Pintu kamar rawat terbuka, Zita melihat ranjang itu di dorong masuk. Ia memiringkan tubuhnya ke arah kiri, melihat pasien yang masuk ke kamarnya itu. Mata pasien itu terpejam, Zita menatap lekat. Perawat meninggalkan pasien itu yang tampak pulas tertidur.
"Sstt ... cowok, pura-pura tidur, ya?" Goda Zita yang beranjak perlahan dari tempatnya. Pasien itu mengulum senyum, tak tahan dengan godaan si cantik di sebelahnya.
"Hai... Papa Pandu, gimana hari ini?" Sapa Zita sembari menciumi gemas wajah suaminya itu.
"Mau pulang. Nggak betah di sini," jawab Pandu sembari membuka mata.
"Sayanggg...," panggil Pandu manja.
"Idih... maap, Bos, istrinya lagi nggak bisa di apa-apain, ya, tunggu empat puluh hari." Zita senyum-senyum.
"Amsyong..." celetuk Pandu yang baru ingat jika Zitanya sudah melahirkan.
"Mas, mau makan nggak? Mbak Nadin bawain kue nih, ada tiramisu, aku suapin, ya." Zita menuju ke sudut meja yang seperti meja makan, ia memotong kue,
Pandu dan Zita tak bisa bebas bergerak untuk sementara waktu, karena banyak media yang menyorot suami Zita itu untuk menceritakan pengalaman terombang ambil di lautan lepas hampir 24 jam. Bahkan, saat mereka tiba di rumah, ada beberapa wartawan media cetak yang mau mewawancarinya secara ekslusif. Nadin menggendong Datra, ibu menggendong Duta, bude Sri menggendong Diva, mereka masuk ke dalam rumah lebih dulu. Karena Zita menemani Pandu wawancara di teras depan rumah.Itu merupakan bagian dari memperbaiki nama perusahaan karena terpaan issue yang kurang nyaman di dengar. Tak sampai dua jam, wawacara selesai, lalu muncul dua mobil mewah terparkir di depan rumah Pandu. Suami istri itu menatap lekat, lalu Pandu berbisik."Komisaris utama, Zit, sama bos aku di kantor pusat," ucap Pandu. Tak hanya itu, satu mobil lain diisi dengan para ajudan, yang membawakan buah-buahan, makanan, sembako, pampers bayi dan, bingkisan berupa parsel lainnya dari rekan-rekan sesama pekerja kilan
Pandu sudah semakin sayu, ia mengantuk, tapi senyumnya masih merekah."Zita...,""Apa?" lirik Zita sebelum kembali berkutat dengan kuku jari tangan suaminya."Tunggu aku sembuh dan bisa beraktifitas normal, ya, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau ke mana?" tanya Pandu dengan suara begitu pelan. Kedua matanya sudah begitu berat untuk terbuka."Ke hatimuuu..." jawab Zita enteng. Pandu tertawa geli. Paling susah ngajak Zita berbicara serius. Zita mendekat, mengecupi wajah suaminya itu dengan gemas."Ke mana aja, aku ikut selama bersama kamu dan anak-anak. Dan... jangan lupa, kita harus punya rencana untuk ganti mobil. Kalau pergi pasti bawaan kita kayak pindahan. Apa... beli mobil travel ya..." Zita tersenyum. Pandu memejamkan mata tapi masih bisa menyahut."Sak karepmu, Zita ...." lalu Zita melanjutkan mengurusi jemari Pandu dengan mengoleskan lotion, karena kulit suaminya mendadak kering. Pandu sudah tertidur pulas, ia melirik ke anak-ana
Satu bulan berlalu, Zita baru saja pulang menemani Pandu kontrol jahitan dan kondisi tulang yang patah. Semua mulai membaik, walau Pandu masih harus memakai penyangga di lengan dan bahunya, tak menyurutkan suaminya itu untuk mengemudikan sendiri mobilnya.Zita sudah melarang, dasar Pandu merasa kesatria, tetap saja lanjut. Pintu rumah dibuka Zita, ia berjalan lebih dulu, lalu mendapati ketiga anaknya duduk di baby bouncer, mereka sedang di ruang tengah bersama ibu dan bude Sri."Eh... tuh, Mama sama Papa pulang...!" pekik bude. Zita berjalan mendekat, menyapa dengan heboh, ketiga anaknya hanya tersenyum begitu manis. Lalu, saat mendengar Pandu bersuara. Ketiganya serius mencari suara papanya itu yang sedang meletakan kunci mobil lalu masuk ke dalam kamar."Ndu! Jangan lama-lama ganti bajunya, ini, lho, anak-anakmu celingukan nyari kamu," ucap ibu.Pandu dan Zita di dalam kamar hanya bisa cekikikan. "Udah sana, duluan, aku mandi dulu, mau nyusuin mereka la
Zita melirik ke suaminya dengan kedua tangan bersedekap. Pandu sedang duduk membaca buku materi kuliah. Lalu tubuh Zita ia sandarkan ke ambang pintu."Mas Pandu," panggilnya manja."Hm," jawab Pandu tanpa menoleh."Menarik banget buku itu emangnya?" tanya Zita lagi."He-em," jawab Pandu lalu membalik lembar berikutnya dan kembali membaca."Udah jam sebelas, ayo tidurrr..., kamu juga butuh istirahat, kan?" rengek Zita."Dikit lagi, Zita... aku ada kuis pengantar bisnis buat hari senin besok," sanggah Pandu."Ya Allah, Mas, kamu kerajinan belajarnya hari ini. Sekarang aja masih hari sabtu, besok masih Minggu. Mas Pandu mau jadi saingan dosen sendiri? Karena lebih pinter efek rajin belajar?" Zita kesal sendiri."Yak, betul, Mama Zita," jawab Pandu santai."Hadehhh..., Mas... Mas, wes lah, terserah. Aku mau tidur, anak-anak lagi pules-pulesnya jam segini."Dan hingga Zita merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Pandu mas
"Sudah siap semua, Pak Pandu," ujar salah satu teknisi internet yang Pandu panggil untuk mengatur ulang jaringan. Ia juga meminta tolong dua orang teknisi membantu merapikan salah satu sudut ruangan rumah itu, tepatnya di pojok dekat tangga, yang ia jadikan tempat belajar selama ia tak kuliah di kampus secara langsung karena baru pindah untuk kelas karyawan yang hari sabtu di semester depan.Untuk pekerjaan Pandu, ia tak di keluarkan, keputusan dari perusahaan, jika Pandu akan bekerja di kantor pusat yang ada di Jakarta divisi sumber daya manusia, sambil menyelesaikan kuliahnya dan nanti akan dibicarakan lagi penempatan divisi tetapnya."Makasih, ya, ini, buat beli makan siang," ucap Pandu seraya memberikan uang tambahan sebagai tips karena sudah membantu menggotong meja dan kursi.Zita keluar dari dalam kamar, ia tampak sudah mandi dan memakai baju motif salur warna merah muda dan putih sekulut sambil menggendong Diva yang sudah mandi sore juga. Zita meletakkan
"Mas, siapin buku imunisasi anak-anak, ada di tasku di belakang. Maksudnya, di ransel yang ia pakai. Tas hadiah dari Nadin saat pergi ke Singapura karena Devon manggung di sana, merk ternama yang akhirnya Zita punya kesempatan untuk memakainya."Dipasang lagi kaitannya, Mas, jangan lupa," pinta Zita. Pandu hanya menjawab dengan kata 'Iya'.Keduanya berjalan ke dalam lobi, semua mata terpusat kepada keluarga kecil mereka, selain karena anak kembar tiga, juga karena bawaan mereka yang tampak repot. Zita, cuek-cuek aja."Dokter siapa namanya, Zit?" tanya Pandu saat menyiapkan kartu tanda pengenal karyawan miliknya."Di bukunya ada, Mas Pandu, aku juga lupa. Buka halaman pertamanya, coba," ucap Zita yang memastikan pasukan krucilsnya tak ada yahg rewel.Pandu lalu melakukan pendaftaran, setelah selesai mendaftar, mereka menuju ke lantai dua. Pintu lift terbuka. Dua orang suster tampak heboh, mereka bertemu tiga bayi kembar yang mereka rawat beberapa wa
"Belum tidur, Mas?" tegur Zita yang baru saja menidurkan anak-anaknya setelah sempat rewel karena efek imunisasi, Zita memberikan obat penurun panas dan tak lama, ketiganya tertidur pulas."Sebentar lagi, lagi nunggu transferan uang dari temen," jawab Pandu yang merangkul bahu Zita dengan lengan kanannya."Transferan apaan? Kamu nagih hutang temenmu? Karena kamu sekarang butuh uang banyak?" pertanyaan polos kembali terdengar dari Zita. Pandu cengengesan."Nggak lah, temenku kalau pinjam uang ke aku, mereka balikin, kok, tapi kadang aku bebasin, kasihan, kalau jumlahnya nggak banyak," lanjut Pandu."Ih, baik bener, sih, suamiku ini..., terus transferan apaan?" Zita memperbaiki posisi duduknya menghadap Pandu, ia duduk sembari memangku bantal sofa."Duit sewa rumah sama jual kendaraan.""Maksudnya, yang di dumai?" Zita mengerutkan kening. Pandu mengangguk."Kita udah fix menetap di sini, Zita, jadi warga Jakarta. Aku udah dapat berita d
Zita merasa tak bisa terus menerus merepotkan suaminya atau keluarga. Kali ini, ia harus mengubah pola pikir dan menghilangkan ketakutannya. Ia sudah punya anak, tanggung jawab mengurus anak-anak juga ia maunya sendirian, saking tak percaya menggunakan jasa pengasuh akibat maraknya berita sehari-hari yang Zita tonton tentang kekerasan dari pengasuh terhadap anak, membuatnya bergidik ngeri. Pun, ia merasa jika mampu. Ia full time ibu dan istri di rumah.Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan berkali-kali. Ia melirik, semua aman, dan ia siap."Masukin gigi satu sambil injak kopling, angkat kopling pelan-pelan sambil Bu Zita injak gas jangan terlalu dalam dan ragu-ragu juga, Bu," ucap pelatih mengemudi yang di sewa Pandu. Suaminya tak mengizinkan jika Zita sendirian datang ke tempat kursus di luar komplek, jadilah oleh papa Pandu dipanggil dan membayar sedikit lebih mahal.Area jalannya pun, sekitar komplek, kecuali nanti untuk melancarkan, Pandu sendiri ya