Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.
Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa.
"Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya.
"Apa, Mbak?" Zita beranjak.
"Ini, ada yang antar surat, keselip nama kamu, dari Pandu!" Dety yang kalau bicara tak bisa pelan, membuat Zita di goda semua orang.
"Awww... Zita, Mas Pandu romantis banget kirim surat, jadul banget caranya," ledek salah satu ibu-ibu itu. Zita hanya bisa senyum-senyum sambil gerutu di dalam hati.
Apa-apaan Mas Pandu, bikin malu, hih!. Kesal sekali Zita. Ia duduk kembali ditempatnya, mulai membuka surat itu.
Zita,
Maaf, aku kirim surat, bukan apa-apa, aku dapat kabar mau ada badai di sini, semua jaringan komunikasi bisa terputus sementara. Ini salah satu resiko lainnya, Zit. Biasanya nggak sampai berhari-hari, maksimal satu malam, tapi ya, namanya cuaca, kita nggak bisa prediksi.
Hati-hati di rumah ya, aku titip surat ini karena pas surat ini sampai di kamu, di sini semua komunikasi untuk ke darat mulai off. Aku kabarin kamu kalau semua udah normal.
Mas Pandu.
Begitu isi surat itu, Zita diam seketika. Ia sudah kesal duluan padahal belum membaca isi surat itu.
"Bu Rima, emang kalau di laut lagi ada badai, komunikasi keputus atau off sementara?" tanya Zita.
"Iya, kenapa, Zita? Pandu kirim surat untuk kasih tau hal itu ya?" Rima menatap Zita yang menjawab dengan anggukan kepala.
"Nggak apa-apa, semua bisa diatasi, memang resiko kita begini, kalau udah berhadapan dengan cuaca, cuma bisa berdoa yang terbaik untuk suami kita di tengah laut. Tenang, jangan khawatir, ya." Rima mengusap lengan Zita. Istri Pandu itu kembali melanjutkan kegiatannya walau ia mendadak kepikiran.
Cuaca berubah mendung, berita badai itu sepertinya bukan hoax, kata Dety, imbas di darat paling hujan deras mati padam listrik. Zita mengecek perlengkapan jika listrik padam seperti lilin, senter dan lampu emergency jika dibutuhkan. Ia juga mengecas ponsel hingga penuh untuk jaga-jaga jika hening menyelimuti malamnya yang dipastikan tak ditemani Pandu videocall.
Awan gelap begitu pekat, padahal masih jam lima sore, ia sudah di rumah, duduk di ruang tamu mengintip langit abu-abu dari balik tirai.
"Tante Zita!" teriak anak sulung Maya. Zita keluar, berjalan menghampiri.
"Ya, Bang, ada apa?" tanya Zita dengan wajah panik.
"Ini, Bunda baru selesai bikin sop ayam, buat Tante Zita makan, Ado taroh sini ya, Tan, langitnya serem!" pekik Ado sembari berlari. Meletakkan mangkuk berisi sop ayam di atas tembok pembatas rumah yang tingginya hanya sebatas pinggang Zita.
"Makasih Ado! Kak Maya!" teriak Zita yang bergegas masuk ke dalam rumah ia juga mengunci pintu. Televisi ia nyalakan, menghalau sepi dirinya sembari menikmati makanan dari Maya.
Terdengar suara rintik hujan yang turun perlahan dan tak lama deras. Membuat suara televisi tak terdengar. Zita mengintip lagi, awan begitu pekat, membuatnya bergidik. Di darat saja sudah sekelabu itu, belum lagi angin yang kencang. Bagaimana di laut.
Mas Pandu, Zita teringat pria itu. Ia membawa mangkuk kosong ke bak cuci, memeriksa pintu belakang untuk tempat jemur baju sudah terkunci atau belum, ia memastikan sekali lagi lilin, korek, senter, dan lampu emergency. Siaran televisi tak ada yang seru, salah, Zita yang mendadak mood-nya drop, ia menghelana napas gusar, duduknya tak tenang, pikirannya terbang membayangkan apa yang terjadi di tengah laut sana.
Ponsel ia nyalakan, ingin menghubungi Nadin untuk sekedar bercerita, namun, sinyal pun padam, apa badai menyebabkan gangguan itu, dan tak lama listrik padam.
***
Pukul sembilan malam, Zita duduk termenung masih di ruang tamu, ia menatap lilin yang berdiri tegak sendirian, tapi mampu menerangi area sekitar. Jangan tanyakan ke mana lampu emergency, karena lampu lupa di cas Pandu dan tak bisa digunakan. Ke mageran Pandu kalau udah di rumah berimbas kekesalan Zita.
Mati gaya, tak ada yang bisa ia lalukan selain tiduran di sofa sembari memainkan game candy crush yang sudah membuat Zita jenuh karena levelnya nggak selesai-selesai. Hingga kini ia beralih melihat galery foto di ponselnya itu.
Foto-foto saat ia di Yogya, naik sepeda bersama Bagus ke sawah dan kebun lada tetangga, hingga saat Zita sok-sok'an gaya foto di tempat hits kota itu yang ia sambangi sekedar numpang foto, bukan ikut nongkrong. Bagus akan menyeretnya pulang jika ikut nongkrong-nongkrong. Terlalu ketat penjagaan untuk Zita.
Jemarinya berhenti saat melihat foto pernikahan dadakannya dengan Pandu. Zita menatap kamera ponsel saat difoto, namun Pandu justru menatapnya sembari tersenyum. Jelas tampak suaminya itu bahagia. Bergeser ke foto lainnya, yang membuat ia tertawa sendiri. Ternyata Pandu mengirimkan banyak foto pria itu ke ponsel Zita yang memang jarang ia utak atik galerynya.
Ada foto Pandu di tempat kerja, sata bersama Nadin waktu kecil dulu, saat sekolah, kuliah, dan saat mendadak satu foto membuat Zita bengong yaitu. Saat Pandu selfie dengan Zita yang sedang terlelap tidur. Pandu tersenyum tampan, mendadak senyuman itu menular ke Zita, ia menggeser layar lagi, masih dalam momen yang sama, tapi kali ini Pandu mencium keningnya. Zita mengulum senyum melihat foto itu.
Dan, berakhir pada saat Pandu mengabadikan momen Zita sedang berkebun di teras depan, kali ini video, saat Zita berjongkok, menanam bibit bunga mawar, rerumputan baru dan mendongak sembari berkacak pinggang saat melihat pohon kamboja. Terdengar suara pandu cekikikan dalam video itu, dan, selesai.
Zita ingat, momen itu di mana saat Pandu di dapati Zita main PS 5, ternyata diam-diam suaminya itu merekam adegan itu. Ia tersenyum lagi, kantuk melanda, dan Zita memejamkan mata.
***
Zita terbangun, ia melihat cahaya lilin sudah meredup, listrik sudah menyala kembali dan jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia duduk, memadamkan lilin dengan ia tiup, lalu mencoba mengirim pesan singkat ke suaminya.
Masih tak terkirim. Bahkan ia mencoba telpon juga tak bisa. Televisi menyiarkan drama korea dini hari, ia memutuskan menonton saja sembari membuat kopi susu hangat, ia juga masih punya roti tawar dan selai cokelat, cocok untuk keadaan genting dengan kegalauan hati yang melandanya.
Di dalam hati, ia terus berdoa untuk keselamatan suaminya, mendadak debaran jantungnya berdetak kencang setelah ia berdoa. Ia memegang dadanya.
Apa aku mulai suka sama Mas Pandu?. Tanyanya dalam hati. Ia akui, jika hidupnya mulai terbiasa dengan adanya Pandu. Pria itu membawa suasana baru bagi hidupnya yang terlalu dilindungi bude dan sepupunya.
Sekali lagi Zita mencoba menghubungi ponsel suaminya, dan lagi-lagi nihil. Saluran TV ia ganti ke berita lokal. Berita tentang badai dan hujan lebat membuat perasaan Zita ketar ketir, tak bisa membayangkan sepanik apa para pekerja di tengah laut mengatasi masalah itu. Gelombang di dalam laut bisa saja membahayakan kegiatan kerja mereka. Gulungan ombak juga pasti tinggi, dan Pandu bertanggung jawab mengawasi sambungan pipa minyak itu bersama timnya yang tak segan turun ke lokasi.
Zita menggigit kuku-kuku jarinya, helaan napas gusar ia hembuskan berkali-kali.
"Mas Pandu, kabarin aku secepatnya, aku khawatir." Lirihnya hingga membuat air matanya menetes. Zita menangis? Sedih karena Pandu. Fix ia jatuh cinta dengan suaminya yang tak ada kabar hampir dua puluh empat jam. Lose contact itu membuat Zita uring-uringan sendiri.
Zita sibuk merapikan tanaman di halaman depan rumah. Dering ponselnya berbunyi. Ia beranjak dari jongkoknya, berjalan ke dalam rumah. Nama Pandu tertera di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas."Hm." Sapa Zita sebelum Pandu menyapa."Lagi ngapain?" Sapa si suami.Akhirnya Zita mendengar suara itu lagi setelah tiga puluh jam tak ada kabar."Ngerapihin tanaman di depan. Badai udah selesai?" tanya sembari duduk di sofa ruang TV plus ruang tamu. Semua jadi satu pokoknya. Maklum, rumahnya kecil, Pandu bukan CEO kan, kuli kilang minyak doang hohohoho."Emang kenapa tanamannya? Rusak? Ada badai juga di sana?"
Janji tinggalah janji. Zita sejak pagi sudah merapikan rumah, juga membeli masakan matang di restoran seafood untuk menyambut kepulangan Pandu. Ia merapikan meja makan. Setengah jam lalu, suaminya mengbari jika dirinya sudah sampai di kantor pusat, melalukan lapor diri sebelum di antar supir ke rumah.Suara deru mobil terdengar, Zita berjalan ke teras, melihat suaminya yang tampak lelah, mencoba tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Zita mendadak grogi, membalas senyumannya dengan kedua sudut bibir berkedut - salah tingkah."Assalamualaikum," sapa Pandu."Waalaikumsalam, Mas Pandu," balasnya diakhiri cengiran. Pandu berdiri di hadapan Zita, meletakan tas ransel besar di samping, tanganya terulur, mengusap kepala istrinya lalu berjalan masuk.
Hari yang dinanti Zita, jalan-jalan ke mal. Ia sudah siap sejak jam satu siang, setelah sholat dzuhur, ia segera berganti pakaian. Pandu juga sudah siap, ia tak mau ingkar janji lagi. Ia paham Zita butuh jalan-jalan."Nggak nonton film korea, ya, awas aja kamu. Aku tinggal pulang." Ancam Pandu sembari menyugar rambut dengan jemarinya."Iya... ish, udah kesekian kali kamu ingetin aku, Mas. Kita nonton film horor aja." Celetuk Zita masih mematut diri di depan cermin meja rias."Udah cantik, Sayang," bisik Pandu di telinga lalu mengecup pipi Zita. Istrinya itu melirik, tersenyum lalu berubah kesal."Modusnya bisa banget sih, Mas. Muji tapi ujung-ujungnya cium." Dumalnya."Biarin. Udah sah ini, kenapa? Mau protes? Dosa, Zit...," sindir Pandu. Ia meraih kunci mobil, berjalan ke garasi, ia sudah menyalakan mesin mobil saat Zita menyalakan lampu teras juga mengunci pintu.Mobil fortuner hitam itu akhirnya keluar dari garasi, Zita belum bisa mengemudikan mobil, suatu saat memang Pandu berjanji
Zita menatap penampilan suaminya yang tak biasa. Pandu harus berada di kantor pukul sembilan pagi, setelah sholat subuh, ia memang tak tidur seperti biasanya, ia membaca materi dari salah satu buku itu sambil sarapan."Mas Pandu.""Apa cinta...," jawab Pandu sembari mengedipkan sebelah matanya menatap Zita dari cermin di hadapannya.Zita memutar bola matanya malas, ia bersedekap di ambang pintu kamar. "Pulang jam berapa nanti?"Pandu berbalik badan. "Belum juga jalan, udah ditanyain pulang jam berapa, kenapa? Kangen? Nggak mau ditinggal, kenapa?" tanya Pandu. Ia berjalan mendekat ke Zita, menghimpit tubuh istrinya dengan kedua tangan menekan pintu, membuat Zita menahan napas karena wajah keduanya begitu dekat.
Di kantor.Bianca menjelaskan tentang konsep pengaturan karyawan hasil dari pikirannya. Pandu menolak, ia beranjak, dengan spidol di tangan, ia menuliskan struktur koordinasi staf di lapangan sesuai dengan fakta lapangan. Bianca mengangguk."Untuk jadwalrollingzona, nanti saya coba koordinasi sama kepala kru di sama, saya email atau telpon nanti. Di sini, yang perempuan lebih harus difokuskan, karena beberapa orang ada yang lagi hamil, nggak mungkin di tarih ke tengah laut."Pandu kembali duduk."Kalau untuk latar belakang pendidikan gimana, Ndu? Apa nggak masalah kalau stuktur koordinator di lapangan, sesuai sama pendidikan mereka?" Bianca kembali berbicara."Buat bagian apa? Bukannya masalah itu udah dibuat
Pandu masih terlelap, dengan tangan memeluk pinggang Zita yang ramping, juga karena tubuh Zita yang berusia dua puluh empat tahun tapi tampak seperti anak SMA kelas dua, imut, menggemaskan, ngeselin, tapi ngangenin. Sedangkan Zita yang sudah bangun sejak pukul tiga pagi, jemarinya mengusap layar ponsel. Zita sedang membaca artikel tentang :Pelakor, ciri-ciri wanita perebut suami orang, gerak-gerik pasangan selingkuh, juga, cara menghadapi wanita yang menyukai pasangan kita.Zita masih kepikiran, kecurigaan dan rasa was-was perlahan muncul dipikirannya. Apalagi ia sadar, Pandu belum menjalankan misi membuka segel Zita, dan di dalam hati, Zita juga tak enak hati. Ia juga sudah mempelajari hal tersebut dari sisi agama.Kedua matanya melirik Pandu yang tetap terlihat tampan saat tertidur. Ia tersenyum tipis, isi kepalanya men
Perkumpulan ibu-ibu komplek karyawan itu di buka dengan Rima yang menyampaikan beberapa kata sebagai ungkapan rasa syukur karena acara sunatan itu bisa di realisasikan.Zita duduk menatap kagum kepada Rima yang secara personal memang senang berbagi, wajar saja, karena ia juga senior di antara mereka semua. Gemuruh tepuk tangan mengudara, para ibu beranjak, menuju ke posisi masing-masing, Zita menjadi panitia bagian pendataan peserta sunat, menyematkan ID Card dengan peniti di baju koko anak-anak yang akan di sunat.Peserta sunat empat puluh anak, dengan dokter ada sepuluh. Aula di sulap dengan hiasan yang indah dengan pendingin ruangan yang membuat nyaman semua orang. Sejak pukul enam pagi, Zita sudah berada di sana, Pandu masih tidur, dan akan ke kantor pukul sembilan.Tiga hari sejak
"Kenapa muka kamu gitu, Mas Pandu?" tanya Zita saat mereka makan di gerai makanan cepat saji, Pandu mendengkus."Pak Ahmad minta aku ke kantor, bahas absen dan rolling shift temen-temen di laut." Pandu memasukan ponsel ke dalam saku celananya lagi.Zita mengangguk, tapi dengan cepat menatap lekat suaminya. "Ada Bianca dong, Mas?" tanyanya semangat plus waswas."Iya lah, pasti. Buruan habisin, jam tiga aku ditunggu di sana." Pandu juga kembali menikmati burger jumbo pesanannya dan minuman cola. Zita diam, ia sudah diminta Pandu untuk tidak menuduh dan buang jauh-jauh pikiran tentang Bianca, tapi tetap saja sudah, Pandu juga tau jika Bianca tertarik padanya, untuk itu ia bersikap ketus dan dingin.Zita menghela napas, ia menatap suaminy
Zita dan Pandu berjalan-jalan di taman yang ada di kota Istanbul, keduanya begitu menikmati hari yang selama ini mereka nantikan. Keempat anaknya sibuk dengan acara jalan-jalannya sendiri bersama saudara sepupu lainnya. Bangku taman itu mereka duduki, Pandu membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Zita memberikan es kopi miliknya ke tangan Pandu, karena ia ingin mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. "Mas, kita foto-foto dulu, selfie dulu biar keceh..." ujarnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah keduanya. Pandu bahkan tersenyum bahagia, dan ada yang foto sambil mencium pipi istrinya itu. "Zit, kalau rambutku di cet cokelat tua bagus kayaknya, deh," tanya Pandu sambil menyugar rambutnya yang masih lebat. Bagaimana tidak, Zita rajin membalur rambut Pandu dengan ramuan cemceman warisan budenya, dengan minyak kemiri, juga bahan-bahan tradisional lainnya. "Nggak usah. Ngapain, mau centil kamu. Puber ke dua? Iya?"
Hidup manusia itu layaknya roda berputar, itu benar. Pengulangan lingkaran kehidupan itu pasti akan terjadi. Tak jarang, banyak yang berpikir untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dari pada yang terdahulu, baik orang tua tua sendiri, atau menyangkut jalan hidup anggota keluar lainnya. Pandu dan Zita, menikah begitu cepat, kenalan juga cepat, harus menikah siri lebih dulu sebelum buku nikah diterima di tangan, tapi mampu membangun rasa cinta dua orang asing yang akhirnya, merasa terikat dan begitu saling membutuhkan seumur hidup. Tahun demi tahun mereka lewati, ujian rumah tangga mereka hadapi, pun, saat ujian berganti saat menerpa anak-anak mereka. Duta sempat berkelahi dengan remaja seusianya saat mengganggu Diva dan Dira yang berjalan setelah pulang dari minimarket, tak tedeng aling-aling, Duta main hajar dua remaja itu hingga akhirnya Pandu dan Zita ke rumah sakit karena dua remaja itu terluka cukup parah. Padahal, Datra lah si atlit karate, tapi Datra tak pern
Tidak heran, jika keluarga Pandu dan Zita memang ramai dan heboh. Tahun berganti, kehidupan mereka tak ayal seperti keluarga pada umumnya. Masalah banyak mereka temui, dan bisa terpecahkan dengan sangat baik juga. Ingat Duta yang tak bisa membaca? Kini, di saat triplet sudah menginjak masa sekolah dasar, Duta menunjukkan hal lain yang mampu membuat Zita dan Pandu bangga. Ia juara umum pidato anak kelas 6 SD. Iya, kini mereka sudah besar, waktu berjalan begitu cepat. Zita, apalagi Pandu, semakin tua, tapi, tidak mematikan semangat jiwa muda mereka semua.Pidato dengan tema "Sekolah untuk siapa?" itu, dibuat Duta seorang diri. Materinya ia kumpulkan sendiri sambil banyak menonton berita juga membaca buku. Tuh, kan, jangan meremehkan seseorang. Dulu, Pandu dan Zita bisa saja kesal karena kelihatannya, Duta malas belajar, pemberontak, tapi kini, ia seperti anak yang suka berorasi, menyuarakan pikirannya dengan terbuka, jago debat, dengan cara yang tepat. Datra bahkan kewalahan sa
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta
"Ayo... ayo... cepetan! Kita bisa ketinggalan kereta...! Ya ampunnn..." panik Zita yang berjalan menggandeng dua anaknya, satu anaknya lagi digendong Pandu, sedangnya Ageng sudah berlari lebih dulu untuk mencari gerbong kereta yang akan mereka naiki. Porter berjalan di belakang mereka membawa tiga tas koper besar. Tak hanya satu, tapi ada tiga porter yang mereka minta bantuan jasanya."Ini...!" teriak Ageng. Ia memberikan tiket kereta ke petugas yang masih berdiri di depan gerbong kereta eksekutif yang akan mereka naiki. Zita dan dua anaknya berjalan ke dalam gerbong, lalu Pandu yang masih menggendong Diva. Zita terengah-engah, ia merasa lega karena tak tertinggal kereta. Duta dan Datra memindai sekitar sembari menganga. Pertama kali naik kereta dan tampak takjub. "Diva duduk di sini sama Om Ageng, ya," ujar Zita sembari memindahkan Diva dari gendongan Pandu. Mereka duduk di bangku 13DC yang artinya, kursi bisa diputar 180 derajat, kereta Argo lawu itu nyaman karena kelas eks
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih