Pandu dan Zita tak bisa bebas bergerak untuk sementara waktu, karena banyak media yang menyorot suami Zita itu untuk menceritakan pengalaman terombang ambil di lautan lepas hampir 24 jam. Bahkan, saat mereka tiba di rumah, ada beberapa wartawan media cetak yang mau mewawancarinya secara ekslusif. Nadin menggendong Datra, ibu menggendong Duta, bude Sri menggendong Diva, mereka masuk ke dalam rumah lebih dulu. Karena Zita menemani Pandu wawancara di teras depan rumah.
Itu merupakan bagian dari memperbaiki nama perusahaan karena terpaan issue yang kurang nyaman di dengar. Tak sampai dua jam, wawacara selesai, lalu muncul dua mobil mewah terparkir di depan rumah Pandu. Suami istri itu menatap lekat, lalu Pandu berbisik.
"Komisaris utama, Zit, sama bos aku di kantor pusat," ucap Pandu. Tak hanya itu, satu mobil lain diisi dengan para ajudan, yang membawakan buah-buahan, makanan, sembako, pampers bayi dan, bingkisan berupa parsel lainnya dari rekan-rekan sesama pekerja kilan
Pandu sudah semakin sayu, ia mengantuk, tapi senyumnya masih merekah."Zita...,""Apa?" lirik Zita sebelum kembali berkutat dengan kuku jari tangan suaminya."Tunggu aku sembuh dan bisa beraktifitas normal, ya, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau ke mana?" tanya Pandu dengan suara begitu pelan. Kedua matanya sudah begitu berat untuk terbuka."Ke hatimuuu..." jawab Zita enteng. Pandu tertawa geli. Paling susah ngajak Zita berbicara serius. Zita mendekat, mengecupi wajah suaminya itu dengan gemas."Ke mana aja, aku ikut selama bersama kamu dan anak-anak. Dan... jangan lupa, kita harus punya rencana untuk ganti mobil. Kalau pergi pasti bawaan kita kayak pindahan. Apa... beli mobil travel ya..." Zita tersenyum. Pandu memejamkan mata tapi masih bisa menyahut."Sak karepmu, Zita ...." lalu Zita melanjutkan mengurusi jemari Pandu dengan mengoleskan lotion, karena kulit suaminya mendadak kering. Pandu sudah tertidur pulas, ia melirik ke anak-ana
Satu bulan berlalu, Zita baru saja pulang menemani Pandu kontrol jahitan dan kondisi tulang yang patah. Semua mulai membaik, walau Pandu masih harus memakai penyangga di lengan dan bahunya, tak menyurutkan suaminya itu untuk mengemudikan sendiri mobilnya.Zita sudah melarang, dasar Pandu merasa kesatria, tetap saja lanjut. Pintu rumah dibuka Zita, ia berjalan lebih dulu, lalu mendapati ketiga anaknya duduk di baby bouncer, mereka sedang di ruang tengah bersama ibu dan bude Sri."Eh... tuh, Mama sama Papa pulang...!" pekik bude. Zita berjalan mendekat, menyapa dengan heboh, ketiga anaknya hanya tersenyum begitu manis. Lalu, saat mendengar Pandu bersuara. Ketiganya serius mencari suara papanya itu yang sedang meletakan kunci mobil lalu masuk ke dalam kamar."Ndu! Jangan lama-lama ganti bajunya, ini, lho, anak-anakmu celingukan nyari kamu," ucap ibu.Pandu dan Zita di dalam kamar hanya bisa cekikikan. "Udah sana, duluan, aku mandi dulu, mau nyusuin mereka la
Zita melirik ke suaminya dengan kedua tangan bersedekap. Pandu sedang duduk membaca buku materi kuliah. Lalu tubuh Zita ia sandarkan ke ambang pintu."Mas Pandu," panggilnya manja."Hm," jawab Pandu tanpa menoleh."Menarik banget buku itu emangnya?" tanya Zita lagi."He-em," jawab Pandu lalu membalik lembar berikutnya dan kembali membaca."Udah jam sebelas, ayo tidurrr..., kamu juga butuh istirahat, kan?" rengek Zita."Dikit lagi, Zita... aku ada kuis pengantar bisnis buat hari senin besok," sanggah Pandu."Ya Allah, Mas, kamu kerajinan belajarnya hari ini. Sekarang aja masih hari sabtu, besok masih Minggu. Mas Pandu mau jadi saingan dosen sendiri? Karena lebih pinter efek rajin belajar?" Zita kesal sendiri."Yak, betul, Mama Zita," jawab Pandu santai."Hadehhh..., Mas... Mas, wes lah, terserah. Aku mau tidur, anak-anak lagi pules-pulesnya jam segini."Dan hingga Zita merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Pandu mas
"Sudah siap semua, Pak Pandu," ujar salah satu teknisi internet yang Pandu panggil untuk mengatur ulang jaringan. Ia juga meminta tolong dua orang teknisi membantu merapikan salah satu sudut ruangan rumah itu, tepatnya di pojok dekat tangga, yang ia jadikan tempat belajar selama ia tak kuliah di kampus secara langsung karena baru pindah untuk kelas karyawan yang hari sabtu di semester depan.Untuk pekerjaan Pandu, ia tak di keluarkan, keputusan dari perusahaan, jika Pandu akan bekerja di kantor pusat yang ada di Jakarta divisi sumber daya manusia, sambil menyelesaikan kuliahnya dan nanti akan dibicarakan lagi penempatan divisi tetapnya."Makasih, ya, ini, buat beli makan siang," ucap Pandu seraya memberikan uang tambahan sebagai tips karena sudah membantu menggotong meja dan kursi.Zita keluar dari dalam kamar, ia tampak sudah mandi dan memakai baju motif salur warna merah muda dan putih sekulut sambil menggendong Diva yang sudah mandi sore juga. Zita meletakkan
"Mas, siapin buku imunisasi anak-anak, ada di tasku di belakang. Maksudnya, di ransel yang ia pakai. Tas hadiah dari Nadin saat pergi ke Singapura karena Devon manggung di sana, merk ternama yang akhirnya Zita punya kesempatan untuk memakainya."Dipasang lagi kaitannya, Mas, jangan lupa," pinta Zita. Pandu hanya menjawab dengan kata 'Iya'.Keduanya berjalan ke dalam lobi, semua mata terpusat kepada keluarga kecil mereka, selain karena anak kembar tiga, juga karena bawaan mereka yang tampak repot. Zita, cuek-cuek aja."Dokter siapa namanya, Zit?" tanya Pandu saat menyiapkan kartu tanda pengenal karyawan miliknya."Di bukunya ada, Mas Pandu, aku juga lupa. Buka halaman pertamanya, coba," ucap Zita yang memastikan pasukan krucilsnya tak ada yahg rewel.Pandu lalu melakukan pendaftaran, setelah selesai mendaftar, mereka menuju ke lantai dua. Pintu lift terbuka. Dua orang suster tampak heboh, mereka bertemu tiga bayi kembar yang mereka rawat beberapa wa
"Belum tidur, Mas?" tegur Zita yang baru saja menidurkan anak-anaknya setelah sempat rewel karena efek imunisasi, Zita memberikan obat penurun panas dan tak lama, ketiganya tertidur pulas."Sebentar lagi, lagi nunggu transferan uang dari temen," jawab Pandu yang merangkul bahu Zita dengan lengan kanannya."Transferan apaan? Kamu nagih hutang temenmu? Karena kamu sekarang butuh uang banyak?" pertanyaan polos kembali terdengar dari Zita. Pandu cengengesan."Nggak lah, temenku kalau pinjam uang ke aku, mereka balikin, kok, tapi kadang aku bebasin, kasihan, kalau jumlahnya nggak banyak," lanjut Pandu."Ih, baik bener, sih, suamiku ini..., terus transferan apaan?" Zita memperbaiki posisi duduknya menghadap Pandu, ia duduk sembari memangku bantal sofa."Duit sewa rumah sama jual kendaraan.""Maksudnya, yang di dumai?" Zita mengerutkan kening. Pandu mengangguk."Kita udah fix menetap di sini, Zita, jadi warga Jakarta. Aku udah dapat berita d
Zita merasa tak bisa terus menerus merepotkan suaminya atau keluarga. Kali ini, ia harus mengubah pola pikir dan menghilangkan ketakutannya. Ia sudah punya anak, tanggung jawab mengurus anak-anak juga ia maunya sendirian, saking tak percaya menggunakan jasa pengasuh akibat maraknya berita sehari-hari yang Zita tonton tentang kekerasan dari pengasuh terhadap anak, membuatnya bergidik ngeri. Pun, ia merasa jika mampu. Ia full time ibu dan istri di rumah.Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan berkali-kali. Ia melirik, semua aman, dan ia siap."Masukin gigi satu sambil injak kopling, angkat kopling pelan-pelan sambil Bu Zita injak gas jangan terlalu dalam dan ragu-ragu juga, Bu," ucap pelatih mengemudi yang di sewa Pandu. Suaminya tak mengizinkan jika Zita sendirian datang ke tempat kursus di luar komplek, jadilah oleh papa Pandu dipanggil dan membayar sedikit lebih mahal.Area jalannya pun, sekitar komplek, kecuali nanti untuk melancarkan, Pandu sendiri ya
Lalu muncul bibi dari dalam rumah, membawa botol ASI tiga buah. "Pak, waktunya anak-anak minum susu," bibi mendekat."Oh iya, Bi, makasih, ya," ujar Pandu. Bibi memberikan botol masing-masing, ketiga bayi itu sudah bisa memegang botol susu. Danu bahkan begitu senang menggoda triplet juga kagum. Pandu memasang alas di leher masing-masing anaknya, supaya kalau menetes, tak kena baju."Hebat, udah pinter pegang botol susu, ya," goda Danu."Mamanya nih, yang ngajarin nggak manja dari beberapa waktu ini. Telaten Zita, Pak," sahut Pandu."Bagus, Ndu. Percayakan cara didik anak ke Ibunya, karena dia yang paling tahu, kita, sebagai suami fokus cari rejeki, tapi ya tetap, tanya perkembangan anak, jangan cuek juga. Seenggaknya tanya 'hari ini anak-anak gimana, kamu capek, ya' istri ditanya gitu aja udah seneng banget, Ndu." Tukas Danu sambil duduk di kursi yang sebelumnya diambil Pandu untuk pria itu."Iya, Pak," sahutnya.***Zita mengusap ali
Zita dan Pandu berjalan-jalan di taman yang ada di kota Istanbul, keduanya begitu menikmati hari yang selama ini mereka nantikan. Keempat anaknya sibuk dengan acara jalan-jalannya sendiri bersama saudara sepupu lainnya. Bangku taman itu mereka duduki, Pandu membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Zita memberikan es kopi miliknya ke tangan Pandu, karena ia ingin mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. "Mas, kita foto-foto dulu, selfie dulu biar keceh..." ujarnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah keduanya. Pandu bahkan tersenyum bahagia, dan ada yang foto sambil mencium pipi istrinya itu. "Zit, kalau rambutku di cet cokelat tua bagus kayaknya, deh," tanya Pandu sambil menyugar rambutnya yang masih lebat. Bagaimana tidak, Zita rajin membalur rambut Pandu dengan ramuan cemceman warisan budenya, dengan minyak kemiri, juga bahan-bahan tradisional lainnya. "Nggak usah. Ngapain, mau centil kamu. Puber ke dua? Iya?"
Hidup manusia itu layaknya roda berputar, itu benar. Pengulangan lingkaran kehidupan itu pasti akan terjadi. Tak jarang, banyak yang berpikir untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dari pada yang terdahulu, baik orang tua tua sendiri, atau menyangkut jalan hidup anggota keluar lainnya. Pandu dan Zita, menikah begitu cepat, kenalan juga cepat, harus menikah siri lebih dulu sebelum buku nikah diterima di tangan, tapi mampu membangun rasa cinta dua orang asing yang akhirnya, merasa terikat dan begitu saling membutuhkan seumur hidup. Tahun demi tahun mereka lewati, ujian rumah tangga mereka hadapi, pun, saat ujian berganti saat menerpa anak-anak mereka. Duta sempat berkelahi dengan remaja seusianya saat mengganggu Diva dan Dira yang berjalan setelah pulang dari minimarket, tak tedeng aling-aling, Duta main hajar dua remaja itu hingga akhirnya Pandu dan Zita ke rumah sakit karena dua remaja itu terluka cukup parah. Padahal, Datra lah si atlit karate, tapi Datra tak pern
Tidak heran, jika keluarga Pandu dan Zita memang ramai dan heboh. Tahun berganti, kehidupan mereka tak ayal seperti keluarga pada umumnya. Masalah banyak mereka temui, dan bisa terpecahkan dengan sangat baik juga. Ingat Duta yang tak bisa membaca? Kini, di saat triplet sudah menginjak masa sekolah dasar, Duta menunjukkan hal lain yang mampu membuat Zita dan Pandu bangga. Ia juara umum pidato anak kelas 6 SD. Iya, kini mereka sudah besar, waktu berjalan begitu cepat. Zita, apalagi Pandu, semakin tua, tapi, tidak mematikan semangat jiwa muda mereka semua.Pidato dengan tema "Sekolah untuk siapa?" itu, dibuat Duta seorang diri. Materinya ia kumpulkan sendiri sambil banyak menonton berita juga membaca buku. Tuh, kan, jangan meremehkan seseorang. Dulu, Pandu dan Zita bisa saja kesal karena kelihatannya, Duta malas belajar, pemberontak, tapi kini, ia seperti anak yang suka berorasi, menyuarakan pikirannya dengan terbuka, jago debat, dengan cara yang tepat. Datra bahkan kewalahan sa
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta
"Ayo... ayo... cepetan! Kita bisa ketinggalan kereta...! Ya ampunnn..." panik Zita yang berjalan menggandeng dua anaknya, satu anaknya lagi digendong Pandu, sedangnya Ageng sudah berlari lebih dulu untuk mencari gerbong kereta yang akan mereka naiki. Porter berjalan di belakang mereka membawa tiga tas koper besar. Tak hanya satu, tapi ada tiga porter yang mereka minta bantuan jasanya."Ini...!" teriak Ageng. Ia memberikan tiket kereta ke petugas yang masih berdiri di depan gerbong kereta eksekutif yang akan mereka naiki. Zita dan dua anaknya berjalan ke dalam gerbong, lalu Pandu yang masih menggendong Diva. Zita terengah-engah, ia merasa lega karena tak tertinggal kereta. Duta dan Datra memindai sekitar sembari menganga. Pertama kali naik kereta dan tampak takjub. "Diva duduk di sini sama Om Ageng, ya," ujar Zita sembari memindahkan Diva dari gendongan Pandu. Mereka duduk di bangku 13DC yang artinya, kursi bisa diputar 180 derajat, kereta Argo lawu itu nyaman karena kelas eks
Zita memiringkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya yang bertelanjang dada, jujur saja Zita tergoda, bagaimana tidak, suaminya tetap menjaga bentuk tubuhnya itu, walau saat di luar rumah, tak pernah ia pamerkan. Maksudnya itu, Pandu tak pernah tebar pesona sok-sok menunjukkan tubuh atletisnya, bahkan saat bekerja pun, Pandu tak memakai kemeja yang ketat membentuk tubuhnya, ia justru tampak seperti bapak-bapak mendekati kepala empat yang tak memerhatikan penampilan, tapi... sata di rumah dan berdua bersama Zita, hmmm... jangan di tanya apa lagi di bayangkan, Zita lah penguasa tubuh Pandu. Hal itu sengaja Pandu lalukan guna meminimalisir tatapan wanita-wanita yang bisa saja tergoda dengan penampilan fisik Pandu.Jadi, tak cuma hati, tapi tubuhnya pun, hanya milik Zita seorang. Ingat kan, pengalaman dua pelakor yang habis di bantai istrinya itu? Pandu sungguh menjadikan itu pelajaran. Pun, Zita, istrinya itu tak pernah berdandan cetar membahana tiada tara jika keluar rumah, cuk
Lima tahun kemudian."Kamu, serius, Geng?" tatapan Zita begitu lekat. Sedangkan Pandu hanya bisa duduk tegak di sebelah istrinya karena merasa terkejut dengan ucapan Ageng."Udah bener?" lanjut Zita. Ageng mengangguk."Hmmhh... yaudah, mau gimana lagi, kan. Mas Pandu, gimana?" toleh Zita. Pandu melirik ke istrinya itu."Yaudah, siapin semuanya, deh. Ngapain juga kelamaan pacaran, Geng. Aku hubungin keluarga di Solo. Tapi, serius udah dipikirin baik-baik? Nikah itu bukan perkara SAH dan enak-enak aja, Geng, tapi banyak hal yang--" mulut Pandu dibekap Zita."Stop. Menurut kamu, kamu udah sehebat itu bisa nasehatin Ageng, heh?" pelototan Zita membuat kedua mata Pandu membentuk garis lurus. Ageng terbahak-bahak."Sukurin! Lagu-laguan kasih nasehat soal pernikahan. Tuh, lihat, anak-anak udah siap les berenang. Lets Go triplets! Om Ageng temenin berenang." Ageng beranjak, meraih kunci mobil. Datra, Diva dan Duta menghampiri papa mamanya yang masih