. Nanti kalau aku pulang, aku nggak di rumah terus juga, diminta dampingin anak training, di kantor, sesekali aja."
"Iya. Terus, kapan kita ke Yogya?" tanya Zita dengan kedua mata sudah begitu mengantuk.
"Bulan depan, pas jadwal aku libur ya, kalau bulan ini aku sibuk banget, aku juga belum ke Pak RT kan, buat minta surat numpang nikah. Orang kantor nggak bisa urus, harus aku sendiri."
"Yaudah, aku ngantuk, Mas. Kamu juga tidur, ya." Zita merebahkan tubuhnya, Pandu mengangguk.
"Yaudah matiin," rengek Zita dengan kelopak mata mulai terpejam.
"Iya nanti, bobo kamu, aku temenin," ujar Pandu yang terus menatap wajah istirnya yang mengangguk sembari mulai terpejam. Tak berselang lama, Zita terlelap. Pandu mengusap layar laptop miliknya. Ia tersenyum. "Sleep tight, Zita cantik, sayangku." Lirih Pandu diakhiri senyuman. Ia juga terpejam, keduanya sama-sama tak mematikan layar laptop, membiarkan menyala, seolah keduanya sedang tidur bersama seperti saat di rumah.
***
Pagi-pagi Zita main berkeliling untuk mencari tukang sayur langganan yang tak tampak batang hidungnya. Ia malas ke pasar, selain jauh harus keluar komplek, ia kikuk kalau sendirian, apalagi harga belanjaan di kota itu jauh berbeda dengan di Yogya. Zita juga memasak paling tumisan sama sayur bening, lainnya mendingan beli jadi.
"Zita!" suara Dety terdengar, kebetulan sekali bertemu di jalan. Zita mengerem mendadak, meminggirkan motor lalu melihay Dety turun dari mobilnya.
Kini keduanya duduk di trotoar pinggir jalan, cuek dan santai. "Kamu bisa kan ikutan kita bungkus-bungkusin untuk bingkisan anak-anak yatim piatu, bulan ini ada santunan, acaranya di Aula komplek. Bu Rima lagi pergi belanja keperluan lainnya."
"Boleh, Mbak, kapan?"
"Siang atau sore, nanti aku telpon kamu. Eh iya, satu lagi, kamu kalau dimasukin jadi bagian inti pengurus mau nggak? Bagian pendataan anggota sama bikin notulen hasil kita kumpul-kumpul, kamu kan yang termuda nih, boleh kan, kita kerjain kamu biar sibuk?" Dety tertawa geli. Zita seperti mendapat angin sejuk, ia mengangguk cepat.
"Sini, Mbak, aku bantuin. Disuruh jadi seksi repot juga mau, BT juga di rumah terus." Sahut Zita. Dety cekikikan sembari menganggukan kepala.
"Nih, sarapan, aku beli pisang kipas tadi, di deket sekolah anak-anak, nggak pa-pa ya kita demprok di sini," kekeh Dety sembari menikmati pisang goreng.
"Ya nggak pa-pa, Mbak, sama aku tuh, santai aja. Mbak Dety asli mana?" tanya Zita yang juga mulai menikmati pisang goreng kipas itu.
"Aku Jakarta, suami asli Semarang. Kamu Yogya, ya? Kalau Pandu, Solo?" tanya Dety, Zita menganggukkan kepala. Keduanya sarapan sambil mengobrol, komplek karyawan itu memang cukup besar, dan sepi, jadi duduk santai di pinggir jalan begitu, tak masalah, paling kalau Rima lewat, baru diledekin yang justru membuat suasana semakin santai dan akbrab.
"Pandu hebat, sekalinya pulang kampung, balik ke sini bawa istri. Laki-laki begini yang patut diacungi jempol. Semua orang juga kenal Pandu itu karyawan yang ulet, tekun, agak galak kalau kata suamiku, baiknya juga kebangetan, suka enggak enakan sama orang." Dety seolah tau tentang Pandu.
"Suamiku ke terkenal itu, Mbak?" Zita tertawa kecil.
"Pandu udah lama kerja di sini, nggak mau dipindahin ke mana-mana karena dia betah ada di kota ini, nggak terlalu ramai. Kita nggak tau Pandu pernah pacaran, kerjaannya ya kerja beneran, jarang pulang ke Solo juga. Ke sini juga jarang, palingan cuma tengokin rumah yang disewain, rumah yang sekarang kalian tempatin itu."
"Mas Pandu nggak pernah pacaran, Mbak?" Zita memastikan lagi. Dety mengangguk.
"Suamiku yang cerita, kita-kita juga tau pas lagi berpapasan sama suami kamu aja. Eh iya, kamu masak nggak, kalau nggak nanti aku bawain pas kita ke Aula utama komplek."
"Iya, Mbak, boleh kalau nggak repotin," jawab Zita di iringi kekehan.
"Nggak lah, yaudah, aku pulang, kamu mau belanja sayur? Nggak usah lah, aku bagi pokoknya masakanku."
Zita mengangguk, keduanya beranjak, masing-masing menuju ke kendaraan mereka untuk pulang ke rumah masing-masing, Zita tersenyum.
Apa ini yang dimaksud Mas Pandu, istri emang harus nurut suami kayaknya. Ucapnya dalam hati sembari mengulum senyum, akhirnya ia tak bosan lagi karena ada kegiatan walau bersama ibu-ibu komplek.
Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa."Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya."Apa, Mbak?" Zita beranjak."Ini, ada yang ant
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Di kantor.Bianca menjelaskan tentang konsep pengaturan karyawan hasil dari pikirannya. Pandu menolak, ia beranjak, dengan spidol di tangan, ia menuliskan struktur koordinasi staf di lapangan sesuai dengan fakta lapangan. Bianca mengangguk."Untuk jadwalrollingzona, nanti saya coba koordinasi sama kepala kru di sama, saya email atau telpon nanti. Di sini, yang perempuan lebih harus difokuskan, karena beberapa orang ada yang lagi hamil, nggak mungkin di tarih ke tengah laut."Pandu kembali duduk."Kalau untuk latar belakang pendidikan gimana, Ndu? Apa nggak masalah kalau stuktur koordinator di lapangan, sesuai sama pendidikan mereka?" Bianca kembali berbicara."Buat bagian apa? Bukannya masalah itu udah dibuat
Pandu masih terlelap, dengan tangan memeluk pinggang Zita yang ramping, juga karena tubuh Zita yang berusia dua puluh empat tahun tapi tampak seperti anak SMA kelas dua, imut, menggemaskan, ngeselin, tapi ngangenin. Sedangkan Zita yang sudah bangun sejak pukul tiga pagi, jemarinya mengusap layar ponsel. Zita sedang membaca artikel tentang :Pelakor, ciri-ciri wanita perebut suami orang, gerak-gerik pasangan selingkuh, juga, cara menghadapi wanita yang menyukai pasangan kita.Zita masih kepikiran, kecurigaan dan rasa was-was perlahan muncul dipikirannya. Apalagi ia sadar, Pandu belum menjalankan misi membuka segel Zita, dan di dalam hati, Zita juga tak enak hati. Ia juga sudah mempelajari hal tersebut dari sisi agama.Kedua matanya melirik Pandu yang tetap terlihat tampan saat tertidur. Ia tersenyum tipis, isi kepalanya men
Perkumpulan ibu-ibu komplek karyawan itu di buka dengan Rima yang menyampaikan beberapa kata sebagai ungkapan rasa syukur karena acara sunatan itu bisa di realisasikan.Zita duduk menatap kagum kepada Rima yang secara personal memang senang berbagi, wajar saja, karena ia juga senior di antara mereka semua. Gemuruh tepuk tangan mengudara, para ibu beranjak, menuju ke posisi masing-masing, Zita menjadi panitia bagian pendataan peserta sunat, menyematkan ID Card dengan peniti di baju koko anak-anak yang akan di sunat.Peserta sunat empat puluh anak, dengan dokter ada sepuluh. Aula di sulap dengan hiasan yang indah dengan pendingin ruangan yang membuat nyaman semua orang. Sejak pukul enam pagi, Zita sudah berada di sana, Pandu masih tidur, dan akan ke kantor pukul sembilan.Tiga hari sejak